Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah (Studi Deskriptif Mengenai Proses Pernikahan Pengikut Dakwah Salafiyyah di Kota Medan)

(1)

PROSES PERNIKAHAN

PADA JAMAAH SALAFIYYAH

(Studi Deskriptif Mengenai Proses Pernikahan Pengikut Dakwah Salafiyyah di Kota Medan)

SKRIPSI

OLEH:

MUHAMMAD IQBAL (040905005)

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat Iman, Islam, dan Kesehatan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini untuk persyaratan mendapatkan gelar kesarjanaan. Tidak lupa juga selawat dan salam dilimpahkan kepada nabi besar Muhammad SAW juga kepada sahabatnya dan keluarganya. Semoga penulis dapat menjadi orang yang istiqamah dalam memegang agama Allah dan berupaya sekuat tenaga mengikuti sunnah Rasullullah.

Tentu saja dalam proses pembuatan skripsi ini tidak lepas dari pada bantuan pihak-pihak lain. Untuk itu penulis merasa perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik yang langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada;

1. Kedua orang tua penulis yaitu papa dan mama, serta mbak Iwa Heriama selaku kakak penulis satu-satunya dan keluarga penulis lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu namanya.

2. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, selaku dekan Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku ketua Departemen Antropologi FISIP USU.

4. Bapak Drs. Yance, Msi, selaku dosen penasehat akademik penulis yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa dalam lingkungan akademis.


(3)

5. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen dan staf pengajar Deparatemen Antropologi FISIP USU yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya semua, yang telah membimbing dan mendidik serta memberikan ilmunya kepada penulis. 7. Kepada para ustadz salafiyyah; ustadz Ali, ustadz Abdul Fattah, ustadz

Nurdin dan lain-lainnya, yang telah memberikan informasi dan keterangan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman penulis dalam berdakwah; Andika Salafy, Dedek As-Salafy, Jaka Langkati, Mirza Brandani, Tyas Maidani, Rizky Al-Binjy, dan lain-lainya, yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman organisasi Forum Studi Islam Ilmiah (FORSIL) USU, yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10.Teman-teman penulis stambuk 2004, yang telah membantu dan menjadi

teman yang baik bagi penulis.

11. Teman-teman yang lain yang tidak mungkin disebutkan namanya, yang juga mendukung dan membantu penulis.

12.Para Informan penulis yang membantu penulis untuk mendapatkan data dan keterangan dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Sebagai makhluk Tuhan yang lemah tentu saja dalam pembuatan dan penulisan skripsi ini masih banyak terjadi kesalahan sehingga masih banyak mungkin yang perlu dikomentari dan dikritisi. Untuk itu, penulis juga mengharapkan masukan yang baik dari berbagai pihak yang sifatnya membangun agar skripsi ini semakin baik nantinya. Dan sekali lagi penulis ucapkan terima kasih.

MEDAN, MEI 2008

PENULIS


(5)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul; Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah. Hal-hal yang dijelaskan adalah tata cara dan aturan-aturan tentang pernikahan yang dilakukan oleh jamaah salafiyyah. Fokus yang diteliti meliputi; upacara atau tata cara sebelum pernikahan berlangsung, kemudian tahapan pelaksanaan pernikahan, dan selanjutnya tata cara setelah pernikahan. Alasan ketertarikan penulis untuk melaksanakan penelitian ini adalah adanya asumsi bahwa jamaah salafiyyah memiliki pola perilaku yang khas dalam pemahaman mereka terhadap ajaran Islam, termasuk dalam hal ini adalah upacara pernikahan yang mereka selenggarakan, menurut mereka sesuai dengan aturan yang ada di dalam Qur’an dan sunnah nabi. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif, penulis mencoba mengungkapkan proses pernikahan pada jamaah salafiyyah. Data diambil penulis dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci yaitu para ustadz dari jamaah salafiyyah, juga para informan lain yaitu pengikut dakwah salafiyyah yang sedang melangsungkan pernikahan. Penelitian dilakukan dengan observasi atau pengamatan secara langsung pelaksanaan penyelenggaraan pernikahan pada jamaah salafiyyah. Selain itu data juga diperoleh melalui studi literature atau studi kepustakaan.

