Teknik penangkaran buaya muara (Crocodylus porosus) di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat

(1)

INDONESIA JAYA, SERANG, BEKASI, JAWA BARAT

RADEN YULI NURYANTI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

RADEN YULI NURYANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(3)

porosus) di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD.

Taman Buaya Indonesia Jaya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Bekasi, Jawa Barat. Penangkaran ini tidak hanya menangkarkan

jenis buaya yang bernilai komersial yaitu buaya muara (Crocodylus porosus)

untuk diambil kulit dan dagingnya, tetapi juga menangkarkan jenis buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelli) yang secara nasional dan internasional keberadaannya terancam bahaya kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik penangkaran dan mengidentifikasi ukuran keberhasilan penangkaran buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya.

Penelitian dilakukan di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya pada bulan Februari - Oktober 2012. Alat yang digunakan antara lain kamera digital, alat tulis, tallysheet, panduan wawancara, termometer dry and wet serta buaya muara dan pengelola penangkaran sebagai objek penelitian. Teknik penangkaran dianalisis secara deskriptif, ukuran keberhasilan penangkaran dianalisis secara kuantitatif.

Teknik penangkaran buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu perkandangan, pakan, penyakit dan perawatan kesehatan, reproduksi, serta pemanfaatan hasil. Teknik penangkaran termasuk kategori pengelolaan intensif. Kegiatan penangkaran buaya muara di Taman

Buaya Indonesia Jaya dapat dikategorikan berhasil, dengan tingkat

perkembangbiakan induk buaya muara bernilai sedang (50,32%), daya tetas telur sedang (42,32%) dan angka kematian rendah (27,35%). Keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penangkaran.


(4)

porosus in Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. Under Supervision of BURHANUDDIN MASY’UD.

Taman Buaya Indonesia Jaya is one of the captive crocodiles in Bekasi, Jawa Barat. This captivity is not only breed commercial crocodiles such as estuarine crocodiles (Crocodylus porosus) for their skin and meat, but also breed

siamese crocodiles (Crocodylus siamensis) and false gharial (Tomistoma

schlegelli). Those two species are endangered extinct national and internationally.

This research was aimed to study captive breeding techniques and identify measures of success Crocodylus porosus in Taman Buaya Indonesia Jaya.

The research was conducted in Taman Buaya Indonesia Jaya on February until October 2012. Instrument used include digital camera, stationery, tally sheet, meter, litmus, interview guide, dry and wet thermometer and object of the

research was Crocodylus porosus and manager from Taman Buaya Indonesia

Jaya. The data of captive breeding techniques was analyzed descriptive, measures

of success Crocodylus porosus from Taman Buaya Indonesia Jaya were

quantitative analysis.

Captive breeding techniques of Crocodylus porosus in Taman Buaya

Indonesia Jaya consists of five main activities such as caging, feeding, diseases and keeping healthy, reproduction and production usage. Techniques on captive breeding include in intensive management category. Activity of captive breeding from Taman Buaya Indonesia Jaya can be categorized success were reproduction rate (50,32%), moderate egg hatching rate (42,32%) and low mortality (27,35%). An aspect social economics of society around captivity is influence by their participation on management activity.


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik

Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) di Penangkaran Taman Buaya

Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skrpsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Raden Yuli Nuryanti E34089002


(6)

Bekasi, Jawa Barat.

Nama : Raden Yuli Nuryanti

NIM : E34089002

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS. NIP. 195811211986031003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis diberi kelancaran dalam menyelesaikan Karya Ilmiah ini. Karya Ilmiah dengan judul “Teknik Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat” dengan pembimbing Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS. Ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema ini dipilih karena dalam melakukan kegiatan penangkaran buaya muara (Crocodylus porosus) diperlukan pengetahuan mengenai cara penangkaran yang tepat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak pengelola dala kegiatan penangkaran.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangannya. Kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan.

Bogor, Maret 2013


(8)

ii tanggal 17 Juli 1989 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan R.H.M Sudirman BE dan Wasitoh. Penulis menempuh jalur pendidikan dari SDN Citeureup 03 lulus tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP di SLTP Puspanegara Yayasan Indocement Tunggal Prakarsa tahun 2005. Penulis juga menempuh jalur SMA di SMA Negeri 03 Bogor tahun 2005-2008. Tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi dan tahun 2010 pindah ke Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi HIPOTESA dan IMEPI Jabagbar tahun 2009-2010 dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan tercatat sebagai anggota Fotografi Konservasi (FOKA) tahun 2010-2011. Penulis pernah menjabat sebagai bendahara biro kekeluargaan HIMAKOVA tahun 2010 hingga 2011. Tahun 2011 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan di Cagar Alam Pangandaran dan Gunung Syawal, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2012 dan tahun 2012 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Cikananga di Desa Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat.

Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Teknik Penangkaran Buaya

Muara (Crocodylus porosus) Di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya,

Serang, Bekasi, Jawa Barat” untuk memperoleh gelar sarjana, dibimbing oleh bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud MS.


(9)

memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tuaku tercinta, Bapak R.H.M Sudirman B.E dan Ibu Wasitoh atas doa,

kasih sayang, dukungan moril, serta motivasi untuk penulis, kakak-kakakku dan keponakan tersayang, Raden Herry Cong Sudirman dan Sulasmi serta Raden Nadine Ayudya Sawitri yang telah memberikan semangat, serta keluarga besar penulis atas semua doa untuk penulis.

2. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku dosen pembimbing atas kesabaran

dan telah memberikan motivasi, nasehat serta bimbingannya.

3. Dr. Ir. Supriyanto yang telah bersedia menjadi dosen penguji untuk ujian

komprehensif dan terima kasih atas semua masukan dan koreksi.

4. Dr. Ir. Tutut Sunarminto yang telah bersedia menjadi ketua sidang untuk ujian komprehensif dan terima kasih atas semua masukan dan koreksi.

5. Resti Meilani S.Hut, M.Si yang telah menjadi moderator saat seminar skripsi.

6. Lukman Arifin, Arsyad, Supriyadi, Jeffry atas dukungan yang diberikan

kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, serta seluruh pihak pengelola Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya yang telah membantu, membimbing, dan memberikan informasi yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi.

7. Herman selaku laboran di Laboratorium Konservasi Ex-Situ atas bantuan

informasinya.

8. Ridwan Sulaeman yang selama ini telah membantu dalam memberikan do’a,

cinta, kasih sayang, perhatian, pengertian dan nasehat.

9. Ika Sarita A, Tama, Sihab, Dito, Nida, Nisa, Endah, Dita H, Sinta S, Wahyu I, Joko, Romi, Ivana Grace, Tere, Vani, Ratna , Sahri M, Tri, Perti, Amir, Daus atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.


(10)

moril hingga akhir penyelesaian skripsi ini.

12. Tim Magang Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga-Sukabumi (Amrul

Ilmana, Math Alpy dan Mundi Laksono) terimakasih atas dorongan moril hingga akhir penyelesaian skripsi ini.

13. Keluarga besar Himakova atas pembelajaran berorganisasi.

14. Keluarga besar DKSHE atas bantuannya terutama untuk Ibu Ratna, Ibu Titin, Pak Acu, dan Ibu Evan serta segenap staf tata usaha yang telah banyak membantu persiapan administrasi dari awal penelitian hingga proses ujian komprehensif.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah

membantu dan memberikan andil dalam proses kematangan jiwa penulis serta penyelesaian skripsi.


(11)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Deskripsi Umum Buaya Muara ... 4

2.2 Penangkaran ... 8

2.3 Status Perlindungan Buaya Muara ... 9

2.4 Animal Welfare ... 9

BAB III METODE PENELITIAN ... 11

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 11

3.5 Analisis Data ... 14

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

4.1 Sejarah,Tujuan,Manfaat dan Struktur Organisasi Penangkaran ... 17

4.2 Kondisi Fisik ... 18

4.3 Kondisi Biotik ... 18

4.4 Sarana dan Prasarana ... 18


(12)

5.2 Pengelolaan Pakan ... 31

5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan ... 35

5.4 Pengelolaan Reproduksi ... 39

5.5 Pengelolaan Pemanfaatan Hasil ... 44

5.6 Analisis Dampak Penangkaran terhadap Lingkungan Sekitar ... 54

5.6 Ukuran Keberhasilan Pengelolaan Penangkaran ... 55

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1 Kesimpulan ... 57

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(13)

No. Halaman

1 Jenis dan metode pengumpulan data ... 12

2 Fungsi dan ukuran kandang pertunjukkan ... 21

3 Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya ... 22

4 Fungsi dan ukuran kandang buaya muda ... 23

5 Fungsi dan ukuran kandang pembesaran ... 24

6 Fungsi dan ukuran kandang induk ... 25

7 Perlengkapan kandang buaya muara di dalam setiap jenis kandang ... 27

8 Perkiraan jumlah pemberian pakan ... 34

9 Kandungan gizi pakan buaya muara ... 35

10 Jenis penyakit, gejala dan pengobatan buaya muara ... 36

11 Produk dari bagian tubuh buaya muara ... 46

12 Komposisi daging alligator ... 47

13 Jenis produk yang dijual ... 49

14 Fasilitas Pendukung ... 53


(14)

No. Halaman

1 Buaya muara ... 4

2 Kepala buaya muara lateral dan dorsal ... 5

3 Peta lokasi Bekasi, Jawa Barat ... 11

4 Kandang pertunjukkan ... 21

5 Kandang anakan buaya muara ... 23

6 Kandang pembesaran ... 25

7 Kandang induk ... 26

8 Kandang khusus ... 26

9 Pembersihan kandang oleh Animal Keeper ... 29

10 Grafik suhu dalam kandang ... 30

11 Grafik kelembaban dalam kandang ... 31

12 Jenis pakan buaya muara ... 33

13 Buaya muara terserang jamur kulit ... 36

14 Cacat tubuh ... 37

15 Buaya muara stres ... 38

16 Buaya muara luka-luka ... 38

17 Cara penentuan jenis kelamin melalui kloaka ... 40

18 Peletakan posisi telur ... 42

19 Peletakan keranjang telur ke rak penetasan ... 43

20 Proses penyayatan kulit buaya muara ... 45

21 Tas dan dompet dari kulit buaya muara ... 46

22 Produk dari daging buaya muara, ular dan biawak ... 48

23 Bagian lain dari buaya muara ... 48

24 Restoran buaya muara ... 49

25 Atraksi wisata ”Joko Tingkir” ... 50

26 Atraksi debus dan ular ... 51


(15)

