Pengaruh Arus Kas Bebas, Capital Adequacy Ratio dan Good Corporate Governance pada Manajemen Laba.

(1)

PENGARUH ARUS KAS BEBAS, CAPITAL ADEQUACY RATIO DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA MANAJEMEN LABA

SKRIPSI

Oleh :

LUH MADE DWI PARAMA YOGI NIM : 1215351069

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

i

PENGARUH ARUS KAS BEBAS, CAPITAL ADEQUACY RATIO DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA MANAJEMEN LABA

SKRIPSI

Oleh :

LUH MADE DWI PARAMA YOGI NIM : 1215351069

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memeroleh gelar Sarjana Ekonomi

di Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Denpasar 2016


(3)

ii

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing, serta diuji pada tanggal : 16 Februari 2016

Tim Penguji Tanda tangan

1. Ketua : Dr. Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., Ak ...

2. Sekretaris : I Gusti Ayu Eka Damayanthi, SE., M.Si ...

3. Anggota : Komang Ayu Krisnadewi, SE, M.Si., Ak ...

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak I Gusti Ayu Eka Damayanthi, SE., M.Si


(4)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memeroleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 25 Januari 2016

Luh Made Dwi Parama Yogi NIM. 1215351069


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Arus Kas Bebas, Capital

Adequacy Ratio dan Good Corporate Governance pada Manajemen Laba” sesuai dengan yang direncanakan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2. Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak. dan Bapak Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4. Ibu Dr. I.G.A Made Asri Dwija Putri, SE., M.Si., selaku Pembimbing Akademik yang selalu meluangkan waktu membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga saat ini.

5. Ibu I Gusti Ayu Eka Damayanthi, SE., M.Si., selaku dosen pembimbing atas semua waktu, bimbingan, masukan serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., Ak. dan Ibu Komang Ayu

Krisnadewi, SE., M.Si., Ak., selaku dosen penguji atas semua saran dan masukan yang diberikan kepada penulis.


(6)

v

7. Seluruh staf pengajar, bapak dan ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama di bangku perkuliahan.

8. Kedua orang tua tersayang Bapak I Wayan Andra Septawan, SSKar., M.Si. dan Ibu Ni Ketut Astini, serta adik Komang Triana Sparsa Lingga Krisna dan seluruh keluarga besar, terima kasih atas semua doa, perhatian, kasih sayang, semangat serta dukungan baik moril maupun materiil yang diberikan kepada penulis.

9. Sahabat seperjuangan, Sintya Purnama, Kartika Wijayanthi, Sukrisna Dewi, Meli Yuliana serta seluruh teman-teman di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, yang selalu mau berbagi cerita, pengalaman, persahabatan dan rasa kekeluargaan pada penulis. Tidak lupa untuk sahabat-sahabat sejak SMA yang masih setia bersama penulis, Ratna Sri, Gita Ernanda, Yunita Primandari, Arya Trisna Dewi dan Soca Pradnya Sari, terimakasih atas semua dukungan, semangat, keceriaan, dan doa kalian.

10.Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu sampai akhir

perkuliahan dan proses penyelesaian skripsi ini, yang mungkin terlewat untuk disebutkan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil diselesaikan tanpa dukungan, bimbingan, saran, serta doa dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis tetap bertanggung jawab terhadap semua isi skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Denpasar, 25 Januari 2016


(7)

vi

Judul : Pengaruh Arus Kas Bebas, Capital Adequacy Ratio dan Good Corporate Governance pada Manajemen Laba

Nama : Luh Made Dwi Parama Yogi NIM : 1215351069

Abstrak

Asimetri informasi antara prinsipal dan manajer (agen) dapat memberi kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba. Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh bukti empiris pengaruh arus kas bebas, capital adequacy ratio dan good corporate governance (GCG) yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional pada manajemen laba.

Penelitian ini dilakukan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan periode waktu penelitian dari tahun 2010-2014.

Sampel ditentukan dengan metode purposive sampling, dan diperoleh 18

perusahaan perbankan yang memenuhi kriteria sampel, sehingga jumlah pengamatan selama lima tahun adalah 90 pengamatan. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder berupa laporan keuangan perusahaan dan diuji dengan teknik analisis regresi linear berganda.

Hipotesis penelitian menyatakan bahwa arus kas bebas, capital adequacy ratio, dewan komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada manajemen laba. Hasil penelitiaan membuktikan bahwa arus kas bebas berpengaruh negatif pada manajemen laba. Sebaliknya, capital adequacy ratio berpengaruh positif pada manajemen laba. GCG yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada manajemen laba.

Kata kunci : manajemen laba, arus kas bebas, capital adequacy ratio, good corporate governance


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Kegunaan Penelitian ... 15

1.5 Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1Landasan Teori dan Konsep ... 18

