4.1.2 Aksesibilitas
Aksesibilitas menuju obyek wisata Tangkahan terbilang masih kurang baik. Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang belum beraspal dan berbatu
membuat semua sarana transportasi agak sulit untuk bisa melaluinya. Sebagai akibatnya memakan waktu yang cukup lama untuk mencapai obyek wisata
Tangkahan yaitu sekitar 4 jam dari terminal pinang baris Medan. Kendaraan umum yang langsung menjangkau obyek wisata Tangkahan bernama bus
Pembangunan Semesta PS dengan tujuan Tangkahan, kendaraan ini hanya beroperasi sekali sehari dari Medan – Tangkahan pada pukul 11.00 WIB dan jika
dari Tangkahan – Medan kendaraan umum yang pasti beroperasi hanya pada pukul 05.30 WIB atau dengan alternatif lain yaitu menggunakan bus
Pembangunan Semesta tujuan Simpang Robet dan dari simpang robet menuju obyek wisata Tangkahan wisatawan dapat melanjutkan perjalanan dengan menaiki
ojek. Dengan bus Pembangunan Semesta dan tarif Rp 25.000 wisatawan sudah
bisa berkunjung ke obyek wisata Tangkahan walaupun jumlah sarana transportasinya masih terbatas. Namun sampai sekarang ini wisatawan yang
datang ke obyek wisata Tangkahan kebanyakan menggunakan mobil pribadi, sepeda motor dan pick up.
4.1.3 Sejarah Obyek Wisata Tangkahan
Obyek wisata Tangkahan pada tahun 1900 merupakan kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung natur reservaat dan hutan produksi. Pada tahun 1930
beberapa pengusaha dari luar memulai usaha pengelolaan kayu yang melibatkan
penduduk lokal sebagai tenaga kerja generasi pertama dan proses pengelolaan kayu dengan menggunakan alat tradisional.
Pada pertengahan tahun 1960 dimulai gelombang pengelolaan kayu generasi kedua yang lebih besar dengan melibatkan beberapa pemodal luar.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pembukaan areal hutan untuk perkebunan semakin luas dan ditetapkannya kawasan hutan tersebut menjadi
Taman Nasional pada awal 1980 tidak mampu menghentikan aktivitas pengambilan kayu yang sudah tidak terbatas antara kawasan hutan produksi atau
Taman Nasional. Serta selama puluhan tahun aktivitas pengambilan kayu sudah merupakan sistem nilai yang menjadi kebiasaan penduduk.
Pada akhir tahun 1980 beberapa pelaku illegal logging bebas dari penjara, sebagian meneruskan aktivitasnya dan sebagian lagi menginisiatif membuka
obyek wisata yang selanjutnya diikuti oleh beberapa tokoh masyarakat dan pemuda didusun Kuala Gemoh dan Kuala Buluh. Masyarakat di kedua desa ini
yang dihuni oleh sekitar 2000 KK setuju untuk mengembalikan kawasan Tangkahan sebagai kawasan wisata yang ramah lingkungan. Ini ditandai dengan
dibentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan LPT yang merupakan lembaga lokal yang dipercaya untuk mengelola ekowisata dan bekerja sama dengan pihak
taman nasional, sekaligus membentuk peraturan desa. Peraturan desa ini merupakan peraturan desa pertama di Indonesia yang disusun secara partisipatif,
untuk mengatur tentang konservasi dan pranata sosial secara langsung, sebelum diadopsi di berbagai daerah di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, karena objek wisata yang cukup menarik dan semuanya terdapat di dalam Taman Nasional, maka dibentuklah kesepakatan
antara LPT dan Balai TNGL Taman Nasional Gunung Leuser yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding MoU. Kesepakatan ini ditandatangani
pada tanggal 22 April 2002 oleh Kepala Balai TNGL selaku Pemangku Kawasan untuk memberikan hak kelola Taman Nasional kepada masyarakat Desa Namo
Sialang dan Desa Sei Serdang melalui LPT. Sebuah langkah yang sangat berani untuk dilakukan pada saat itu,
mengingat MoU tersebut adalah property right aset kolektif untuk mengelola kawasan seluas 17,500 ha untuk dijadikan kawasan ekowisata, di mana kawasan
ini merupakan zona inti taman nasional yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk kegiatan apapun kecuali penelitian.
Sebagai kewajibannya, masyarakat desa Namo Sialang dan Sei Serdang bertanggung jawab penuh untuk menjaga keamanan dan kelestarian TNGL yang
berbatasan dengan wilayah desa tersebut. MoU tersebut adalah contoh dari keluwesan pemerintah dalam mengelola kawasan lindung namun tetap berpihak
kepada masyarakat lokal. Akhirnya, pada tahun 2004, LPT mendapatkan Anugerah Penghargaan Inovasi Kepariwisataan Indonesia oleh Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Tidak berhenti di sini, di awal tahun 2006, MoU ke-2 kembali ditandatangani oleh TNGL. Kemudian LPT membentuk
Badan Usaha Milik Lembaga BUML, berkolaborasi dengan pihak TNGL untuk mengelola berbagai jasa lingkungan di TNGL. Dari sinilah, era integrasi antara
ekonomi dan ekologi di kawasan Ekowisata Tangkahan tercipta dalam semangat kolaborasi, untuk melahirkan gelombang besar perubahan di TNGL.
Di Tangkahan, ekowisata merupakan cara yang terbukti efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mencegah terjadinya aktivitas
ilegal lodging di sekitar kawasan. Kini, jumlah kunjungan wisata ke Tangkahan semakin meningkat tiap tahunnya.
4.1.4 Badan Usaha Milik Lembaga Di Obyek Wisata Tangkahan