No. Halaman

1 Suhu kandang penangkaran bulan Februari 2012 ... 64

2 Grafik kelembaban kandang bulan Februari 2012 ... 64

3 Produksi telur buaya muara tahun 2010. ... 64

4 Produksi telur buaya muara tahun 2011 ... 64

5 Kematian anakan buaya muara. ... 65

6 Jumlah induk betina buaya muara. ... 65


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa yang memiliki 1585 jenis burung atau 17% dari burung dunia, 700 jenis mamalia atau 12% dari mamalia dunia, 511 jenis reptilian dan 270 jenis amfibia atau 16% dari amfibia dunia (Primack 2010). Saat ini keanekaragaman jenis satwaliar di Indonesia dalam keadaan terancam punah karena banyak populasi yang menurun dari tahun ke tahun. Penyebab terancamnya satwaliar adalah penurunan habitat alami (Ehrlich dan Sodhi 2010). Selain penurunan habitat, pemanfaatan satwaliar secara berlebihan juga menjadi penyebab punahnya satwaliar (Cadman 2007). Manusia berburu satwaliar untuk dimakan dagingnya, diambil bagian-bagian tubuhnya untuk obat, dijadikan hewan peliharaan, atau diperjualbelikan sebagai barang komoditas (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Salahsatu dari jenis reptilia yakni buaya muara (C. porosus) merupakan satwa liar yang mempunyai potensi besar yang dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Barang-barang yang dapat dihasilkan dari buaya muara dapat berupa daging, kulit, dan bagian tubuh buaya yang lain seperti lemak, empedu, tangkur, gigi dan juga kuku. Kulit buaya muara dapat digunakan sebagai kerajian tangan seperti tas, ikat pinggang, jaket, sepatu, sandal, dompet, koper. Daging buaya muara dapat digunakan sebagai sumber protein yang tinggi. Bagian kuku dan gigi dari buaya muara dapat dijadikan sebagai asesoris sedangkan bagian empedu, tangkur dan lemaknya dapat dijadikan untuk obat tradisional (Arifin 2008).

Nilai ekonomi tinggi inilah yang menyebabkan permintaan terhadap buaya

muara (C. porosus) terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menimbulkan

rangsangan kepada masyarakat untuk mengeksploitasi buaya muara sebanyak mungkin dari alam. Penangkapan dan perburuan terhadap buaya muara merupakan salah satu penyebab utama kepunahan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan, salah satunya melalui kegiatan penangkaran agar eksploitasi buaya muara dari alam dapat dikurangi sehingga kelestariannya dapat terus terjaga (Sarwono 2010).


(17)

Berkurangnya populasi buaya muara disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, kerusakan habitat yang disebabkan pembalakan liar sehingga habitat alami buaya mengalami degradasi, perburuan secara liar dan lemahnya pengetahuan dari masyarakat setempat mengenai pelestarian lingkungan khususnya pada buaya muara (Ariantiningsih 2008). Upaya menangani hal ini maka diperlukan usaha pelestarian untuk buaya muara yang bertujuan untuk menjaga buaya muara dari kepunahan melalui kegiatan penangkaran.

Seiring dengan membaiknya populasi, status buaya muara di Indonesia dan Australia dalam daftar CITES dari Appendix I ke Appendix II pada tahun 1985. Pemindahan status populasi ke Appendix II diikuti dengan diizinkannya pembukaan kembali industri yang berorientasi pada ekspor buaya muara. Buaya muara sangat sulit bertahan hidup di habitat aslinya karena banyaknya predator di habitatnya dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. sampai umur lima tahun (Lindy dan Carr 2010). Saat ini penangkaran buaya muara banyak diminati karena buaya muara mempunyai nilai komoditi yang berkualitas sangat baik dan merupakan jenis satwa yang mempunyai ukuran besar dibandingkan dengan buaya yang lainnya.

Kegiatan penangkaran dilakukan dengan melalui cara pemeliharaan, perkembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa dan penyelamatan satwa yang bertujuan untuk menambah dan memulihkan populasinya dan menyelamatkan sumberdaya genetik dan populasi jenis satwa. Kondisi penangkaran juga harus disesuaikan dengan habitat aslinya agar satwa dapat beradaptasi dan mencegah satwa stress. Selain itu, penangkaran harus bisa memperhatikan kesejahteraan satwa itu sendiri. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai teknik penangkaran di Taman Buaya Indonesia Jaya. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada pihak pengelola Taman Buaya Indonesia Jaya dalam kegiatan penangkaran, khususnya dalam hal penangkaran buaya muara (C porosus) yang mempunyai banyak keunggulan.


(18)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mempelajari teknik penangkaran buaya muara di Taman Buaya Indonesia

Jaya.

2. Mengidentifikasi ukuran keberhasilan penangkaran buaya muara di

penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai tambahan informasi bagi pengelola penangkaran Taman Buaya

Indonesia Jaya.

2. Bahan masukan bagi pengelola untuk perbaikan kegiatan pengelolaan

penangkaran buaya muara sehingga dapat mengembangkan dan mengoptimalkan potensi buaya muara sesuai dengan prinsip kesejahteraan satwa.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Umum Buaya Muara 2.1.1 Taksonomi dan morfologi

Buaya merupakan jenis reptil yang menurut evolusinya sudah ada sejak dua juta tahun yang lalu. Jenis buaya yang terdapat di dunia sekitar 24 jenis, dan

di Indonesia hanya terdapat 5 jenis yaitu buaya muara (Crocodylus porosus),

buaya air tawar Irian (Crocodylus novaeguineae), buaya supit (Tamistoma

schlegelii), buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya rawa (Crocodylus

palustris) (Iskandar 2009).

Dalam sistem klasifikasi Chiasson (1962) buaya muara diklasifikasikan sebagai berikut :

Kelas : Reptilia

Subkelas : Archosauria

Ordo : Crocodilia

Famili : Crocodilidae

Genus : Crocodylus

Spesies : Crocodylus porosus

Nama ilmiah : Crocodylus porosus Schneider (1801)

Buaya muara memiliki tubuh berwarna abu-abu hijau tua, terutama pada individu dewasa, sedangkan individu muda berwarna lebih abu-abu muda kehijauan dengan bercak-bercak hitam. Pada ekornya terdapat bercak berwarna hitam membentuk belang yang utuh (Iskandar 2009).

Gambar 1 Buaya muara (Sumber : www.afcd.gov.uk, 18 Juli 2012). Berdasarkan morfologinya buaya muara merupakan jenis buaya terbesar di dunia dan dapat mencapai ukuran sepanjang 7-10 meter, meskipun pada umumnya


(20)

dijumpai individu berukuran sekitar 3-5 meter (Rosenzweig 2008). Berikut ini adalah gambar kepala buaya muara dilihat dari penampang lateral dan dorsal (Gambar 2).

(A) (B)

Gambar 2 Kepala buaya muara (A) Lateral dan (B) Dorsal.

Tengkoraknya memiliki lubang pelipis (foramen temporal) atas dan bawah yang jelas dan sama sekali tidak terdapat lubang mata berbentuk buah cemara

(foramen pineal). Lubang hidungnya sebelah dalam bermuara pada bagian paling

belakang langit-langit (palatum), masuk ke dalam tenggorok. Pada bagian depan organ ini terdapat katup kulit yang bisa menutup lubang hidung tersebut dari rongga mulutnya. Dengan demikian hewan ini masih bisa bernapas meskipun mulutnya terbuka dalam air karena lubang hidung bagian luar terletak pada ujung moncong yang menyembul di permukaan air. Pada saat berendam dalam air, matanya terletak pada bagian atas sisi kepalanya, dan telinganya terlindung oleh suatu katup kulit sehingga tidak kemasukan air (REI 2008).

Buaya muara memiliki rahang yang panjang dan dilengkapi gigi berbentuk kerucut. Susunan gigi dan ukuran tidak teratur, pada ukuran normal jumlah gigi Buaya Muara sisi rahang bagian atas berjumlah 17 dan bagian bawah 15. Gigi ke empat, ke delapan dan ke sembilan umumnya jauh lebih besar, empat gigi pertama terpisah dari gigi- gigi di sebelah belakangnya (MEM 2009).

Buaya muara dalam bahasa Inggris dan bahasa perdagangan internasional

mempunyai nama Saltwater Crocodile yang telah dipopulerkan oleh orang

berkebangsaan Australia. Adapun nama daerah buaya ini yakni buaya katak, buaya bekatak dan buaya air asin. Buaya merupakan binatang reptil berdarah dingin (cool-blooded), yaitu suhu tubuh mereka memiliki suhu tubuh yang sama dengan lingkungan sekitarnya, misalnya di dalam air maupun suhu udara. Mereka mampu mengatur suhu tubuh mereka dengan cara berjemur, menyelam atau menyeburkan dirinya di dalam air. Air merupakan hal terpenting bagi semua jenis


(21)

buaya, oleh sebab itu mereka hanya dapat bertahan hidup apabila habitat mereka di atau dekat dengan sungai, muara, danau, laut, dan rawa (Dennard 2004).

Morgan (2007) menyatakan bahwa buaya muara dewasa melakukan komunikasi dengan sesamanya mereka mengeluarkan banyak suara. Suara-suara ini biasanya berupa suara seperti mendengkur, menggeram, batuk dan melenguh. Sedangkan untuk buaya yang baru menetas akan mengeluarkan suara berupa ciatan untuk memanggil induknya. Suara ini dihasilkan dengan cara menggembungkan kantung di bawah tenggorokannya.

Buaya muara hidupnya terutama pada daerah muara sungai. Hampir semua buaya senang berjemur pada pagi hari, dan menyelam atau menyeburkan diri jika ada suara yang tidak bersahabat. Ada catatan bahwa jenis ini kadang-kadang dijumpai di laut lepas (Iskandar 2009).

Buaya muara dalam ekosistem berperan sebagai predator atau sebagai pemangsa satwa yang lebih kecil sehingga tidak menimbulkan populasi yang berlebihan terhadap satu jenis satwa. Akan tetapi keberadaan buaya muara ini terancam punah yang diakibatkan oleh adanya kerusakan habitat, berkurangnya habitat dan perburuan secara liar (Ariantiningsih 2008).

2.1.2 Pakan buaya muara

Park and Wildlife Service of the Northern Territory (2010) menyatakan bahwa mangsa utama buaya muda berupa serangga, amfibi, binatang berkulit keras, binatang melata kecil dan ikan, sedangkan untuk buaya dewasa memangsa binatang-binatang yang ukurannya lebih besar sebagai makanannya seperti kerbau liar, binatang ternak dan monyet. REI (2008) menyatakan bahwa, ketika masih muda buaya muara makan cacing, kumbang, ketam, dan amfibia, setelah mencapai ukuran yang lebih besar buaya makan ikan dan unggas air, dan bila sudah dewasa mereka makan mamalia berukuran sedang. Ada juga yang menyeret mangsanya ke dalam gua di tebing sungai dan membiarkannya sedikit membusuk sebelum bangkainya dimakan.


