ditemukan paradoks dalam khazanah agama di mana dalam satu sisi, pemahaman agama dapat melegitimasi dan melanggengkan ketidakadilan
gender. Namun di sisi lain, pemahaman agama dapat menjadi landasan bagi upaya pembebas manusia dari belenggu budaya.
Upaya politis dan strategis dilakukan dengan membuat kebijakan politik dan pemerintahan yang responsif gender. Dalam kerangka hak azasi
manusia, diskriminasi dan ketidakadilan gender merupakan bagian dari pelanggaran terhadap hak azasi. Oleh sebab itu, intervensi atau upaya-upaya
pencapaian kesetaraan gender dimandatkan secara internasional dan mengikat secara nasional. Negara merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap
setiap pelanggaran terhadap hak-hak azasi, baik secara individual maupun secara kolektif.
47
Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa aplikasi kesetaraan gender adalah, suatu penerapan teori dalam kehidupan
sehari-hari, dalam hal ini teori yang dimaksudkan adalah kesetaraan gender, yakni kesamaan atau kesesuaian akses atau peluang terhadap sumber daya
seperti pendidikan atau profesi, “partisipasi” atau keikutsertaan dalam suatu kegiatan produktif, serta adanya keterlibatan yang setara antara laki-laki dan
perempuan dalam control atau wewenag di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari demi tercapainya keadilan sosial.
C. Karier Perempuan dan Laki-laki di dalam Ranah Publik
1. Pengertian Karir
Menurut Kamus Ilmiah Populer “karier” dapat diartikan sebagai riwayat pekerjaan, kerja yang digeluti atau kemajuan pekerjaan.
48
Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perempuan karier adalah perempuan yang memiliki riwayat pekerjaan yang digelutinya.
2. Peran Perempuan dan Laki-laki dalam Bidang Pekerjaan
Jika berbicara masalah pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, maka secara ototmatis akan terdapat pembagian, yakni di ranah publik dan
domestik. Di mana ranah publik biasanya mencakup segala bidang yang berhubungan dengan dunia di luar rumah keluarga, seperti; ekonomi,
pendidikan, hukum, agama, dan lainnya. Dalam kasus gender ranah publik ini
47
Ibid., h. 5-6
48
Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry,Kamus Ilmiah Populer Surabaya: Arkola, h. 309
hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, seperti, membersihkan rumah, memasak, menjaga anak-anak.
Di dalam budaya patriarkhi, baik ranah publik maupun domestik senantiasa dikuasai oleh laki-laki. Sebaliknya, pada waktu yang sama,
perempuan terpinggirkan karena perempuan dianggap atau diputuskan tidak layak dan tidak mampu untuk bergelut dibidang-bidang tersebut. Hal ini tidak
hanya mengakibatkan adanya pemilahan peran publik bagi laki-laki dan peran domestik bagi perempuan, tetapi juga ini berdampak pada ketidakadilan
gender. Perempuan di ranah domestik tugasnya melayani, sementara mereka sendiri tidak memiliki kontrol atas ranah domestik karena kontrol tetap berada
di tangan laki-laki.
49
Di zaman sekarang, kehadiran perempuan di berbagai arena kehidupan dibutuhkan, penerapan fungsi kekhalifahannya ditunggu, maka pandangan
adil gender seharusnya menjadi tradisi dalam masyarakat, dalam komunitas apapun, temasuk komunitas agama Islam. Maka jangan sampai ada upaya
menghambat kehadiran perempuan, walau dengan alasan sedang memerankan fungsi reproduksi lalu diparadokskan dengan peran produksinya, sehingga
domestikasi perempuan dicari penguat, meski dengan dalil-dalil agama, karena hal itu tidak sesuai dengan nilai kesederajatan dari yang ada dalam al
Quran. Bagi umat Islam, mencermati kembali aktivitas Nabi Muhammad
SAW dalam konteks lahirnya teks asbab al-nuzul dan asbab-al-wurud perlu ditempuh guna melihat secara jernih. Ayat-ayat al Quran dan hadits
mengandung nilai-nilai moral yang tinggi, namun di sisi lain merupakan kompromi dengan kultur masyarakatnya pada waktu itu, di Arab. Ada proses
kesejarahan yang terkait dalam pewahyuan, namun tetap dalam élan dasar nilai kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kesetaraan antar manusia.
50
Apabila pandangan yang seimbang terhadap laki-laki dan perempuan dapat disosialisasikan dan menjadi tradisi, baik di dalam maupun di luar
rumahdi dunia publik, maka kemungkinan besar tidak akan ada lagi kesulitan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri dan kemampuannya di
49
Fadilah Suralaga, dkk., Pengantar Kajian Gender Jakarta: Pusat Studi Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan McGill Project IISEP, 2003, h. 60
50
Suralaga, Pengantar Kajian Gender, h. 230
Terlebih lagi kuantitas mereka lebih banyak dan kualitas mereka pun bisa diandalkan. Banyaknya perempuan potensial yang akhirnya harus terpuruk
karena hanya menjadi bayangan hidup bagi suaminya, teramputasi kreatifitasnya, dan terisolasi dari keramaian bakat dan minatnya sendiri
sedapat mungkin dihindari. Diakui atau tidak, sampai saat ini di mata masyarakat, perhatian terhadap perempuan hanya sebatas keberadaannya
dalam keluarga, sehingga secara sosiologis bersifat trdisional. Jika mereka berbuat tetap dianggap berada dalam institusi keluarga, dengan memainkan
peran sosial mereka sebagai istri atau anak. Pandangan konsep positivis organism
ini, berarti meniadikan hak bersaing dalam berbagi segi kehidupan.