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) ... 18

2.1.2 Manajemen Laba ... 20

2.1.3 Arus Kas Bebas (Free Cash Flow) ... ... 25

2.1.4 Capital Adequacy Ratio ... 27

2.1.5 Good Corporate Governance ... 28

2.1.6 Dewan Komisaris Independen ... ... 30

2.1.7 Komite Audit ... 32

2.1.8 Kepemilikan Manajerial ... 34

2.1.9 Kepemilikan Institusional ... 35

2.2Hipotesis Penelitian ... 23

2.2.1 Pengaruh Arus Kas Bebas pada Manajemen Laba ... 36

2.2.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba ... 37

2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba ... 38

2.2.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba ... 39

2.2.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba ... 40

2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba ... 41


(9)

viii BAB III METODE PENELITIAN

3.1Desain Penelitian ... 43

3.2Lokasi Penelitian ... 44

3.3Objek Penelitian ... 44

3.4Identifikasi Variabel ... 44

3.5Definisi Operasional Variabel ... 45

3.6Jenis dan Sumber Data ... 50

3.6.1 Jenis Data ... 50

3.6.2 Sumber Data ... 50

3.7Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel ... 50

3.8Metode Pengumpulan Data ... 51

3.9Teknik Analisis Data ... 51

3.9.1 Uji Statistik Deskriptif ... 52

3.9.2 Uji Asumsi Klasik ... 52

3.9.3 Analisis Regresi Linear Berganda ... 54

3.9.4 Koefisien Determinasi (R2) ... 55

3.9.5 Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 55

3.9.6 Uji t (t-test) ... 56

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1Gambaran Umum Daerah atau Wilayah Penelitian ... 57

4.2Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 58

4.2.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 59

4.2.2 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 64

4.2.3 Hasil Uji Hipotesis ... 68

4.2.4 Hasil Koefisien Determinasi (R2) ... 69

4.2.5 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 70

4.2.6 Hasil Uji t ... 70

4.3Pembahasan Hasil Penelitian ... 72

4.3.1 Pengaruh Arus Kas Bebas pada Manajemen Laba ... 72

4.3.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba ... 73

4.3.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba ... 74

4.3.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba ... 76

4.3.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba ... 77

4.3.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba ... 77

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan ... 79

5.2Saran ... 79

DAFTAR RUJUKAN ... 81


(10)

ix

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

4.1 Seleksi Jumlah Sampel Penelitian ... 59

4.2 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ... 60

4.3 Hasil Uji Normalitas ... 65

4.4 Hasil Uji Autokorelasi ... 65

4.5 Hasil Uji Multikolinearitas ... 66

4.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 67


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1 Daftar Sampel Penelitian ... 59

2 Perhitungan Arus Kas Bebas ... 88

3 Perhitungan Capital Adequacy Ratio ... 91

4 Perhitungan Good Corporate Governance ... 94

5 Perhitungan Total Akrual ... 97

6 Perhitungan ∆REVit, ∆RECit dan PPEit ... 100

7 Perhitungan Koefisien Regresi dari Total Akrual ... 105

8 Regresi Modified Jones Model ... 108

9 Perhitungan Nondiscretionary Accrual (NDA) dan Discretionary Accrual (DA) ... 110

10 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 113

11 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 114

12 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda ... 116


(13)

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Hery, 2013:7). Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen dalam mengelola sumber daya yang dimiliki perusahaan serta sebagai informasi yang mencerminkan kinerja perusahaan. Menurut Algery (2013), investor cenderung hanya memerhatikan angka laba yang tersaji dalam laporan keuangan tanpa memerhatikan proses yang digunakan untuk mencapai tingkat laba tersebut. Mengetahui begitu pentingnya informasi laba ini membuat manajer sering melakukan tindakan dysfunctional behaviour (perilaku tidak semestinya). Dysfunctional behaviour tersebut dipengaruhi oleh adanya asimetri informasi dalam konsep teori keagenan.

Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan perusahaan sebagai sekumpulan kontrak yang dilakukan antara pihak pemilik modal (principal) dengan manajer (agent). Prinsipal dalam hal ini pemegang saham mempercayakan semua aktivitas perusahaan dan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada manajer. Perusahaan yang memisahkan fungsi kepemilikan dan fungsi pengelolaan akan rentan terhadap konflik. Prinsipal mengharapkan manajer dapat mengelola perusahaan dengan baik untuk meningkatkan kemakmurannya, namun


(15)

2

kenyataannya manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajer karena hanya memiliki sedikit informasi dan tidak dapat secara langsung mengawasi aktivitas manajemen sehari-hari sedangkan manajer sebagai agen lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan.

Adanya asimetri informasi antara prinsipal dan manajer akan menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Terdapat dua jenis permasalahan yang ditimbulkan oleh asimetri informasi yaitu adverse selection dan moral hazard (Jensen dan Meckling, 1976). Adverse selection (keputusan serba salah) adalah keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi akibat kelalaian manajer dalam menjalankan tugas. Selanjutnya, moral hazard (penyimpangan moral) merupakan permasalahan yang muncul jika manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis.

Asimetri informasi ini akan memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management). Menurut Scott (2011:423), manajemen laba merupakan suatu tindakan manajer yang memilih kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik. Salah satu cara untuk mengukur manajemen laba adalah dengan menggunakan proksi discretionary accrual. Discretionary accrual adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajer (Firdaus, 2013).

Jensen (1986) menyatakan bahwa salah satu penyebab masalah keagenan antara manajer dan prinsipal adalah konflik kepentingan berkaitan dengan


(16)

3

penggunaan arus kas bebas (free cash flow) perusahaan. Arus kas bebas merupakan kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif (Jensen, 1986). Kieso (2007:219) mendefinisikan arus kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau hanya untuk menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. (2000) menyatakan bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas yang dimiliki perusahaan, setelah perusahaan membiayai semua investasi dan modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha.