(22)

2.1.3 Penyebaran buaya muara

Britton (2003) menyatakan bahwa, buaya muara tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya. Buaya muara juga terdapat di Australia Utara, Bangladesh, Brunei, Myanmar, Kamboja, Cina, India, Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, Malaysia, Pulau Caroline, Papua New Guinea, Philipina, Singapura, Srilanka, Thailand dan Vietnam. Sedangkan di Indonesia menurut REI (2008) penyebaran buaya muara dapat ditemukan di seluruh perairan Indonesia, seperti sungai-sungai dan di laut dekat muara.

2.1.4 Habitat buaya muara

Majid (2009) menyatakan bahwa habitat sarang buaya muara banyak berada di dekat kolam air sehingga mempermudah induk buaya muara untuk menjaganya. Buaya muara dalam ekosistem berperan sebagai predator atau sebagai pemangsa satwa yang lebih kecil sehingga tidak menimbulkan populasi yang berlebihan terhadap satu jenis satwa. Akan tetapi keberadaan buaya muara ini terancam punah yang diakibatkan oleh adanya kerusakan habitat, berkurangnya habitat dan perburuan secara liar (Ariantiningsih 2008).

2.1.5 Perkembangan dan pertumbuhan buaya muara

Pada buaya jantan pertumbuhannya lebih cepat dari pada buaya betina, sedangkan untuk pertumbuhan seksual keduanya lebih cepat pada musim hujan daripada musim panas. Pada jantan mengalami kematangan seksual sekitar umur 17 tahun dan panjang sekitar 3,3 m, pada betina mengalami kematangan seksual sekitar umur 12 tahun dan panjang sekitar 2,3 m (MEM 2009). Tingkat kematian buaya muara sangat tinggi dari telur sampai umur dewasa di habitat aslinya, rata-rata telur yang menetas sekitar 25% dari jumlah telur yang ada, penyebabnya karena faktor tanah yang tidak sesuai, perubahan suhu dan iklim, juga karena dimakan predator lain dan diburu oleh manusia.


(23)

2.2 Penangkaran

Penangkaran adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan budidaya flora dan fauna liar dan pengelolaannya menyangkut usaha mengumpulkan bibit,

mengembangbiakan, memelihara, membesarkan, dan restocking dengan tujuan

mempertahankan kelestarian satwaliar dan tumbuhan alam tersebut, maupun memperbanyak populasinya untuk memenuhi kebutuhan manusia (Direktorat Jendral PHPA 1985).

2.2.1 Kegiatan penangkaran

Kegiatan penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan atas izin Menteri Kehutanan. Izin dapat diberikan kepada: (1) Setiap orang (2) Badan hukum (3) Koperasi, atau (4) Lembaga Konservasi. Izin penangkaran yang diberikan tersebut juga sekaligus merupakan izin untuk dapat menjual hasil penangkaran setelah memenuhi standar kualifikasi penangkaran tertentu. Standar kualifikasi penangkaran ditetapkan dengan dasar: (1) Batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran (2) Profesionalisme kegiatan penangkaran (3) Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang ditangkarkan (Efendi 2012).

2.2.1.1 Kesehatan

Gangguan fisik yang biasa diderita oleh buaya yakni trauma dengan gejala adanya luka-luka pada tubuh buaya yang disebabkan oleh perkelahian, penangkapan, tidak hati-hati dalam pengangkutan. Untuk menangani hal tersebut dapat diberi obat luka anti infeksi apabila luka yang dialami serius buaya yang luka segera dibawa ke dokter hewan untuk mendapatkan pengobatan yang memadai. Untuk menghilangkan stress pada buaya maka sekitar kandang diusahakan dalam keadaan tenang. Selain itu, penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi yang disebabkan oleh faktor tidak terpenuhinya kebutuhan dasar utama pakan buaya (Isnoto 2012).


(24)

2.3 Status Perlindungan Buaya Muara

Jenis satwa yang masuk ke dalam Appendix I merupakan jenis yang

terancam punah akibat adanya perburuan dan perdagangan. Diantara jenis satwa yang termasuk ke dalam Appendix I antara lain kera tidak berekor, kukang, panda, cetah, macan tutul dan harimau. Appendix II merupakan jenis yang dalam keadaan tidak terancam punah akan tetapi jika tidak dilakukan pemantauan atau

monitoring maka jenis yang masuk ke dalam Appendix II ini akan terancam

punah, contohnya buaya muara. Appendix III merupakan jenis yang diidentifikasi untuk membuat peraturan dan bertujuan untuk mencegah atau membatasi pemanfaatan jenis yang disesuaikan dengan negara masing-masing. Buaya muara dimasukkan dalam daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade

of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang hanya boleh

diperdagangkan dari hasil penangkaran dan dalam jumlah terbatas (Setiadi 2011).

2.4 Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare)

Kesejahteraan satwa yaitu hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup, kemakmuran. Kesejahteraan memiliki banyak aspek yang berbeda dan tidak ada ungkapan sederhana,

permasalahannya sangat banyak dan beragam. Animal Welfare pada kualitas

hidup satwa, kondisi satwa, dan perawatan atau perlakuan terhadap satwa (Dallas 2006).

Appleby dan Hughes (1997) menyatakan masalah kesejahteraan itu bermacam-macam, karena kesejahteraan bukan suatu yang sederhana dari yang baik sampai yang buruk, menyangkut banyak aspek yang berbeda. Satu

kesimpulan dari perbedaan aspek-aspek tersebut yaitu kebebasan (The Five

Freedoms), Farm Animal Welfare Council (1992) diacu dalam Appleby dan

Hughes (1997) menyatakan bahwa idealnya satwa harus (1) bebas dari rasa lapar dan haus, (2) bebas dari rasa tidak nyaman, (3) bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, (4) bebas untuk menampilkan perilaku alami, dan (5) bebas dari rasa takut dan tekanan.

Upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mewujudkan kesejahteraan satwa terdiri dari dua, yaitu mengusahakan satwa hidup sealami mungkin atau


(25)

membiarkan satwa hidup dengan perjalanan fungsi biologisnya (Moss, 1992). Di Indonesia kesejahteraan satwa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud kesejahteraan satwa adalah usaha manusia memelihara hewan, yang meliputi pemeliharaan lestari hidupnya hewan dengan pemeliharaan dan perlindungan yang wajar.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia Jaya yang terletak di Desa Suka Ragam Kecamatan Serang, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari sampai Oktober 2012. Taman Buaya Indonesia Jaya ini memiliki areal seluas 1,5 hektar.

Gambar 3. Peta Lokasi Bekasi, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kamera digital, alat tulis,

tallysheet, panduan wawancara, meteran, kertas lakmus dan termometer dry-wet.

Bahan atau obyek yang digunakan untuk penelitian ini adalah buaya muara

(Crocodylus porosus).

3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian mencakup dua kategori yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan dari narasumber asli (pihak pertama). Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga hanya tinggal mencari, mengumpulkan dan dipergunakan


(27)

sebagai pendukung data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi lapang, wawancara, studi literatur dan dokumentasi. Jenis dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

No Data yang diambil

Jenis Data Metode pengumpulan data

Primer Sekunder Observasi Wawancara

Studi Literatur

1 Kandang  -   

2 Perawatan kesehatan  -   

3 Reproduksi  -   

4 Pakan  -   

5 Pemanfaatan hasil  -   

6 Satwa lain  -  - -

7 Sarana pendukung  -  - -

8 Vegetasi  -  - -

9 Sejarah penangkaran  - -  

10 Tujuan penangkaran  - -  

11 Manfaat penangkaran  - -  

12 Kondisi umum -  - - 

13 Stuktur organisasi -  - - 

14 pH sumber air     

Penjelasan jenis data primer yang dikumpulkan berdasarkan Tabel 1 adalah sebagai berikut :

1. Pakan terdiri dari : jenis pakan, sumber pakan, jumlah pakan yang dimakan, waktu pemberian pakan dan cara pemberian pakan.

2. Penyakit dan perawatan kesehatan kandang terdiri dari : jenis penyakit yang pernah dialami, sedang dan sering diderita oleh buaya muara dan cara perawatan.

3. Derajat keasaman (pH) sumber air yang digunakan untuk pengairan kolam

dalam kandang buaya muara.

4. Reproduksi terdiri dari : pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, musim kawin dan jumlah telur yang dihasilkan, serta tahapan penetasan telur.

5. Perkandangan terdiri dari : (a) jenis kandang, (b) jumlah dan ukuran kandang, (c) kontruksi kandang, (d) sarana dan prasarana kandang (tempat makan, minum dan bersarang), (e) suhu dan kelembaban kandang, (f) perawatan kandang.

6. Pemanfaatan hasil terdiri dari : pemanfaatan hasil dari penangkaran berupa produk barang dan jasa wisata.


(28)

Adapun data sekunder yang dikumpulkan meliputi : 1. Peta lokasi penangkaran (peta Bekasi).

2. Kondisi umum penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.

Penjelasan metode pengumpulan data berdasarkan Tabel 1 adalah :

1. Observasi lapang dilakukan dengan cara mengamati dan mengikuti secara

langsung pelaksanaan pengelolaan penangkaran buaya oleh petugas lapang di lapang. Dalam pelaksanaannya peneliti terlibat dalam kegiatan pemeliharaan buaya muara bersama-sama dengan Animal keeper di lokasi penelitian.

a. Pengamatan langsung dilakukan terhadap buaya muara yang dipelihara di

penangkaran yang meliputi aspek : (i) pakan (jenis pakan yang diberikan, jumlah,waktu dan cara pemberian pakan), (ii) jenis penyakit yang sedang diderita oleh buaya muara, (iii) reproduksi (penentuan jenis kelamin dan perlengkapan penetasan telur), (iv) kandang (jenis, kontruksi, sarana dan prasarana kandang, jumlah buaya muara dalam kandang, dan perawatan kandang), (v) produk yang dijual di penangkaran, (vi) satwa lain yang dipelihara di penangkaran, (vii) vegetasi yang terdapat di penangkaran, (viii) fasilitas yang terdapat di penangkaran.

b. Pengukuran dilakukan terhadap kandang, suhu, derajat keasaman sumber air

dan kelembaban kandang adalah :

- Pengukuran setiap jenis kandang dilakukan dengan mengukur panjang

(m), lebar (m), dan tinggi (m) dengan menggunakan alat ukur meteran.

- Pengukuran kelembaban dan suhu dalam kandang dengan menggunakan

termometer dry-wet. Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari sampai

dengan sore hari dengan cara menggantungkan termometer di dalam kandang.

