UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eksipien
Menurut International Pharmaceutical Excipients Council Amerika dan Eropa, eksipien adalah substansi selain zat aktif yang terdapat pada sediaan farmasi.
Penggunaan eksipien pada sediaan farmasi berfungsi untuk mempermudah proses produksi, menjaga stabilitas sediaan selama penyimpanan dan meningkatkan
bioavaibilitas zat aktif Blecher, 1995. Selain itu, penambahan eksipien ke dalam sediaan farmasi bertujuan untuk menjaga pH pada formula larutan, menjaga reologi
sediaan semisolid, pengikat dan penghancur pada tablet, agen pengemulsi, antioksidan, alasan estetika dan pengisi pada sediaan dengan dosis zat aktif yang kecil Fathima, et
al., 2011. Karakteristik yang ideal bagi eksipien yang digunakan adalah stabil secara kimia, bersifat inert, ekonomis dan tidak toksik Chaudhari, et al., 2012. Salah satu
eksipien yang banyak dimanfaatkan pada industri farmasi adalah gelatin.
2.2 Gelatin
Gelatin adalah protein yang diperoleh melalui hidrolisis parsial jaringan kolagen hewan yang terdapat pada bagian kulit dan tulang Gimenez et al., 2005.
Komponen dasar penyusun gelatin terdiri dari 50,5 karbon, 6.8 hidrogen, 17 nitrogen dan 25.2 oksigen. Berat molekul gelatin berkisar antara 15.000-400.000.
Sebagai produk turunan protein, gelatin dapat dihidrolisis oleh enzim proteolitik dan menghasilkan komponen peptida atau asam amino GMIA, 2012.
Susunan asam amino pada gelatin hampir mirip dengan kolagen, dimana 23 asam amino penyusunnya didominasi oleh glisin. Sementara, 13 asam amino yang
tersisa disusun oleh prolin dan hidroksiprolin Chaplin, 2005. Pada gelatin, asam-asam amino saling terikat melalui ikatan peptida. Namun, gelatin tidak dapat digolongkan
sebagai protein yang lengkap karena tidak adanya triptofan dan histidin Grobben et
al., 2004. Struktur kimia gelatin dapat dilihat pada gambar 2.1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.1 Struktur kimia gelatin Grobben et al., 2004
2.2.1 Sifat Fisika Kimia Gelatin
Gelatin komersial yang beredar di pasaran dapat berbentuk lembaran tipis yang transparan atau granul transparan, berwarna kuning terang hingga kuning pucat, tidak
berbau dan tidak berasa Irwandi, et al., 2009. Kelembaban yang dimiliki oleh gelatin berkisar antara 8-13 dengan densitas relatifnya 1,3-1,4 GMIA, 2012. Sifat fisika
dan kimia gelatin dipengaruhi oleh sumber hewan, jenis hewan, umur hewan, tipe kolagen, karakteristik kolagen, metode pembuatan, temperatur, waktu dan pH selama
proses produksi Kolodziejska et al., 2008. Menurut Handbook Of Pharmaceutical Excipent 2009, gelatin praktis tidak
larut dalam aseton, kloroform, etanol 95, eter dan metanol. Namun, larut dalam gliserol, propilen glikol asam dan basa lemah. Penambahan asam dan basa kuat dapat
mengendapkan gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan akan membentuk gel pada suhu 35-40
C. Sementara, pada suhu lebih besar dari 40 C sistem berada dalam
keadaan sol yang bersifat reversibel terhadap pemanasan. Dalam air, gelatin akan mengembang dan melunak, secara perlahan akan menyerap air sebanyak 5-10 kali
bobotnya. Larutan gelatin yang steril bila disimpan dalam suhu dingin akan stabil. Tetapi pada suhu tinggi larutan gelatin akan rentan terhadap reaksi hidrolisis.
Menurut Handbook Of Pharmaceutical Excipent 2009, karakteristik gelatin yang umum dimanfaatkan sebagai eksipien adalah kemampuan gelatin mengembang
dan membentuk gel. Kemampuan pembentukan gel dan viskositas gelatin akan menurun dengan pemanasan pada suhu di atas 40
C. Kekakuan atau kekuatan gel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tergantung pada konsentrasi gelatin, kekuatan intrinsik dari gelatin, pH, suhu, dan adanya zat tambahan. Kekuatan instrinsik gelatin merupakan fungsi dari struktur dan
massa molekul GMIA, 2012.