Adanya arus kas bebas dalam perusahaan dapat menyebabkan terjadinya konflik antara prinsipal dengan manajer. Prinsipal menginginkan agar arus kas bebas dibagikan dalam bentuk dividen sehingga menambah kesejahteraan mereka, sedangkan manajer menginginkan arus kas bebas tersebut digunakan untuk membiayai investasi meskipun peluang pertumbuhan perusahaan rendah. Manajer tidak menginginkan arus kas bebas tersebut dibagikan sebagai dividen, karena pembayaran dividen kepada pemegang saham akan mengurangi sumber ekonomi yang berada dalam kekuasaan manajer sehingga akan mengurangi kekuatan manajer dalam perusahaan. Selain itu, pembayaran dividen lebih memungkinkan adanya peningkatan monitoring oleh pasar modal ketika perusahaan harus menghimpun modal baru untuk membiayai investasi (Jensen, 1986).

Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan


(17)

4

NPV negatif (Jensen, 1986). Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan penambahan modal dari luar perusahaan (Rosdini, 2009).

Overinvesment yang dilakukan oleh manajer mungkin saja dapat

meningkatkan ukuran perusahaan tetapi tidak dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang. Adanya penurunan kinerja atau penurunan laba akan menyebabkan penurunan tingkat pengembalian saham, yang mungkin akan memicu prinsipal (pemegang saham) untuk mengganti CEO dan senior eksekutif lain (Chung et al., 2005). Dalam upaya untuk mencegah melaporkan penurunan laba, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif dari overinvesment yang dilakukannya. Hal ini didukung oleh penelitian Richardson (2006) dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa arus kas bebas berpengaruh positif pada overinvesment. Penelitian mengenai arus kas bebas dan manajemen laba dilakukan Bukit dan Iskandar (2009), Kangarluei et al. (2011) serta Bhundia (2012) yang memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif antara manajemen laba dan arus kas bebas, dengan kata lain arus kas bebas dapat memotivasi tindakan manajemen laba dan hubungan yang signifikan terjadi pada perusahaan yang memiliki arus kas bebas tinggi. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis free cash flow dari Jensen (1986) dan hasil penelitian Chung et al. (2005).


(18)

5

Berbeda dengan temuan tersebut, hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta (2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap manajemen laba. Menurut Agustia (2013), perusahaan dengan nilai arus kas bebas yang tinggi cenderung tidak melakukan manajemen laba, karena dalam hal ini sebagian besar investor merupakan transient investors (pemilik sementara perusahaan) yang lebih terfokus pada informasi arus kas bebas yang menunjukkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam membagikan dividen. Perusahaan akan mampu meningkatkan harga sahamnya, karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden. Wang (2010) juga menyatakan bahwa keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan operasi yang sedang berjalan. Dengan adanya kesempatan yang dimiliki, perusahaan diharapkan mampu menunjukkan kinerja baik yang dapat dilihat dari pertumbuhan laba yang diperoleh perusahaan. Selain konflik kepentingan yang berkaitan dengan penggunaan arus kas bebas, faktor lainnya yang dapat memicu tindakan manajemen laba adalah ketika perusahaan mengalami penurunan CAR (Capital Adequacy Ratio), khususnya pada perusahaan perbankan. Pemilihan variabel CAR dalam penelitian ini merujuk pada kasus manajemen laba yang terjadi pada PT. Bank Lippo Tbk tahun 2002. Kasus ini muncul setelah Bank Lippo menerbitkan dua versi laporan keuangan yang berbeda antara yang dipublikasikan kepada publik dan yang dilaporkan kepada Bapepam. Pada kasus ini pencantuman kata “audited” pada


(19)

6

Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 membawa implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat baik namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya.

Laporan keuangan yang disampaikan ke publik mencatat total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp. 98,77 miliar dan CAR sebesar 24,77 persen (Bapepam, 2003). Sekilas dengan membaca laporan ini, investor melihat bahwa kinerja perusahaan berjalan dengan baik.

Dengan demikian, keputusan-keputusan yang diambil investor akan

menguntungkan perusahaan, misalnya investor akan melakukan pembelian saham PT. Bank Lippo Tbk secara besar-besaran. Hal ini tentunya merugikan investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka keputusan yang diambil juga tidak tepat.

CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121). CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko. Jadi, semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013, bank dinyatakan sehat jika memiliki CAR minimum 8 persen.

Untuk dapat bersaing, sebuah bank harus bekerja pada tingkat efisiensi yang tinggi dan mampu mengelola risiko serta memiliki modal yang cukup sebagai penggerak aktivitas operasional (Taswan, 2012:139). Modal ini digunakan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank. Nilai CAR yang


(20)

7

meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam Arriela, 2013).

Indikasi praktik manajemen laba terjadi di sektor perbankan telah diteliti oleh Bertrand (2000). Dalam penelitian tersebut ditemukan bukti secara empiris bank di Swiss yang sedikit kurang atau mendekati ketentuan batasan kecukupan modal cenderung untuk meningkatkan rasio kecukupan modal (CAR) mereka agar memenuhi persyaratan dengan cara melakukan manajemen laba. Susanto (2003) dalam Zahara dan Veronica (2009) menemukan adanya indikasi praktik pengelolaan laba yang dilakukan oleh kelompok bank tidak sehat dan salah satu faktor dominan yang mendorong bank melakukan pengelolaan laba adalah motif meningkatkan kinerja bank. Penelitian Nasution dan Setiawan (2007) juga membuktikan alasan perusahaan perbankan melakukan manajemen laba adalah ketatnya regulasi perbankan dibandingkan industri lain, salah satunya adalah bank harus memenuhi kriteria CAR minimum.

