Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS JEPANG

(

Colocasia esculenta

(L.) Schott var.

antiquorum

) PADA

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) JANTAN GALUR

SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

TITIS MAWARSARI

1111102000021

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS JEPANG

(

Colocasia esculenta

(L.) Schott var.

antiquorum

) PADA

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) JANTAN GALUR

SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

TITIS MAWARSARI

1111102000021

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Titis Mawarsari Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var.

antiquorum) Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

Kasus luka bakar fase akut merupakan suatu bentuk kasus trauma kritis dengan angka mortalitas tinggi, belum tentu dijumpai pada kasus trauma lainnya. Oleh sebab itu, luka bakar dihadapkan pada kompleksitas permasalahan yang memerlukan perhatian secara khusus. Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) diketahui mengandung senyawa-senyawa yang berperan dalam penyembuhan luka seperti alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, saponin dan glikosida. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemberian ekstrak umbi talas jepang terhadap penyembuhan luka bakar. Ekstrak dibuat dengan maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim Lanakeloid-E®, kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim dan 3 kelompok uji konsentrasi yang diberikan krim ekstrak dengan konsentrasi yang bervariasi (1%, 5% dan 25%). Metode pembuatan luka bakar derajat dua menggunakan metode Akhoondinasab. Pemberian krim ekstrak dilakukan sebanyak dua kali sehari selama 21 hari. Parameter yang diamati meliputi penurunan luas luka bakar, persentase penyembuhan luka, keberadaan sel radang dan makrofag, serta neokapilerisasi. Hasil analisis statistik uji Paired-Samples T Test menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) terhadap luas luka awal dan luas luka akhir. Hasil analisis statistik uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa krim ekstrak umbi talas jepang dengan 3 konsentrasi berbeda menunjukkan efek penurunan luas luka bakar dan peningkatan persentase penyembuhan luka bakar yang tidak berbeda signifikan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Krim ekstrak etanol umbi talas jepang dapat memicu keberadaan sel radang dan makrofag serta neokapilerisasi. Krim ekstrak etanol umbi talas jepang dapat membantu dalam proses penyembuhan luka bakar derajat dua pada fase inflamasi dan proliferasi.

Kata Kunci : Umbi talas jepang, Colocasia esculenta (L.) Schott var.


(7)

ABSTRACT

Name : Titis Mawarsari

Major : Pharmacy

Title : Study of Burn Wound Healing Activity using Ethanolic Extracts of Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum

Tuber in White Male Rats (Rattus norvegicus) Sprague Dawley Strain

The acute phase of the burns case is a form of critical trauma with a number of high mortality, which is not necessarily found in other trauma cases. Therefore, burn wounds is facing the complexity of problems that need particular attention.

Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum tubers are known to contain compounds that play a role in wound healing such as steroid, alkaloid, flavonoid, tannin, phenol, triterpenoid, saponin and glycoside. The aim of this research is to examine the granting of Japanese taro tuber extracts toward the healing of burns. The extract is made by maceration using solvent ethanol 96%. This research uses white male rats who were divided into 5 groups, the positive control group was given a Lanakeloid-E® cream, the negative control group was given a base cream and 3 groups of test concentration were given the extracts cream with varying concentrations (1%, 5% and 25%). The method of making a second degree burn wound was the Akhoondinasab method. The extracts cream were applied twice a day for 21 days. The observed parameters include extensive burns, percentage of wound healing, the presence of macrophages, inflammation cell and new formed capillaries. The results of the statistical analysis Paired Samples T Test shows a significant difference towards the early and end wound. The results of the statistical analysis One-Way ANOVA test indicates that the extracts cream of tubers with 3 different concentrations indicates that the decreasing extensive burns and increasing percentage of wound healing effects where the burns did not differ significantly with the positive and negative controls. Ethanolic extract cream of the Japanese taro tubers can help trigger the presence of macrophages, inflammation cell and new formed capillaries. Ethanolic extract cream of the Japanese taro tubers can help in the second degree burns healing process at the inflammatory and proliferation phase.

Keywords: Taro tuber, Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum, ethanolic extracts cream, burn wound.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji, puja dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, ridho, karunia dan hidayah-Nya yang telah melimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley”. Sholawat serta salam

semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Dr. Azrifitria, M. Si., Apt dan Bapak Syaikhul Aziz, M. Si., Apt selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Umar Mansur, M. Sc., Apt, Ibu Eka Putri, M. Si., Apt, Bapak

Yardi, Ph. D., M. Si., Apt dan Ibu Prof. Dr. Atiek Soemiati, M. Si., Apt selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan evaluasi dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Arief Sumantri, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Yardi, Ph. D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak Suwarno dan Ibu Susy Adriyani yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materi, serta kasih sayang dan do’a yang tiada henti.


(9)

7. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak membantu dalam proses berlangsungnya penelitian ini.

9. Sahabat-sahabatku Nurhabiba Edriana, Santi Kurnia Dewi, Batari Wulanning Dyah Sidi, Qurry Mawaddana, Ageng Hasna Fauziyah, Sumiati, Eka Lestari Sitepu, Dina Adlina Amu, Khoirunnisa Robbani yang telah memberikan semangat dan pengalaman yang indah selama pendidikan perkuliahan.

10.Teman seperjuangan yang berjuang bersama dalam proses berlangsungnya penelitian ini, Nurhayati Nasution dan Athiyah Baharmi.

11.Teman-teman Farmasi angkatan 2011 yang sama-sama berjuang menyelesaikan pendidikan perkuliahan.

12.Teman-teman Farmasi 2011 AC yang tidak membuat penulis menyesal telah menjadi bagian dari kalian.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berdo’a semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

Ciputat, 2 Oktober 2015


(10)

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Hipotesis ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Tanaman Talas ... 4

2.1.1. Klasifikasi Ilmiah ... 5

2.1.2. Nama Lain ... 5

2.1.3. Morfologi Tanaman ... 6

2.1.4. Habitat Tanaman ... 6

2.1.5. Aktivitas Biologi ... 6

2.2. Tinjauan Hewan Percobaan ... 7

2.2.1. Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 7

2.2.2. Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 7

2.3. Luka Bakar ... 10

2.3.1. Klasifikasi Luka Bakar ... 10

2.3.2. Luas Luka Bakar ... 12

2.3.3. Faktor yang Berperan ... 13

2.3.4. Patofisiologi Luka Bakar ... 13

2.3.5. Proses Penyembuhan Luka Bakar ... 15

2.4. Kulit ... 21

2.4.1. Anatomi Kulit ... 21

2.4.2. Fisiologi Kulit ... 23

2.5. Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut ... 24

2.5.1. Cara Dingin ... 24

2.5.2. Cara Panas ... 25

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 26

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.2. Alat dan Bahan ... 26

3.2.1. Alat Penelitian ... 26


(12)

3.2.3. Hewan Uji ... 27

3.3. Rancangan Penelitian ... 27

3.4. Kegiatan Penelitian ... 28

3.4.1. Pemeriksaan Simplisia ... 28

3.4.2. Penyiapan Simplisia ... 28

3.4.3. Pembuatan Ekstrak ... 28

3.4.4. Skrining Fitokimia Ekstrak ... 29

3.4.5. Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 32

3.4.6. Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 33

3.4.7. Evaluasi Sediaan Krim ... 34

3.4.8. Persiapan Hewan Uji ... 34

3.4.9. Pembuatan Luka Bakar ... 34

3.4.10. Eksisi Jaringan Kulit Tikus ... 34

3.4.11. Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus ... 35

3.4.12. Pengamatan Preparat Histopatologi ... 36

3.4.13. Analisis Statistik ... 36

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Hasil Penelitian ... 37

4.1.1. Determinasi Tanaman ... 37

4.1.2. Ekstraksi Tanaman ... 37

4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia ... 37

4.1.4. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 38

4.1.5. Hasil Evaluasi Sediaan Krim ... 39

4.1.6. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ... 39

4.1.7. Hasil Pengukuran Penurunan Luas Luka Bakar ... 40

4.1.8. Hasil Pengamatan Fisiologis Luka Bakar Derajat Dua ... 43

4.1.9. Hasil Pengukuran Ketebalan Epitel Preparat Hari Ke-7 ... 45

4.1.10. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi ... 46

4.2. Pembahasan... 49

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 58


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Umbi C. esculenta var. esculenta dan var. antiquorum ... 5