Gelatin merupakan senyawa amfoter, dimana titik isoelektrik gelatin tipe A berada diantara pH 7-9 dan titik isoelektrik gelatin tipe B berada pada pH 4,7-5,4.
Perubahan pH yang ekstrim dan adanya enzim proteolitik karena kontaminasi mikroorganisme dapat menyebabkan degradasi pada gelatin. Sifat fisika dan kimia
gelatin dapat berubah dengan adanya modifikasi struktur gelatin atau reaksi kimia, meliputi seperti asilasi, esterifikasi, deaminasi, cross-linking dan polimerisasi, serta
reaksi sederhana dengan asam dan basa. Viskositas larutan gelatin akan sebanding
dengan jumlah gelatin yang digunakan GMIA, 2012.
Terdapat 2 tipe gelatin komersial di pasaran, yaitu gelatin tipe A yang diproduksi melalui hidrolisis asam dan gelatin tipe B yang diproduksi melalui hidrolisis
basa. Sifat fisika dan kimia gelatin tipe A dan tipe B tidak banyak berbeda. Perbedaan gelatin tipe A dan tipe B berada pada asam amino penyusunnya. Gelatin tipe A
memiliki kandungan glisin dan prolin yang lebih besar dibandingkan gelatin tipe B. Selain itu, asam amino yang bersifat polar seperti asam aspartat, asam glutamat dan
arginin juga lebih banyak terdapat pada gelatin tipe A Hermanto, et al., 2013.
2.2.2 Klasifikasi Gelatin
Berdasarkan proses produksinya, gelatin dibagi menjadi tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan baku direndam dalam larutan asam, sehingga
proses ini disebut juga dengan proses asam. Sedangkan pada gelatin tipe B, bahan baku direndam dalam larutan basa dan disebut juga proses basa. Bahan baku gelatin tipe A
umumnya berasal dari kulit babi dan bahan baku gelatin tipe B berasal dari tulang dan kulit jangat sapi Utama, 1997. Gelatin tipe A dibuat dengan menggunakan larutan
asam klorida atau asam sulfat Rachmawati et al., 2011. Sedangkan, gelatin tipe B dapat diproduksi dengan menggunakan larutan basa, seperti air kapur Poppe, 1992.
Gelatin komersial yang beredar di pasaran terdiri dari golongan farmasetik dan non-farmasetik. Gelatin golongan farmasetik adalah gelatin yang telah disetujui oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
FDA dan tingkat kemurniannya sesuai dengan persyaratan pada USP, BP dan Ph.Eur. Gelatin yang digunakan pada produksi obat adalah gelatin golongan farmasetik
European Pharmacopeia. Gelatin golongan non-farmasetik terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah gelatin pro analisis yang memiliki tingkat kemurnian 99,9.
Pada bidang farmasi, gelatin pro analisis digunakan untuk kebutuhan analisis.
2.2.3 Manfaat Gelatin GMIA, 2012
Kemampuan gelatin untuk mengembang dan membentuk gel menjadikan gelatin digunakan secara luas, baik dalam bidang farmasi, pangan ataupun kosmetik.
Pada bidang farmasi, gelatin merupakan bahan utama penyusun cangkang kapsul, pengikat pada tablet, penyalut tablet, eksipien pada supposituria dan media untuk
pertumbuhan bakteri. Salah satu pemanfaatan gelatin pada bidang farmasi adalah penggunaan gelatin yang berasal dari kulit babi sebagai stabilizer vaksin. Stabilizer
pada vaksin berfungsi untuk menjaga stabilitas vaksin selama penyimpanan sehingga tetap aman dan efektif saat digunakan oleh pasien. Gelatin yang digunakan pada vaksin
harus memiliki kemurnian yang tinggi. Penggunaan gelatin tipe lain sebagai eksipien pada vaksin dilaporkan membutuhkan waktu pengembangan yang lama untuk menilai
efektifitas dan keamanannya Public Health England, 2015. Pada bidang pangan, gelatin dimanfaatkan untuk membentuk lapisan film pada
buah, membentuk gel pada makanan, sebagai campuran pada bubuk agar untuk meningkatkan ketebalan agar thickener, memperbaiki tekstur dan konsistensi produk
susu. Kemampuan gelatin berperan sebagai emulgator juga dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas emulsi pada produk sampo, penyegar, krim, sabun, lipstick, cat kuku
Hastuti,2007. 2.3
Toksisitas
Toksisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu senyawa menimbulkan efek yang berbahaya atau efek toksik pada suatu organisme. Senyawa yang dapat
menimbulkan toksisitas disebut dengan toksin. Efek berbahaya biasanya ditimbulkan karena adanya interaksi toksin dengan DNA atau protein Hodgson, 2000. Potensi
toksik suatu senyawa dipengaruhi oleh dosis, konsentrasi racun pada reseptor, sifat zat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tersebut, kondisi bioorganisme, dan bentuk efek yang ditimbulkan Wirasuta et al., 2007.