- Pengukuran derajat keasaman sumber air dengan menggunakan kertas

lakmus ke dalam kolam yang digunakan untuk pengairan ke kolam yang terdapat dalam kandang buaya muara.

c. Mengikuti kegiatan bersama Animal keeper dengan aktif mengikuti perawatan kandang, waktu dan cara pemberian pakan buaya muara.


(29)

2. Wawancara

Wawancara dilakukan secara langsung dengan pendekatan sosial.

Penentuan responden dilaksanakan berdasarkan purposive sampling. Responden

yang diwawancarai yakni pemilik penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia

Jaya, Kepala Bagian Umum, karyawan khususnya petugas (Animal keeper)

penangkaran, masyarakat yang berada di sekitar lokasi penangkaran.

a. Wawancara kepada pemilik penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia Jaya

mengenai sejarah, tujuan dan manfaat didirikan penangkaran.

b. Wawancara kepada Kepala Bagian Umum mengenai seluruh aspek

pengelolaan penangkaran.

c. Wawancara kepada Animal keeper yang menangani buaya muara mengenai

seluruh aspek teknis pengelolaan penangkaran.

d. Wawancara kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi penangkaran

Taman Buaya Indonesia Jaya yang terkena dampak positif dan negatif dengan adanya keberadaan penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.

e. Studi literatur yakni data yang dikumpulkan melalui studi pustaka dari

berbagai macam informasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mendukung data yang dihasilkan. Studi literatur diperoleh dari penelusuran dokumen penangkaran buaya TBIJ, perpustakaan dan internet.

3. Dokumentasi

Data hasil observasi lapang dan wawancara didukung dengan dokumentasi berupa foto dan rekaman video agar data dapat berkesinambungan antara observasi lapang, wawancara dan dokumentasi.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis deskriptif

Data mengenai aspek teknis penangkaran dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan dan menentukan tingkat aplikasi teknis dan manajemen penangkarannya termasuk ke dalam kriteria kurang berhasil, cukup berhasil dan berhasil. Semua data yang terkumpul dilengkapi dengan bentuk bagan, tabel, skema dan gambar agar memperjelas dan mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis yang diperoleh. Selain itu juga, untuk menentukan tingkat


(30)

keberhasilan pengelolaan penangkaran dilakukan dengan menggunakan kriteria utama yaitu (a) aspek teknis penangkaran dengan menggunakan indikator utama reproduksi dan (b) aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dengan menggunakan indikator keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran seperti menjadi tenaga kerja dan mendirikan warung makan di areal penangkaran maupun di sekitar penangkaran.

Ukuran keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yakni :

1. Berhasil apabila penangkaran dapat menghasilkan keturunan dari jenis

buaya muara yang ditangkarkan.

2. Tidak berhasil apabila penangkaran belum dapat menghasilkan keturunan

dari jenis buaya muara yang ditangkarkan.

Ukuran keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yakni :

1. Berhasil apabila penangkaran dapat memberikan manfaat sosial ekonomi

secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran.

2. Tidak berhasil apabila penangkaran tidak dapat atau belum memberikan

manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran.

Manfaat secara langsung dapat dilihat dari adanya warga masyarakat sekitar penangkaran yang menjadi tenaga kerja di penangkaran, terdapat warung makan dan toko souvenir di areal penangkaran. Sedangkan untuk manfaat secara tidak langsung dapat dilihat dari penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya menjadi salah satu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian warga setempat, jasa transportasi menjadi ramai, nama daerah (Cibarusah) menjadi terkenal, aksesbilitas dan fasilitas umum menjadi lebih baik.

3.4.2 Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung faktor biologis satwa yang meliputi perkembangbiakan induk betina buaya muara, daya tetas telur buaya muara dan angka kematian anakan buaya muara dengan mengacu pada


(31)

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwaliar.

Rumus yang digunakan untuk menghitung biologis satwa sebagai berikut :

a. Persentase perkembangbiakan induk betina (PR)

PR =

T

X 100% Tt

Ket:

t = ∑ induk betina yang berkembangbiak Tt = ∑ induk betina seluruhnya

b. Persentase daya tetas telur (DTT)

DTT = α X 100%

β

Ket:

α = ∑ telur yang menetas

β = ∑ total telur yang ditetaskan

c. Persentase kematian anakan buaya muara (MR)

MR =

M

X 100% Mt

Ket:

M = ∑ anakan buaya muara yang mati Mt = ∑ total anakan buaya muara seluruhnya Kriteria

0% -30% : Rendah

31%-60% : Sedang

≥ 61% : Tinggi

Analisis kesejahteraan buaya di penangkaran ditentukan dengan menelaah praktek pengelolaan buaya muara yang dikaitkan dengan prinsip kesejahteraan satwa (Animal Welfare).


(32)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah, Tujuan, Manfaat dan Struktur Organisasi Penangkaran 4.1.1 Sejarah penangkaran

Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya seluas 1,5 hektar ini dibangun sejak tahun 1993, sebelumnya tahun 1971-1983 buaya-buaya teresebut berada di Taman Buaya Bandengan Jakarta Utara, kemudian dipindahkan ke daerah Pluit sampai tahun 1992. Karena letaknya dekat daerah pemukiman penduduk maka tempat itu direkomendasikan untuk pindah di tempat yang lebih aman. Kemudian dipilihlah Desa Suka Ragam sebagai tempat penangkaran buaya hingga sekarang.

4.1.2 Tujuan penangkaran

Tujuan didirikannya penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya adalah :

1. Sebagai sarana konservasi untuk mencegah kepunahan buaya, khususnya

buaya muara.

2. Sebagai tujuan ekonomi (komersial).

3. Sebagai sarana rekreasi, pendidikan, pengetahuan dan penelitian.

4.1.3 Manfaat penangkaran

Manfaat yang diharapkan dari penangkaran ini adalah agar kelestarian buaya muara (Crocodylus porosus) tetap terjaga, menambah kecintaan terhadap satwa agar buaya muara tidak cepat punah serta dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga setempat.

4.1.4 Struktur organisasi penangkaran

Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dikelola oleh pemiliknya langsung yakni Bapak Lukman Arifin yang dibantu oleh kedua putranya yakni Suryadi dan Jeffry. Penangkaran ini juga memiliki 17 pegawai dan 5 orang penjaga keamanan.


(33)

4.2 Kondisi Fisik 4.2.1 Luas dan letak

Penangkaran ini memiliki luas areal ± 1.5 hektar. Lokasi penangkaran ini terletak di Desa Suka Ragam Kecamatan Serang Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Untuk mencapai lokasi ini bila ditempuh dari kota Bekasi dengan menggunakan sepeda motor sekurangnya membutuhkan waktu satu setengah jam untuk sampai di lokasi ini. Tetapi, jika menggunakan mobil pribadi atau angkutan umum bisa lebih dari dua jam. Ada dua rute untuk bisa sampai di tempat penangkaran buaya ini. Apabila anda berada di daerah Bekasi kota, Karawang, anda bisa langsung menuju Cikarang kota melewati jalur biasa.

Jika menggunakan jalan tol, keluar pintu tol Cikarang Jababeka, kemudian menuju arah Cibarusah. Jika anda naik kendaraan umum, dari terminal Cikarang anda naik KOASI K17. Taman Buaya, sangat familiar di masyarakat setempat. Rute kedua bisa ditempuh bagi anda yang berada di daerah Bogor, Cibubur, dan sekitarnya. Yaitu rute Cilengsi-Taman Buah Mekarsari kemudian anda akan sampai di jalan raya Jonggol-Cibarusah, di pertigaan pasar Serang belok kiri menuju ke arah utara, anda akan sampai di Taman Buaya Indonesia Jaya. Dari pasar Serang anda juga bisa naik angkot K 17 yang menuju Cikarang.

4.3 Kondisi Biotik

Selain buaya di dalam penangkaran terdapat satwa lain seperti monyet ekor panjang, ular sanca, ular weling, ular cobra juga terdapat pohon angsana, kembang sepatu, sengon, beringin, nangka.

4.4 Sarana dan Prasarana

Di dalam penangkaran terdapat rumah yang menjadi tempat tinggal pengelola. Selain itu, ada arena bermain untuk anak-anak seperti ayunan dan permainan lainnya, terdapat mushola di sudut taman ini dan atraksi buaya (atraksi Joko Tingkir).


(34)

4.5 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Penangkaran

Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya tereletak di RT 06, Kelurahan Cibarusah. Berdasarkan wawancara, jumlah warga RT 06 terdiri dari 71 KK dengan jumlah jiwa 274 orang terdiri dari 121 laki-laki dan 126 perempuan. Rata-rata warga RT 06 menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak, mandi dan mencuci, sedangkan untuk keperluan air minum biasanya warga RT 06 membeli air galon.


(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Perkandangan

Kandang merupakan tempat tinggal bagi hewan peliharaan dan sangat dibutuhkan bagi setiap hewan. Sama dengan halnya buaya muara yang dipelihara melalui penangkaran. Tipe dan jenis kandang bagi masing-masing buaya tidaklah sama, tergantung dari ukuran sifat dan habitat alami satwa tersebut. Kandang

buaya muaraadalah habitat buatan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan buaya

muara. Kandang buaya yang digunakan pada penangkaran mempunyai tipe yang

berbeda dan ukurannya sesuai dengan umur masing-masing buaya, tetapi

fungsinya tetap sama.Dalam satu kandang diperbolehkan memelihara buaya yang

berukuran relatif sama, hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan yang tidak seimbang dalam mendapatkan makanan dan pemangsaan diantara buaya-buaya tersebut. Penangkaran merupakan salah satu upaya pengembangbiakan jenis di luar habitat aslinya. Agar penangkaran buaya muara berhasil dibutuhkan suasana habitat penangkaran yang mirip dengan habitat alaminya. Aspek perkandangan yang harus diperhatikan yakni jenis, fungsi, kontruksi, perlengkapan dan perawatan kandang.

5.1.1 Jenis kandang

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya terdapat lima jenis kandang yaitu kandang pertunjukkan, kandang anakan, kandang buaya muda, kandang pembesaran dan kandang perkembangbiakan atau induk.