Gambar 2. Potongan Kulit Normal Manusia dan Kedalaman Luka Bakar ... 12

Gambar 3. Diagram Rule of Nines dari Wallace untuk dewasa ... 12

Gambar 4. Anatomi Kulit Tikus ... 22

Gambar 5. Grafik Rerata Pengukuran Berat Badan Tikus ... 40

Gambar 6. Grafik Rerata Persentase Penyembuhan Luka Bakar ... 42

Gambar 7. Grafik Rerata Ketebalan Epitel Pada Preparat ... 45


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Data Biologis Tikus (Sprague Dawley® Rat)... ... ...9

Tabel 2.2. Tabel Lund & Browder ... 12

Tabel 3.1. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Pemberian Perlakuan 27 Tabel 3.2. Formula Basis Krim ... 33

Tabel 4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 38

Tabel 4.2. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 38

Tabel 4.3. Hasil Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 39

Tabel 4.4. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ... 39

Tabel 4.5. Rerata Penurunan Luas Luka Bakar dan Persentase Penyembuhan ... 41

Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Visual Rerata Fisiologis Luka Bakar Derajat Dua .. 44


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 66

Lampiran 2. Determinasi Tanaman ... 67

Lampiran 3. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ... 68

Lampiran 4. Pengamatan Rerata Fisiologis Luka Bakar ... 71

Lampiran 5. Tahapan Pengukuran Luas Luka Bakar ... 73

Lampiran 6. Data Luas Luka Bakar ... 75

Lampiran 7. Data Hasil Pengukuran Ketebalan Epitel Preparat Hari Ke-7 ... 77

Lampiran 8. Hasil Analisis Statistik Ketebalan Epitel Preparat Hari Ke-7 ... 78

Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Luas Luka Bakar Derajat Dua ... 82


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah. Saat terjadi kontak dengan sumber termis (atau penyebab lainnya), berlangsung reaksi kimiawi yang menguras energi dari jaringan sehingga sel tereduksi dan mengalami kerusakan (Moenadjat, 2009). Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal tetapi memiliki efek sistemik. Perubahan ini khusus terjadi pada luka bakar dan umumnya tidak ditemui pada luka yang disebabkan oleh cedera lainnya (Tiwari, 2012).

Prinsip penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi sekunder, memacu pembentukan jaringan kolagen dan mengupayakan agar sisa-sisa sel epitel dapat berkembang sehingga dapat menutup permukaan luka. Proses penyembuhan luka bakar dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka bakar sampai hari ketujuh, fase proliferasi berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga dan fase maturasi dapat berlangsung berbulan-bulan kemudian dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap (Sjamsuhidajat dan Jong, 1997).

Meskipun terdapat kemajuan yang luar biasa dalam industri obat farmasi, ketersediaan obat yang mampu merangsang proses perbaikan luka masih terbatas (Udupa et al., 1995). Pengobatan tradisional banyak dilakukan karena lebih murah, lebih mudah didapat, dan efek samping yang rendah (Kumar et al, 2007).


(17)

Tanaman talas sudah tidak asing di Indonesia. Namun, mungkin tak banyak masyarakat yang mengenal jenis talas jepang atau satoimo. Varietas talas dengan nama latin Colocasia esculenta var. antiquorum ini berbeda dengan talas biasa (Kartini P.S., 2009). Daun tanaman ini berkhasiat sebagai antidiabetes (Deshmukh T.A. et al, 2010). Tangkai daunnya berpotensi sebagai antiinflamasi (Murakami et al, 2005). Subhash et al (2012) melaporkan kandungan dari ekstrak umbi Colocasia esculenta

dengan enam pelarut berbeda (petroleum eter, benzen, kloroform, methanol, etanol dan air) positif mengandung alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, saponin dan glikosida.

Senyawa yang berperan pada proses penyembuhan luka diantaranya, alkaloid sebagai antibakteri (Robinson, 1991 dalam Wijaya dkk, 2014), flavonoid sebagai antiinflamasi dan antibakteri (Anggraini, 2008; Siregar, 2011), saponin sebagai antiseptik (Robinson, 1995), tanin dan triterpenoid sebagai antioksidan (Robinson, 1995).

Pendekatan secara ilmiah Colocasia esculenta untuk penyembuh luka didasarkan pada kandungan beberapa senyawa pada ekstrak umbi yang berpotensi sebagai penyembuh luka. Informasi tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan memanfaatkan umbi talas jepang yang terdapat sekitar 15 atau 20 buah umbi dalam satu tanaman (Wang, 1983), untuk mempercepat penyembuhan luka bakar pada tikus putih. Pemilihan bagian umbi dikarenakan masih sangat minimnya penelitian dengan menggunakan umbi talas jepang dibandingkan dengan daunnya.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar derajat dua pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?


(18)

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diantaranya:

Untuk mengkaji pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang secara topikal (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) terhadap penyembuhan luka bakar derajat dua pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

1. 4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini diantaranya:

1. Pemberian secara topikal ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) dapat menurunkan luas luka bakar derajat dua dan memberikan perubahan secara visual pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley. 2. Pemberian secara topikal ekstrak etanol umbi talas jepang

(Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan re-epitelisasi pada hari ke-7 terhadap luka bakar derajat dua pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague Dawley.

3. Pemberian secara topikal ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) dapat meningkatkan infiltrasi sel radang dan makrofag terhadap luka bakar derajat dua pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

1. 5 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai khasiat umbi talas jepang dalam membantu menyembuhkan luka bakar derajat dua dan dapat memberikan informasi dalam pengembangan ilmu bedah yang digunakan dalam pengobatan luka bakar untuk membantu dalam memperbaiki jaringan setelah pembedahan dan membantu mencegah berkembangnya infeksi luka.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tanaman Talas

Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) merupakan tanaman herba perenial yang termasuk dalam famili Araceae, C. esculenta yang dikelompokkan menjadi dua varietas, yaitu C. esculenta var. esculenta

(dasheen) dan C. esculenta var. antiquorum (eddoe). Talas dasheen memiliki umbi yang besar, sedangkan talas eddoe atau sering disebut talas satoimo memiliki umbi yang kecil dengan banyak anak umbi di sekitarnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa talas berasal dari daerah di Asia Selatan (India) atau Asia Tenggara (Malaysia), lalu menyebar ke Cina, Jepang, daerah Asia Tenggara lainnya, Kepulauan Pasifik, Afrika Barat, dan beberapa daerah di kawasan Caribia melalui migrasi penduduk (Onwueme, 1999). Menurut Purseglove (1992), talas eddoe terbentuk setelah mengalami perkembangan dan seleksi saat ditanam di Cina dan Jepang. Di Indonesia talas dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik liar maupun budidaya (Fitriani, 2013).

Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di negara Jepang yang setengah dari jumlah penduduknya mengkonsumsi talas satoimo sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008). Pada tahun 2006, Indonesia pernah mengekspor talas jepang sebanyak 25 ton ke Jepang (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2013).


(20)

Gambar 1. (A) Umbi C. esculenta var. esculenta dan (B) C.

esculenta var. antiquorum(Deo et al, 2009)

2. 1. 1 Klasifikasi Ilmiah (Koawara, 2013)

Tanaman talas jepang secara taksonomi mempunyai klasifikasi ilmiah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Arales

Famili : Araceae

Genus : Colocasia

Species : Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum

2. 1. 2 Nama Lain

Talas memiliki berbagai nama umum di seluruh dunia, yaitu taro (English); alavi, patarveliya (Gujarati); arvi, kachalu (Hindi); alu (Marathi); alupam, alukam (Sanskrit); dan sempu (Tamil) (Prajapati, 2011), old cocoyam, abalong, taioba, keladi, satoimo, tayoba, dan Yu-tao (Koawara, 2013).


(21)

2. 1. 3 Morfologi Tanaman

Tanaman talas mempunyai sistem perakaran serabut, liar dan pendek. Umbi mempunyai jenis bermacam-macam. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih, berbentuk silinder atau bulat, berukuran 30 cm x 15 cm, berwarna cokelat. Daunnya berbentuk perisai atau hati, lembaran daunnya 20-50 cm panjangnya, dengan tangkai mencapai 1 m panjangnya, warna pelepah bermacam-macam. Pembungaan terdiri atas tongkol, seludang dan tangkai. Bunga jantan dan bunga betina terpisah berada di bawah, bunga jantan di bagian atasnya dan pada puncaknya terdapat bunga mandul. Bunga bertipe buah buni, bijinya banyak, berbentuk bulat telur dan panjangnya 2 mm (Telaumbanua, 2005).

