56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.8. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi
Hasil pengamatan preparat histopatologi yang dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Olympus SZ61 secara deskriptif pada perbesaran 10x, 20x
dan 40x dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 10. Hasil Pengamatan Parameter Histopatologi
Kelomp ok
Perbesaran 10x
20x 40x
KP
KN
KU I
KU II
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KU III
Ket : KP
: Kontrol Positif KN
: Kontrol Negatif KU I
: Kelompok Uji I Ekstrak 1 KU II
: Kelompok Uji II Ekstrak 5 KU III
: Kelompok Uji III Ekstrak 25
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Pembahasan
Uji aktivitas penyembuhan luka dalam penelitian ini didasarkan pada pengaruh ekstrak etanol umbi talas jepang terhadap luas luka, persentase
penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka dan parameter histopatologi neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen.
Talas jepang Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum merupakan tanaman yang sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di
Indonesia. Bagian daun dan umbi tanaman ini umumnya digunakan sebagai makanan di beberapa negara. Potensi daun tanaman ini dalam pengobatan telah
banyak diteliti. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas jepang yang diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan, Jawa
Timur. Sebelum digunakan dalam penelitian, dilakukan determinasi tanaman untuk memastikan kebenaran jenis tanaman ini yaitu Colocasia esculenta L.
Schott dari famili Araceae. Ekstrak etanol umbi talas jepang diperoleh dengan metode maserasi
menggunakan pelarut etanol 96. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk umbi talas jepang dengan pelarut etanol selama satu hari pada temperatur
kamar. Maserasi dipilih karena baik untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan memiliki beberapa keuntungan diantaranya peralatan yang
sederhana dan proses pengerjaannya yang mudah. Penggunaan etanol sebagai pelarut karena mempunyai sifat selektif, dapat bercampur dengan air dengan
segala perbandingan, ekonomis, mampu mengekstrak sebagian besar senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia seperti alkaloid, minyak atsiri, glikosida,
kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Sedangkan lemak, malam, tanin dan saponin, hanya sedikit larut Depkes RI, 1986. Iswanti,
2009 menjelaskan bahwa pelarut etanol dapat menyari hampir keseluruhan kandungan simplisia, baik polar, semi polar maupun non polar, sehingga
diharapkan dapat menarik kandungan berbagai senyawa pada sampel yang diprediksi berkhasiat dalam penyembuhan luka.
Filtrat yang diperoleh dari hasil maserasi diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga
didapatkan ekstrak kental. Kemudian ekstrak kental yang diperoleh dikeringkan
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam oven vacuum selama 9 hari untuk mengurangi kadar air dan residu pelarut pada ekstrak. Dari 1600 gram serbuk umbi talas jepang, diperoleh 168,859 gram
ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh adalah 10,554. Parameter non-spesifik merupakan suatu aspek yang berfokus pada aspek
kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas. Standarisasi parameter non-spesifik yang dilakukan pada penelitian ini
ialah uji kadar abu dan uji kadar air. Tujuan dari uji kadar abu untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dalam ekstrak. Persentase
kadar abu total tidak boleh lebih dari 16,6 Depkes RI, 2000. Pada pengujian ini diperoleh hasil kadar abu total sebesar 3,753 yang sesuai dengan persyaratan
tidak lebih dari 16,6. Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama natrium 740 mg100g, magnesium 79-122 mg100g, kalsium 24.7- 47.8
mg100g dan kalsium 42mg100g serta mengandung Zn 3,05 mg100g dan Besi 2,07 mg100g McEwan, 2008. Sedangkan uji kadar air bertujuan untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan Depkes RI, 2000. Uji kadar air ekstrak etanol umbi talas jepang dilakukan
dengan metode gravimetri dan diperoleh hasil kadar air sebesar 17,105. Hasil ini telah sesuai dengan persyaratan batas kadar air yang diperbolehkan untuk jenis
ekstrak kental adalah antara 5-30. Sementara untuk ekstrak cair lebih besar dari 30 dan ekstrak kering lebih kecil dari 5. Penentuan kadar air juga terkait
dengan kemurnian ekstrak. Semakin sedikit kadar air pada ekstrak maka semakin sedikit kemungkinan ekstrak terkontaminasi oleh pertumbuhan jamur Saifudin et
al., 2011 dalam Haryani et al, 2013. Perhitungan uji parameter esktrak dapat dilihat pada lampiran 8.
Kemudian dilakukan penapisan fitokimia pada ekstrak etanol umbi talas jepang. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi talas
jepang mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, tanin, polifenol dan glikosida jantung. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh
Subhash et al 2012 yang menggunakan ekstrak umbi Colocasia esculenta dengan enam pelarut berbeda petroleum eter, benzen, kloroform, metanol, etanol
dan air diketahui positif mengandung alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, saponin dan glikosida.
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak umbi talas jepang yang telah distandarisasi kemudian didispersikan dalam basis krim untuk diaplikasikan pada luka. Sediaan krim
dipilih karena mempunyai keuntungan yaitu bentuknya menarik, sederhana dalam pembuatannya, mudah dalam penggunaan, daya menyerap yang baik dan
memberikan rasa dingin pada kulit, krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, dan terdistribusi merata Depkes RI, 1995; Wijaya, 2013. Lachman
et al 1994 menjelaskan bahwa sediaan krim memiliki sifat umum mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama sebelum
sediaan tersebut dicuci atau dihilangkan, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan waktu kontak ekstrak pada luka sehingga dapat mempercepat
penyembuhan luka. Selanjutnya dilakukan evaluasi krim meliputi uji organoleptik dan homogenitas krim.