Penelitian yang dilakukan oleh Arriela (2013) membuktikan bahwa CAR berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba perusahaan perbankan. Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, hasil ini juga didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Akan tetapi, dalam penelitian Zahara dan Veronica (2009), Setiawati


(21)

8

(2010) serta Sari (2012) menunjukkan hasil bahwa CAR tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Untuk mengurangi terjadinya tindakan manajemen laba maka upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih baik, karena hal ini akan mendorong terciptanya keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Sistem ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) (Wardhani dan Joseph, 2010).

Dengan adanya good corporate governance dapat membantu para pengguna

informasi keuangan untuk lebih yakin bahwa laporan keuangan yang dihasilkan bebas dari pelanggaran (fraud).

Good corporate governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI, 2006). Dengan adanya GCG diharapkan laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai pertanggungjawaban kinerjanya, prinsipal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen.

Mekanisme GCG yang dijalankan sesuai dengan standar dan prosedur perusahaan akan dapat meminimalisir tindakan manajemen perusahaan yang melenceng terutama agar tidak mengarah kepada praktik manajemen laba yang dapat mengancam kelangsungan hidup suatu perusahaan. Penerapan mekanisme GCG secara konsisten juga dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan


(22)

9

dapat menghambat terjadinya manajemen laba sehingga dapat menggambarkan kinerja fundamental perusahaan yang baik (Anggana dan Prastiwi, 2013).

Pengukuran GCG dalam penelitian ini menggunakan proksi dewan komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Alasan pemilihan keempat proksi tersebut karena berdasarkan pernyataan Jensen dan Meckling (1976) konflik kepentingan dalam hubungan keagenan dapat diminimumkan melalui mekanisme monitoring secara langsung yang bertujuan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan. Fungsi monitoring tersebut dapat dilakukan oleh keempat proksi GCG yang digunakan dalam penelitian ini.

Menurut Alzoubi dan Selamat (2012), pemegang saham bergantung pada kemampuan dewan komisaris dan komite audit untuk memantau kinerja manajemen. Oleh karena itu, tanggung jawab kualitas pelaporan keuangan terletak pada efektivitas peran dewan dan komite auditnya. Adanya kepemilikan manajerial dapat berperan sebagai pihak yang dapat menyatukan kepentingan antara manajer dan pemegang saham, sehingga dapat menekan terjadinya praktik manajemen laba. Selanjutnya, kepemilikan saham oleh investor institusional dapat meningkatkan fungsi monitoring terhadap kinerja manajer sehingga mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan yang akan dapat mengurangi perilaku oportunistik manajer (Cornet et al., 2009). Adanya dewan komisaris independen akan membantu pengawasan terhadap dewan direksi menjadi lebih baik. Dalam menjalankan tugasnya anggota dewan komisaris harus bersikap independen. Oleh sebab itu, dalam keanggotaan dewan komisaris harus terdapat anggota dari luar perusahaan yang independen (Farida, 2012). Jika independensi dewan komisaris lemah, maka ada kecenderungan


(23)

10

terjadinya moral hazard oleh para direktur perusahaan untuk memenuhi

kepentingannya. Penelitian Kouki et al. (2011), Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013) menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka (2007) menunjukkan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Akan tetapi, hasil penelitian Yu (2006), Murhadi (2009), Oktovianti dan Agustia (2012) menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Peran komite audit seringkali dihubungkan dengan kualitas pelaporan keuangan karena dapat membantu dewan komisaris dalam mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al. (2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu, penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang meningkatkan laba. Namun, hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian Alkdai dan Hanefah (2012) yang menyatakan bahwa besar kecilnya ukuran komite audit terbukti tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.


(24)

11

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual diskresioner perusahaan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003). Namun, hasil penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian Boediono (2005) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan hasil penelitian Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) memberikan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri (Cornett et al., 2009). Hasil penelitian Widyastuti (2009) dan Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual, sehingga kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik manajemen. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian oleh Yang et al.


(25)

12

(2009), Ujiyantho dan Pramuka (2007), Guna dan Herawaty (2010), serta Oktovianti dan Agustia (2012) yang menghasilkan kesimpulan bahwa variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba karena investor institusional sebagai pemilik sementara perusahaan lebih terfokus pada current earnings.

Adanya perbedaan hasil penelitian sebelumnya, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh arus kas bebas, capital adequacy ratio dan good corporate governance pada manajemen laba. Seperti yang diketahui bahwa tindakan manajemen laba merupakan tindakan yang berada di daerah abu-abu (grey area), yaitu antara aktivitas yang diijinkan oleh prinsip akuntansi dan aktivitas yang merupakan kecurangan. Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui faktor-faktor dan motivasi apa saja yang memengaruhi tindakan manajemen laba. Di Indonesia masalah arus kas bebas belum banyak mendapat perhatian karena perusahaan-perusahaan tidak mengumumkan arus kas bebas secara eksplisit. Berbeda dengan di Amerika Serikat, arus kas bebas cukup mendapat perhatian karena terdapat badan independen seperti Value Line Investment Survey yang mengumumkan secara berkala arus kas bebas yang dimiliki perusahaan (Uyara dan Tuasikal, 2003). Perusahaan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah perusahaan sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode pengamatan tahun 2010-2014. Alasan penelitian dilakukan pada perusahaan perbankan, pertama, perusahaan perbankan seringkali dikeluarkan dari penelitian yang dilakukan selama ini karena struktur modal yang berbeda dengan badan usaha pada umumnya. Kedua, karena industri perbankan merupakan industri yang melibatkan


(26)

13

penghimpunan dan pengelolaan dana masyarakat, dimana usahanya sangat mengandalkan kepercayaan masyarakat, sehingga perusahaan akan selalu berusaha menunjukkan kinerja yang baik. Selain itu, perusahaan perbankan juga lebih rentan terhadap risiko seperti kredit macet, sehingga perusahaan ini memiliki regulasi yang lebih ketat dibandingkan jenis perusahaan lainnya, salah satunya adalah aturan BI tentang ketentuan minimun CAR yang harus dipenuhi untuk menunjukan tingkat kesehatan bank. Hal ini akan menjadi tekanan bagi pihak manajemen, dan mendorong tindakan manajemen laba agar perusahaan dapat menjaga kepercayaan masyarakat dan memehuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI sehingga tidak mengancam kelangsungan usahanya.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Apakah arus kas bebas berpengaruh pada manajemen laba?

