Latar Belakang Masalah Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas Bank Syariah ( Studi Kasus Bank Syariah Mandiri)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan bank syariah yang pesat terasa sejak pemerintah dan Bank Indonesia memberikan komitmen besar dan menempuh berbagai kebijakan untuk mengembangkan bank syariah dengan serius, khususnya dengan perubahan UU Perbankan no. 10 tahun 1998. Berbagai kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut perluasan jumlah kantor dan operasi bank syariah untuk meningkatkan sisi penawaran, tetapi juga sisi permintaan. Perkembangan yang pesat terutama tercatat sejak dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yang member ijin kepada bank konvensional untuk mendirikan Unit Usaha Syariah UUS. Sejak itu kantor dan operasi bank syariah tumbuh dimana-mana. Pentingnya sistem finansial termasuk di dalamnya sektor perbankan dalam sebuah perekonomian sudah banyak dibahas. Namun, mengingat jumlah BUS dan UUS, besaran pangsa pasar DPK, pembiayaan kredit, komposisi dana dan pembiayaan, serta rasio FDR, maka manajemen asset dan liability Assets and Liability Management - ALM bank syariah di Indonesia menjadi masalah yang menarik untuk dikaji. ALM adalah sebagai proses manajemen untuk mendapatkan penetapan kebijakan di bidang pengelolaan permodalan, pemupukan dana dan penggunaan dana yang saling terkait dalam mencapai tingkat laba yang optimal dengan tingkat risiko yang telah diperhitungkan Riyadi, 2004:21. ALM suatu bank dipengaruhi oleh faktor internal bank dan faktor eksternal. 2 Sebagaimana dikemukakan oleh Dimond dan Dybvig 1983, satu kunci mengapa bank merupakan institusi yang rapuh adalah karena peran bank dalam mentransformasi maturity dan menyediakan jaminan terhadap kebutuhan likuiditas potensial deposannya. Meski begitu, hampir tidak ada usaha yang dicurahkan untuk menganalisis salah satu kunci agar bank menjadi institusi yang lebih aman yaitu asset likuid yang dipegang bank. Seberapa banyak likuiditas yang bank mesti pegang sebagai alat pengaman dirinya saat ada kebutuhan likuiditas mendadak? Berapa besar ukuran buffer likuiditas yang dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal bank? Aspachs, 2005:3. Bila dibahas dari faktor internal, maka bank syariah sebagaimana bank konvensional merupakan institusi yang menghimpun dana dari masyarakat, mentransformasikan dana tersebut menjadi asset produktif dan menjamin likuiditas dana yang disimpan bagi masyarakat. Likuiditas dana merupakan jaminan bagi masyarakat untuk dapat menarik dananya kapanpun dan dalam jumlah berapapun diperlukan. Pada sisi lain aktiva produktif bank yang berupa pinjaman atau kredit tidak dapat setiap saat ditarik dibayarkan. Hal ini menjadikan bank rentan terhadap gejolak likuiditas yang bersumber dari sisi pasiva bank. Bila bank menghadapi penarikan dana dalam jumlah besar, bisa jadi bank harus menjual asetnya yang tidak likuid. Apabila penjualan asset yang tidak likuid jumlahnya sangat signifikan bagi bank, hal ini dapat menyebabkan kondisi insolven Aspachs, 2005:3. Sedangkan bila dikaitkan dengan faktor eksternal berupa system moneter dan perbankan, masalah ALM di Indonesia dapat dikaitkan dengan system 3 perbankan terutama pasar uang antar bank dan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia SBI. Bank menjadi kuat tidak hanya karena kondisi bank itu sendiri, tetapi juga sebagaimana sistem perbankan dan sistem investasi yang ada mampu memenuhi kebutuhan suatu bank untuk melakukan ekspansi pasif dan aktif. Adapun instrumen moneter berupa Treasury bills pada bank sentral atau berupa SBI di Indonesia merupakan instrumen likuiditas sekaligus alat investasi. Bahkan akhir-akhir ini di Indonesia, ada perubahan paradigma bahwa SBI telah menjadi alternatif pilihan investasi perbankan Nurwadono, 2006:21. Likuiditas mempunyai pengertian sebagai sumber pendanaan yang cukup tersedia untuk memenuhi semua kewajiban, mempunyai uang ketika dibutuhkan, kemampuan untuk menjamin tersedianya dana untuk memenuhi komitmen pada tingkat harga yang pantas setiap saat. Likuiditas suatu aset berasal dari salah satu dari dua sumber yaitu daya cair asset itu sendiri Self contained liquidity dan daya jualnya Marketability Arifin, 2002:143. Self contained liquidity menggambarkan jatuh temponya asset, sedangkan marketability adalah kemampuan untuk menukarkan asset menjadi uang melalui penjualan asset tersebut kepada investor lain di pasar sekunder secondary market. Karena itu obligasi berjangka panjang dapat dipandang lebih likuid dibandingkan kredit jangka pendek, karena meskipun jangka waktu obligasi lebih lama dari pada kredit, bank dapat menjualnya di pasar sekunder. Jadi likuiditas asset tergantung pada tingkat kemudahannya untuk dikonversikan menjadi kas guna memperoleh dana yang dibutuhkan Arifin, 2002:143. Adapun 4 Aspachs 2005:10-11 menunjukkan bahwa likuiditas juga dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas pada periode berjalan yang menjadi sumber likuiditas bank pada periode berikutnya. Pengukuran likuiditas pada bank adalah pengukuran yang bersifat dilematis, karena di satu sisi usaha bank yang utama adalah memasarkan dan atau memutar uang para nasabahnya untuk mendapatkan keuntungan. Artinya bisnis perbankan harus memaksimalkan pemasaran uangnya dan sekecil mungkin mencegah uang menganggur idle money. Disisi lain, untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap para deposan dan debitur yang sewaktu-waktu menarik dananya dari bank, bank dituntut selalu dalam posisi siap membayar, yang artinya bank harus mempunyai cadangan uang menganggur yang cukup. Secara spesifik, maka alat likuid dalam bentuk cadangan uang menganggur adalah kas dan setara kas seperti giro pada bank sentral dan giro pada bank lain, ditambah dengan investasi lain yang mudah dicairkan seperti surat berharga. Keadaan tersebut merupakan dilema yang dihadapi oleh perbankan, karena antara kebutuhan likuiditas dan tingkat keuntungan yang akan dicapai mempunyai sisi yang bertolak belakang. Semakin tinggi tingkat likuiditas berarti akan semakin banyak uang yang menganggur berarti pemasaran uang tidak maksimal dan akhirnya bank tidak bisa memaksimalkan keuntungan Judisseno, 2002:138. Penyediaan likuiditas berarti pengeluaran biaya berupa biaya karena menahan alat likuiditas costs of maintaining level of liquidity, biaya untuk 5 meliput risiko apabila kekurangan likuiditas risk of insufficient liquidity Yamin, 193:25. Untuk memenuhi likuiditas, bank harus memiliki non-earning assets dalam bentuk uang tunai cash equivalent. Likuiditas dan profitabilitas dalam manajemen likuiditas selalu berlawanan, dalam arti apabila menahan alat likuid yang terbatas, maka biaya likuiditas dapat ditekan, namun resiko gangguan likuiditas menjadi besar. Apabila menahan alat likuid yang cukup besar, maka biaya likuiditas menjadi besar, namun resiko gangguan likuiditas menjadi kecil Yamin, 1993:25-26. Bank menghadapi resiko likuiditas yaitu risiko likuiditas pendanaan dan risiko likiditas trading-related Norman, 2005:5. Risiko likuiditas pendanaan adalah kemampuan suatu institusi untuk memperoleh dana guna membayar kewajiban, menghimpun dana, collateral requirement dari counterparty dan kemampuan memenuhi penarikan dana nasabahnya. Sedangkan risiko likuiditas trading-related adalah risiko ketika bank tidak mampu mengeksekusi sebuah transaksi pada harga pasar yang berlaku. Jika transaksi tidak bisa ditunda, maka eksekusi yang dilakukan akan mengakibatkan substantial lost kerugian besar. Risiko pendanaan dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu maturity liabilities jatuh tempo kewajiban, termin pembiayaan besarnya dana yang dihimpun, kemampuan untuk mengakses pasar uang, penarikan dan oleh nasabah dan keadaan dimana komitmen pembiayaan tidak bisa dibatalkan oleh bank Norman, 2005:5. 6 Dari pengertian diatas, maka rasio likuiditas bank dapat meliputi beberapa ukuran seperti Aspachs, 2005:10, Antariksa, 2006:1, Judisseno, 2002:139 : Pengukuran jumlah asset likuid bank dibandingkan dengan total asset yang dimiikinya yang menunjukkan proporsi asset likuid dalam neraca bank. Rasio ini juga disebut dengan LTA rasio of liquid assets to total assets. Pengukuran jumlah asset likuid dibandingkan dengan total dana pihak ketiga yang menunjukkan buffer aset likuid terhadap perhitungan maturity mismatch. Rasio ini juga disebut dengan LAD rasio of likuid assets to deposits. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya dengan harta lancar cash assets yang dimilikinya, disebut quick ratio. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya dengan surat berharga, disebut juga dengan istilah investing policy ratio. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya dengan menarik kembali kredit-kredit yang pernah dicairkan oleh bank, disebut dengan banking ratio. Pengukuran kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit dengan harta bank yang tersedia, disebut loan to assets ratio. Pengukuran tingkat likiditas penanaman dana dalam surat berharga, disebut dengan istilah investment portofolio ratio. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya yang sudah jatuh tempo dengan harta lancar yang dimilikinya, disebut dengan istilah cash ratio. Esensi manajemen likuiditas ketika adanya trade off antara likuiditas dan profitabilitas, sehingga ada mismatch antara kebutuhan dan penyediaan aset likuid. Adanya opportunity cost yang disebabkan dana yang menganggur karena 7 digunakan sebagai cadangan pada dana likuiditas, menjadikan bank harus membuat investasi setelah mempunyai likuiditas cukup. Bank tidak mempunyai kontrol terhadap sumber dana tetapi bank dapat mengontrol penggunaan dana terhimpun dengan mengatur prioritas likuiditas bank dalam alokasi dana yang tersedia. Hal ini sebenarnya merupakan sifat umum perbankan dimana pinjaman atau piutang memiliki yield yang tinggi namun merupakan aset yang tidak likuid. Makin tinggi derajat likuiditas suatu portofolio maka makin rendah yield yang dihasilkan. Manfaat pengukuran likuiditas bagi bank adalah mempertinggi kepercayaan masyarakat dan pemerintah. Walaupun kriteria mengenai baik buruknya tingkat likuiditas bank sulit disimpulkan, masyarakat sangat berkepentingan dengan likuiditas bank untuk mengetahui sampai sejauh mana bank dapat memberikan keleluasaan bagi nasabah jika sewaktu-waktu menarik dananya yang tersimpan. Salah satu indikator yang menjadi pegangan masyarakat untuk mengetahui baik buruknya likuiditas tercermin pada produk dan jasa yang ditawarkan oleh bank. Semakin canggih suatu sistem penarikan dana dan jasa lalu lintas pembayaran, misalnya dengan menggunakan ATM, Internet banking, dan mobile banking, secara tidak langsung mencerminkan likuiditas bank semakin baik. Sedangkan bagi bank sendiri untuk dapat mengukur baik buruknya tingkat likuiditas harus dapat memperhatikan faktor-faktor sejarah pengalaman perbankan yang kualitatif seperti situasi kondisi perekonomian pada lokasi operasional bank, peraturan dan kondisi moneter yang berlaku, kebiasaan nasabah dalam menyimpan dan menarik 8 dananya, jenis pekerjaan dan usaha nasabah serta kondisi perekonomian dan politik pada umumnya. Selain memperhatikan kondisi-kondisi kualitatif diatas, bank dalam menentukan kebijakan likuiditasnya harus memperhatikan ketetapan yang dikeluarkan oleh regulator seperti Legal reserve requirement atau cash ratio yaitu cadangan kas yang harus dimiliki oleh bank. Working capital requirement yaitu kebutuhan penyediaan aktiva lancar. Short term liquidity requirement yaitu penyediaan aktiva lancar yang perlu di pertahankan untuk mengantisipasi kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo. Cyclical and secular liquidity yaitu penyediaan harta lancar untuk menghadapi fluktuasi ekonomi. Judisseno, 2002:140 Meski tidak disebutkan secara khusus untuk bank syariah, otoritas perbankan sangat memperhatikan risiko likuiditas. Likuiditas ini diatur BCBS dalam Basel II dimana likuiditas dianggap sebagai hal penting untuk kelangsungan usaha dari tiap organisasi perbankan. Posisi modal bank dapat mempengaruhi kemampuan mereka memperoleh likuiditas, terutama pada saat kritis. Setiap bank harus memiliki sistem yang mengendalikan risiko likuiditas. Bank harus mengevaluasi kecukupan modal berdasarkan profil likuiditas mereka dan likuiditas pasar dimana mereka beroperasi BCBS, 2006:232. Sedangkan BI sebagai bank sentral di Indonesia mengatur likuiditas bank melalui kebijakan menyangkut giro wajib minimum GWM, GWM dan Rasio LDR, Pasar uang antar bank dan peraturan lainnya. 9 Industri perbankan global melalui Basel Committee on Banking Supervision BCBS dari Bank for International Settlements BIS pertama kali mengatur masalah likuiditas melalui A Framework for Measuring and Managing Liquidity yang di publikasikan September 1992. Framework tersebut membahas model manajemen likuiditas yang digunakan oleh bank-bank besar berskala internasional baik dalam kondisi normal sehari-hari maupun dalam skenario krisis. Secara umum topik yang dibahas adalah model kerangka pengukuran dan manajemen likuiditas yang memasukkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif. Seiring dengan perkembangan inovasi teknologi dan finansial, maka Framework September 1992 diperbaharui pada Februari 2000 melalui publikasi berjudul Sound Practice for Managing Liquidity in Banking Organization. Perubahan yang terjadi dalam kurun waktu 8 tahun adalah terutama pada pergerakan deposito dan dana yang mengakibatkan krisis keuangan global pada tahun 1997-1998. Hal-hal yang dibahas dalam publikasi Februari 2000 adalah struktur pengelolaan likuiditas, pemantauan kebutuhan dana, akses pasar likuiditas, rencana kontijensi contigency, pengelolaan valuta asing, pengawasan internal, pengungkapan pada publik dan peran dari otoritas perbankan. Secara spesifik, BIS juga mempublikasikan tulisan berjudul The Management of Liquidiy Risk in Financial Groups pada May 2006. Tulisan ini berisi hasil kajian mengenai praktek manajemen risiko likuiditas pendanaan funding pada sektor perbankan, sekuritas, dan asuransi. Pembahasannya antara lain adalah model manajemen risiko likuiditas, dampak peraturan dari otoritas, permasalahan yang timbul, stress testing dan rencana kontijensi contingency plan. 10 Dengan terpenuhinya kriteria mengenai likuiditas bank secara kualitatif dan kuantitatif, suatu bank dapatlah disebut “sehat”, dalam pengertian mendapat pengakuan dan kepercayaan dari pemerintah dan pengguna jasa bank lainnya. Besar kecilnya masing-masing rasio menentukan likuid dan tidaknya suatu bank. Namun bukan berarti semakin besar rasio likuiditas otomatis menunjukan hasil yang baik, melainkan tergantung kepada masing-masing pengukuran dan kepentingan rasio itu sendiri. Misal pada pengukuran likuiditas dengan rasio Loan to assets, hasil yang semakin rendah menunjukkan tingkat yang lebih baik Judisseno, 2002:139-140. Bank syariah dengan pangsa pasar kecil yang berkembang pesat memiliki instrumen likuid dan investasi yang terbatas, tetap harus mampu likuiditasnya sehingga bank tetap mampu memiliki kas untuk kewajiban jangka pendek dengan menjaga tingkat keuntungan yang optimal. Sebagaimana bank pada umumnya, inti ALM adalah bank harus menjaga antara rentabilitas dan likuiditas Wijaya, 1991:vii. Likuiditas suatu bank mengharuskan kemampuan suatu bank untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Jika bank syariah tidak mampu memenuhi kewajiban likuiditasnya maka akan dapat menimbulkan fenomena individual bank runs yang dapat mengarah pada public distrust. Karena itu sangat menarik untuk membahas likuiditas bank, terutama bank syariah. Bank syariah dalam mengendalikan likuiditasnya berhadapan dengan perbedaan karakteristik dengan bank konvensional. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh bank syariah adalah Larangan riba bunga dalam berbagai 11 bentuk transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariah. Arifin, 2005:12 Keuntungan bank konvensional, bank dapat mengharapkan keuntungan tinggi bila mengambil bunga tinggi dan menerima likuiditas Arifin, 2002:141. Penerimaan bank dihubungkan dengan tingkat bunga dan risiko likuiditas sehingga bank harus menyesuaikan strateginya melalui siklus tingkat suku bunga. Sedangkan bank syariah dalam pengelolaan likuiditasnya tidak saja berhadapan dengan trade off antara risk vs return, namun juga berhadapan dengan prinsip yang berlaku dan kepercayaan masyarakat. Prudential banking dalam perbankan syariah adalah hal pokok karena merupakan prinsip dasar amanah sebagaimana terdapat dalam cetak biru perbankan syariah dan tata prilaku code of conduct perbankan syariah sangat diatur oleh Dewan Pengawas Syariah Norman, 2005:3. Meskipun belum memiliki mekanisme manajemen likuiditas baku, perbankan syariah harus mampu mengidentifikasi permasalahan tersebut sebagai kerangka dalam membangun mekanisme likuiditas. Risiko bank syariah dalam aspek likuiditas adalah adanya batasan fiqh terhadap sekuritisasi aset yang ada dari bank syariah, dimana aset tersebut di dominasi oleh pembiayaan. Hal ini mengakibatkan aset bank syariah tidak lebih likuid bila dibandingkan bank konvensional. Bank syariah kurang dapat memperoleh dana secara cepat dari pasar karena lambatnya perkembangan instrumen keuangan syariah. Hal ini diperburuk oleh tidak adanya pasar uang antar bank syariah. Belum adanya manajemen likuiditas formal karena memang belum ada permasalahan likuiditas 12 hingga saat ini. Hal ini seharusnya mendorong pembuatan instrumen keuangan syariah yang menggunakan dana idle dari bank syariah. Secara umum bank konvensional dapat menjaga likuiditasnya sesuai ketentuan regulator, namun bank syariah memiliki kelebihan likuiditas. Padahal terdapat potensi yang besar bagi bank syariah untuk mengembangkan instrumen keuangan di pasar uang dan pasar modal, sehingga bank syariah dapat memaksimalkan kelebihan dana untuk menaikan pendapatan. Akhirnya bank syariah membiarkan diri untuk kehilangan kesempatan di pasar uang dan menyimpan dananya di bank konvensional tanpa menerima bunga sebagai imbalan yang diterimanya Arifin, 2002:180. Lebih lanjut, likuiditas bank syariah dipengaruhi beberapa hal yaitu volatilitas dari simpanan nasabah, ketersediaan aset yang dikonversi menjdi kas, akses pasar uang antar bank dan sumber dana lain termasuk fasilitas LOLR dari bank sentral, serta komitmen bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi. Ahmed 2001:15 dikutip dari Aji Erlangga menjelaskan bahwa bank syariah menghadapi masalah serius dengan likuiditas berupa kelebihan atau kekurangan cash dalam jangka pendek. Dalam studinya, bank syariah seringkali memegang idle cash dalam jumlah besar karena tidak dapat menginvestasikan nya pada penempatan atau surat berharga yang menghasilkan bunga. Lebih lanjut, ditemukan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan perbedaan berarti dalam surat berharga berdasarkan prinsip syariah, apakah surat berharga tersebut memiliki 13 jatuh tempo jangka pendek atau jangka panjang. Secara khusus, Ahmed menyebutkan bahwa aset yang likuid berarti obyek investasi dimana bila bank ingin mengkonversinya menjadi cash, maka dapat dilakukan dengan segera dan tidak mengalami kerugian. Kemudian surat berharga dimana penjualannya pada volume tertentu di pasar tidak mengubah harga pasar secara signifikan, dan aset likuid kas setara kas. Dari uraian diatas, tampak bahwa bank syariah memiliki persoalan sebagaimana bank konvensional dalam pengelolaan likuiditas bank. Pada satu sisi kekurangan likuiditas dapat mengganggu jalannya operasional bank, namun pada sisi lain kelebihan likuiditas akan memiliki biaya dan opportunity cost of return yang hilang. Untuk dapat mengelola likuiditas, maka bank perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas sehingga dapat mengelola faktor- faktor tersebut. 14

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pebiayaan Bank Syariah : Studi Kasus Pada Bank Muamalat Indonesia Dan Bank Syariah Mandiri

0 29 120

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas bank umum syariah di Indonesia

0 9 86

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN NASABAH BERTRANSAKSI DI BANK SYARIAH Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Nasabah Bertransaksi di Bank Syariah (Studi Kasus di Bank Syariah Mandiri Cabang Boyolali).

0 3 15

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN NASABAH BERTRANSAKSI DI BANK SYARIAH Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Nasabah Bertransaksi di Bank Syariah (Studi Kasus di Bank Syariah Mandiri Cabang Boyolali).

0 3 16

PENDAHULUAN Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Nasabah Bertransaksi di Bank Syariah (Studi Kasus di Bank Syariah Mandiri Cabang Boyolali).

0 2 12

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT MENABUNG DI BANK SYARIAH Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Menabung Di Bank Syariah (Studi Kasus Bank Mega Mitra Syariah Cabang Sragen).

0 0 12

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT MENABUNG DI BANK SYARIAH Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Menabung Di Bank Syariah (Studi Kasus Bank Mega Mitra Syariah Cabang Sragen).

0 2 15

Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyaluran Dana Bank Syariah (Studi Kasus : Bank Syariah Mandiri).

0 0 6

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDITAS BANK SYARIAH DI INDONESIA.

2 4 15

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDITAS BANK SYARIAH DI INDONESIA

0 1 15