2. 1. 4 Habitat Tanaman

Di Indonesia tanaman talas dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi yang berketinggian ± 1300 meter di atas permukaan laut. Lingkungan tumbuh yang ideal untuk tanaman talas bersuhu 21-27⁰C dengan kelembaban udara 50-90%, mendapat sinar matahari langsung dan bercurah hujan 240 mm/tahun. Di daerah yang berketinggian ± 250 meter di atas permukaan laut dan beriklim basah sehingga dapat tumbuh dengan baik dan berkualitas prima (Rukmana, 1998).

2. 1. 5 Aktivitas Biologi

C. esculenta Linn. (Famili: Araceae) adalah tanaman terna tahunan dengan sejarah penggunaan yang panjang dalam pengobatan tradisional dibeberapa negara diseluruh dunia, khususnya di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini telah dikenal sejak zaman dahulu akan sifat pengobatannya dan telah dimanfaatkan sebagai pengobatan berbagai penyakit seperti asma, arthritis, diare, pendarahan internal, gangguan neurologis, dan gangguan kulit (Prajapati et al., 2011). Prajapati et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak etanol daun Colocasia esculenta Linn. memiliki efek farmakologis seperti sifat hipoglikemik,


(22)

antifungi, antikanker, hipolipidemik, antiinflamasi dan penguat syaraf. Selain itu Kubde et al. (2010) menyimpulkan bahwa semua tanaman

Colocasia esculenta diselidiki ditemukan aktif sebagai anthelmintik tradisional. Seong Wei et al, (2008) juga melaporkan bahwa daun

Colocasia esculenta memberikan aktivitas antibakteri terhadap

Citrobacter freundii, Vibrio alginolyticus, Vibrio cholerae, dll.

2. 2. Tinjauan Hewan Percobaan

2. 2. 1. Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

2. 2. 2. Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun.


(23)

Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur

Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain.

Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain: Wistar, Sprague Dawley,

Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur

Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Smith, 1998). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus

Sprague Dawley merupakan jenis tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya.


(24)

Tabel 2.1. Data Biologis Tikus (Sprague Dawley® Rat)

Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun Lama produksi

ekonomis

1 tahun Lama hamil 20-22 hari Umur dewasa 40-60 hari

Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina) Siklus kelamin Poliestrus

Siklus estrus 4-5 hari

Lama estrus 9-20 jam

Perkawinan Pada waktu estrus

Ovulasi 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin

Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi

Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina Suhu (rektal) 36-39oC (rata-rata 37,5oC)

Pernapasan 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 550 dalam stress Denyut jantung 330-480/menit, turun menjadi 250 dengan

anestesi, naik sampai 150 dalam stress Tekanan Darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi

80 sistol, 55 diastol dengan anestesi Konsumsi Oksigen 1,29-2,68 ml/g/jam

Sel darah merah 67,2-9,6 x 106/µl Sel darah putih 9,4 ± 3,2 x 103/µl

SGPT 17,5-30,2 IU/liter

SGOT 45,7-80,8 IU/liter

Kromosom 2n=42

Aktivitas nokturnal (malam)

Konsumsi makanan 15-30 gr/100 gr BB/hari (dewasa) Konsumsi minuman 20-45 ml/100 gr BB/hari (dewasa)


(25)

2. 3 Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber yang memiliki suhu yang sangat tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah (Moenadjat, 2009). Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi atau luka bakar kimiawi (Effendi, 1999)

2. 3. 1 Klasifikasi Luka Bakar (Moenadjat, 2009)

2. 3. 1. 1 Berdasarkan Penyebab

a. Luka bakar karena api dan atau benda panas lainnya b. Luka bakar karena minyak panas

c. Luka bakar karena air panas

d. Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat asam kuat atau basa kuat

e. Luka bakar karena listrik dan petir f. Luka bakar karena radiasi

g. Luka bakar karena ledakan (perlu disebutkan penyebab ledakan; misal, ledakan bom, ledakan tabung gas, dsb)

h. Trauma akibat suhu sangat rendah

2. 3. 1. 2 Berdasarkan Kedalaman Kerusakan Jaringan (Luka)

a. Luka bakar derajat I

a) Kerap diberi simbol 1⁰

b) Kerusakan jaringan terbatas pada bagian permukaan (superfisial) yaitu epidermis.

c) Perlekatan epidermis dengan dermis (dermal-epidermal junction) tetap terpelihara baik.

d) Kulit kering, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema.


(26)

e) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

f) Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-7 hari.

g) Contoh: luka bakar akibat sengatan matahari.

b. Luka bakar derajat II, terbagi atas derajat II dangkal dan II dalam.

a) Kerap diberi simbol 2⁰

b) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan epidermis dan sebagian superfisial dermis.

c) Respon yang timbul berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi.

d) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. c. Luka bakar derajat III

a) Kerap diberi simbol 3⁰

b) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan kulit (epidermis dan dermis) serta lapisan yang lebih dalam.

c) Apendises kulit (adneksa, integumen) seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.

d) Kulit yang terbakar tampak berwarna pucat atau lebih putih karena terbentuk eskar.

e) Secara teoritis tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut saraf sensorik mengalami kerusakan / kematian.

f) Penyembuhan terjadi lama. Proses epithelialisasi spontan baik dari tepi luka (membrana basalis), maupun dari apendises kulit (folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea yang memiliki potensi epithelialisasi) tidak dimungkinkan terjadi karena struktur-struktur jaringan tersebut mengalami kerusakan.


(27)

Gambar 2. Potongan Kulit Normal Manusia dan Kedalaman Luka Bakar

(Moenadjat, 2009)

2. 3. 2 Luas Luka Bakar

Luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of Nine) yang diprovokasi oleh Wallace; didasari atas perhitungan kelipatan 9, dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita. Pada anak-anak menggunakan tabel dari Lund dan Browder yang mengacu pada ukuran bagian tubuh terbesar pada seorang bayi / anak (yaitu kepala) (Moenadjat, 2009).

Gambar 3. Diagram Rule of Nines dari Wallace untuk Dewasa (Moenadjat, 2009)

Tabel 2.2 Tabel Lund & Browder (untuk anak)

Usia (tahun) 0 1 5 10 15 Dewasa

Kepala (muka-belakang) 9,5 8,5 6,5 5,5 4,5 3,5 1 paha (muka-belakang) 2,5 3,5 4 4,25 4,5 4,75 1 kaki (muka-belakang) 2,5 2,5 2,75 3 3,25 2,5


(28)

2. 3. 3 Faktor yang Berperan (Moenadjat, 2009)

Faktor Penderita

Kondisi umum

1. Usia 2. Gender 3. Status gizi

Faktor premorbid

1. Kelainan kardiovaskular 2. Kelainan neurologik 3. Kelainan paru 4. Kelainan

metabolisme 5. Kelainan ginjal 6. Kelainan psikiatrik 7. Kehamilan

Faktor trauma

1. Luka bakar 2. Trauma penyerta

1. Gangguan ABC 2. Jenis, luar &

kedalaman

Tatalaksana

1. Tatalaksana pra rumah sakit 2. Tatalaksana di

rumah sakit

1. Fase awal (fase akut, fase syok)

2. Fase selanjutnya

2. 3. 4 Patofisiologi Luka Bakar

Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal tetapi memiliki efek sistemik. Perubahan ini khusus terjadi pada luka bakar dan umumnya tidak ditemui pada luka yang disebabkan oleh cedera lainnya. Karena efek panas terdapat perubahan sistemik peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan plasma bocor keluar dari kapiler ke ruang interstisial. Peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma maksimal muncul dalam 8 jam pertama dan berlanjut sampai 48 jam. Setelah 48 jam permeabilitas kapiler kembali normal atau membentuk trombus yang menjadikan tidak adanya aliran sirkulasi darah.


(29)

Hilangnya plasma merupakan penyebab syok hipovolemik pada penderita luka bakar. Jumlah kehilangan cairan tergantung pada luasnya luka bakar (Tiwari, 2012).

Peningkatan permeabilitas kapiler secara sistemik tidak terjadi pada luka lainnya. Hanya terdapat reaksi lokal pada lokasi luka karena inflamasi menyebabkan vasodilatasi progresif persisten dan edema. Syok hipovolemik yang terjadi pada trauma lain biasanya karena kehilangan darah dan membutuhkan transfusi segera (Tiwari, 2012).