2) Apakah capital adequacy ratio berpengaruh pada manajemen laba?

3) Apakah dewan komisaris independen berpengaruh pada manajemen laba?

4) Apakah komite audit berpengaruh pada manajemen laba?

5) Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh pada manajemen laba?

6) Apakah kepemilikan institusional berpengaruh pada manajemen laba?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


(27)

14

1) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh arus kas bebas pada manajemen laba.

2) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh capital adequacy ratio pada manajemen laba.

3) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh dewan komisaris independen pada

manajemen laba.

4) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh komite audit pada manajemen laba.

5) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh kepemilikan manajerial pada

manajemen laba.

6) Untuk memeroleh bukti empiris pengaruh kepemilikan institusional pada manajemen laba.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut.

1) Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta menambah referensi bagi penelitian sejenis maupun civitas akademika lainnya dalam rangka memperluas wawasan yang dimiliki. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian dan pengembangan selanjutnya.

2) Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh arus kas


(28)

15

manajemen laba sehingga dapat menjadi acuan dalam peningkatan kewaspadaan terhadap praktik manajemen laba serta sebagai bahan pertimbangan bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi pada suatu perusahaan.

1.5 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dijabarkan dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab II Kajian Pustaka dan Hipotesis

Dalam bab ini dijelaskan landasan teori dan konsep yang mendasari penelitian serta hipotesis penelitian. Adapun teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori keagenan (agency theory) sebagai grand theory, manajemen laba, arus kas bebas, capital adequacy ratio (CAR), good corporate governance (GCG), dewan komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerian dan kepemilikan institusional.


(29)

16

Bab III Metode Penelitian

Dalam bab ini digambarkan desain penelitian serta dijelaskan mengenai lokasi dan ruang lingkup wilayah penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan dalam menguji hipotesis penelitian.

Bab IV Data dan Pembahasan Hasil Penelitian

Bab ini merupakan isi pokok dari keseluruhan penelitian, dimana didalamnya akan dijelaskan mengenai gambaran umum daerah atau wilayah penelitian, deskripsi dan hasil dari pengolahan data serta interpretasi atau pembahasan dari hasil penelitian.

Bab V Simpulan dan Saran

Dalam bab terakhir ini dijelaskan mengenai simpulan dari penelitian secara keseluruhan dan memberikan saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan baik mengenai tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah yang dibahas dalam penelitian maupun saran untuk pengembangan dan penyempurnaan penelitian-penelitian selanjutnya.


(30)

17 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan adalah hubungan kontraktual antara pemegang saham sebagai prinsipal yang memberi wewenang dan manajer sebagai agen yang menjalankan wewenang tersebut. Hubungan keagenan muncul ketika seorang individu atau lebih sebagai pemegang saham atau prinsipal mempekerjakan pihak lain, yaitu manajer (agen) untuk melaksanakan pekerjaan dan mendelegasikan wewenang pembuatan keputusan. Hak dan tanggung jawab prinsipal dan agen ditentukan dalam kontrak hubungan pekerjaan.

Pemisahan dua fungsi antara kepemilikan dan pengelolaan pada perusahaan seringkali mengakibatkan terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan antara prinsipal dan manajer. Masalah keagenan akan muncul ketika perilaku kerjasama yang bertujuan memaksimalkan kesejahteraan kelompok tidak konsisten dengan masing-masing keinginan individu. Hal ini didasarkan atas asumsi tentang sifat dasar manusia yang mendahulukan kepentingannya sendiri (self interest) untuk memaksimalkan utilitas. Pemegang saham dan manajer memiliki kepentingan yang berbeda dan masing-masing menginginkan kepentingan mereka terpenuhi. Utama (2002) dalam Piramita (2012) menyatakan bahwa kepentingan prinsipal adalah memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan yang nantinya dapat digunakan untuk


(31)

18

pembagian dividen. Namun, tujuan manajer adalah berfokus pada pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan akan membuktikan produktifitas manajer sehingga akan memeroleh penghargaan dan wewenang untuk menentukan pengeluaran serta memberikan keamanan pekerjaan dan kompensasi yang besar untuknya. Berdasarkan wewenangnya dalam perusahaan, manajer akan memiliki kesempatan menggunakan sumber daya perusahaan untuk meningkatkan keuntungan pribadi. Masalah keagenan tersebut dapat terjadi karena adanya asimetri informasi, yaitu informasi yang tidak seimbang akibat distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan manajer (Scott, 1997 dalam Piramita 2012). Prinsipal pastinya akan selalu membutuhkan informasi tentang prospek perusahaan, dan informasi tersebut diperoleh dari laporan yang dibuat oleh manajer, karena prinsipal tidak dapat mengawasi kegiatan di dalam perusahaan secara langsung. Prisipal seharusnya memeroleh informasi yang dibutuhkan untuk mengukur keberhasilan manajemen, namun akibat adanya asimetri informasi membuat manajer tidak menyajikan informasi yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan prinsipal tidak dapat mengukur kinerja manajer yang sesungguhnya dalam mengelola harta kekayaan mereka.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat dua jenis permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya asimetri informasi, yaitu:

1) adverse selection, adalah keadaan dimana prinsipal (pemegang saham) tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer sebagai agen benar-benar didasarkan atas informasi yang diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.