Pemaparan senyawa kimia terhadap tubuh merupakan hal yang sulit dihindari. Evaluasi toksisitas suatu senyawa perlu dilakukan untuk menentukan nilai pemaparan
senyawa kimia yang dapat menimbulkan efek berbahaya Mansuroh, 2013. Salah satu
mekanisme evaluasinya adalah melalui uji toksisitas. 2.4
Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik yang dapat ditimbulkan
oleh suatu zat pada sistem biologi. Pada uji toksisitas akan dihasilkan data berupa dosis- respon dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia
BPOM, 2014. Data toksisitas yang ideal didapatkan dari uji toksisitas pada manusia. Adanya
keterbatasan etik membuat uji toksisitas tidak dapat dilakukan pada manusia. Uji toksisitas umumnya dilakukan pada hewan atau sel kultur. Hasil uji toksisitas dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu senyawa, efek samping yang dapat ditimbulkan oleh suatu senyawa dan batasan maksimum penggunaan suatu
senyawa Hodgson, et al., 2000. Pengujian toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu uji toksisitas umum dan uji
toksisitas khusus. Uji toksisitas umum dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek yang ditimbulkan oleh obat pada hewan uji. Berdasarkan waktu perlakuan, uji
toksisitas umum terbagi menjadi uji toksisitas akut, subkronis dan kronis. Sedangkan, uji toksisitas khusus dirancang untuk mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas secara
khusus, seperti uji teratogenik, uji mutagenik, dan uji karsinogenik Ningrum, 2012.
2.5 Uji Toksisitas Akut Oral
Toksisitas akut adalah efek toksik yang timbul akibat paparan senyawa kimia dalam waktu yang singkat Hodgson, 2000. Adapun uji toksisitas akut merupakan
pengujian yang bertujuan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji. Pada uji toksisitas akut oral, sediaan uji
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diberikan secara oral dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu kurang dari 24 jam. Setelah pemberian sediaan uji, dilakukan pengamatan
terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama percobaan akan dibedah untuk melihat tanda toksisitas pada histopatologi organ. Sedangkan, hewan uji
yang hidup sampai akhir percobaan akan diamati untuk melihat adanya gejala-gejala toksisitas dan diterminasi pada akhir uji BPOM, 2014. Pengamatan tanda toksisitas
dan kematian dilakukan setiap 30 menit selama 4 jam dan dilanjutkan selama 14 hari OECD, 2008. Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui profil keamanan suatu
senyawa, menentukan klasifikasi toksisitas suatu senyawa, dan estimasi nilai LD
50
Hau et al., 2003.
Hasil yang bisa didapatkan dari uji toksisitas akut adalah nilai LD
50
senyawa uji Gupta et al., 2012. LD
50
adalah dosis tunggal suatu senyawa yang secara statistik diperkirakan akan membunuh 50 hewan percobaan Harmita, 2006. Penentuan LD
50
merupakan langkah awal yang digunakan untuk menilai toksisitas dan keamanan
senyawa uji.
Toksisitas suatu senyawa dapat diklasifikasikan berdasarkan kategori GHS Globally Harmonised Classification System for Chemical Substances and Mixtures
yang tercantum dalam Thirteenth Addendum to The OECD Guidelines for The Testing of Chemicals 2001. Klasifikasi toksisitas senyawa berdasarkan GHS dapat dilihat
pada tabel 2.1 Tabel 2.1 Kriteria toksisitas senyawa berdasarkan GHS
TOKSISITAS AKUT ORAL Kategori 1
Kategori 2 Kategori 3
Kategori 4 Kategori 5
LD
50
Oral ≤ 5 mgkg
5 mgkg BB
≤ 50 50 mgkg
BB ≤ 300
300 mgkg BB
≤ 2000 2000 mgkg
BB ≤ 5000
Istilah Berbahaya
Berbahaya Berbahaya
Peringatan Peringatan
Pernyataan bahaya
Fatal jika ditelan
Fatal jika ditelan
Beracun jika ditelan
Berbahaya jika ditelan
Mungkin berbahaya jika
ditelan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sistem klasifikasi toksisitas lainnya adalah klasifikasi toksisitas Loomis 1978. Menurut Loomis 1978, potensi toksisitas akut suatu senyata uji dapat digolongkan
menjadi beberapa kelas, seperti yang terlihat pada tabel 2.2 Tabel 2.2 Klasifikasi Toksisitas Akut Loomis 1978
No. Kelas LD
50
mgkgBB 1
Luar biasa toksik 1 atau kurang
2 Sangat toksik
1-50 3
Cukup toksik 50-500
4 Sedikit toksik
500-5000 5
Praktis tidak toksik 5000-15000
6 Relatif kurang berbahaya Lebih dari 15000
2.5.1 Penentuan Nilai LD
50
Panduan uji toksisitas akut dari OECD Organisation for Economic Co- operation and Development dilakukan dengan memberikan dosis tunggal sampel uji
secara oral kepada hewan uji berusia 8-12 minggu. Pengamatan jangka pendek terhadap hewan uji dilakukan setiap 30 menit pada 4 jam awal setelah pemberian bahan
uji dan dilanjutkan setiap harinya selama 14 hari yang meliputi pengamatan adanya tanda dan gejala toksisitas, penimbangan berat badan. Berat hewan uji yang digunakan
harus dalam interval ±20 dari berat rata-rata semua hewan. Adapun metode uji toksisitas akut oral yang telah dipublikasi oleh OECD adalah panduan 401, 420, 423
dan 425. Masing-masing metode yang dipublikasikan oleh OECD memiliki kelebihan dan keterbatasan Sitzel, et al., 1999. Berikut penjabaran masing-masing metode uji
toksisitas akut oral OECD:
2.5.1.1 Metode Standar OECD 401 Acute Oral Toxicity AOT
Pedoman uji toksisitas akut oral pertama yang dipublikasikan oleh OECD adalah pedoman nomor 401. Pada uji toksisitas ini, hewan uji dengan jenis kelamin
yang sama dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah ditetapkan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor hewan uji yang hanya menerima satu dosis saja. Pemberian dosis dilakukan secara oral dan dengan dosis bertingkat antar kelompok.
Setelah uji selesai, dilakukan uji kembali dengan menggunakan hewan uji dari jenis kelamin berbeda. Hewan uji yang digunakan adalah tikus atau mencit rodentia
dengan jenis kelamin yang sama OECD, 1987; SitzelCarr 1999. Penentuan LD
50
didasarkan pada dosis yang dapat menyebabkan kematian pada 50 hewan uji. Metode penentuan LD
50
mengikuti metode dari Bliss, Litchifield, Wilcoxon, Finney, Weil, Thompson, maupun Miller Tainter. Kurva dosis respon
dapat dilinearkan dengan persen respon untuk log dosis ke dalam grafik probit. Metode uji toksisitas akut oral OECD 401 sudah tidak digunakan sejak
Desember 2002 karena metode ini menggunakan banyak hewan uji Schelde, et al.,
2005 2.5.1.2 Metode Standar OECD 420
Fixed Dose Procedure FDP
Metode OECD 420 Fixed Dose Procedure FDP pertama kali diusulkan oleh British Toxicology Society pada tahun 1984. Tahun 2001 OECD secara resmi
mempublikasikan metode 420 sebagai pengganti metode OECD 401. Tujuan pengembangan metode ini untuk mengurangi penggunaan hewan uji dan menghindari
kematian hewan uji sebagai titik akhir dari uji toksisitas OECD, 2001 SitzelCarr 1999.
Prinsip uji toksisitas akut oral OECD 420 adalah mengelompokkan hewan uji dengan jenis kelamin yang sama ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah
ditetapkan yaitu 5, 50, 300 dan 2000 mgkgBB. Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor hewan uji. Hewan uji yang digunakan dapat berupa tikus atau mencit rodentia dengan
jenis kelamin betina. Penggunaan hewan uji jantan tidak direkomendasikan karena beberapa penelitian menyatakan bahwa hewan uji betina lebih sensitif OECD, 2001.