5.1.1.1 Kandang pertunjukkan

Kandang pertunjukkan adalah kandang yang disiapkan dan digunakan

untuk mempertunjukkan atraksi buaya muara. Jumlah kandang ini hanya satu unit yang berukuran besar. Jumlah buaya muara yang terdapat dalam kandang ini delapan ekor. Atraksi ini dikenal dengan sebutan Atraksi Joko Tingkir. Kandang ini dibangun di bagian paling depan untuk memudahkan pengunjung yang baru


(36)

datang atau sedang beristirahat sehingga dapat menyaksikan secara langsung atraksi buaya muara. Selain atraksi buaya muara pada kandang pertunjukkan ini juga terdapat kesenian debus bersama ular berbisa yang berasal dari Banten. Fungsi dan ukuran kandang pertunjukkan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Fungsi dan ukuran kandang pertunjukkan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya No Fungsi kandang Ukuran (pxlxt) m ∑ kandang (unit) ∑ buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)

Kedalaman kolam optimum

(cm)

1 Display

buaya muara > 1 tahun*

4x3x2

L= 12 m2 1 3 15 1 5

2 Display

buaya muara > 8 tahun**

22x5x3

L= 330 m2

1 8 70 14 >55

Sumber : *Bolton (1981) diacu dalamRatnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987)

diacu dalam Suwandi (1991).

Berdasarkan Tabel 2 bahwa ukuran kandang pertunjukkan buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya sudah sesuai dengan kebutuhan buaya muara sehingga sudah ideal dalam memberi ruang gerak buaya muara. Kedalaman kolam pertunjukkan buaya muara sudah melebihi kedalaman optimal kolam sehingga buaya muara bebas berendam. Berdasarkan pengamatan letak kandang tersebut tergolong strategis karena sesuai dengan tujuan utama yaitu sebagai kandang pertunjukkan sehingga memudahkan pengunjung untuk melihat atraksi buaya (Gambar 4).


(37)

5.1.1.2 Kandang anakan buaya muara

Kandang anakan buaya muara adalah kandang yang digunakan untuk anakan buaya muara yang baru menetas sampai berumur enam bulan. Jumlah kandang anakan buaya muara ini berjumlah empat kandang. Tiap kandang berjumlah 25 ekor. Kandang anakan buaya muara terletak di luar ruangan. Anakan buaya memiliki sifat penakut sehingga membutuhkan tempat yang aman. Kondisi kandang yang terdapat di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya memiliki ukuran yang sesuai untuk ruang bergerak bagi anakan buaya muara. Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya

No Fungsi

kandang Ukuran (pxlxt) m ∑ kandang (unit) ∑ buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)

Kedalaman kolam optimum

(cm)

1 Anakan

umur 0-3 minggu*

0,5x0,3x0,5

L= 0,15 m2

3 15-30 - 0,25 5

2 Anakan

umur 3 minggu- 3 bulan*

3x0,5x0,4 L= 1,5 m2

6 2-15 5 0,25 5

3 Anakan

umur 4-6 bulan**

2x2x0,5 L= 4 m2

16 2-30 5 0,25 5

Sumber : *Fakultas Kehutanan (1990), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) diacu dalam Suwandi (1991).

Kandang anakan buaya yang terdapat di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya terletak di ruangan terbuka berukuran 5,5 m x 4,7 m x 3,2 m untuk anakan buaya yang berumur 0-3 minggu dan ruangan dengan ukuran 14 m x 9 m x 3.8 m untuk anakan buaya muara berumur 3 minggu- 6 bulan. Bolton (1989) menyebutkan bahwa anakan buaya bersifat penakut sehingga memerlukan tempat yang aman, dalam hal ini desain kandang sebaiknya mempunyai tempat yang bersembunyi sehingga dapat mengurangi tingkat stres oleh gangguan manusia dan kendaraan. Kondisi ini tidak sesuai dengan kandang anakan buaya yang terdapat di penangkaran ini karena kandang anakan buaya terletak di ruangan yang terbuka seharusnya kandang anakan buaya muara harus berada di ruangan tertutup karena anakan buaya masih dalam keadaan kritis sehingga mempunyai senitifitas yang tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, serta mempunyai resiko kematian yang tinggi. Ukuran kandang anakan buaya disesuaikan dengan kebutuhan buaya


(38)

sehingga anakan buaya dapat bergerak dengan bebas dan memenuhi salah satu prinsip kesejahteraan satwa yang telah disebutkan oleh Appbley dan Hughes (1997) yaitu bebas dari rasa tidak nyaman (Gambar 5).

(a)

(b)

Gambar 5 Kondisi kandang anakan buaya muara (a) Tampak dalam dan (b) Tampak luar.

5.1.1.3 Kandang buaya muda

Kandang buaya muda merupakan kandang yang dipersiapkan untuk pemeliharaan buaya setelah dipindahkan dari kandang anakan berumur > 6 bulan sampai 1 tahun (Gambar 6). Fungsi dan ukuran kandang buaya muda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Fungsi dan ukuran kandang buaya muda

No Fungsi

kandang Ukuran (pxlxt) m ∑ kandang (unit) ∑ buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)

Kedalaman kolam optimum

(cm)

1 Anakan

umur 7 bulan-1 tahun*

4x3x1,2 (L= 12 m2)

14 7-25 5 0,50 5


(39)

Tabel 4 menunjukkan bahwa ukuran kandang buaya muda sudah sesuai dengan kebutuhan buaya muda dan kedalaman kolam sudah mencukupi anakan buaya muara dapat bergerak dengan bebas.

5.1.1.4 Kandang pembesaran

Kandang pembesaran atau kandang remaja merupakan kandang yang digunakan untuk membesarkan buaya muara yang berumur 2-4 tahun yang siap untuk dipotong yang telah memiliki kriteria tertentu dan kandang ini juga digunakan untuk membesarkan calon indukan. Kandang ini berisi buaya remaja berjumlah 15 ekor. Pada kandang tersebut sudah dilengkapi dengan kolam, tempat berjemur, sarang dan tempat berteduh. Keadaan kandang seperti ini sudah baik karena sudah dilengkapi dengan adanya kolam, tempat berjemur dan tempat berteduh (Gambar 6). Fungsi dan ukuran kandang buaya muda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Fungsi dan ukuran kandang pembesaran

No Fungsi kandang Ukuran (pxlxt) m ∑ kandang (unit) ∑ buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)

Kedalaman kolam optimum

(cm)

1 Buaya

muara > 1 tahun*

8x8x1,5

L= 64 m2

5 41-60 25 1 25-50

2 Buaya

muara umur > 2-3 tahun**

6x5x1,8

L= 30 m2

25 10-30 25 7,50 25-50

Sumber : *Bolton (1981) diacu dalamRatnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987)

diacu dalam Suwandi (1991).

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa luas lantai dan kedalaman kolam pada kandang buaya berumur > 1 tahun sudah ideal karena kebutuhan buaya sudah terpenuhi dan tinggi pada kedua jenis kandang tersebut sudah sesuai sehinggan buaya tidak bisa keluar dari kolam dalam kandang. Namun, pada kandang ini juga pernah ditemukan buaya muara yang mengalami luka-luka akibat perkelahian karena luas lantai kandang yang terdapat di penangkaran ini terlalu sempit sehingga buaya yang terdapat dalam kandang tidak bebas bergerak, berendam dan berjemur.


(40)

Gambar 6 Kondisi kandang pembesaran.

5.1.1.5 Kandang induk

Kandang induk atau pembiakan adalah kandang yang digunakan oleh induk buaya muara yang berumur >8 tahun. Pada kandang ini induk buaya muara membuat sarang, kawin dan bertelur. Fungsi dan ukuran kandang induk dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Fungsi dan ukuran kandang induk

No Fungsi kandang Ukuran (pxlxt) m ∑ kandang (unit) ∑ buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)

Kedalaman kolam optimum

(cm)

1 Buaya

muar a18 tahun*

108x32x2 L= 3.456 m2

1 41-60 25 1 25-50

2 Buaya

muara umur 20-25 tahun**

42x32x2 L= 1.344 m2

3 10-30 25 7,50 25-50

Sumber : *Bolton (1981) diacu dalamRatnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987)

diacu dalam Suwandi (1991).

Berdasarkan Tabel 6 kandang ini juga memiliki luas lantai dengan ukuran yang sudah ideal sehingga memudahkan untuk induk buaya muara melakukan kegiatan kawin, berendam dan berjemur. Dalam kandang ini jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan dengan yang betina, sehingga satu ekor jantan dapat mengawini lebih dari tiga ekor betina.


(41)

Gambar 7 Kandang induk buaya muara.

5.1.1.6 Kandang khusus

Pada penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya ini juga terdapat kandang untuk jenis buaya putih (albino) dan buaya buntung. Dalam kandang ini buaya muara albino dan buntung mendapatkan perlakuan khusus karena pada buaya ini terdapat nilai spiritual. Banyak masyarakat yang berdatangan untuk mengambil air kolam di kandang khusus ini karena dipercayai dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dipermudahkan mendapatkan jodoh. Kandang khusus ini dapat dilihat pada Gambar 8.

(a)

Gambar 8 (a) Kandang buaya albino dan kandang buaya buntung.

5.1.2 Kontruksi kandang

Kandang yang terdapat di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya merupakan kandang bersifat permanen dan box plastik. Konstruksi kandang permanen terdiri atas pagar berupa tembok beton, jaring kawat besi. Konstruksi kandang yang terdapat disana disesuaikan dengan jenis satwa yang dipelihara sehingga untuk kandang buaya, konstruksi dibuat permanen, kuat, tinggi agar


(42)

tahan terhadap benturan dan mencegah buaya keluar dari dalam kandang. Pagar berupa tembok beton juga dilengkapi dengan kawat ram agar memudahkan pengunjung untuk melihat buaya dan kawat ram tersebut berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara. Kontruksi kandang tersebut sesuai dengan pernyataan Bolton (1989) bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau jaring kawat besi serta tembok dari batu bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut. Pada kandang ada yang diberikan atap dan ada juga yang tidak diberikan atap.

Dallas (2006) menyatakan bahwa plastik merupakan bahan yang dianjurkan dalam pemeliharaan reptil karena mempunyai permukaan tidak kasar, mengikuti perubahan suhu lingkungan, mudah dibersihkan dan mudah didapatkan. Penangkaran ini sudah menggunakan box plastik hanya untuk anakan buaya yang baru menetas karena box plastik memiliki permukaan yang halus sehingga kulit anakan buaya dapat terhindar dari gesekan. Selain itu box plastik mudah dibersihkan, dan mudah diperoleh.