Saat terjadi kontak antara sumber panas dengan kulit, tubuh akan merespon untuk mempertahankan homeostasis dengan adanya proses kontraksi, retraksi dan koagulasi pembuluh darah. Jackson pada tahun 1947 mengklasifikasikan 3 zona respon lokal akibat luka bakar yaitu:

a. Zona koagulasi, terdiri dari jaringan nekrosis yang membentuk eskar, yang terbentuk dari koagulasi protein akibat cidera panas, berlokasi ditengah luka bakar, tempat yang langsung mengalami kerusakan dan kontak dengan panas.

b. Zona stasis, daerah yang langsung berada diluar disekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal, yang beresiko terjadinya iskemia jaringan. Zona ini bisa menjadi nekrosis atau hiperemis, menjadi zona hiperemis jika resusitasi yang diberikan adekuat, atau menjadi zona koagulasi jika resusitasi yang diberikan tidak adekuat.

c. Zona hiperemis, daerah yang terdiri dari kulit normal dengan cedera sel yang ringan, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah sebagai respon cedera luka bakar. Zona ini bisa mengalami penyembuhan


(30)

spontan atau berubah menjadi zona statis (Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).

Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap invasi mikroba serta adanya jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung pertumbuhan mikroorganisme, sehingga beresiko untuk menjadi infeksi. Semakin luas luka bakar, semakin besar resiko infeksi (Hemsley dan Ansermino, 2004). Tidak seperti kebanyakan luka lain, luka bakar biasanya steril pada saat cidera. Panas yang menjadi agen penyebab membunuh semua mikroorganisme pada permukaan. Setelah minggu pertama luka bakar cenderung terinfeksi, sehingga membuat sepsis luka bakar sebagai penyebab utama kematian pada luka bakar. Sedangkan luka lain misalnya luka gigitan, luka tusukan,

crush injury dan ekskoriasi terkontaminasi pada saat terjadi trauma dan jarang menyebabkan sepsis secara sistemik (Tiwari, 2012)

2. 3. 5 Proses Penyembuhan Luka Bakar

Proses penyembuhan luka bakar mempunyai persamaan dalam fase penyembuhan luka pada umumnya, perbedaannya adalah pada durasi setiap tahap (Tiwari, 2012). Proses penyembuhan luka secara umum merupakan suatu proses yang kompleks, yang melibatkan respon seluler dan biokimia baik secara lokal maupun sistemik (Rohrich dan Robinson, 1999). Pada umumnya, penyembuhan luka dibagi dalam 3 fase yang saling tumpang tindih. Fase awal atau fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya suatu trauma/cidera, dengan tujuan untuk menyingkirkan jaringan mati dan mencegah infeksi. Fase kedua fase proliferasi, dimana akan terjadi keseimbangan antara pembentukan parut dan regenerasi jaringan. Fase yang paling akhir merupakan fase yang terpanjang dan hingga saat ini merupakan fase yang paling sedikit dipahami, yakni fase


(31)

maturasi/remodelling yang bertujuan memaksimalkan kekuatan dan integritas struktur dari luka (Gurtner, 2007).

a. Fase inflamasi (lag phase)

Fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya trauma/cidera dan umumnya sampai hari ke-5 pasca trauma. Tujuan utama fase ini pada umumnya adalah hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen (Gurtner, 2007). Perbedaan antara luka bakar dan luka biasa pada fase ini yaitu pada luka bakar tejadi vasodilatasi lokal dengan ekstravasasi cairan dalam ruang ketiga. Dalam luka bakar yang luas, adanya peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan ekstravasasi plasma yang cukup banyak dan membutuhkan penggantian cairan (Tiwari, 2012).

Pada luka bakar, proses koagulasi akibat panas menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik seperti kallkireins dan peptida fibrin, sedangkan sel mast melepaskan faktor nekrosis tumor, histamin, protease, leukotriens dan sitokin sehingga terjadi migrasi sel-sel inflamasi. Neutrofil dan monosit merupakan sel pertama yang bermigrasi di lokasi peradangan (Tiwari, 2012).

Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin,

interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF), C5a, TGF-β dan produk degradasi bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) akan menarik sel netrofil sehingga menginfiltrasi matriks fibrin dan mengisi kavitas luka. Migrasi netrofil ke luka juga dimungkinkan karena peningkatan permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh sel mast dan jaringan ikat. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari pertama dan berperan penting untuk memfagositosis jaringan mati dan mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang berkepanjangan merupakan salah satu penyebab utama


(32)

terjadinya konversi dari luka akut menjadi luka kronis (Regan dan Barbul, 1994; Gurtner, 2007).

Makrofag juga akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 jam dan menjadi sel predominan setelah hari ketiga pasca trauma. Debris dan bakteri akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama memproduksi berbagai growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh karenanya sangat penting dalam fase inflamasi ini (Gurtner, 2007).

Pada luka bakar sel-sel inflamasi diatas membantu dalam fagositosis, pembersihan jaringan yang mati dan racun yang dikeluarkan oleh jaringan yang terbakar. Selain melalui proses fagositosis, netrofil dan makrofag juga berperan dalam eliminasi bakteri dengan cara memproduksi dan melepaskan beberapa proteinase dan reactive oxygen species (ROS). ROS melalui sifat radikal bebasnya penting dalam mencegah infeksi bakterial, namun tingginya kadar ROS secara berkepanjangan juga akan menginduksi kerusakan sel tubuh lainnya. ROS juga mengaktivasi dan mempertahankan kaskade asam arakidonat yang akan memicu ulang timbulnya berbagai mediator inflamasi lagi seperti prostaglandin dan leukotrien, sehingga proses inflamasi akan menjadi berkepanjangan (Lima et al, 2009).

Limfosit dan sel mast merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka dan dapat ditemukan pada hari kelima sampai ketujuh pasca trauma. Peran keduanya masih belum jelas hingga saat ini (Gurtner, 2007).

Pada akhir fase inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler, berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung saraf (Anderson, 2000). Jaringan granulasi


(33)

menyediakan lingkungan yang secara metabolik mendukung proses penyembuhan luka.

b. Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)

Fase proliferasi berlangsung umumnya mulai hari ke-4. Pada luka bakar superfisial, migrasi keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah mulai bekerja beberapa jam pasca trauma, menginduksi terjadinya re-epitelisasi yang biasanya menutup luka dalam 5-7 hari. Setelah re-epitelisasi, membran basalis terbentuk antara epidermis dan dermis. Pembentukan kembali dermis dibantu oleh proses angiogenesis dan fibrogenesis. Pada fase ini matriks fibrin yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskuler (Gurtner, 2007).

Fibroblas memiliki peran yang sangat penting dalam fase ini. Fibroblas memproduksi matriks ekstraseluler yang akan mengisi kavitas luka dan menyediakan landasan untuk migrasi keratinosit. Matriks ekstraseluler merupakan komponen yang paling nampak pada skar di kulit. Makrofag memproduksi

growth factor seperti PDGF dan TGF-β yang menginduksi fibroblas untuk berproliferasi, migrasi dan membentuk matriks ekstraseluler (Gurtner, 2007). Fibroblas mencerna matriks fibrin dan menggantikannya dengan glycosaminoglycan (GAG) dengan bantuan matrix metalloproteinase (MMP). Matriks ekstraseluler akan digantikan oleh kolagen tipe III yang juga diproduksi oleh fibroblas dengan berjalannya waktu. Kolagen ini tersusun atas 33% glisin, 25% hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa dan galaktosa. Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase maturasi (Marzoeki, 1993; Schultz, 2007). Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti vascular endothelial growth factor


(34)

(VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-2, angiopoietin-1 dan

thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis (Gurtner, 2007).

Pada luka bakar yang dalam untuk mempercepat penyembuhan perlu dilakukan eksisi dan tandur kulit (skin graft). Tindakan penutupan luka dengan skin graft setelah eksisi kulit yang terbakar merupakan bagian dari fase proliferasi pada penyembuhan luka (Tiwari, 2012).

Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah bahwa pada suatu titik tertentu, seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus dihentikan. Fibroblas akan segera menghilang segera setelah matriks kolagen mengisi kavitas luka dan pembentukan neovaskular akan menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap inilah yang hingga saat ini dianggap sebagai penyebab terjadinya kelainan fibrosis seperti skar hipertrofik (Gurtner, 2007).

c. Fase maturasi (remodelling)

Fase maturasi ini di luka pada umumnya berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun, namun pada luka bakar derajat 2 yang dalam dan yang mengenai seluruh ketebalan kulit yang dibiarkan sembuh sendiri fase ini bisa memanjang menjadi bertahun-tahun (Tiwari, 2012). Fase ini segera dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi, proses re-epitelisasi usai, dan setelah kolagen menggantikan matriks temporer (Gurtner, 2007). Pada fase ini terjadi maturasi luka dan graft (Tiwari, 2012).

Kontraksi dari luka dan remodelling kolagen terjadi pada fase ini. Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas myofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen mikrofilamen aktin intraseluler. Kolagen tipe III pada fase ini secara gradual digantikan oleh kolagen tipe I dengan bantuan matrix metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh fibroblas,


(35)

makrofag dan sel endotel. Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah kolagen tipe I yang memungkinkan terjadinya tensile strength pada kulit (Gurtner, 2007).

Keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen terjadi pada fase ini. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya (Bisono dan Pusponegoro, 1997).

Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan, sehingga membutuhkan lysyl hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking

inilah yang menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah terkoyak lagi. Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu pertama, kemudian akan bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun hanya sekitar 80% dari normal (Marzoeki, 1993; Schultz, 2007).

Pada luka bakar derajat 2 dalam dan yang mengenai seluruh ketebalan kulit bila dibiarkan sembuh sendiri dapat terbentuk hipertrofik jaringan parut dan kontraktur. Hiperpigmentasi terjadi pada luka bakar superfisial karena respon berlebihan melanosit dari trauma panas dan hipopigmentasi terjadi pada luka bakar yang dalam karena kerusakan melanosit pada kulit. Pada luka bakar post skin graft

saat mulai terjadi inervasi, saraf yang tumbuh akan merubah kontrol melanosit yang biasanya akan terjadi hiperpigmentasi graft pada orang berkulit gelap dan akan hipopigmentasi pada orang berkulit putih (Tiwari, 2012).


(36)

2. 4 Kulit

2. 4. 1 Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh terbesar yang membentuk 15% berat badan total (Gibson, 2002). Kulit terdiri dari tiga lapisan yang masing-masing terdiri dari berbagai jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis, dan subkutis (Wasiatmadja dan Syarif, 2007).

2. 4. 1. 1 Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar terutama terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel yang menyusunnya secara berkesinambungan dibentuk oleh lapisan germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel baru ke arah permukaan, tempat kulit terkikis oleh gesekan. Lapisan luar mengandung keratin, protein bertanduk, hanya sedikit darinya pada permukaan tubuh yang terpajan untuk terpakai dan terkikis, seperti pada permukaan dalam lengan, paha dan lebih banyak lagi pada permukaan ektensor, lapisan ini terutama tebal pada kaki (Gibson, 2002). Lapisan ini terdiri atas:

a. Stratum corneum (lapisan tanduk)

Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, yaitu jenis protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar. b. Stratum lucidum (lapisan jernih)

Berada tepat di bawah stratum corneum. Merupakan lapisan yang tipis, jernih. Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.

c. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir)

Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut.


(37)

d. Stratum spinosum (lapisan malphigi)

Sel berbentuk kubus dan seperti berduri, intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.

e. Stratum germinativum (lapisan basal)

Adalah lapisan terbawah epidermis. Di lapisan ini juga terdapat sel-sel melanosit yaitu sel yang membentuk pigmen melanin.

2. 4. 1. 2 Dermis

Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen, jaringan fibrosa dan elastin. Lapisan superfisial menonjol ke dalam epidermis berupa sejumlah papila kecil. Lapisan yang lebih dalam terletak pada jaringan subkutan. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf (Gibson, 2002).

2. 4. 1. 3 Subkutis

Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri dari lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan saluran getah bening (Wasiatmaja dan Syarif, 2007).

Gambar 4. Anatomi KulitTikus (Krinke, 2000) Keterangan :

1. Epidermis 2. Dermis 3. Folikel Rambut 4. Kelenjar


(38)

2. 4. 2 Fisiologi Kulit 2. 4. 2. 1 Proteksi

Kulit merupakan barrier fisik antara jaringan di bawahnya dan lingkungan luar. Kulit memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi ultraviolet, dan invasi mikroorganisme (Gunstream, 2000). Sebagian besar mikroorganisme mengalami kesulitan untuk menembus kulit yang utuh tetapi dapat masuk melalui kulit yang luka dan lecet. Selain proteksi yang diberikan oleh lapisan tanduk, proteksi tambahan diberikan oleh keasaman keringat dan adanya asam lemak dalam sebum, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Gibson, 2002).

2. 4. 2. 2 Sensasi

Kulit terdiri dari ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan sentuhan, tekanan, temperatur dan nyeri. (Gunstream, 2000). Sensasi raba, nyeri, perubahan suhu dan tekanan pada kulit dan jaringan subkutan, ditransmisikan melalui saraf sensorik menuju medula spinalis dan otak(Gibson, 2002).

2. 4. 2. 3 Regulasi Suhu

Selama periode kelebihan produksi panas oleh tubuh, sekresi keringat dan evaporasi melalui permukaan tubuh membantu menurunkan temperatur tubuh (Gunstream, 2000).

2. 4. 2. 4 Penyimpanan

Kulit bekerja sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, yang dapatditarik berdasarkan kebutuhan (Gibson, 2002).

2. 4. 2. 5 Ekskresi

Produksi keringat oleh kelenjar keringat menghilangkan sisa-sisa metabolisme dalam jumlah kecil seperti garam, air, dan senyawa organik (Gunstream, 2000).


(39)

2. 4. 2. 6 Sintesis vitamin D

Pajanan terhadap radiasi ultraviolet dapat mengkonversi molekul prekursor (7-dihidroksi kolesterol) dalam kulit menjadi vitamin D. Namun, hal tersebut tidak dapat menyediakan vitamin D secara keseluruhan bagi tubuh, sehingga pemberian vitamin D secara sistemik masih diperlukan (Gunstream, 2000; Wasiatmaja& Syarif, 2007).

2. 5 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut (DepKes, 2000)

2. 5. 1 Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 - 5 kali bahan.


(40)

2. 5. 2 Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3 – 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50⁰C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 - 98⁰C) selama waktu tertentu (15 – 20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30⁰C) dan temperatur sampai titik didih air.


(41)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3. 1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 hingga Agustus 2015. Pemeliharaan dan perlakuan hewan uji dilakukan di Animal House (MAH) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sedangkan untuk pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Patologi Universitas Indonesia.

3. 2 Alat dan Bahan 3. 2. 1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik (AND GH-202 dan Wiggen Hauser), beaker glass, batang pengaduk, lumpang, alu, spatula, kapas, tabung reaksi, pipet tetes, oven (Memmert), tanur (Thermo Scientific), waterbath, alumunium foil, timbangan hewan (Ohauss), kandang tikus beserta tempat makanan dan minum, spuit 1 cc, wadah pembiusan, plat besi berukuran 4x2 cm, kaca objek dan penutupnya, cawan penguap, mikroskop cahaya (Olympus SZ61) dan termometer.

3. 2. 2 Bahan Penelitian

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol 96% umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var.

antiquorum). Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, Lanakeloid-E, alcohol swab, HCl 2 M, NaCl, pereaksi (Mayer, Wagner, Dragendorff), amonia 25%, kloroform, HCl, logam Mg, FeCl3, garam gelatin, H2SO4 pekat, NaCl 10%, n-heksan, etanol,

indikator pH universal, Na2SO4 anhidrat, asam asetat anhidrat cairan

injeksi ketamin 50 mg/ml, asam stearat, trietanolamin, adeps lanae, parafin liquidum, nipagin, nipasol, larutan formaldehid 10% dan


(42)

3. 2. 3 Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2 – 3 bulan dengan berat badan 100 – 150 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3. 3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental yang terbagi dalam 5 kelompok perlakuan dengan jumlah total tikus yang di gunakan 30 ekor dimana 5 ekor tikus di gunakan untuk pengamatan secara visual dan 1 ekor dari masing – masing kelompok diambil untuk pengamatan histopatologi. Lima kelompok tersebut terdiri dari kelompok kontrol positif yang diberikan Lanakeloid-E®, kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim dan kelompok uji konsentrasi yang diberikan krim ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta L. Schott var. antiquorum) dengan 3 konsentrasi yang berbeda.