. Tujuan pernikahan menurut jamaah salafiyyah yang paling utama adalah beribadah kepada Allah, ini berarti semua tata cara dan aturan pernikahan dan pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum-hukum agama yang mereka pahami, dari mulai pembatasan jodoh atau perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi menurut jamaah salafiyyah hingga bentuk pernikahan yang dilarang. Selanjutnya, sebelum penyelenggaraan pernikahan ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan yaitu dimulai dari bagaimana memperoleh informasi tentang jodohnya, bagaimana kriteria perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi, masa perkenalan calon jodoh dan saling melihat satu sama lainnya, penentuan hari pernikahan dan penentuan mas kawin, dan hal-hal apa saja yang dilarang sebelum pernikahan pada jamaah salafiyyah seperti pacaran misalnya. Pada tahapan penyelenggaraan pesta atau pernikahan dimulai dari akad nikah dan syarat sahnya pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan khutbah nikah, penyelengaraan pesta, dan hal-hal yang dilarang dilakukan pada penyelenggaraan pesta pernikahan seperti memotret, menghias pengantin, menyelenggarakan hiburan dengan alat-alat musik dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan adab-adab setelah pernikahan yang dimulai darisalat dua rakaat setelah akad nikah bersama isteri dan mendoakannya, kemudian hal-hal yang berhubungan dengan peraturan hidup berumah tangga yaitu mengenai hak-hak suami dan hak-hak isteri.

Kesimpulan hasil penelitian proses pernikahan yang diselenggarakan oleh jamaah salafiyyah dengan segala aturan dan hukum-hukumnya yang sesuai Qur’an dan sunnah menurut pemahaman mereka adalah merupakan bagian dari sebuah ritus dan upacara keagamaan yang dilaksanakan dalam rangka wujud bakti mereka kepada Tuhan. Hal itu sesuai dengan tujuan pernikahan menurut mereka yang merupakan suatu ibadah kepada Tuhan.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... i

ABSTRAKSI ……… iv

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

I.1. Latar Belakang Masalah ……….. 1

I.2. Rumusan Masalah ……… 7

I.3. Tujuan Penelitian ………... 7

I.4. Manfaat Penelitian ………... 7

I.5. Ruang Lingkup Dan Lokasi Penelitian ……… 8

I.6. Tinjauan Pustaka ………. 9

I.7. Metode Penelitian ……… 18

I.7.1. Informan ………... 18

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data ………... 19

I.7.3. Metode Analisis Data ………... 20

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI JAMAAH SALAFIYYAH ……… 21

II.1. Sejarah Munculnya Gerakan Dakwah Salafiyyah ……….. 21

II.2. Masuknya Dakwah Salafi Di Indonesia ... 30

II.3. Jamaah Salafiyyah Di Kota Medan ………. 40

BAB III HUKUM DAN ATURAN PERNIKAHAN... 49

III.1. Pengertian Dan Tujuan Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah………. 49

III.2. Sistem Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah ………... 52

III.3. Pembatasan Jodoh Atau Perempuan Yang Tidak Boleh Dinikahi ………. 53

III.4. Bentuk-bentuk Pernikahan Yang Dilarang Pada Jamaah Salafiyyah ……. 56

III.4.1. Pernikahan Ar-Raht Atau Poliandri ……….. 57

III.4.2. Pernikahan Al-Istibdha’ ... 57

III.4.3. Pernikahan Mut’ah Atau Nikah Kontrak ... 58

III.4.4. Pernikahan Syighar ... 59

III.4.5. Pernikahan Tahlil ... 60

III.4.6. Berpoligami Lebih Dari Empat ... 60

BAB IV TAHAP-TAHAP ATAU TATA CARA PERNIKAHAN ... 61

IV.1. Tahap-tahap Yang Dilakukan Sebelum Penyelenggaraan Pernikahan ….. 61

IV.1.1. Cara Mencari Jodoh ………... 63

IV.1.2. Kriteria Perempuan Yang Dianjurkan Untuk Dijadikan Isteri .. 66

IV.1.3. Perkenalan Dengan Calon Isteri Dan Melihatnya ... 69

IV.1.4. Penentuan Mas Kawin Dan Penetapan Hari Pernikahan ... 73

IV.1.5. Hal-hal Yang Dilarang Sebelum Penyelenggaraan Pernikahan 76 IV.2. Adab-adab Dan Tata Cara Penyelenggaraan Pernikahan …………... 79

IV.2.I. Akad Nikah Dan Syarat Sahnya Pernikahan ...……... 79

IV.2.2. Khutbah Nikah ... 83

IV.2.3. Penyelenggaraan Pesta ... 83

IV.2.4. Hal-hal Yang Dilarang Keras Dalam Penyelenggaraan Pesta .... 85

IV.3. Adab-adab Setelah Pernikahan ... 93


(7)

IV.3.2. Beberapa Aturan Berumah Tangga ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

V.1. Kesimpulan ... 98

V.2. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN

Daftar Nama Informan Daftar Istilah


(8)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul; Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah. Hal-hal yang dijelaskan adalah tata cara dan aturan-aturan tentang pernikahan yang dilakukan oleh jamaah salafiyyah. Fokus yang diteliti meliputi; upacara atau tata cara sebelum pernikahan berlangsung, kemudian tahapan pelaksanaan pernikahan, dan selanjutnya tata cara setelah pernikahan. Alasan ketertarikan penulis untuk melaksanakan penelitian ini adalah adanya asumsi bahwa jamaah salafiyyah memiliki pola perilaku yang khas dalam pemahaman mereka terhadap ajaran Islam, termasuk dalam hal ini adalah upacara pernikahan yang mereka selenggarakan, menurut mereka sesuai dengan aturan yang ada di dalam Qur’an dan sunnah nabi. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif, penulis mencoba mengungkapkan proses pernikahan pada jamaah salafiyyah. Data diambil penulis dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci yaitu para ustadz dari jamaah salafiyyah, juga para informan lain yaitu pengikut dakwah salafiyyah yang sedang melangsungkan pernikahan. Penelitian dilakukan dengan observasi atau pengamatan secara langsung pelaksanaan penyelenggaraan pernikahan pada jamaah salafiyyah. Selain itu data juga diperoleh melalui studi literature atau studi kepustakaan.

. Tujuan pernikahan menurut jamaah salafiyyah yang paling utama adalah beribadah kepada Allah, ini berarti semua tata cara dan aturan pernikahan dan pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum-hukum agama yang mereka pahami, dari mulai pembatasan jodoh atau perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi menurut jamaah salafiyyah hingga bentuk pernikahan yang dilarang. Selanjutnya, sebelum penyelenggaraan pernikahan ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan yaitu dimulai dari bagaimana memperoleh informasi tentang jodohnya, bagaimana kriteria perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi, masa perkenalan calon jodoh dan saling melihat satu sama lainnya, penentuan hari pernikahan dan penentuan mas kawin, dan hal-hal apa saja yang dilarang sebelum pernikahan pada jamaah salafiyyah seperti pacaran misalnya. Pada tahapan penyelenggaraan pesta atau pernikahan dimulai dari akad nikah dan syarat sahnya pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan khutbah nikah, penyelengaraan pesta, dan hal-hal yang dilarang dilakukan pada penyelenggaraan pesta pernikahan seperti memotret, menghias pengantin, menyelenggarakan hiburan dengan alat-alat musik dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan adab-adab setelah pernikahan yang dimulai darisalat dua rakaat setelah akad nikah bersama isteri dan mendoakannya, kemudian hal-hal yang berhubungan dengan peraturan hidup berumah tangga yaitu mengenai hak-hak suami dan hak-hak isteri.

Kesimpulan hasil penelitian proses pernikahan yang diselenggarakan oleh jamaah salafiyyah dengan segala aturan dan hukum-hukumnya yang sesuai Qur’an dan sunnah menurut pemahaman mereka adalah merupakan bagian dari sebuah ritus dan upacara keagamaan yang dilaksanakan dalam rangka wujud bakti mereka kepada Tuhan. Hal itu sesuai dengan tujuan pernikahan menurut mereka yang merupakan suatu ibadah kepada Tuhan.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Keragaman masyarakat dan budaya manusia seharusnya mengarahkan setiap orang untuk mengakui kaberadaan orang lain dan saling mengetahui secara baik satu sama lain dalam rangka saling berhubungan dan bekerja sama untuk kemanfaatan yang timbal balik dan untuk kesejahteraan umat manusia. Dalam hal ini, keragaman memperkaya pengalaman dan perkembangan manusia dan menjadi pertanda akan ciptaan Tuhan yang sangat indah, bukan sebagai pembawa pertentangan. Manusia dapat terus mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan cara yang masuk di akal, sementara tetap menyadari akan kemajemukan mereka (Osman,2006;27).

Keanekaragaman masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan agama yang berbeda secara otomatis akan membuat keanekaragaman kebudayaan. Kebudayaan yang ada dari setiap suku bangsa akan menjadi nilai lebih bagi bangsa Indonesia. Di antara keanekaragaman di berbagai segi kehidupan masyarakat seperti suku bangsa, agama, ras, dan daerah yang terdiri atas kepulauan itu memiliki peranan dan berpengaruh dalam mengisi kepribadian atau watak manusia Indonesia.

Keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia itu tidak saja menyebabkan perbedaan dalam gaya dan pola hidup, tetapi juga menyebabkan perbedaan terhadap nilai-nilai, makna atau pengertian mengenai


(10)

peralihan tingkat sepanjang hidup, yang dalam antropologi disebut dengan istilah “stage along the life cycle” yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa tua, dan sebagainya (Koentjaraningrat,1985;89).

Van Gennep menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap pertumbuhan, atau lingkaran hidup individu (life cycle rites) itu sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat dan kebudayaan manusia (Koentjaraningrat,982;75).

Fase-fase dari masa peralihan itu tidak sama pentingnya pada setiap manusia yang memiliki nilai-nilai yang dibentuk tidak hanya dari kebudayaan suku bangsanya, tetapi agama juga mempengaruhi sistem berfikir dan berprilaku setiap individu untuk mengambil tindakan dan berbuat di dalam kehidupan ini. Di dalam peranannya inilah agama sebagai pengontrol pola tingkah laku manusia juga berbicara mengenai fase-fase dari tingkat kehidupan manusia dengan aturan-aturan dan nilai-nilai tersendiri di samping juga faktor kebudayaan dari suku bangsa manusia itu sendiri.

Salah satu fase dari masa peralihan yang paling penting dalam lingkaran kehidupan semua manusia di dunia yang merupakan bentuk peralihan dari tingkat hidup remaja yang sedang mengalami masa pubertet ke tingkat hidup berkeluarga adalah pernikahan. Pernikahan yang mencakup tata cara dan ritual upacaranya merupakan unsur kebudayaan yang di selalu diamati dari masa ke masa dan akan ada dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang menjadi pegangan hidupnya. Dalam tata cara dan ritual upacara pernikahan juga terkandung nilai-nilai dan


(11)

norma-norma yang sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat dan juga mengatur dan mengukuhkan suatu hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan jenis.

Meskipun pernikahan merupakan suatu ikatan suci yang tidak dapat terlepaskan dari ketentuan Tuhan, tetapi setiap individu memiliki tujuan dan alasan yang berbeda-beda untuk melaksanakan suatu pernikahan yaitu sebagai pengatur kehidupan seks, memberi status sosial dalam kelompok atau kerabat, memberi hak milik akan anak-anak dan harta, gengsi dan memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok atau kerabat (Daradjat,1984 ;4, Keesing,198;152, Ihromi,198;80).

Pernikahan yang berlangsung pada manusia atau individu dalam masyarakat tertentu, akan terus berlangsung dan berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu di dalam kehidupannya. Tahap-tahap pertumbuhan sepanjang hidup individu akan mempengaruhi dan membawa perubahan-perubahan terhdap individu itu sendiri, baik secara biologis, sosial budaya maupun kondisi jiwanya. Oleh karena itu, tiap tingkat pertumbuhan yang membawa setiap individu memasuki tingkat dan kehidupan sosial yang baru dan lebih merupakan saat-saat yang penuh tantangan di dalam kehidupannya.

Parsudi Suparlan juga mengemukakan bahwa perkawinan adalah hubungan permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan, yang berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan bukan hanya mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka saja, tetapi juga melibatkan


(12)

hubungan-hubungan di antara kerabat-kerabat masing-masing pasangan tersebut ( Suparlan,1981;171).

Agama sebagai pegangan hidup yang mempengaruhi pola prilaku dan kepribadian individu juga mengatur masalah pernikahan. Berhubungan dengan masalah pernikahan juga banyak di singgung di dalam isi kitab suci. Hal ini mempertegas dan memperjelas bahwa segala macam segi kehidupan yang kompleks untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan manusia seluruhnya telah diterangkan dan diatur agama untuk pegangan dan pedoman hidup manusia termasuk juga di dalamnya tentang masalah pernikahan.

Dipandang dari sudut keagamaan, maka aturan agama dalam hal pernikahan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan jenis kelaminnya, terutama mengenai persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Di dalam norma agama ada aturan-aturan yang menyebabkan seorang laki-laki tidak dapat berhubungan intim dengan perempuan tertentu. Dengan adanya aturan pernikahan di dalam agama maka pernikahan juga memiliki fungsi lain yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan dari hasil pernikahan yaitu anak-anak. Pernikahan juga memenuhi akan kebutuhan manusia akan harta dan pengelolaannya.