5.1.3 Perlengkapan dalam kandang

Hal yang terpenting dalam kandang yakni perlengkapan kandang. Buaya merasa nyaman di dalam kandang jika di dalam kandang memiliki perlengkapan kandang seperti di habitat aslinya. Perlengkapan kandang yang terdapat di penangkaran TBIJ disesuaikan dengan kebutuhan buaya berdasarkan kelas umur. Tabel 7 Perlengkapan kandang buaya muara di dalam setiap jenis kandang

No. Perlengkapan

Kandang

Jenis Kandang

Anakan Remaja Induk Pertunjukkan Buaya

Muda

1. Daratan     

2. Vegetasi    - -

3. Sarang - - - -

4. Kolam     

Berdasarkan dari hasil Tabel 7 semua jenis kandang mempunyai kolam dan daratan. Kolam dan daratan merupakan kebutuhan utama buaya untuk mendukung segala kegiatan buaya di dalam kandang. Kolam digunakan oleh buaya untuk berendam dan kawin oleh induk buaya sedangkan daratan digunakan


(43)

oleh buaya untuk berjemur dan meletakkan pakan. Perlengkapan dalam kandang yang dibuat oleh pengelola penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya terdiri dari dua bagian yaitu daerah daratan dan daerah berair (kolam). Berdasarkan hasil pengamatan bahwa kebiasaan buaya muara yaitu buaya muara akan menstabilkan kondisi suhu dan kelembaban dengan memanfaatkan perlengkapan yang telah diberikan oleh pengelola. Buaya muara akan menghangatkan tubuhnya dengan berjemur dibawah sinar matahari dan untuk mendinginkan tubuhnya buaya muara akan bergerak ke daerah yang berair (kolam). Hasil pengamatan yang telah dilakukan penyediaan perlengkapan kandang di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya sudah memenuhi kebutuhan buaya muara. Buaya muara bebas melakukan segala aktifitasnya seperti kawin, bersarang, berenang, berjemur dan berlindung. Vegetasi yang terdapat dalam kandang antara lain sengon

(Paraserianthes falcataria), beringin (Ficus benjamina), dadap duri (Erythrina

lithosperma) dan rumput-rumputan.

5.1.4 Perawatan kandang

Perawatan kandang dilakukan bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang agar tetap bersih sehingga buaya muara nyaman tinggal di dalamnya (Gambar 9). Selain itu, pembersihan kandang juga bertujuan untuk menghindari berkembang biaknya bakteri penyakit. Kegiatan pembersihan kandang dilakukan sesuai kondisinya. Apabila kandang sudah terlihat kotor maka kandang akan dibersihkan namun tergantung dengan waktu pemberian makan karena sisa-sisa makanan yang menempel di lantai yang tidak dibersihkan akan menimbulkan berbagai macam jenis penyakit dan menimbulkan suasana bau yang tidak nyaman. Biasanya pembersihan kandang dilakukan 2 kali dalam satu minggu. Namun, ada juga kandang yang tidak dibersihkan sama sekali. Kandang yang tidak dibersihkan biasanya berupa kandang semi alami.


(44)

(a) (b)

Gambar 9 Pembersihan kandang oleh Animal Keeper (a) Menyikat kolam

kandang dan (b) Menyiram kolam kandang

Pembersihan di luar kandang dilakukan setiap hari. Perawatan kandang bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang agar buaya muara dapat hidup dengan sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit.

Menurut Setio dan Takandjandji (2007), tindakan yang dibutuhkan untuk menjaga kebersihan kandang adalah :

a. Mengeruk, menyikat dan menyapu kotoran yang melekat pada bagian-bagian

kandang untuk dibuang pada tempat pembuangan yang telah disiapkan.

b. Menyemprot atau menyiram dengan air pada bagian kandang yang telah

dibersihkan secara rutin dua kali sehari.

c. Menyemprot kandang dengan desinfektan secara reguler satu bulan sekali.

5.1.5 Pengelolaan limbah dan kualitas perairan

Limbah yang dihasilkan dari penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya adalah limbah padat yang berasal dari kotoran buaya muara. Limbah ini dialirkan langsung ke sawah-sawah penduduk sekitar penangkaran yang digunakan sebagai

pupuk kandang yang membuat subur. Dalam Permentan Nomor

02/Pert/Hk.060/2/2006, pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kualitas air yang baik adalah keadaan perairan dengan tingkat salinitas yang


(45)

sesuai dengan jenis buaya yang hidup di area tersebut, serta belum adanya pencemaran oleh limbah industri atau lainnya akibat aktivitas manusia.

Pada penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya sumber air berasal dari kolam tanah. Air dari kolam disedot dengan bantuan diesel kemudian disalurkan dengan menggunakan selang. Kualitas air di penangkaran ini tergolong dalam kategori baik karena berasal dari bak penampungan. Bak penampungan memiliki fungsi untuk menampung air sehingga dapat menjamin pasokan air jika pompa sewaktu-waktu mengalami kerusakan. Untuk memenuhi kebutuhan air tiap kandang, air dari bak penampungan dialirkan dengan menggunakan selang panjang, sesuai dengan yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990), bahwa sebaiknya tidak mengalirkan air dari satu kolam untuk mengisi kolam berikutnya karena untuk menghindari adanya kontaminasi atau penularan penyakit dari satu kolam ke kolam lainnya.

5.1.6 Suhu dan kelembaban kandang

Berdasarkan hasil pengukuran suhu kandang di penangkaran buaya muara Taman Buaya Indonesia Jaya menunjukkan kondisi suhu yang relatif stabil. Suhu kandang pada pagi hari berkisar 25-29°C, siang hari berkisar 30-33°C, dan sore hari berkisar antara 29-31°C. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Frye (1991) bahwa suhu optimal untuk reptil di daerah tropis berkisar 29,5-37°C. Kondisi suhu di penangkaran TBIJ ini juga sesuai dengan pernyataan Elmir (2008) bahwa buaya di penangkaran relatif masih dapat mengkonsumsi makanan pada kisaran temperatur udara 24,5-34°C. Kondisi suhu kandang di penangkaran TBIJ dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Grafik suhu kandang di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya. Gambar 10 menunjukkan bahwa suhu kandang di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya cukup stabil untuk memanaskan suhu tubuh buaya muara yang ada di dalam kandang. Pada pagi hari saat matahari bersinar buaya muara


(46)

melakukan basking (berjemur) dan pada siang hari buaya muara akan berendam di air agar badannya dingin.

Kelembaban kandang pada pagi hari berkisar 84-92%, siang hari berkisar 73-85% dan sore hari berkisar 78-85%. Kelembaban kandang di penangkaran TBIJ sesuai dengan pernyataan Frye (1991), bahwa kelembaban kandang reptil di daerah tropis sekurang-kurangnya berkisar antara 80-90%. Fluktuasi kelembaban dalam kandang dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Grafik kelembaban kandang di penangkaran.

Gambar 11 menunjukkan bahwa kelembaban kandang di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya lebih tinggi pada waktu pagi hari dibandingkan pada waktu siang dan sore hari hal ini diakibatkan pada pagi hari suhu kandang dan intensitas cahaya matahari yang masuk relatif lebih rendah. Kelembaban tinggi atau terlalu rendah akan berpengaruh pada kesehatan buaya itu sendiri. Kelembaban tinggi dapat mengakibatkan tumbuhnya bakteri atau jamur sedangkan kelembaban rendah dapat menyebabkan buaya mengalami dehidrasi (Power 2010). Di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya ini pengaturan suhu dan kelembaban masih dilakukan secara alami belum dilakukan dengan teknologi canggih.

5.2 Pengelolaan Pakan

Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan organisme. Pada buaya, pemberian pakan ditunjukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi yang setinggi-tingginya. Bahkan karena biaya makanan dalam usaha penangkaran merupakan biaya tidak tetap terbesar, tingkat produksi tersebut harus diusahakan dapat tercapai dengan biaya makanan yang semurah-murahnya (Harto 2010).

Buaya muara termasuk kategori hewan karnivora yakni pemakan daging.


(47)

Sesuai dengan tubuhnya buaya muara membutuhkan makanan dalam jumlah yang banyak. Semakin besar ukuran tubuhnya makin banyak pula kebutuhan makannya. Jadi, jumlah makanan buaya muara disesuaikan dengan ukuran tubuhnya (Iskandar 2009).

5.2.1 Jenis dan sumber pakan

Simanungkalit (2009) jenis makanan yang diberikan pada buaya muara mempunyai bahan dasar ikan segar, udang, kepiting dan daging yang dipotong kecil dan halus. Bila ikan segar kurang kemudian diberikan ikan yang telah diawetkan maka akan terjadi kekurangan vitamin. Jenis makanan buaya muara di penangkaran ini terdiri dari dua macam yaitu mangsa hidup dan mangsa mati yang terdiri dari ayam, bebek, ikan dan daging sapi (sudah dipotong-potong). Untuk mangsa hidup buaya muara, biasanya bebek sedangkan yang lain diberikan dalam keadaan sudah mati yakni ayam dan daging sapi. Elmir (2008) menyatakan bahwa pemilihan pakan yang tepat dapat mempercepat pertumbuhan buaya di penangkaran jika dibandingkan pertumbuhan buaya di alam.

Makanan berupa ayam, daging sapi dan bebek di datangkan dari tempat potong hewan sedangkan untuk ikan beli di pasar Bekasi. Selain dari pasar Bekasi sumber pakan berasal dari tempat pemotongan ayam yang terdapat di Bekasi dan dari pengunjung yang datang. Masyarakat sekitar penangkaran juga ikut berkontribusi dalam ketersediaan pakan karena masyarakat tersebut memberikan hewan ternaknya yang sudah mati untuk pakan buaya yang terdapat di penangkaran. Pakan yang diberikan untuk buaya juga harus tetap memperhatikan kualitas pakan yang diberikan karena dengan pemilihan pakan yang tepat maka akan mempercepat pertumbuhan buaya di penangkaran. Pakan yang paling disukai buaya muara adalah ayam. Jenis pakan yang diberikan oleh pengelola untuk buaya muara dapat dilihat pada Gambar 12.


(48)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 12 Jenis pakan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya (a) Ayam broiler; (b) Daging sapi; (c) Ikan dan (d) Bebek.

5.2.2 Jumlah dan cara pemberian pakan

Pemberian pakan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya biasanya dilakukan 2 kali dalam seminggu. Jumlah makanan disesuaikan dengan jumlah individu dan ukuran. Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dapat dilihat pada Tabel 8.

Pakan buaya muara dibedakan antara dewasa, remaja, dan anakan. Untuk buaya muara dewasa dan remaja hampir sama, ada perbedaan pada jenis makanan hidup, pada buaya muara dewasa diberikan daging sapi dan ayam hidup sedangkan pada buaya muara remaja tidak diberikan, hanya diberikan potongan-potongan daging atau ayam mati. Sedangkan pada buaya muara anakan yang baru menetas sampai berumur 1-2 minggu tidak diberi makan karena di dalam tubuhnya masih mengandung persediaan makanan, setelah berumur di atas 2 minggu buaya anakan diberi makan berupa udang dan ikan. Ikan ini dipotong kecil-kecil agar buaya muara anakan dapat memakannya (Frank 2008).