Tabel 3. 1. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Pemberian Perlakuan

Kelompok Jumlah Tikus

Perlakuan Keterangan

Kontrol Positif

6 Daerah dorsal sekitar 3 cm dari auris tikus dicukur bulunya dan dilukai serta diberikan Lanakeloid-E® sebanyak dua kali sehari.

21 hari

Kontrol Negatif

6 Daerah dorsal sekitar 3 cm dari auris tikus dicukur bulunya dan dilukai serta diberikan basis krim sebanyak dua kali sehari.

21 hari

Uji Konsentrasi Rendah (1%)

6 Daerah dorsal sekitar 3 cm dari auris tikus dicukur bulunya dan dilukai serta diberikan krim ekstrak umbi talas jepang konsentrasi 1% sebanyak dua kali sehari.


(43)

Kelompok Jumlah Tikus

Perlakuan Keterangan

Uji Konsentrasi Sedang (5%)

6 Daerah dorsal sekitar 3 cm dari auris tikus dicukur bulunya dan dilukai serta diberikan krim ekstrak umbi talas jepang konsentrasi 5% sebanyak dua kali sehari.

21 hari

Uji Konsentrasi Tinggi (25%)

6 Daerah dorsal sekitar 3 cm dari auris tikus dicukur bulunya dan dilukai serta diberikan krim ekstrak umbi talas jepang konsentrasi 25% sebanyak dua kali sehari.

21 hari

3. 4 Kegiatan Penelitian

3. 4. 1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)

Sebelum dilakukan penelitian, Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum terlebih dahulu di determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia.

3. 4. 2 Penyiapan Simplisia

Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) diperoleh dari CV. Agro Lawu International, Magetan, Jawa Timur. Selanjutnya sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan penyerbukan umbi talas jepang dilakukan di Balai Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO). Serbuk simplisia disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.

3. 4. 3 Pembuatan Ekstrak

Pada pembuatan ekstrak umbi talas jepang digunakan metode ekstraksi cara dingin dengan maserasi dan menggunakan etanol 96% sebagai pelarut. Serbuk simplisia ditimbang kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 96% hingga sampel terendam. Pelarut diganti setiap hari. Hasil maserasi disaring sehingga diperoleh filtrat. Proses


(44)

maserasi dilakukan hingga larutan mendekati tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang dihasilkan kemudian ditimbang dan dicatat beratnya dan selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin atau freezer dan digunakan untuk perlakuan.

3. 4. 4 Skrining Fitokimia Ekstrak a. Identifikasi Alkaloid

Uji Alkaloid dilakukan dengan metode Mayer, Wagner dan Dragendorff. Sampel sebanyak 3 g diletakkan dalam cawan porselin kemudian ditambahkan 5 ml HCl 2 M, diaduk dan kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah sampel dingin ditambahkan 0,5 g NaCl lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes, kemudian dipisahkan menjadi 4 bagian A, B, C, D. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer, filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D digunakan untuk uji penegasan. Apabila terbentuk endapan pada penambahan pereaksi Mayer dan Wagner maka identifikasi menunjukkan adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan dengan menambahkan amonia 25% pada filtrat D hingga pH 8-9. Kemudian ditambahkan 1 ml kloroform, dan diuapkan di atas waterbath. Selanjutnya ditambahkan 1 ml HCl 2 M, di aduk dan di saring. Filtratnya dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B diuji dengan 5 tetes pereaksi Mayer, sedangkan filtrat C diuji dengan 5 tetes pereaksi Dragendorff. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya alkaloid (Marliana et al, 2005).


(45)

b. Identifikasi Flavonoid

Sebanyak 3 g sampel diuapkan, dicuci dengan n-heksan sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol kemudian di saring. Filtrat dibagi 4 bagian A, B, dan C. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 ml HCl pekat kemudian dipanaskan pada waterbath, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan hasil yang positif (metode Bate Smith-Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 ml HCl dan 0,5 mg logam Mg kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode Wilstater). Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida (Marliana et al, 2005).

c. Identifikasi Saponin

Uji Saponin dilakukan dengan metode Forth yaitu dengan cara memasukkan 2 ml sampel ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 10 ml akuades lalu dikocok selama 30 detik, diamati perubahan yang terjadi. Apabila terbentuk busa yang mantap (tidak hilang selama 30 detik) maka identifikasi menunjukkan adanya saponin. Uji penegasan saponin dilakukan dengan menguapkan sampel sampai kering kemudian mencucinya dengan n-heksan sampai filtrat jernih. Residu yang tertinggal ditambahkan 1 ml kloroform, diaduk 5 menit, kemudian ditambahkan 1 ml Na2SO4 anhidrat dan disaring.

Filtrat dibagi menjadi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditetesi anhidrat asetat sebanyak 5 tetes, diaduk perlahan, kemudian ditambah 1 ml H2SO4 pekat

dan diaduk kembali. Terbentuknya cincin merah sampai coklat menunjukkan adanya saponin (Marliana et al, 2005).


(46)

d. Identifikasi Terpenoid

Sebanyak 3 gram ekstrak dicampurkan dengan 2 ml kloroform.

Kemudian ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati.

Terbentuknya warna coklat kemerahan pada antarmuka dalam larutan, menunjukkan adanya terpenoid (Edeoga et al, 2005). e. Identifikasi Steroid

Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2 ml asam asetat

anhidrat. Kemudian ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat. Adanya

steroid ditandai dengan perubahan warna dari violet menjadi biru atau hijau (Edeoga et al, 2005)

f. Identifikasi Tanin dan Polifenol

Sebanyak 3 g sampel diekstraksi dengan akuades panas kemudian didinginkan. Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. Filtrat A digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat B ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam filtrat C ditambah 3 ml garam

gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi (Marliana et al, 2005).

g. Identifikasi Glikosida Jantung

Uji glikosida jantung dilakukan dengan metode Keller Kelliani yaitu sebanyak 1 g ekstrak dicuci dengan n-heksan hingga jernih. Residu yang tertinggal dipanaskan diatas waterbath

kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi FeCl3 dan 1 ml H2SO4

pekat. Jika terlihat cincin merah bata menjadi biru atau ungu maka identifikasi menunjukkan adanya glikosida jantung (Marliana et al, 2005)


(47)

3. 4. 5 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik 3. 4. 5. 1 Parameter Spesifik

1. Identitas

Deskripsi tata nama a. Nama ekstrak

b. Nama lain tumbuhan (sistematika botani)

c. Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb) d. Nama Indonesia tumbuhan

2. Organoleptik

a. Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair. b. Warna : kuning, coklat, dll.

c. Bau : aromatik, tidak berbau, dll. d. Rasa : pahit, manis, kelat, dll.

3. 4. 5. 2 Parameter Non Spesifik 1. Penetapan Kadar Air

Sejumlah 1 gram ekstrak ditimbang dalam botol timbang bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105C selama 30 menit dan telah ditara. Ekstrak dikeringkan dengan tutup terbuka pada suhu 105C selama 5 jam dan ditimbang. Kemudian botol timbang dalam keadaan tertutup dibiarkan dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, bobot yang diperoleh dicatat. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai bobot tetap. Kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung kadar air (Depkes RI, 2000). Kadar air

x 100%

Keterangan :

W0 = Bobot wadah kosong yang telah ditara

W1 = Bobot ekstrak + wadah sebelum pemanasan


(48)

2. Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam krus silikat yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan (dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25C) (Depkes RI, 1980 dalam Arifin et al, 2006) hingga arang habis. Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (W2).

Kadar Abu Total

x 100%

Keterangan :

W0 = bobot cawan kosong (gram)

W1 = bobot ekstrak awal (gram)

W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram)

3. 4. 6 Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang Tabel 3.2 Formula Basis Krim (Wijaya dkk, 2013)

Bahan Jumlah

Asam stearat 14,5 gram

Trietanolamin 1,5 ml

Adeps lanae 3 gram

Paraffin liquidum 5 ml

Nipagin 0,10 gram

Nipasol 0,05 gram

Akuades 100 ml

Basis krim dibuat dengan cara: semua bahan yang diperlukan ditimbang, kemudian fase minyak dipindahkan dalam cawan penguap, dipanaskan diatas waterbath dengan suhu 70C sampai lebur. Fase air

dipanaskan di atas waterbath pada suhu 70C sampai lebur. Fase

minyak dipindahkan ke dalam lumpang dan ditambahkan fase air, pencampuran dilakukan pada suhu (60-70C), digerus sampai dingin dan terbentuk krim yang homogen. Ekstrak ditambahkan ke dalam basis krim dengan konsentrasi 1%, 5% dan 25%.


