Penangkaran amfibi secara exsitu

f. Independent : terjadi pada beberapa jenis Dendrobatidae, yaitu saat kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan.

2.3.4 Perilaku meletakkan telur

Penggunaan tempat untuk bertelur amfibi sangat beragam menurut Goin et al. 1978. Beberapa telur katak ditempatkan di lokasi yang dekat dengan air sehingga ketika telur menetas berudu akan mudah mencapai air. Kebanyakan katak meletakkan telurnya di air yang bersih Stebbins Cohen 1995. Lokasi peletakan telur merupakan penentu keberhasilan dalam proses metamorfosa, selain aman dari serangan predator, air yang bersih serta kandungan mineral yang sesuai merupakan kebutuhan dalam proses metamorfosa. Telur berada di pinggir kolam dan berudu hidup di bagian kolam yang tenang, dan dapat ditemukan di antara akar tanaman yang berada di dalam air. Berudu berbentuk ramping dan gelap dengan tanda-tanda kehitam-hitaman di ekornya Inger Stuebing 1997.

2.4 Penangkaran

Penangkaran bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan mempertahankan kemurnian jenis sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam tetap terjaga. Masy‟ud 2001 menyatakan bahwa penangkaran dibagi menjadi dua berdasarkan tujuannya, yaitu penangkaran konservasi dan budidaya. Penangkaran untuk tujuan konservasi adalah penangkaran yang dilakukan untuk menunjang usaha-usaha pelestarian jenis-jenis satwa serta plasma nutfahnya, scdangkan penangkaran untuk tujuan budaya adalah penangkaran yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

2.4.1 Penangkaran amfibi secara exsitu

Bentuk dan sistem penangkaran yang akan menjadi obyek penelitian ini adalah penangkaran exsitu dengan sistem penangkaran intensif. Penangkaran exsitu merupakan penangkaran yang dikembangkan di luar habitat alarninya atau di lingkungan sekitar manusia Masyud 2001. Sistem penangkaran intensif ditentukan dengan campur tangan manusia dalam pengelolaan suatu usaha penangkaran. Sistem penangkaran intensif memiliki ciri-ciri yaitu adanya kandang khusus, kebutuhan makanan satwa diberikan dan disediakan secara penuh oleh penangkar, perkawinan satwa dengan cara kawin alami maupun kawin serta perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit secara teratur dan kontinu. Penangkaran amfibi secara exsitu di Indonesia jarang dilakukan, salah satu contoh katak yang dipelihara secara exsitu yaitu spesimen Rhacophorus margaritifer yang telah dilakukan oleh Aritonang 2010 dengan menggunakan metode translokasi berudu dan katak pada habitat buatan. Berudu dan katak ini diambil dari beberapa habitat alaminya kemudian dipindahkan pada beberapa habitat buatan yang telah dikondisikan sesuai habitat asli katak tersebut. Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap perilaku, pertumbuhan, dan perkembangan berudu dan katak. Kusrini et al. 2008 dalam penelitiannya terhadap ekologi bertelur Philautus vittiger, membawa sekelompok sarang telur ke laboratorium untuk diamati perubahannya dari fase telur sampai menjadi berudu. Telur ini diletakkan pada kotak plastik yang berisi air, ranting-ranting, dan dedaunan yang berasal dari tempat ditemukannya telur habitat alami. Kondisi habitatnya disesuaikan dengan habitat aslinya misalnya dengan pemberian lumpur, sampah dedaunan dan tumbuhan air Hydrila spp.. Spesimen untuk keperluan penangkaran dapat diambil dari habitat alaminya atau sumber sumber lain yang sah, seperti penangkaran lain atau lembaga konservasi. Spesimen yang diperoleh dari habitat alaminya harus melalui proses adaptasi dan aklimatisasi terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan dalam suatu penangkaran. Hal ini dilakukan untuk membiasakan satwa terhadap lingkungan yang baru dan juga untuk mencegah masuknya penyakit dari luar melalui satwa tersebut. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penangkaran amfibi menurut Pramuk dan Gagliardo 2012, yaitu : a. Kandang atau Terarium Kandang atau terarium merupakan tempat hidup satwa yang mempunyai ukuran tertentu dengan batas berupa pagar atau dinding dan atau atap, baik tertutup semua atau sebagian Masyud 2001. Kandang harus dibuat senyaman mungkin bagi satwa sesuai dengan ukuran tubuh, umur, dan juga perilaku amfibi, sehingga satwa dapat tetap melakukan aktivitasnya. Kandang berbentuk seperti akuarium tertutup yang terbuat dari bahan kaca atau plastik, dibuat sesuai dengan habitat aslinya yang dilengkapi dengan tempat air, vegetasi, tempat bersembunyi katak serta substrat seperti batu, serasah, ataupun kayu. Komponen yang diperlukan tergantung dari habitat alami dan kebiasaan di alam jenis amfibinya. Kandang juga harus mempunyai fungsi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan tingkah laku dari satwa, menjaga pakan, menjaga satwa agar tidak kabur, memudahkan dalam pemantauan dalam Pramuk Gagliardo 2012. b. Air Kualitas dan kuantitas air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan amfibi. Suhu, pH, amonia, nitrat, nitrit, alkalinity, dan hardness yang terkandung dalam air harus sesuai dengan habitat aslinya dan selalu diperhatikan secara berkala agar tidak berbahaya bagi amfibi. Kualitas dan kuantitas air sangat berpengaruh dalam kehidupan amfibi, karena amfibi merupakan satwa yang selalu hidup berdekatan dengan air sehingga sangat peka dengan perubahan kualitas dan kuantitas air. c. Kondisi Lingkungan Suhu udara dan air, cahaya dan kelembaban merupakan parameter lingkungan yang dibutuhkan amfibi agar dapat bertahan hidup. Parameter lingkungan yang sesuai dengan habitat amfibi akan berdampak positif bagi keberlangsungan hidup amfibi itu sendiri. d. Pakan Amfibi memperoleh nutrisi untuk tubuhnya dari pakan alaminya. Persaingan dalam memperoleh pakan yang bernutrisi tinggi dapat menyebabkan kekurangan gizi pada amfibi apabila ketersediaan pakan di alam tidak mencukupi. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih pakan untuk satwa adalah pakan harus mengandung kalsium yang cukup, lemak, vitamin dan ukuran pakan serta frekuensi pemberian makanan yang sesuai dengan kebiasaan satwa di alam. e. Kesehatan Spesimen yang diperoleh dari habitat alaminya harus melalui proses adaptasi dan aklimitasi terlebih dahulu sebelum ditangkarkan agar satwa dapat membiasakan diri terhadap lingkungan yang baru serta mencegah masuknya penyakit dari luar melalui satwa tersebut Honegger 1975. Satwa yang dipindahkan dari alam ke habitat buatan perlu dikarantina terlebih dahulu minimal 30 hari agar satwa tidak tertekan akibat proses pemindahan tersebut. Proses pemindahan ini menyebabkan kebanyakan satwa mengalami stres, dehidrasi, kepanasan, kelaparan, atau trauma fisik pada kulit atau organ internalnya. Perlu dilakukannya juga sterilisasi pada satwa agar bakteri atau virus berbahaya yang dibawa oleh satwa tidak berkembangbiak dan tertular ke satwa lain.

2.4.2 Adaptasi