(49)

Tabel 8 Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya

No Kelas umur

buaya Rata-rata berat tubuh buaya (gr) Kebutuhan pakan terhadap tubuh (gr/minggu)

∑ pakan yang

diberikan (gr/minggu)

Keterangan

1 Anakan

buaya umur 2 minggu-3 bulan*

95-359 95-35,9 40-140 Cukup

2 Anakan

buaya umur 4-6 bulan**

610-1.960 61-196 160-200 Cukup

3 Buaya muda

umur 7 bulan-1 tahun**

2.590-4.550 777-1.365 400-1000 Kurang

4 Remaja

umur 2-4 tahun** 10.689-16.438 3.206,7-4.931,4

2000-4000 Kurang

5 Induk >8

tahun*** >9.400 >28.200 >4.000 Kurang

Sumber : *Gumilar (2007), ** Elmir (2008), *** Webb dan Manolis (1989).

Dilihat dari Tabel 8 jumlah pakan anakan buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya sudah mencukupi untuk melakukan aktivitas dengan adanya perilaku agresif karena anakan buaya muara tidak kelaparan. Jumlah pakan pada buaya muda sampai dengan indukan masih kurang dengan kebutuhan yang seharusnya diberikan namun berdasarkan pengamatan kondisi buaya terlihat dalam keadaan baik-baik saja tidak terlihat kekurangan pakan. Jika jumlah pakan kurang akan dilakukan sistem roling pada tiap kandang (bergantian) dalam pemberian pakan.

Pemberian mangsa hidup pada buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya bertujuan untuk tidak menghilangkan naluri alamiah pada buaya muara itu sendiri yaitu naluri berburu dan memangsa. Buaya muara berburu mangsa dengan cara yang unik, yaitu cukup dengan mengambil posisi diam. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi kamuflase untuk memperoleh mangsanya. Biasanya mangsa akan terpedaya dan sama sekali tidak menyadari mendekati mulut buaya. Kemudian ia mampu bergerak cepat menyambar mangsanya. Yang paling berbahaya dari buaya muara adalah gigitannya yang sangat kuat, sehingga dapat meremukkan tulang dari mangsanya. Gigi-gigi buaya muara umumnya adalah gigi taring yang menyebar merata di seluruh permukaan dalam mulutnya.


(50)

Sehingga dengan rahang yang sangat kuat ditunjang dengan deretan gigi yang menyerupai gergaji, maka jarang ada mangsa yang dapat lolos dari gigitannya (Iskandar 2009).

5.2.3 Kandungan gizi pakan

Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya menambahkan vitamin pada pakan buaya hal ini dimaksudkan untuk menambah nafsu makan, mengurangi stres dan menjaga ketahanan tubuhnya dari serangan berbagai penyakit. Buaya yang terdapat di penangkaran akan tumbuh lebih cepat apabila pakan yang diberikan memperhatikan gizi yang baik. Kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bolton (1981) bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik dan pemberian makanan yang lengkap dalam jumlah maupun mutunya maka pertumbuhan buaya untuk mencapai ukuran potongan ekonomis dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih cepat. Kandungan gizi pakan buaya di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kandungan gizi pakan buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya

No Jenis pakan Kandungan gizi

1. Daging sapi Protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, air 1)

2. Ayam Protein, kalori, lemak, kolesterol, riboflavin, asam nicotenat, kalsium,

fosfor, zat besi, vitamin A dan B. 2)

3. Bebek Protein, lemak, vitamin, rivboflavin, mineral, niacin, tiamin 3)

4. Ikan Kalori, protein, lemak, kaslium, fosfor, zat besi, air 4)

Sumber : 1) Petra (2006); 2), Petra (2006); 3)Guntoro (2012); 4) Kholisoh (2000).

5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan

Secara umum buaya adalah jenis satwa reptil yang kebal terhadap serangan penyakit. Namun karena berbagai macam kondisi kesehatan buaya muara dapat terganggu apabila kondisi kolam dalam kandang kotor, sisa-sisa makanan dan pengaruh cuaca yang ekstrim. Jenis penyakit, gejala dan pengobatan penyakit yang menyerang buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dapat dilihat pada Tabel 10.


(51)

Tabel 10 Jenis Penyakit, gejala dan pengobatan buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya

No. Jenis Penyakit Gejala Pengobatan

1. Jamur kulit Bercak putih seperti panu Belum ada upaya pengobatan

2. Cacat tubuh Ekor buntung pada anakan dan

indukan buaya muara

Tidak dilakukan pengobatan

3. Stres Sering menyendiri dan tidak

aktif bergerak

Pemberian vitamin noptressa

4. Luka-luka Luka pada bagian tubuh buaya

muara

Pemberian obat merah atau betadine antiseptik

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola penangkaran. Uraian jenis penyakit buaya muara sebagai berikut :

1. Jamur kulit (White spot)

Jamur kulit merupakan penyakit yang menular. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada kulit buaya sehingga dapat menurunkan nilai ekonomi/komersial produk buaya. Biasanya jamur kulit ini disebabkan oleh air kolam yang kotor dan kurang bersihnya saat pembersihan kandang, pakan yang mengandung banyak lemak (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ratnani (2007) jamur kulit adalah penyakit kulit yang penularannya melalui air yang kotor atau kurang bersih pada waktu pembersihan kandang, pakan yang kurang, hingga rendahnya temperatur air yang biasanya dibawah 24°C. Menurut Permatasari (2002) pencegahan jamur kulit dilakukan dengan memberikan potassium permanganate pada air kolam dan pemberian copper sulphate dalam air untuk mengangkut fungi pada dasar kolam sebelum diberikan air baru, sedangkan pengobatannya dilakukan dengan pemberian spectrum luas sebagai bakterisidal dan fungisidal. Dari hasil wawancara dengan petugas penangkaran, bahwa Animal

Keeper belum mengetahui cara pengobatan buaya yang terserang penyakit.


(52)

2. Cacat tubuh

Cacat tubuh ditandai oleh bagian tubuh tertentu yag terlihat tidak normal dan bersifat permanen. Cacat tubuh pada buaya diakibatkan oleh cacat bawaan dan cacat karena perkelahian sesama buaya dalam kandang. Cacat tubuh buaya yang terdapat di penangkaran ini merupakan cacat bawaan seperti tidak ada ekornya atau yang biasa disebut dengan buaya buntung (Gambar 10). Cacat tubuh pada buaya merupakan penyakit yang tidak menular sehingga tidak perlu diadakan pengobatan. Pencegahan dilakukan dengan cara penanganan yang baik terhadap telur-telur selama penetasan, menyediakan ruang gerak yang luas agar tidak terjadi perkelahian dan selalu waspada terhadap serangan buaya yang lain.

Gambar 14 Cacat ekor (ekor buntung) pada buaya muara. 3. Stres

Menurut Ratnani (2007) stres diakibatkan oleh jumlah populasi buaya dalam kandang yang sangat banyak, adanya keramaian, perebutan wilayah, perebutan makanan, perebutan pasangan. Apabila buaya mengalami stres yang tinggi dapat menyebabkan kematian. Buaya yang sedang mengalami stres biasanya tidak aktif bergerak dan cenderung selalu menyendiri (Gambar 15). Cara pencegahan yang dilakukan dengan tidak menempatkan buaya ke dalam kandang yang penuh dengan buaya dan diberikan vitamin anti stres yaitu noptressa yang dicampur dengan pakan dengan dosis 1 gram : 1 kg pakan.


(53)

Gambar 15 Buaya muara menyendiri dan tidak aktif bergerak.

4. Luka-luka

Pada penangkaran ini sering dijumpai buaya yang mengalami luka-luka. Luka-luka tersebut diakibatkan adanya perkelahian sesama buaya dalam kandang dalam hal memperebutkan makanan. Luka yang dialami akan meninggalkan bekas pada tubuh buaya sehingga dapat menurunkan kualitas kulit dan pada akhirnya nilai jual menjadi rendah. Di penangkaran ini buaya muara yang luka-luka diberikan dengan obat antiseptik atau obat merah agar tidak terjadi infeksi dan jika luka yang dialami berukuran besar maka petugas penangkaran akan menjahit luka tersebut. Luka pada tubuh buaya muara dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Buaya muara yang terluka akibat perkelahian.

Buaya muara yang sakit memiliki tanda-tanda khusus seperti menyendiri dari kelompoknya, lemas, tidak nafsu makan, kotorannya berubah, muntah, batuk, suaranya terengah-engah dan pembengkakan pada tubuh dan kaki. Berdasarkan tanda-tanda di atas, sebaiknya petugas (Animal keeper) di penangkaran harus peka terhadap perubahan yang terjadi pada setiap perilaku dan keadaan tubuh buaya muara. Petugas juga harus berkonsultasi dengan dokter hewan yang ahli dalam


(54)

penyakit buaya, sehingga buaya yang terserang penyakit dapat di diagnosa dengan cepat dan ditangani dengan cepat (Environmental Protection Agency 2009).

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan dengan pengelola penangkaran menunjukkan bahwa belum adanya upaya pengobatan medis untuk mengobati penyakit yang diderita oleh buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya ini, karena kurangnya pengetahuan pengelola terhadap jenis penyakit buaya dan cara pengobatannya selain itu juga keterbatasan dana yang merupakan hambatan untuk memeriksakan buaya yang sakit pada dokter hewan. Mengingat kebebasan dari rasa sakit, luka dan penyakit merupakan salah satu dari prinsip kesejahteraan satwa maka permasalahan ini dapat dicegah dengan melakukan pembersihan kandang secara rutin baik di dalam kandang dan di luar kandang, mengatur sanitasi kandang yang baik untuk mencegah berkembangbiaknya bibit penyakit, memberikan ruang yang cukup agar buaya dalam kandang tidak berkelahi dan segera melakukan perawatan kesehatan dari dokter hewan untuk perawatan dan pengobatan penyakit.

5.4 Pengelolaan Reproduksi

Buaya muara bereproduksi dengan cara ovipar. Kopulasi dilakukan di dalam air dan berlangsung hanya beberapa menit saja pada siang hari. Kemudian buaya betina mempersiapkan sarang untuk bertelur yang letaknya tidak jauh dari kolam. Pengelolaan reproduksi di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya meliputi pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, pengaturan kawin, musim bertelur dan penetasan telur.

5.4.1 Pemilihan bibit

Pemilihan bibit bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan

berkualitas. Di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya pemilihan bibit

dilakukan dengan memperhatikan kondisi fisik buaya muara yaitu sehat, tidak cacat dan tidak berasal dari satu keturunan. Buaya muara di penangkaran TBIJ ini pertama kali diperoleh dari kerabat dekat bapak Lukman Arifin di Kalimantan berjumlah sepasang.