Pengujian organoleptik meliputi bentuk, warna, dan bau. Krim yang dihasilkan memiliki bentuk setengah padat yang merupakan karateristik dari krim
itu sendiri. Warna yang kecoklatan berasal dari warna ekstrak umbi talas jepang. Hal ini tampak dari perubahan warna basis krim yang semula berwarna putih
menjadi coklat. Semakin tinggi konsentransi ekstrak yang terkandung maka warnanya akan semakin coklat. Begitu pula halnya dengan aroma khas ekstrak
umbi talas jepang yang tercium dari krim dengan konsentransi 1, 5 dan 25. Semakin tinggi konsentransi ekstrak, maka semakin tercium aroma khas ekstrak
umbi talas jepang. Pengujian homogenitas merupakan pengujian terhadap ketercampuran
bahan-bahan dalam sediaan krim yang menunjukkan susunan yang homogen. Pengujian dikakukan terhadap basis krim dan juga krim dengan konsentransi 1,
5 dan 25. Uji I yang mengandung ekstrak 1 dan uji II yang mengandung ekstrak 5 menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran
halus. Uji III yang mengandung ekstrak 25 terlihat tidak homogen yang ditandai adanya butiran halus.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus jantan galur Sprague Dawley berusia 8 minggu. Tikus yang digunakan merupakan tikus
yang sehat dengan bobot sekitar 100-150 gram. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim lanakeloid
-E, kontrol negatif
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diberikan basis krim dan 3 kelompok uji yang diberikan perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang berdeda 1, 5 dan 25. Hewan uji kemudian
diaklimatisasi selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dalam kondisi lingkungan yang baru. Setiap kelompok tikus jantan ditempatkan pada kandang
yang berbeda dengan kepadatan kandang masing-masing 1 ekor. Selama aklimatisasi dilakukan pengamatan kondisi umum serta penimbangan berat badan.
Mayoritas dari hewan uji mengalami peningkatan berat badan. Grafik kenaikan berat badan tikus dapat dilihat pada gambar 6. Adanya peningkatan berat badan
menunjukkan bahwa tikus telah mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Sedangkan adanya penurunan berat badan pada beberapa tikus
dikarenakan factor-faktor tertentu yang bersifat relatif pada tikus tertentu, seperti kondisi kesehatan, kondisi organ tubuh, imunitas, dan beberapa faktor relatif lain.
Pembuatan luka pada masing-masing kelompok hewan uji dilakukan dengan metode Morton setelah aklimatisasi. Luka yang dihasilkan berbentuk
sirkular dengan diameter ±1 cm pada bagian dorsal 3 cm dari auricula tikus. Krim ekstrak etanol umbi talas jepang dioleskan pada luka sebanyak ±1 gram menutupi
keseluruhan bagian luka dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka sesuai dengan periode fase proliferasi selama
penyembuhan luka. Pada hari ke-7, tikus dibunuh dengan cara dibius dengan eter kemudian jaringan kulit diambil untuk pembuatan preparat histopatologi.
Pengamatan preparat jaringan kulit dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Olympus SZ61 secara deskriptif pada perbesaran 20x untuk menilai parameter
histopatologi keberadaan sel radang dan fibrolas, neokapilerisasi, dan kerapatan kolagen yang berperan dalam penyembuhan luka.
Pengamatan penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14 untuk melihat perkembangan luka selama penelitian. Sedangkan pengukuran
diameter luka dilakukan dalam interval waktu 3 hari. Pengukuran diameter luka dilakukan pada arah vertikal, horizontal dan kedua diagonal dengan software
ImageJ, kemudian dihitung rata-rata diameter luka. Dari hasil rata-rata diameter luka, selanjutnya ditentukan luas luka dan persentase penyembuhan luka masing-
masing kelompok. Data persentase penyembuhan luka yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan uji Paired Sample T-Test. Sebagai data tambahan, data
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berat badan tikus diambil tanpa dilakukan uji normalitas dan homogenitas maupun uji ANOVA.
Data rata-rata luas luka dan persentase penyembuhan luka pada setiap kelompok hewan uji dapat dilihat pada tabel 8 dan table 9. Berdasarkan data
tersebut rata-rata luas luka terkecil pada hari ke14 pengamatan adalah 0,00 KP, KU I, KU II, 0,01±0,060 KU III dan 0,12±0,27 KN, sedangkan data
persentase penyembuhan luka tertinggi yaitu 100 KP, KU I, KU II, 97,38 KU III dan 79,99 KN.
Berdasarkan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada dari hari ke-0 hingga hari ke-14, nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok kontrol positif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya, sedangkan nilai rata-rata
persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I,
II dan III. Perbandingan antara nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I, II dan III menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka dari yang tertinggi adalah kelompok uji I,III dan II. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-6
menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol positif lebih tinggi dari nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok uji II, dan III, tetapi tidak jauh berbeda dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka pada kelompok uji I, sedangkan nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya.
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-9 menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok
kontrol positif lebih tinggi dari nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I, II, dan III, sedangkan nilai rata-rata luas persentase penyembuhan
luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya. Nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka kelompok uji I lebih tinggi dibandingkan kelompok uji II dan III.