(32)

19

2) moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis.

Manajer dan prinsipal akan berusaha untuk memaksimalkan ulititasnya masing-masing melalui informasi yang dimiliki. Tetapi, manajer sebagai agen lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan dibandingkan dengan prinsipal, sehingga mengakibatkan agen akan memanfaatkan adanya asimetri informasi untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen. Hal ini memicu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya dengan melakukan tindakan manajemen laba (Richardson, 1998).

2.1.2 Manajemen Laba

Scott (2011:423) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu keputusan dari manajer untuk memilih kebijakan akuntansi tertentu yang dianggap bisa mencapai tujuan yang diinginkan, baik itu untuk meningkatkan laba atau mengurangi tingkat kerugian yang dilaporkan. Pemahaman atas manajemen laba dibagi menjadi dua, yaitu (1) perspektif perilaku oportunis manajer (opportunistic earnings management) karena manajer selalu berusaha memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya politik dan (2) perspektif efficient contracting (effecient earnings management)


(33)

20

karena manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian manajer dapat memengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba (Scott, 2011:369).

Menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba (earnings management)

dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab komponen akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan pihak yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan.

Akrual terdiri dari dua macam, yaitu nondiscretionary accrual dan discretionary accrual. Scott (2000) dalam Tresnaningsih (2008) menyatakan nondiscretionary accrual adalah nilai akrual yang diperoleh secara alamiah oleh perusahaan akibat penggunaan metode akuntansi tanpa campur tangan dari manajer. Selanjutnya, discretionary accrual adalah nilai akrual yang dipengaruhi oleh komponen-komponen akrual yang diatur oleh kebijakan manajer, contohnya seperti mengubah metode depresiasi, mengakui pendapatan yang belum diterima, mengubah umur piutang, mengubah nilai cadangan pitang tak tertagih, mengubah jumlah persediaan yang dihapus, mengubah nilai aktiva serta umur aktiva untuk memperkecil beban depresiasi dan lain sebagainya. Akrual diskresioner sering


(34)

21

digunakan sebagai ukuran atau proksi dari manajemen laba yang bersifat oportunis karena dipengaruhi oleh kebijakan manajemen.

Ada beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba (Sulistyanto, 2008), diantaranya sebagai berikut.

a) Motivasi Bonus

Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa manajer perusahaan cenderung untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan manajemen laba untuk kepentingan bonusnya. Laba sering dijadikan sebagai indiktor penilaian kinerja manajer. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metode-metode akuntansi untuk meningkatkan laba (income maximization) yang dilaporkan pada periode berjalan sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan.

b) Motivasi Kontraktual Lainnya

Hipotesis debt/equity menjelaskan suatu perusahaan dengan rasio debt/equity besar akan cenderung memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian-perjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan. c) Motivasi Politik

Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat menggurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini dilakukan untuk memeroleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.


(35)

22

d) Motivasi Pajak

Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation. Semakin tinggi laba yang dihasilkan maka semakin besar pajak yang dikenakan, sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi pajak tersebut. Dalam hal ini manajemen laba dapat dilakukan dengan menarik biaya pada periode yang akan datang menjadi biaya pada periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang.

e) Pergantian CEO

Motivasi manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan srategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya.

f) Motivasi Pasar Modal

Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu, kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk mengatur laba dengan cara memengaruhi performa harga saham jangka pendek.

Menurut Scott (2011:383) terdapat empat pola manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajer.

1) Taking a Bath

Pola ini dilakukan dalam periode di mana terjadi organizational stress atau reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang.


(36)

23 2) Income Minimazation

Pola ini biasanya dilakukan pada saat perusahaan memeroleh laba yang tinggi dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan munculnya biaya politis. Aktivitas manajemen laba dilakukan dengan menjadikan laba periode berjalan lebih rendah dari laba sesungguhnya. Jika laba periode mendatang diperkirakan turun drastis maka dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.

3) Income Maximization

Pola ini dilakukan pada saat terjadi penurunan laba dengan cara melaporkan laba berjalan lebih tinggi dari laba sesungguhnya. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan serta untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang.

4) Income Smoothing

Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.3 Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)

Arus kas bebas adalah kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif (Jensen, 1986). Kieso (2007:219) mendefinisikan arus kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau


(37)

24

hanya untuk menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. (2000) menyatakan bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas yang dimiliki perusahaan setelah perusahaan membiayai semua investasi dan modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha. Perusahaan dengan arus kas bebas tinggi akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya karena mereka dapat memeroleh keuntungan atas berbagai kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh perusahaan lain. Selain itu, dengan aliran kas bebas tinggi perusahaan diduga lebih survive dalam situasi yang buruk, sedangkan aliran kas bebas negatif berarti sumber dana internal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi perusahaan, sehingga memerlukan tambahan dana eksternal baik dalam bentuk hutang maupun penerbitan saham baru (Rosdini, 2009).

Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi.

Hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) berdasarkan pada adanya argumen konflik kepentingan antara manajer dan prinsipal berkaitan dengan penggunaan arus kas bebas perusahaan. Konflik kepentingan antara prinsipal dengan manajer dapat timbul jika manajer bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memerhatikan kepentingan


(38)

25

pemegang saham. Manajer cenderung mempunyai keinginan menahan sumber

daya (termasuk aliran kas bebas) agar mereka tetap memiliki kendali terhadap penggunaan sumber daya tersebut. Di lain pihak, pemegang saham ingin agar dana yang tersedia dibagikan dalam bentuk dividen. Manajer beranggapan bahwa pembagian dividen akan mengurangi sumber daya yang ada di bawah kekuasaannya, hal ini berarti bahwa kekuatan manajer akan berkurang.

Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan NPV negatif (Jensen, 1986). Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan penambahan modal dari luar perusahaan (Rosdini, 2009).

Pemegang saham menganggap bahwa investasi pada proyek-proyek dengan NPV negatif merupakan suatu bentuk inefisiensi sekaligus merupakan penundaan kesejahteraan mereka. Sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan mempunyai arus arus kas bebas, manajer perusahaan akan mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk dividen. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan para pemegang saham (Zurohtun, 2013).


(39)

26

CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121). CAR menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan mengontrol risiko-risiko yang timbul dan dapat berpengaruh terhadap besarnya modal. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013, bank dinyatakan sehat jika memiliki CAR minimum sebesar 8 persen.

Kondisi permodalan (yang diukur dengan capital ratio) adalah berkaitan dengan penyediaan modal sendiri yang diperlukan untuk menutupi risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva produktif yang mengandung risiko (Hapsari, 2010). Modal berfungsi untuk membiayai operasi, sebagai instrumen untuk mengantisipasi risiko dan sebagai alat untuk ekspansi usaha. CAR juga menjadi modal dasar yang harus dipenuhi oleh bank. Modal ini digunakan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank (Nurhafita, 2010).

Dalam formula CAR dibandingkan antara modal dengan semua jenis aktiva yang dianggap mengandung risiko atau yang sering disebut aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). CAR menunjukkan sejauh mana penurunan aset bank masih dapat ditutup oleh ekuitas bank yang tersedia, semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah bank. Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi rasio kecukupan modal bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan


(40)

27

minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). Rasio CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai rasio CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode saat ini sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat.

2.1.5 Good Corporate Governance

Good corporate governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI, 2006). GCG adalah struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya.

Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006) menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip pokok GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Prinsip-prinsip pokok tersebut sebagai berikut.

1) Keterbukaan (transparancy)

Untuk menjaga objektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses serta dapat dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang


(41)

28

diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2) Akuntabilitas (accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.

3) Pertanggungjawaban (responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4) Kewajaran (fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa

memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

5) Independensi (independency)

Untuk melancarkan pelaksaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Sistem corporate governance dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme internal governance dan mekanisme external governance (Jensen dan Meckling,


(42)

29

1976). Mekanisme internal governance meliputi struktur dewan direksi,

kepemilikan manajerial dan kompensasi eksekutif. Sedangkan mekanisme external governance terdiri dari kepemilikan institusional, pasar untuk kontrol perusahaan dan tingkat pendanaan dengan hutang.

2.1.6 Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (POJK, 2014). Berdasarkan teori keagenan, dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian internal tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Ukuran dewan komisaris diyakini sebagai aspek dasar dari pengambilan keputusan yang efektif (Anindyah, 2013).

Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam mendorong diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola yang baik pada perusahaan. Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk

melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan yang good


(43)

30

Menurut FCGI (2006), dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris merupakan inti dari corporte governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, dewan komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelolaan perusahaan. Lebih lanjut tugas-tugas utama dewan komisaris dalam FCGI sebagai berikut.

1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.

2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan

penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil.

3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat

manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.

4) Memonitor pelaksaan corporate governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu.

5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan.


(44)

31

Komite audit adalah komite yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris untuk membantu dewan komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor independen (POJK, 2014). Komite audit merupakan pihak yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dan pengendalian untuk menciptakan keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Keempat faktor inilah yang membuat laporan keuangan menjadi lebih berkualitas (Sulistyanto, 2008:156).

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (2014) komite audit bertugas membantu dewan komisaris dalam:

1) memastikan pengendalian internal dilaksanakan dengan baik;

2) memastikan pelaksanaan audit internal maupun audit independen

dilaksanakan sesuai dengan standar auditing yang berlaku;

3) memastikan pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas hasil temuan satuan kerja internal, auditor independen, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan;

4) memberikan rekomendasi penunjukkan calon auditor independen;

5) memastikan kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku.

Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen dan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang diaudit. Dalam kapasitas ini, komite audit bertindak sebagai perantara antara manajemen


(45)

32

dan auditor eksternal (Mashayekhi dan Noravesh, 2007). Peran komite audit sangat penting karena memengaruhi kualitas laporan keuangan perusahaan yang merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat digunakan investor untuk menilai perusahaan.

Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen laba yang dapat dilakukan berkaitan dengan adanya arus kas bebas. Keberadaan komite audit bermanfaat dalam menjamin transparansi, keterbukaan laporan

keuangan, keadilan bagi stakeholder, dan pengungkapan informasi yang

dilakukan oleh manajemen.

2.1.8 Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial adalah jumlah dari saham yang dimiliki oleh manajer perusahaan (insider board) baik itu dewan direksi maupun komisaris dalam suatu perusahaan diluar saham yang dimiliki oleh para prinsipal, masyarakat dan institusional (Warfield, 1995 dalam Anggana dan Prastiwi, 2013). Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan memengaruhi manajemen laba, karena kepemilikan seorang manajer akan ikut


(46)

33

menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005).