(55)

5.4.2 Penentuan jenis kelamin

Penentuan jenis kelamin di penangkaran ini dilakukan secara manual dengan cara bagian kloaka ditekan agar kelamin buaya muara dapat terlihat. Kelamin jantan pada buaya muara terdapat tonjolan sedangkan kelamin betina tidak mempunyai tonjolan. Untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada buaya muara dibutuhkan pengalaman dan keahlian tersendiri yang biasanya dilakukan oleh dokter hewan dan ahli buaya. Alat kelamin pada buaya muara dapat terdeteksi setelah buaya muara berumur ± 2 tahun.

Gambar 17 Cara penentuan jenis kelamin melalui kloaka.

5.4.3 Pengaturan kawin

Pembentukan pasangan kawin di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dengan membiarkan betina memilih pasangannya sendiri. Perkawinan buaya muara terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi dan terjadi antara bulan Februari sampai Oktober (Ratnani 2007). Di penangkaran ini musim kawin terjadi pada bulan Juli sampai dengan Agustus.

5.4.4 Musim bertelur

Buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya ini bertelur pada bulan September sampai Maret. Jumlah telur yang dihasilkan di penangkaran ini tahun 2010 sebanyak 200 butir dan telur yang berhasil menetas sebanyak 95 butir, sedangkan tahun 2011 telur yang dihasilkan sebanyak 360 butir dan yang berhasil menetas sebanyak 142 butir. Telur yang dihasilkan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya masih relatif sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh letak kandang buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya tidak tepat


(56)

karena adanya pengunjung yang berinteraksi dengan buaya muara di kandang sehingga pada saat musim kawin buaya muara menjadi terganggu oleh aktivitas pengunjung sehingga berdampak pada jumlah telur yang dihasilkan relatif sedikit. Selain itu, individu yang berasal dari keturunan segaris umumnya lebih rentan dalam hal bereproduksi, ketahanan tubuh kurang baik dan mengurangi penampilan bibit.

5.4.5 Penetasan telur

Penetasan telur di penangkaran TBIJ masih dilakukan dengan cara konvensional. Tahapan-tahapan penetasan telur meliputi :

1. Persiapan inkubator

Penetasan telur dilakukan di dalam ruangan inkubator berupa bangunan tertutup yang berukuran 4 m x 3 m x 2 m, berdinding tembok berlapis stereoform, atap berupa asbes dan lantai berupa semen serta diberikan lampu pijar (100 watt per lampu). Pemberian lampu pijar ini bertujuan untuk mengatur suhu penetasan

agar mencapai suhu 34°C. Sebelum dilakukan proses penetasan telur, Animal

Keeper melakukan pembersihan ruangan inkubator, keranjang telur dan media

penetasan. Media penetasan yang digunakan berupa gabah. Untuk mengatur kelembaban pada saat penetasan, media penetasan (gabah) disemprot dengan air hingga mencapai kelembaban 90%.

2. Pengumpulan telur

Pengumpulan telur dilakukan oleh tiga orang. Satu orang mengambil telur dalam sarang dan dua orang lagi mengawasi indukan dengan menggunakan tongkat untuk mengusir buaya jika menghampiri, karena indukan pada saat bertelur lebih agresif dari biasanya. Pengumpulan telur dilakukan dua minggu setelah buaya muara bertelur hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penyortiran dan mempercepat penetasan karena pada umur dua minggu setelah telur dikeluarkan oleh induk buaya, tanda-tanda telur berembrio dapat terlihat lebih jelas.

3. Penyortiran

Tahapan penyortiran bertujuan untuk mendeteksi apakah telur mengandung embrio atau tidak. Tahap penyortiran meliputi pembersihan dan


(57)

pengecekan. Pembersihan bertujuan agar telur terhindar dari kotoran setelah dilakukan pembersihan dilakukan pengecekan. Pengecekan dilakukan di bawah cahaya lampu untuk mendeteksi apakah telur mengandung embrio atau tidak. Telur yang tidak mengandung embrio diberikan tanda dengan menggunakan spidol namun masih tetap diikutsertakan dalam penetasan. Menurut Bolton (1988)

dalam Permatasari (2002), titik embrio pada telur alligator hampir sama dengan

buaya muara. 4. Peletakan telur

Wadah yang digunakan untuk meletakan telur adalah keranjang plastik yang mempunyai pori-pori kecil. Telur yang akan ditetaskan disusun di media gabah. Telur tersebut diletakan secara vertikal. Penggunaan gabah sebagai media karena mudah menyerap dan menyimpan air sehingga kelembaban telur tetap terjaga serta dapat menghasilkan panas yang stabil. Hal yang harus diperhatikan pada saat proses penetasan telur adalah posisi telur karena jika salah posisinya maka telur tidak akan menetas. Peletakan posisi telur dalam media gabah harus sama dengan posisi di dalam sarang alami (ketika diambil dari kandang) bertujuan agar embrio yang berada di dalam telur tidak rusak.

Gambar 18 Peletakan posisi telur.

4. Penomoran

Pemberian nomor dilakukan setelah telur diletakkan dan disusun dalam keranjang sebelum ditimbun kembali dengan gabah. Penomoran bertujuan untuk

memudahkan Animal Keeper memantau perkembangan embrio dan waktu

penetasannya. Pemberian nomor menggunakan spidol permanen agar tidak mudah luntur. Teknik penomoran dilakukan secara urut dengan sistem penomoran bentuk ular yang dimulai kiri atas baris pertama.


(1)

Presiden Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar.

Primack RB. 2010. Essentials of Conservation Biology. 5th ed. Sinauer Associates. Sunderland.

Ratnani B. 2007. Analisis manajemen penangkaran buaya pada PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.

REI [Redaksi Ensiklopedi Indonesia]. 2008. Reptilia dan Amfibia. PT. Intermasa. Jakarta.

Rosenzweig. 2008. Estuarine Crocodile Reptilia and Amfibia. Oxford University . Sandjojo I. 1982. Studi kemungkinan usaha penangkaran buaya [skripsi]. Bogor:

Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Sarwono. 2010. Pemanfaatan Crocodylus porosus. Indonesia : Pustaka Jaya. Semiadi G. 2007. pemanfaatan satwaliar dalam rangka konservasi dan pemenuhan

gizi masyarakat. Zoo Indonesia 16 (2): 63-74.

Setiadi AP. 2011. Status, Distribusi, Populasi, Ekologi dan Konservasi Elang Jawa Spizaetus Bartelsi Di Jawa Barat Bagian Selatan. Universitas Padjajaran Bandung. Bandung.

Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi ex situ burung endemik langka melalui penangkaran. Di dalam : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prodiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian ; 20 September 2006. Bogor : Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Hlm 47-61.

Sihotang BRM. 1999. Analisis karakteristik pegunjung rekreasi keluarga di Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang. Skripsi. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Simanungkalit, S.M. 2009. [skripsi]. Tinjauan Aktivitas Penangkaran Satwa Buaya Milik KSDA Wilayah Irian Jaya di Sorong. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari.


(2)

62

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. JICA. Jakarta.

Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian Skala Likert. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Jawa Barat.

Sukiya. 2008. Cara-cara Pemeliharaan Reptilia. Jakarta : Putra Pustaka Prima. Suwandi. 1991. Pengaruh pemberian beberapa konsumsi bahan makanan ikan teri

dan udang terhadap pertumbuhan anak buaya Irian [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alami dan Ekosistem.

Webb G, Manolis C. 1989. Crocodiles of Australia: A Natural History. Frenchs Forest, NSW: Reed Books.

Yudhi I. 2012. Manajemen Pakan dan Kesehatan Satwaliar. Subang-Blanakan. Jawa Barat.


(3)

(4)

64

Lampiran 1 Tabel suhu dan kelembaban dalam kandang penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia Jaya bulan Februari 2012

No Pukul Suhu (°C) Kelembaban (%)

1 06.00 25 84

2 07.00 26 84

3 08.00 26 84

4 09.00 29 92

5 10.00 29 92

6 11.00 30 73

7 12.00 30 73

8 13.00 33 85

9 14.00 33 85

10 15.00 29 78

11 16.00 31 79

12 17.00 30 85

Rata-Rata 29,25 82,83

Lampiran 2 Tabel produksi telur buaya muara tahun 2010 No Tanggal pengumpulan

telur

Jenis buaya Jumlah telur seluruhnya (butir) Jumlah telur menetas Tanggal menetas

1 9/10/2010 Muara 48 23 10/1/2010

2 27/10/2010 Muara 55 39 28/1/2010

3 17/12/2011 Muara 35 15 22/4/2011

4 12/1/2011 Muara 20 4 15/4/2011

5 20/2/2011 Muara 42 14 19/5/2011

Total 200 95

Lampiran 3 Tabel produksi telur buaya muara tahun 2011

No Tanggal Jenis buaya Jumlah telur

seluruhnya (butir)

Jumlah telur menetas (butir)

1 15/9/2011 Muara 35 17

2 28/9/2011 Muara 40 20

3 5/10/2011 Muara 29 10

4 13/10/2011 Muara 25 0

5 18/10/2011 Muara 56 18

6 20/10/2011 Muara 58 12

7 23/10/2011 Muara 27 18

8 3/11/2011 Muara 25 12

9 15/11/2011 Muara 30 19

10 30/11/2011 Muara 35 16


(5)

Lampiran 4 Tabel kematian anakan buaya muara.

No Tanggal Jumlah kematian

(ekor)

Jumlah seluruhnya (ekor)

1 4/1/2011 2

85

2 8/1/2011 2

3 10/1/2011 4

4 15/1/2011 2

5 19/1/2011 4

6 22/1/2011 1

7 23/1/2011 3

8 24/1/2011 2

9 28/1/2011 3

10 29/1/2011 1

11 31/1/2011 1

12 2/2/2011 1

73

13 4/2/2011 3

14 7/2/2011 2

15 8/2/2011 4

16 10/2/2011 2

17 11/2/2011 2

18 12/2/2011 1

19 14/2/2011 1

20 15/2/2011 3

21 17/2/2011 3

22 18/2/2011 1

23 19/2/2011 1

24 21/2/2011 1

25 29/2/2011 3

26 18/3/2011 4

49

27 27/3/2011 3

28 31/3/2011 2

29 14/4/2011 3

38

30 20/4/2011 1

31 28/4/2011 1

Total 67 245

Lampiran 5 Tabel induk betina buaya muara

No Tahun Jumlah induk seluruhnya

(ekor)

Jumlah induk yang berkembangbiak (ekor)

1 2010 84 35

2 2011 71 43


(6)

66

Lampiran 6 Fasilitas pendukung wisata di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya

Mushola Sarana bermain anak-anak