(49)

3. 4. 7 Evaluasi Sediaan Krim 3. 4. 7. 1 Uji Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik sediaan krim yang diamati secara visual meliputi bentuk, warna dan bau krim. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui krim yang dibuat sesuai dengan warna dan bau ekstrak yang digunakan.

3. 4. 7. 2 Uji Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara sebanyak 1 gram sediaan krim ditimbang dan kemudian dioleskan di atas kaca objek dan ditutup rapat dengan kaca objek lain, selanjutnya homogenitas krim diamati. Krim harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir halus.

3. 4. 8 Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang di gunakan adalah tikus putih jantan Sprague-Dawley berumur 2-3 bulan dengan berat badan 100-150 gram di adaptasi selama satu minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Selama proses adaptasi, dilakukan pengamatan kondisi umum dan penimbangan berat badan.

3. 4. 9 Pembuatan Luka Bakar (Akhoondinasab et al, 2014)

Luka bakar dibuat dibagian punggung tikus sekitar 3 cm dibawah telinga yang telah dicukur bulunya menggunakan Veet® dengan menggunakan plat besi berukuran 4x2 cm selama 10 detik yang telah dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit.

3. 4. 10 Eksisi Jaringan Kulit Tikus

Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke-7 dari kelima kelompok diambil masing-masing 1 ekor tikus, pengambilan dilakukan setelah tikus dieuthanasi dengan larutan eter secara inhalasi. Daerah dorsal yang akan diambil jaringan kulitnya dibersihkan dari


(50)

bulu yang mulai tumbuh kembali, jaringan kulit diambil dengan ketebalan ± 3 mm hingga lapisan subkutis dan sekitar  2 cm dari tepi luka. Jaringan kulit yang diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan formalin 10% dan disimpan.

3. 4. 11 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus

Jaringan kulit yang diperoleh kemudian dibuat preparat histopatologi dengan pewarna Hematoxylin-Eosin yang dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pembuatan preparat dilakukan dengan cara: jaringan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan formalin 10% lalu dilakukan trimming

organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan menggunakan xylol I dan xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sediaan diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras. Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut dibentangkan di atas air hangat yang bersuhu 46C dan langsung diangkat yang berguna untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 60C. Kemudian diwarnai dengan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin (HE) untuk pemeriksaan mikroskopik (Balqis et al, 2014).


(51)

3. 4. 12 Pengamatan Preparat Histopatologi

Pengamatan secara histopatologi dilakukan pada preparat jaringan kulit. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya secara deskriptif. Pengamatan ini meliputi parameter-parameter yang berperan dalam penyembuhan luka seperti keberadaan sel radang dan makrofag, serta neokapilerisasi.

3. 4. 13 Analisis Statistik

Data hasil pengujian dianalisis menggunakan software pengolah data dan disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi dari masing-masing kelompok. Data dianalisis dengan uji One-Way ANOVA dan uji


(52)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Penelitian

4. 1. 1 Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menyatakan bahwa tanaman yang digunakan sebagai sampel adalah tanaman talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott) famili Araceae.

4. 1. 2 Ekstraksi

Sebanyak 1,5 kg serbuk umbi talas jepang (Colocasia esculenta

(L.) Schott var. antiquorum) dimaserasi dengan pelarut etanol 96% sampai larutan mendekati tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator dan diperoleh ekstrak kental sejumlah 168,859 gram. Rendemen yang diperoleh sebesar 11,257%.

4. 1. 3 Hasil Penapisan Fitokimia

Kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) diidentifikasi dengan cara penapisan fitokimia. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang diuji antara lain golongan alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, tanin dan polifenol, serta glikosida jantung. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.1.


(53)

Tabel 4.1 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang

Identifikasi Golongan Senyawa Hasil Penapisan Fitokimia

Alkaloid +

Flavonoid +

Saponin +

Terpenoid +

Steroid +

Tanin dan Polifenol +

Glikosida Jantung +

Keterangan : (+) memberikan hasil positif. (-) memberikan hasil negatif.

4. 1. 4 Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik

Uji parameter spesifik dan non spesifik pada ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dilakukan setelah uji penapisan fitokimia. Hasil uji parameter spesifik dan non spesifik terhadap ekstrak etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik

Karakteristik Hasil

Uji Parameter Spesifik

Identitas

Nama ekstrak Ekstrak etanol umbi talas jepang

Nama lain tumbuhan

Colocasia esculenta

(L.) Schott var.

antiquorum

Bagian tumbuhan yang

digunakan Umbi (tuber)

Nama Indonesia tumbuhan

Talas jepang atau satoimo

Organoleptis

Warna Cokelat tua

Bau Bau khas ekstrak

Rasa Pahit

Bentuk Kental

Uji Parameter Non Spesifik

Kadar Air 17,105%


(54)

4. 1. 5 Hasil Evaluasi Sediaan Krim

Evaluasi krim ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) meliputi uji organoleptik dan uji homogenitas. Hasil evaluasi krim ekstrak etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Evaluasi Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang

Karakteristik Hasil

Ekstrak 1% Ekstrak 5% Ekstrak 25%

Organoleptis Krim

Warna Putih Kecokelatan

Putih

Kecokelatan Cokelat Bentuk Setengah

Padat

Setengah Padat

Setengah Padat Bau

Aroma Khas Ekstrak

Aroma Khas Ekstrak

Aroma Khas Ekstrak Homogenitas Krim Homogen Homogen Homogen

4. 1. 6 Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus

Hasil pengukuran berat badan tikus baik pada kelompok kontrol positif (KP), kontrol negatif (KN), uji konsentrasi rendah 1% (UKR), uji konsentrasi sedang 5% (UKS) dan uji konsentrasi tinggi 25% (UKT) dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus

Tanggal Rerata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok (gram)

KP KN UKR UKS UKT

6 Juni 2015 100 101 101 103 103

13 Juni 2015 110 108 109 117 110

20 Juni 2015 118 117 118 128 121

27 Juni 2015 128 123 126 137 130


(55)

Gambar 5. Grafik Rerata Pengukuran Berat Badan Tikus

Keterangan :

Kontrol Positif (KP) Kontrol Negatif (KN)

Uji Konsentrasi Rendah 1% (UKR) Uji Konsentrasi Sedang 5% (UKS) Uji Konsentrasi Tinggi 25% (UKT)

4. 1. 7 Hasil Pengukuran Penurunan Luas Luka Bakar

Hasil pengukuran penurunan luas luka bakar pada kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, kelompok uji konsentrasi rendah, kelompok uji konsentrasi sedang dan kelompok uji konsentrasi tinggi pada hari ke-1 hingga hari ke-21 menggunakan metode perlukaan Akhoondinasab dapat dilihat pada tabel 4.5.

0 50 100 150 200

6-Jun-15 13-Jun-15 20-Jun-15 27-Jun-15 4-Jul-15

B

er

at

B

ad

an

(gr

am

)

Tanggal Pengukuran

KP

KN

UKR

UKS


(56)

Tabel 4.5 Rerata Penurunan Luas Luka Bakar & Persentase Penyembuhan Luka

Kelompok Tikus

Rerata Luas Luka

Bakar Hari Ke (cm2) Rerata Penurunan Luas Luka (cm2) ± SD

Rerata Persentase Penyembuh an Luka

(%)

1 21

Kontrol

Positif 7,08 2,06 5,02 ± 1,79 70,41

Kontrol

Negatif 7,36 2,64 4,72 ± 0,49 64,78

Uji Konsentrasi

Rendah (1%)

6,68 1,81 4,87 ± 0,55 73,02

Uji Konsentrasi

Sedang (5%)

6,69 1,74 4,95 ± 1,15 73,79

Uji Konsentrasi

Tinggi (25%)

6,89 1,89 5,00 ± 0,92 72,68

Data luas luka bakar yang diperoleh menggunakan software ImageJ kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji

Paired-Samples T Test. Penurunan luas luka bakar pada kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, kelompok uji konsentrasi rendah, kelompok uji konsentrasi sedang dan kelompok uji konsentrasi tinggi berbeda secara signifikan (p<0,05) dari hari 1 sampai hari ke-21. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat adanya proses penyembuhan pada semua kelompok tikus terhadap luas luka bakar.