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham, sehingga dapat mengatasi konflik kepentingan diantara keduanya dan kinerja perusahaan juga akan semakin bagus (Jensen, 1986).

Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajemen akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak manajemen.

2.1.9 Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah bagian dari saham perusahaaan yang dimiliki oleh investor institusi, seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan perusahaan lainnya yang terkait dengan kategori tersebut (Yang et al., 2009). Mayoritas bentuk institusi adalah Perseroan Terbatas (PT). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen


(47)

34

melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005).

Pemegang saham institusi dengan kepemilikan saham yang besar akan intensif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan (Barnea dan Rubin, 2005). Semakin besar kepemilikan institusi maka semakin besar pula kekuatan suara (votting) dan dorongan untuk memonitor manajemen sehingga akan dapat mengoptimalkan nilai perusahaan.

Cornett et al. (2009) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri. Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009).

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Arus Kas Bebas pada Manajemen Laba

Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan


(48)

35

dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi meskipun investasi tesebut

memberikan NPV negatif (overinvesment). Overinvesment dalam jangka panjang

akan menyebabkan penurunan kinerja atau penurunan laba, sehingga dalam upaya untuk mencegahnya, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif yang ditimbulkan (Chung et al., 2005).

Berbeda dengan hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) dan hasil penelitian Chung et al. (2005), hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta (2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap manajemen laba. Dengan arus kas bebas yang tinggi dan tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah mampu meningkatkan harga sahammnya karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden. Keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan operasi yang sedang berjalan (Wang, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis pertama yaitu:

H1: arus kas bebas berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba

Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi rasio kecukupan modal


(49)

36

bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode saat ini, sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat. Ketika bank tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik maka bank tersebut tidak dipercaya lagi oleh investor dan masyarakat yang menggunakan jasa bank tersebut, dan akhirnya menyebabkan dilikuidasinya bank tersebut.

Nilai CAR yang meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam Arriela, 2013). Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, hasil ini juga didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Berdasarkan Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kedua yaitu:

H2: capital adequacy ratio berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba

Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi


(50)

37

diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Dewan komisaris independen memiliki pengawasan yang lebih baik terhadap manajer sehingga mampu memengaruhi kemungkinan penyimpangan yang dilakukan manajer. Hal ini sesuai dengan pendapat Jensen dan Meckling (1976) yang menyebutkan teori agensi mendukung pernyataan bahwa untuk meningkatkan independensi dewan, maka dewan harus didominasi oleh pihak yang berasal dari luar perusahaan (outsider).

Peran dewan komisaris independen diharapkan dapat memengaruhi pihak manajemen dalam penyusunan laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Penelitian Kouki et al. (2011), Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013) menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan pada manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis ketiga yaitu: H3: dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba

Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat


(51)

38

meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen laba.

Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al. (2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu, penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang meningkatkan laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keempat yaitu:

H4: komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat


(52)

39

menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak manajemen.

Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual diskresioner perusahaan, hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kelima yaitu:

H5: kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba

Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri (Cornett et al., 2009). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005).

Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009). Hasil penelitian Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional


(53)

40

berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual sehingga

kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik manajemen. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keenam yaitu:


(1)

35

dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi meskipun investasi tesebut memberikan NPV negatif (overinvesment). Overinvesment dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan kinerja atau penurunan laba, sehingga dalam upaya untuk mencegahnya, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif yang ditimbulkan (Chung et al., 2005).

Berbeda dengan hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) dan hasil penelitian Chung et al. (2005), hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta (2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap manajemen laba. Dengan arus kas bebas yang tinggi dan tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah mampu meningkatkan harga sahammnya karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden. Keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan operasi yang sedang berjalan (Wang, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis pertama yaitu:

H1: arus kas bebas berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba

Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang


(2)

36

bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode saat ini, sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat. Ketika bank tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik maka bank tersebut tidak dipercaya lagi oleh investor dan masyarakat yang menggunakan jasa bank tersebut, dan akhirnya menyebabkan dilikuidasinya bank tersebut.

Nilai CAR yang meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam Arriela, 2013). Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, hasil ini juga didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Berdasarkan Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kedua yaitu:

H2: capital adequacy ratio berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba

Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi


(3)

37

diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Dewan komisaris independen memiliki pengawasan yang lebih baik terhadap manajer sehingga mampu memengaruhi kemungkinan penyimpangan yang dilakukan manajer. Hal ini sesuai dengan pendapat Jensen dan Meckling (1976) yang menyebutkan teori agensi mendukung pernyataan bahwa untuk meningkatkan independensi dewan, maka dewan harus didominasi oleh pihak yang berasal dari luar perusahaan (outsider).

Peran dewan komisaris independen diharapkan dapat memengaruhi pihak manajemen dalam penyusunan laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Penelitian Kouki et al. (2011), Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013) menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan pada manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis ketiga yaitu: H3: dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba

Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena

komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat


(4)

38

meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen laba.

Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al. (2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu, penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang meningkatkan laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keempat yaitu:

H4: komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat


(5)

39

menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak manajemen.

Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual diskresioner perusahaan, hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kelima yaitu:

H5: kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba

Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri (Cornett et al., 2009). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005).

Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009). Hasil penelitian Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional


(6)

40

berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual sehingga kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik manajemen. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis keenam yaitu: