zat ekstraktif di dalam kayu memang sangat kecil dibandingkan dengan kandungan selulosa, hemiselulosa maupun lignin akan tetapi pengaruhnya cukup
besar terhadap sifat kayu dan sifat pengolahannya, antara lain yang sangat penting adalah pengaruhnya terhadap sifat ketahanan alami kayu Ramadhani 2006.
Pada dasarnya semua bagian kayu dapat dimanfaatkan oleh mikro organisme tertentu. Holoselulosa selulosa dan hemiselulosa dan lignin yang
secara bersama menyusun bagian terbesar kayu, akan dipecahkan oleh enzim- enzim yang dikeluarkan oleh cendawan dan bakteri menjadi persenyawaan-
persenyawaan yang sederhana, seperti gula, yang dapat diabsobsi dan dicerna oleh organisme-organisme perusak kayu Scheffer 1973 dalam Pratiwi 2009.
Ketahanan alami ditentukan oleh zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu, sehingga dengan sendirinya ketahanan alami ini
akan bervariasi sesuai dengan variasi jumlah serta jenis zat ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan ketahanan alami berbeda-beda menurut jenis kayu, dalam jenis
kayu yang sama maupun dalam pohon yang sama. Variasi ketahanan dalam pohon yang sama terjadi antara kayu gubal dengan kayu teras. Kayu gubal mempunyai
ketahanan yang rendah karena gubal tidak mengandung zat ekstraktif. Inilah sebabnya penggolongan ketahanan kayu didasarkan pada ketahanan kayu
terasnya. Variasi ketahanan juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras bagian luar lebih awet dibanding kayu teras bagian dalam Tobing 1977.
4.6 Ketahanan Kayu Terhadap Jamur Pelapuk
S. commune Fr.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan kayu dari serangan faktor perusak kayu yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar
berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana kayu tersebut digunakan, sedangkan faktor dalam adalah pengaruh komponen kimia dari kayu yang bersangkutan.
S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih white rot yang merombak lignin dan selulosa. Jamur pelapuk kayu mampu merusak selulosa dan
lignin penyusun kayu dengan cara menguraikan kayu melalui proses enzimatik dari bentuk yang kompleks menjadi lebih sederhana. Hal ini menyebabkan bobot
kayu menurun dari bobot awalnya. Besarnya nilai kehilangan bobot akibat
serangan jamur dalam waktu tertentu menunjukkan tingkat penyerangan jamur terhadap kayu tersebut Tambunan Nandika 1989 dalam Fitriyani 2010.
Hasil Analisa Statistik menyatakan bahwa persentase kehilangan bobot berbeda nyata pada taraf
uji α = 0,05. Artinya keempat jenis kayu rakyat menghasilkan kehilangan bobot yang berbeda-beda baik menggunakan arah serat
longitudinal maupun cross section. Nilai rataan kehilangan bobot pada kayu sengon nyata lebih tinggi dibanding ketiga jenis kayu rakyat lainnya kayu karet,
tusam, dan mangium. Hal ini diduga karena jumlah selulosa dan lignin yang terkandung pada kayu sengon lebih tinggi dibanding ketiga kayu lainnya.
Martawijaya et al. 1989 dalam Atlas Kayu Jilid 2 menyatakan bahwa kadar selulosa kayu sengon tergolong tinggi 49,4, sedangkan kandungan ligninnya
termasuk sedang 26,8. Menurut Pari 1996, kandungan selulosa kayu karet tergolong tinggi
47,81-48,64. Boerhendy dan Agustina 2006 dalam Fitriyani 2010 menambahkan bahwa kandungan selulosa pada kayu karet mencapai 45,
sedangkan kandungan ligninnya tergolong sedang yaitu 19,0-24,0. Sementara, menurut Deptan 1999 dalam Malik et al. bahwa kandungan selulosa pada kayu
mangium tergolong sedang yaitu sebesar 40-44, sedangkan menurut Siagian et al. 1999 kandungan ligninnya sebesar 19,7.
Pelapukan kayu merupakan proses berkurangnya kepadatan kayu yang dikarenakan terjadinya kerusakan bahan dasar kayu oleh jamur untuk proses
respirasi yang menghasilkan sejumlah CO
2
dan H
2
O
.
Dikatakan bahwa kayu pada tingkat pelapukan yang sudah lanjut dapat berubah, terutama warna kayu sebagai
akibat perombakan bahan dasar oleh jamur Cartwright dan Findlay 1958 dalam Rosyadi 1992. Mekanisme pelapukan kayu oleh jamur dibagi menjadi dua tipe,
yaitu tipe prefensi dan tipe simultan. Jamur tipe prefensi akan mendegradasi lignin terlebih dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa. Sedangkan
jamur tipe simultan mampu merombak selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada waktu dan kecepatan yang sama Irawati 2006.
Serangan jamur perusak kayu wood destroying fungi bersifat menghancurkan dan membusukkan bahan organik kayu karena sebagian dari masa
kayu dirombak secara biokimia. Kerusakan kayu akibat serangan jamur dapat
dilihat dengan adanya perubahan sifat fisik dan sifat kimia dari kayu. Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap kemungkinan pemakaian kayu. Pada
prinsipnya semua jenis kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran dapat diserang oleh jamur. Akan tetapi ada juga beberapa kayu yang tahan terhadap serangan
jamur. Hal ini disebabkan adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat sebagai anti jamur alami Nandika 1986.
Persentase kehilangan bobot kayu mangium adalah yang terendah yaitu sebesar 6,28 arah serat longitudinal dan 6,33 arah serat cross section. Hal
ini dapat juga dikatakan bahwa kayu mangium merupakan kayu yang paling tahan terhadap serangan jamur pelapuk kayu S. commune dibandingkan ketiga kayu
lainnya sengon, karet, dan tusam. Hal ini diduga karena jumlah zat ekstraktif yang terkandung pada kayu mangium lebih tinggi dibanding ketiga kayu lainnya.
Zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi, semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka kehilangan berat kayu
tersebut akan semakin rendah. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi
kadar ekstraktif, ketahanan alami kayu cenderung meningkat pula. Menurut Malik et al., kandungan zat ekstraktif kayu mangium tergolong
tinggi sebesar 5,6 sampai 14,8. Sementara, menurut Martawijaya et al. 1989 kandungan zat ekstraktif kayu sengon termasuk rendah yaitu sebesar 3,4. Pari
1996 menambahkan kandungan zat ekstraktif kayu karet sebesar 4,18-4,43. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah di antara spesies kayu, dan
bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat
diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur, dan rayap Fengel Wegener, 1995.
Jika dilihat dari jenisnya, kayu sengon, karet, dan mangium tergolong ke dalam kayu daun lebar Hardwood, sedangkan kayu pinustusam tergolong ke
dalam kayu daun jarum Softwood. Kandungan selulosa dan lignin pada kayu daun lebar Hardwood lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum
Softwood Pari 1996. Fengel Wegener 1984 menambahkan bahwasannya struktur selulosa pada kayu daun jarum softwood sama dengan pada kayu daun
lebar hardwood, tetapi selulosa pada kayu daun lebar mempunyai serat yang pendek, sedangkan pada kayu daun jarum mempunyai serat panjang. Lignin pada
kayu daun lebar berbeda dibandingkan dengan pada kayu daun jarum, baik susunan maupun kadarnya. Susunan dan kadar lignin berpengaruh terhadap sifat-
sifat seperti ketahanan kayu terhadap mikroorganisme, degradasi dan juga dalam teknologi pengolahan dan sebagainya. Sementara itu, kandungan zat ekstraktif
pada kayu daun lebar Hardwood lebih rendah dibandingkan kayu daun jarum Softwood. Karena zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur
pelapuk. Jadi semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka nilai kehilangan bobot kayu tersebut akan semakin rendah.
Tahapan persiapan contoh uji yang tertulis pada metode SNI 01.7207- 2006 masih kurang lengkap, karena pada tahapan ini tidak ada perintah untuk
menimbang dan mengoven contoh uji kayu sebelum diumpankan pada jamur. Sebelum pengumpanan sebaiknya menimbang dahulu bobot awal dan mengoven
contoh uji untuk selanjutnya ditimbang bobot kering tanurnya W
1
. Data W
1
dibutuhkan untuk menghitung persen kehilangan bobot contoh uji sesuai dengan
persamaan atau rumus yang terdapat pada poin 3.3.5 perhitungan kehilangan bobot. Nilai kehilangan bobot contoh uji kayu berdasarkan metode SNI 01.7207-
2006 merupakan selisih antara berat contoh uji kayu sebelum dan sesudah pengujian W
1
-W
2
atau ΔW dibagi dengan bobot contoh uji kayu sesudah pengujian W
2
dikalikan seratus persen. Jika menggunakan rumus kehilangan bobot yang tertulis dalam SNI
01.7207-2006 berdasarkan hasil perhitungan dari data-data yang diperoleh, maka didapat nilai yang tidak sesuai standar. Namun jika dihitung menggunakan rumus
yang tertulis dalam JIS K 1571-2004, maka nilai kehilangan bobot contoh uji kayu sesuai dengan nilai yang ada pada standar. Hal ini menunjukkan bahwa rumus
perhitungan persen kehilangan bobot kayu yang tertulis pada standar SNI kurang tepat. Untuk memperbaiki kualitas pernyataan hasil standar SNI, maka sebaiknya
standar SNI mengacu pada rumus kehilangan bobot contoh uji kayu yang tertulis dalam standar JIS, yaitu selisih antara bobot contoh uji kayu sebelum dan sesudah
pengujian ΔW dibagi dengan bobot contoh uji kayu sebelum pengujian W
1
dikalikan seratus persen.
V. KESIMPULAN