Fungsi Religius FUNGSI GUNUNG FUJI

BAB III FUNGSI GUNUNG FUJI

3.1 Fungsi Religius

Tempat-tempat sucikeramat dan tradisi-tradisi ziarah dari bangsa Jepang dikondisikan oleh keadaan geografi dan topografi negara Jepang. Hampir 70 dari wilayah Jepang merupakan daerah berbukit atau pegunungan yang telah melahirkan tradisi yang unik dan kepercayaan-kepercayaan serta latihan-latihan agama yang dipusatkan di gunung. Shinto yang merupakan agama yang lahir dalam bangsa Jepang meyakini bahwa semua pohon, danau, mata air, batu besar dan gunung merupakan tempat tinggal dari roh-roh yang disebut Kami. Kami tersebut biasanya dipusatkan di daerah pegunungan atau gunung dan sebagai Universitas Sumatera Utara tanda dari kekeramatan tempat tersebut, akan dibangun sebuah Jinja. Masuknya agama Buddha dan tradisi Tao dari daratan China pada abad VI ke Jepang, membuat semakin berkembangnya latihan-latihan keagamaan yang dilaksanakan di gunung, yang melihat bahwa pendakian gunung sebagai sebuah cara dalam peningkatan hidup spiritual untuk mencapai penerangan Illahi. Gunung Fuji sudah sejak lama dipuja sebagai salah satu gunung keramat di Jepang. Kekeramatannya telah tercantum dalam 2 karya besar Jepang pada abad VIII, Man-yo-shu dan Hitachi no Kuni no Fudoki. Gunung ini oleh agama Shinto diabadikan sebagai tempat tinggal Dewi Konohana Sakuya Hime, Dewi dari semua gunung keramat di Jepang dan juga dewi dari semua pohon yang sedang mekar. Menurut agama Buddha, Gunung Fuji merupakan tempat tinggal dari Dainichi Nyorai, Buddha dari semua kebijaksanaan yang mencerahkan. Gunung Fuji merupakan inspirasi dari meditasi-meditasi yang dilakukan oleh pengikut- pengikut agama Buddha, dan mereka menyebut puncak Gunung Fuji ”Zenjo”. Pada zaman Heian 794-1185 Sengen Jinja dibangun di puncak Gunung Fuji, yang dipersembahkan bagi Dewi Konohana Sakuya Hime. Kemudian bermunculan para pertapa gunung dengan Matsudai Shonin sebagai salah satu tokoh utamanya. Menurut Honcho Seiki abad 12 Matsudai belajar pada Chiin dari Issoji di Iwamoto dan melaksanakan praktik-praktik keagamaan di Gunung Izu di Atami dan di Gunung Hakusan. Dia mendaki Gunung Fuji beratus kali dan kemudian membangun sebuah kuil di puncak gunung Fuji yaitu Kuil Dainichi, dengan Kaisar Toba yang telah turun tahta sebagai pelindungnya selama pembangunan kuil tersebut. Matsudai juga menguburkan sebuah Kitab Sutra di bawah tanah pada kuil tersebut. Sebuah kuil yang sedarhana juga didirikannya di Universitas Sumatera Utara Murayama, pada kaki Gunung Fuji. Akhirnya, Matsudai berhasil memperoleh kesempurnaan Buddha hingga akhir hidupnya dan dihormati sebagai Daitoryo Gongen. Pada periode Bunpo 1317-1319 seorang pendeta dari sekte Shugendo, Raison memulai sebuah rezim pertapa ke Gunung Fuji yang disebut dengan Fujigyo, yang mendorong masyarakat Jepang untuk mendaki Gunung Fuji sebagai praktik keagamaan. Raison mendapatkan banyak pengikut dan menjadi sangat terkenal, dia memusatkan pergerakannya di Murayama Fujinomiya sekarang. Dari Murayama terdapat sebuah jalan masuk menuju sisi Gunung Fuji sehingga memudahkan aksesnya mendaki Gunung Fuji. Pada perkembangannya pergerakan religius ini disebut dengan Murayama Shugendo, yang memiliki pengaruh penting pada periode pertengahan di Jepang. Akan tetapi mulai pada periode Edo, pengaruh mereka mulai melemah. Hasegawa Kakugyo1541-1646 pada tahun 1560 melaksanakan praktik- praktik keagamaan di dalam gua hitoana pada sisi barat dari Gunung Fuji. Dia juga mengadakan latihan keras aragyo di daerah sekitar Yoshida Fuji-Yoshida sekarang yang merupakan pintu masuk sebelah utara ke Gunung Fuji. Kemudian mengadakan latihan-latihan pertapa dari cara menyembah Gunung Fuji. Hasegawa Kakugyo merupakan pendiri dari Persaudaraan Fuji dan yang memulai latihan- latihan religius-magis, memakai jimat yang disebut fusegi guna melindungi para pengikutnya dari penyakit dan malapetaka lainnya dan menggunakan huruf khusus yang disebut Ominuki. Selama masa Kyoho 1716-1736 muncul 2 orang pertapa besar. Satu yakni Hasegawa Kakugyo, yang mengembangkan kegiatan dari pengajarannya Universitas Sumatera Utara pada skala besar, keturunannya dikenal sebagai Murakamiha. Lainnya adalah Jikigyo Miroku 1671-1733 nama aslinya adalah Ito Hei dulunya seorang pedagang yang mengganti namanya setelah menjadi seorang pengikut dari penyembahan Fuji. Terkenal karena pembaharuannya yonaoshi, yang mengritik sistem status pada saat itu dan mengajarkan kesamaan derajat antara pria dan wanita. Pada akhir hidupnya dia melakukan puasa di Eboshi-iwa, pada jalan menuju Yoshida dan meninggal dalam mendoakan keselamatan umat manusia. Setelah kematiannya, para pengikutnya mengembangkan ajarannya dan kemudian merubah persaudaraan, menambah pengikut dengan bekerja keras menyebarkan ajaran-ajaran persaudaraan mereka. Hasilnya terlihat pada dekade I abad 19 para pengikut yang meningkat tajam dan sangat populer di Edo. Setelah pencapaian itu, mereka membuat gundukan, tumpukan batu-batu dari Gunung Fuji Fujizuka, Sengenzuka di Edo dan daerah Kanto, sebagai miniatur yang menggantikan Gunung Fuji. Tumpukan ini digunakan sebagai tempat untuk memuja Gunung Fuji dan merupakan pengganti dari pendakian gunung. Pada hari ”pembukaan gunung” oyamabiraki, hatsuyama pada hari terakhir di bulan Juni, setiap rumah tangga dari pengikut Persaudaraan Fuji ini akan melaksanakan pemujaaan gunung melalui miniatur Gunung Fuji dengan mengenakan jubah putih dan mengucapkan ayat-ayat penyucian dari 6 pengertian Rokkon Shojo. Setelah Restorasi Meiji, Persaudaraan Fuji ini bergabung dengan sekte-sekte Shinto seperti Fusokyo, Jikkokyo dan Murayamakyo.

3.2 Fungsi Seni