Sebelum dilakukan main test, dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu untuk menentukan dosis awal yang akan diberikan kepada hewan uji.
Nilai LD
50
yang dihasilkan dari metode OECD 420 berupa suatu rentang dosis, bukan merupakan suatu nilai pasti Sitzel, et al., 1999. Tingkat toksisitas senyawa uji
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dari GHS Globally Harmonized
System. 2.5.1.3 Metode Standar OECD 423
Acute Toxic Class Method ATC
Tahun 2001, OECD juga mempublikasikan metode standar OECD 423 sebagai alternatif metode OECD 401 Schelde, et al., 2005. Pada metode OECD 423, hewan
uji yang digunakan lebih sedikit 3 hewan uji dengan jenis kelamin yang sama tiap tahap uji dan titik akhir uji ditentukan berdasarkan kematian hewan uji.
Metode OECD 423 terdiri dari limit test dan main test. Pada limit test dilakukan penentuan dosis awal dengan menggunakan satu hewan uji pada tiap dosis. Dosis awal
yang diberikan merupakan dosis dibawah estimasi nilai LD
50
, namun menimbulkan gejala toksisitas pada hewan uji. Pada main test dosis diberikan secara bertahap dengan
menggunakan 3 hewan uji untuk masing-masing kelompok dosis.. Pemberian dosis berikutnya pada hewan uji didasarkan pada respon fisiologi hewan uji terhadap dosis
awal. Jika jumlah hewan uji yang mati lebih dari satu, maka dosis untuk uji berikutnya diturunkan, begitupun sebaliknya OECD, 2001c.
Dosis yang diberikan sama dengan dosis pada pedoman OECD 420 yaitu 5, 50, 300 dan 2000 mgkgBB. Nilai LD
50
yang dihasilkan juga berupa suatu rentang nilai dosis. Perbedaan metode OECD 420 dan 423 terletak pada jumlah hewan uji yang
digunakan untuk masing-masing kelompok dosis. 2.5.1.4 Metode Standar OECD 425
Up and Down Procedure UDP
Metode UDP pertama kali diusulkan oleh Bruce pada tahun 1985 dan dipublikasikan oleh OECD pada tahun 2001. Metode ini terdiri dari limit test dan main
test. Limit test dilakukan ketika diketahui bahwa senyawa uji memiliki toksisitas yang rendah. Sedangkan, main test dilakukan untuk senyawa uji yang diduga toksik atau
tidak memiliki informasi toksisitas OECD, 2008. Dosis yang diberikan pada limit test adalah 2000 mgkgBB atau 5000
mgkgBB. Penentuan dosis didasarkan pada informasi toksisitas senyawa uji. Pada penelitian ini, dosis yang diberikan adalah 5000 mgkgBB karena berdasarkan literatur,
bahan uji gelatin dianggap memiliki toksisitas yang sangat rendah Rowe, Sheskey
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Quinn, 2006. Limit test dapat terdiri dari 3 termin. Pada termin pertama limit test, digunakan satu hewan uji terlebih dahulu untuk diberi dosis 5000 mgkgBB. Jika
hewan uji tersebut mati, maka dilakukan main test. Sedangkan, jika hewan uji tersebut hidup maka dilakukan limit test untuk termin kedua menggunakan 2 hewan uji lainnya
dengan dosis yang sama. Jika kedua hewan uji pada termin ke-2 limit test mati, maka uji dilanjutkan ke main test. Namun, jika terdapat salah satu hewan uji yang hidup pada
termin kedua, maka limit test dilanjutkan ke termin ke-3 dengan menggunakan 2 hewan uji lainnya. Apabila hasil dari ketiga termin limit test menunjukkan adanya kematian
hanya pada 2 ekor tikus, maka limit test dapat dihentikan dan disimpulkan bahwa nilai LD
50
gelatin babi adalah 5000 mgkgBB. Sedangkan jika terdapat lebih dari 2 tikus yang mati, maka pengujian harus dilanjutkan ke main test OECD, 2008. Penentuan
nilai LD
50
melalui limit test dapat dilihat pada lampiran 6. Pada main test, pemberian dosis dilakukan secara bertahap. Dosis awal yang
diberikan merupakan dosis dibawah estimasi nilai LD
50
. Pemberian dosis berikutnya bergantung pada respon fisiologis hewan uji pertama. Jika hewan uji pertama bertahan
hidup, maka dosis berikutnya ditingkatkan. Sedangkan jika hewan uji pertama mati, maka dosis berikutnya diturunkan. Peningkatan atau penurunan dosis sesuai dengan
faktor 3,2. Adapun urutan dosis yang dianjurkan oleh OECD adalah 5,5; 17,5; 55; 175; 550; 1750; 5000 mgkgBB OECD, 2001. Pengamatan tanda, gejala toksisitas dan
kematian hewan uji dilakukan setiap 30 menit selama 4 jam setelah pemberian dosis dan dilanjutkan setiap hari selama 14 hari. Hewan uji yang digunakan dapat berupa
tikus atau mencit betina. Hewan uji jantan tidak direkomendasikan karena kurang sensitif jika dibandingkan hewan uji betina OECD, 2001. Uji dihentikan bila
memenuhi kriteria: a. Tiga hewan uji hidup pada batas atas uji;
b. Lima pembalikan muncul pada 6 hewan yang diujikan. Dimulai dari dosis terendah saat ditemukan hewan uji yang hidup, setelah itu dilakukan uji pada
konsentrasi di atas dosis terendah tersebut dan uji pada kedua konsentrasi ini dilakukan sebanyak 2 kali;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Jika ditemukan 3 kematian pada 4 konsentrasi yang sama. OECD, 2001 Penentuan LD
50
senyawa uji dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak AOT425StatPgm Acute Oral Toxicity Guideline 425 Statistical Programme. Data
yang dimasukkan ke dalam program AOT425StatPgm adalah dosis dan respon hewan uji matihidup. Prosedur penghitungan LD
50
dengan AOT425StatPgm berlangsung secara bertahap. Pengguna dapat memasukkan hasil uji untuk hewan pertama,
menyimpan data dan memasukkan hasil uji untuk hewan kedua pada hari yang berbeda. Jika seluruh hasil uji sudah dimasukkan ke dalam program, maka AOT425StatPgm
akan menggunakan hasil tersebut untuk menghitung nilai LD
50
. Program AOT425StatPgm dapat menghitung dosis rekomendasi untuk hewan uji berikutnya,
menentukan waktu penghentian pemberian dosis dan estimasi statistik LD
50
Westat ,2001. Perbandingan metode uji toksisitas akut oral yang dipublikasikan oleh OECD
dapat dilihat pada tabel 2.3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.3 Perbandingan Metode Uji Toksisitas Akut Oral OECD
Kriteria OECD 401 “AOT”
OECD 420 “FDP” OECD 423 “ATC”
OECD 425 “UDP”
Prinsip Pemberian dosis tunggal senyawa uji secara oral pada tikus atau mencit dengan pengamatan tanda dan gejala
toksisitas, berat badan dan kematian hewan uji selama 14 hari Jenis kelamin
hewan uji Terdapat kelompok hewan
uji jantan dan kelompok hewan uji betina
Hewan uji betina Hewan uji betina
Hewan uji betina
Jumlah hewan uji
Minimal 20. 5 hewan uji untuk tiap kelompok dosis
5 hewan uji untuk tiap kelompok dosis
3 hewan uji untuk tiap kelompok dosis
Maksimal 14 hewan uji. Pemberian dosis dilakukan
secara bertahap Dosis hewan
uji Maksimal 2000 mgkg bb
Kelompok dosis 5, 50, 300, dan 2000
mg kg bb Kelompok dosis 5,
50, 300, dan 2000 mg kg bb
Dimulai dari perkiraan LD
50
175 mgkgBB dan peningkatan dosisnya mengikuti
faktor pengalian 3,2. Pengamatan
Perubahan berat badan, gejala toksisitas, histopatologi Output
Rentang perkiraan LD
50
dan tanda-tanda toksisitas akut Estimasi interval nilai LD
50
dan tanda-tanda toksisitas akut
Masa berlaku metode
Dihapuskan pada tahun 2002 Masih berlaku
Masih berlaku Masih berlaku
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6 Penelitian Uji Toksisitas
Uji toksisitas umumnya dilakukan untuk mengetahui efek toksik yang dapat ditimbulkan oleh suatu ekstrak. Pada tahun 2009, Adeneye melakukan penelitian uji
toksisitas akut ekstrak air biji Hunteria umbellata. Metode yang digunakan adalah Up and Down Procedure UDP dari protokol OECD 425. Hewan uji yang digunakan
adalah 20 ekor tikus betina galur Wistar dengan usia 10-12 minggu dan interval berat badannya 110-140 g. Tahapan uji yang dilakukan terdiri dari limit test dengan dosis
2000 mgkgBB dan dilanjutkan dengan main test menggunakan dosis 175; 550; 2000 mgkg. Pada penelitian Adeneye 2009, uji toksisitas akut ditentukan melalui nilai
LD
50
ekstrak yang dihitung dengan menggunakan software AOT425StatPgm. Hasil penelitian melaporkan nilai LD
50
ekstrak air biji Hunteria umbellata adalah 1020 mgkgBB sedikit toksik.