Data persentase penyembuhan luka bakar diolah secara statistik dengan menggunakan uji One-Way ANOVA. Data persentase penyembuhan luka pada kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, kelompok uji konsentrasi rendah, kelompok uji konsentrasi sedang dan kelompok uji konsentrasi tinggi bersifat homogen (p>0,05), terdistribusi normal dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok (kontrol positif, kontrol negatif dan ketiga kelompok


(57)

uji konsentrasi). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang pada semua kelompok uji konsentrasi memiliki aktivitas terhadap penurunan luas luka bakar derajat dua dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kontrol negatif tetapi tidak berbeda signifikan.

Gambar 6. Grafik Rerata Persentase Penyembuhan Luka Bakar

Keterangan : KP (Kontrol Positif), KN (Kontrol Negatif), UKR (Uji Konsentrasi Rendah), UKS (Uji Konsentrasi Sedang), UKT (Uji

Konsentrasi Tinggi)

Persentase penyembuhan luka bakar derajat dua pada kelompok kontrol positif, kontrol negatif dan ketiga kelompok uji konsentrasi (1%, 5% dan 25%) tidak berbeda signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang pada semua kelompok uji konsentrasi memiliki aktivitas yang tinggi dalam persentase penyembuhan luka bakar derajat dua dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kontrol negatif tetapi tidak berbeda signifikan. 0 10 20 30 40 50 60 70 80

KP KN UKR UKS UKT

P er se ntas e P enyem bu han L uk a B akar (% ) Kelompok Tikus


(58)

4. 1. 8 Hasil Pengamatan Fisiologis Luka Bakar Derajat Dua

Hasil pengamatan secara visual rerata perubahan fisiologis yang terjadi pada luka bakar derajat dua dimulai dari hari ke-1 hingga hari ke-21 pada kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, kelompok uji konsentrasi rendah, kelompok uji konsentrasi sedang dan kelompok uji konsentrasi tinggi dapat dilihat pada tabel 4.6.


(1)

Multiple Comparisons Luas_Luka_Awal LSD

(I) Kelompok_Tikus (J) Kelompok_Tikus

Mean

Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kontrol Positif Kontrol Negatif -.278250 .677123 .687 -1.72150 1.16500

Uji Konsentrasi

Rendah .395000 .677123 .568 -1.04825 1.83825

Uji Konsentrasi Sedang .384250 .677123 .579 -1.05900 1.82750 Uji Konsentrasi Tinggi .186500 .677123 .787 -1.25675 1.62975 Kontrol Negatif Kontrol Positif .278250 .677123 .687 -1.16500 1.72150

Uji Konsentrasi

Rendah .673250 .677123 .336 -.77000 2.11650

Uji Konsentrasi Sedang .662500 .677123 .343 -.78075 2.10575 Uji Konsentrasi Tinggi .464750 .677123 .503 -.97850 1.90800 Uji Konsentrasi

Rendah

Kontrol Positif -.395000 .677123 .568 -1.83825 1.04825 Kontrol Negatif -.673250 .677123 .336 -2.11650 .77000 Uji Konsentrasi Sedang -.010750 .677123 .988 -1.45400 1.43250 Uji Konsentrasi Tinggi -.208500 .677123 .762 -1.65175 1.23475 Uji Konsentrasi Sedang Kontrol Positif -.384250 .677123 .579 -1.82750 1.05900 Kontrol Negatif -.662500 .677123 .343 -2.10575 .78075 Uji Konsentrasi

Rendah .010750 .677123 .988 -1.43250 1.45400

Uji Konsentrasi Tinggi -.197750 .677123 .774 -1.64100 1.24550 Uji Konsentrasi Tinggi Kontrol Positif -.186500 .677123 .787 -1.62975 1.25675


(2)

Kontrol Negatif -.464750 .677123 .503 -1.90800 .97850 Uji Konsentrasi

Rendah .208500 .677123 .762 -1.23475 1.65175

Uji Konsentrasi Sedang .197750 .677123 .774 -1.24550 1.64100 Keputusan : data penurunan luas luka bakar seluruh kelompok tidak berbeda secara signifikan.


(3)

Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua One-Way ANOVA

a. Uji Normalitas

Tujuan : untuk distribusi normal data persentase penyembuhan luka bakar Hipotesis :

Ho = Data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi normal Ha = Data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Persentase_Pe nyembuhan_

Luka_Bakar

N 20

Normal Parametersa Mean 70.9385

Std. Deviation 10.84761 Most Extreme

Differences

Absolute .136

Positive .092

Negative -.136

Kolmogorov-Smirnov Z .606

Asymp. Sig. (2-tailed) .856


(4)

b. Uji Homogenitas

Tujuan : untuk melihat data persentase penyembuhan luka bakar homogen atau tidak Hipotesis :

Ho = Data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi homogen Ha = Data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

Test of Homogeneity of Variances Persentase_Penyembuhan_Luka_Bakar

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

2.317 4 15 .105

Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi homogen c. Uji Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference)

Tujuan : untuk menentukan data persentase penyembuhan luka bakar abnormal kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Ho = Data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = Data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak


(5)

Multiple Comparisons Persentase_Penyembuhan_Luka_Bakar

LSD

(I) Kelompok_Tikus (J) Kelompok_Tikus

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Kelompok Kontrol

Positif

Kelompok Kontrol

Negatif 5.63250 8.20729 .503 -11.8609 23.1259 Kelompok Uji

Konsentrasi Rendah -2.61250 8.20729 .755 -20.1059 14.8809 Kelompok Uji

Konsentrasi Sedang -3.37750 8.20729 .687 -20.8709 14.1159 Kelompok Uji

Konsentrasi Tinggi -2.27250 8.20729 .786 -19.7659 15.2209 Kelompok Kontrol

Negatif

Kelompok Kontrol

Positif -5.63250 8.20729 .503 -23.1259 11.8609 Kelompok Uji

Konsentrasi Rendah -8.24500 8.20729 .331 -25.7384 9.2484 Kelompok Uji

Konsentrasi Sedang -9.01000 8.20729 .290 -26.5034 8.4834 Kelompok Uji

Konsentrasi Tinggi -7.90500 8.20729 .351 -25.3984 9.5884 Kelompok Uji

Konsentrasi Rendah

Kelompok Kontrol


(6)

Kelompok Kontrol

Negatif 8.24500 8.20729 .331 -9.2484 25.7384

Kelompok Uji

Konsentrasi Sedang -.76500 8.20729 .927 -18.2584 16.7284 Kelompok Uji

Konsentrasi Tinggi .34000 8.20729 .968 -17.1534 17.8334 Kelompok Uji

Konsentrasi Sedang

Kelompok Kontrol

Positif 3.37750 8.20729 .687 -14.1159 20.8709 Kelompok Kontrol

Negatif 9.01000 8.20729 .290 -8.4834 26.5034

Kelompok Uji

Konsentrasi Rendah .76500 8.20729 .927 -16.7284 18.2584 Kelompok Uji

Konsentrasi Tinggi 1.10500 8.20729 .895 -16.3884 18.5984 Kelompok Uji

Konsentrasi Tinggi

Kelompok Kontrol

Positif 2.27250 8.20729 .786 -15.2209 19.7659 Kelompok Kontrol

Negatif 7.90500 8.20729 .351 -9.5884 25.3984

Kelompok Uji

Konsentrasi Rendah -.34000 8.20729 .968 -17.8334 17.1534 Kelompok Uji

Konsentrasi Sedang -1.10500 8.20729 .895 -18.5984 16.3884 Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar seluruh kelompok uji tidak berbeda secara signifikan.


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

0 35 120

Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

13 76 98

Uji Aktivitas Gel Isolat Katekin Gambir (Uncaria Gambir Roxb.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

2 6 96

Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

6 24 104

Uji Aktivitas Gel Isolat Katekin Gambir (Uncaria Gambir Roxb.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

0 3 96

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

UJI INDEKS GLIKEMIK UMBI TALAS UNGU (Colocasia esculenta L) DAN UMBI TALAS JEPANG (Colocasia esculenta Var Antiquorum) PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus)

0 2 91