51
Ada bukti-bukti nyata, bahwa eksistensi perempuan dihormati oleh Islam, misalnya dalam kehidupan masyarakat Muslim periode awal. Oleh
karena itu, jika perempuan Muslimah masa kini ingin mengkonstruksi cirtranya, tak salah sekiranya mau menengok kembali ke zaman Muslim ideal
zaman Nabi dan Khulafa-al-Rasyidin. Cara ini berangkat dari konsep Weber tentang model atau tipe ideal, yang merupakan modifikasi dan kombinasi
beberapa tipe yang pernah ada. Perlu disadari bahwa bagaimanapun ada keterbatasan historis yang perlu dimengerti, maka konsep tipe ideal
merupakan ide tentang suatu kenyataan, bukan wujud kenyataan itu sendiri. Dalam keluarga Nabi, sebagaimana ditulis panjang-lebar oleh Charis
Waddy, dikisahkan bahwa Khadijah istri Nabi adalah seorang pengusaha perempuan yang sukses, sejak jauh hari sebelum menikah dengan
Muhammad. Bahkan Khadijah, disamping sebagai pendorong semangat Nabi, dia adalah penyandang finansial kegiatan dakwah beliau. Maka perempuan
Muslimah tidak dilarang untuk menjadi seorang pengusaha, profesional, karyawati, dan pekerja dibidang-bidang lainnya.
Lalu puteri Nabi, Fatimah, selain sebagai perawi hadis, dia seorang perempuan pemberani sejak kecil. Di saat Ayahandanya bersujud dan berdoa
di depan Ka’bah, datanglah para pengacau mengganggu dan melempari kotoran. Fatimah membela dan membersihkan beliau, padahal tindakan itu
cukup beresiko. Diapun bersama Aisyah termasuk regu penolong dan penyedia logisik dalam perang Uhud. Maka Islam tidak melarang perempuan
51
Suralaga, Pengantar Kajian Gender, h. 232
perawat, tim Palang Merah, atau pekerja sosial lain.
52
Masih banyak lagi bukti-bukti nyata bahwa perempuan-perempuan pendamping Nabi ternyata merupakan sosok yang tidak pernah diam dalam
dinamika umat Islam periode awal. Padahal pada waktu itu, di Arab apalagi, tantangan dan hambatannya sangatlah besar. Aktivitas mereka masih berlanjut
ketika negara masih diperintah oleh Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja, setelah zaman dinasti Umayyah yang banyak meniru pola-pola Romawi dan Persia,
dan zaman dinasti Abbasiyyah yang lebih dekat ke budaya Persia, dunia Islam diwarnai oleh tradisi baru yang tidak Islami, khususnya menyangkut
perlakuan terhadap perempuan. Kebiasaan pesta pora dan foya-foya mengharuskan munculnya penari-penari yang mengeksploitasi tubuh.
Oleh karena itu, sudah selayaknya perempuan masa kini mau melihat kenyataan dan bisa membedakan, mana yang sebenarnya Islami dan mana
yang bukan. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika perempuan mencoba untuk ikut berpartisipasi dalam menangkap peluang yang
ada. Diantaranya adalah, harus tetap disadari bahwa dalam hal peran, perempuan memiliki peran kodrati hamil, melahirkan, menyusui, dan lain-
lain yang tidak bisa ditukar dan ditolak, dan hal ini patut disyukuri sebagai amanah sekaligus karunia dari Allah SWT. Serta peran non kodrati yang biasa
disebut juga sebagai gender, merupakan bentukan masyarakat berdasarkan sosio kultur yang ada disekitarnya, dan di sini boleh bertukar peran, boleh
berbeda-beda, boleh tawar menawar. Selain itu berkaitan dengan gender perempuan harus menyadari bahwa
dirinya memiliki kesetaraan bukan seragam dengan kaum laki-laki, dan kaum laki-laki juga demikian halnya, sehingga antara keduanya bisa memiliki
peran yang sama dan bisa juga berbeda. Sekiranya dalam kesamaan peran, berarti ada peluang untuk bersaing secara sehat, maka perempuan perlu
membekali diri dengan ilmu, pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sebagainya, yang dapat diandalkan untuk bisa diadu dalam persaingan tersbut.
Hal penting lainnya yaitu berkaitan dengan kesempatan, haruslah dihindari adanya praktek-praktek kapitalis yang semata-mata ingin meraih
keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa mengindahkan kaidah agama yang menghendaki kesetaraan martabat, maupun masyarakat yang tentu saja tidak
52
Suralaga, Pengantar Kajian Gender ., h. 232-233
perempuan hanya dianggap sebagai komoditas yang menguntungkan, kemudian dieksploitasi semaunya sendiri, sementara kalangan perempuan
sendiri menangkapnya sebagai peluang yang sayang untuk dilewatkan. Maka terjadilah pengeksploitasian perempuan, pelecehan ataupun ketidakadilan
gender yang sangat merugikan perempuan itu sendiri.
53
53
Suralaga, Pengantar Kajian Gender, h. 235-236
BAB III GAMBARAN UMUM