Penelitian uji toksisitas akut dengan metode Up and Down Procedure UDP dari protokol OECD 425 juga dilakukan oleh Mohd Saleh 2012. Pada penelitian
tersebut dilakukan uji toksisitas akut ekstrak air daun kratom terhadap tikus galur Sprague Dawley. Sebelum pemberian ekstrak, hewan uji dipuasakan dan ditimbang
berat badannya. Dosis yang digunakan adalah 175, 500, 2000 mgkgBB dan diberikan secara oral dalam bentuk tunggal.
Hasil uji toksisitas ekstrak daun kratom tidak menunjukkan adanya perubahan signifikan pada berat badan, konsumsi makanan dan minuman tikus uji. Namun, pada
pemeriksaan biokimia darah hewan uji melaporkan adanya penurunan kadar hemoglobin korpuskular, albumin, kalsium dan kolesterol. Pengamatan histopatologi
organ hati menunjukkan adanya steatosis ST pada beberapa jaringan hati tikus uji betina dan jantan. Pemberian ekstrak kratom dengan dosis 2000 mgkgBB diketahui
dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular pada jaringan hati tikus jantan. Ekstrak air daun kratom tidak menimbulkan kematian pada hewan uji dan diklasifikasikan sebagai
senyawa agak sedikit toksik. Tahun 2015, Vidya Sabbani, et al melakukan uji toksisitas akut ekstrak etanol
daun Derris Scandens dan Pulicaria Wightiana pada tikus putih. Metode yang digunakan adalah Up and Down Procedure UDP dari protokol OECD 425. Hewan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
uji yang digunakan adalah tikus putih betina dengan berat 150-180 gram. Pada penelitian tersebut dilakukan main test dengan dosis 175, 550 dan 2000 mgkgBB.
Observasi tanda toksisitas dilakukan selama 14 hari meliputi adanya perubahan pada bulu dan kulit, tremor, konvulsi, salivasi, lakrimasi dan adanya kematian pada hewan
uji. Hasil observasi menunjukkan tidak adanya tanda toksisitas yang disebabkan oleh pemberian ekstrak etanol daun Derris Scandens dan Pulicaria Wightiana. Nilai LD
50
dari ekstrak etanol daun Derris Scandens dan Pulicaria Wightiana adalah lebih dari 2000 mgkgBB.
Penelitian uji toksisitas terhadap eksipien yang pernah dilakukan adalah uji toksisitas subkronik gelatin kulit ikan patin siam Pangasius hypophthalmus terhadap
mencit Mus musculus oleh Rachmawati, et al 2011. Pada penelitian tersebut digunakan 72 ekor mencit jantan dengan berat 20-30 g yang terbagi dalam 4 kelompok.
Dosis gelatin kulit ikan yang diberikan adalah 0 kontrol negatif, 12, 24 dan 48 mggBB mencit. Pemberian bahan uji dilakukan setiap hari selama 4 minggu yang
dilanjutkan dengan masa pemulihan recovery selama 2 minggu. Pengamatan toksisitas dilakukan terhadap kondisi serum darah, yaitu Glutamic
Oxaloacetic Transaminase GOT, Glutamic Pyruvic Transaminase GPT, kreatinin, albumin, dan Blood Urea Nitrogen BUN dan tingkat kerusakan organ target hati,
ginjal, dan lambung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian gelatin pada dosis 48 mggBB mencit berpengaruh pada kadar GOT setelah minggu ke-2 perlakuan.
Namun, dosis lainnya tidak menunjukkan perbedaan bermakna kerusakan organ target dari kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif Novalia, et
al., 2011.
2.7 Pengamatan Tanda Toksisitas Tikus