Agama Islam merupakan agama yang memiliki banyak penganutnya di Indonesia telah dijadikan nilai-nilai ajarannya di dalam segi kehidupan penganutnya juga mengatur tentang pernikahan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah berfirman :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung


(13)

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Q.S.30:21).

Tuntunan tuntunan mengenai adab dan tata cara pernikahan juga telah ada dan di atur di dalam Islam. Hukum-hukum peraturan dan tuntunan adab-adab pernikahan tidak hanya diatur oleh Qur’an saja, namun hadits nabi yaitu yang disebut sunnah sebagai acuan pegangan hukum dalam Islam juga banyak mengatur tata cara dan tuntunan proses pernikahan. Nabi Muhammad bersabda "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai-nilai ajaran agama yang dipegang oleh penganutnya merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Dalam hal ini nilai-nilai ajaran agama Islam secara langsung terintegrasi dengan kebudayaan pada masyarakat Indonesia. Nilai-nilai ajaran agama Islam juga dikatakan telah mengatur seluruh segi kehidupan masyarakat Indonesia karena mayoritas penganutnya, terutama dari segi yang berhubungan dengan tingkat peralihan perubahan lingkungan sosial yang dalam hal ini dimaksudkan adalah melalui pernikahan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang proses pernikahan sebagai suatu ritus dan upacara dalam agama Islam yang dalam hal ini di fokuskan pada jamaah salafiyyah. Jamaah salafiyyah merupakan suatu


(14)

kelompok yang tetap fokus menyerukan kepada gerakan dakwah untuk kembali kepada ajaran murni berdasarkan Qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman generasi salafus shalih yang dalam hal ini nabi Muhammad dan para sahabatnya. Gerakan dakwah salafiyyah baru terdengar tahun-tahun belakangan ini, setidaknya setelah reformasi politik yang dilakukan bangsa Indonesia. Hampir sama dengan gerakan-gerakan dakwah lainnya yang menekankan kembali kepada ajaran Islam yang murni (Jamhari dan Jahromi,2004;257).

Gerakan dakwah salafiyyah sangat menolak praktek keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang dianggap sebagai budaya dan bagian dari ajaran agama Islam termasuk juga dalam hal ini mengenai tata cara dan adab-adab pernikahan yang merupakan salah satu bentuk upacara atau ritus dalam agama Islam. Proses tata cara pernikahan sekarang ini dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang berdasarkan hukum adat istiadat suku bangsa dan agama tidak boleh dicampur adukkan karena menurut mereka banyak ritual dari adat istiadat dan acara-acara di dalamnya dari suatu suku bangsa bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Meneliti kehidupan pengikut gerakan dakwah salafiyyah sangat menarik untuk dikaji terutama dari aspek Antropologi, karena pola perilaku yang mendasari sikap hidup pengikutnya tercermin dari nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka pahami, Dalam hal ini salah satunya adalah tentang tata cara proses pernikahan menurut mereka yang sesuai dengan Qur’an dan sunnah berdasarkan fokus penelitian penulis.


(15)

I.2. Rumusan Masalah

Dari uraian dan latar belakang di atas, bahwa adanya asumsi bahwa jamaah salafiyyah memiliki pola perilaku yang khas dalam pemahaman mereka terhadap ajaran Islam termasuk di dalamnya adalah mengenai proses dan tata cara serta adab dalam pernikahan yang menurut pemahaman mereka sesuai Qur’an dan sunnah. Penelitian penulis akan melihat dan mengamati proses pernikahan, tata cara serta adabnya pada pengikut gerakan dakwah salafiyyah. Proses yang dimaksud adalah tata cara dan adab sebelum acara pernikahan serta tata cara dan adab setelah pernikahan yaitu dalam hidup berumah tangga. Sedangkan yang dimaksud tata cara pernikahan disini adalah acara-acara atau kegiatan-kegiatan ketika berlangsungnya upacara pernikahan tersebut.

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk memberikan suatu deskripsi secara kronologis mengenai proses pernikahan, adab serta tata caranya pada pengikut jamaah salafiyyah dengan pengamatan khusus pada acara pernikahan tersebut.

I.4. Manfaat Penelitian

Secara praktis, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak juga dapat menjadi sumbangan bagi pelaksanaan kebijaksanaan kebudayaan untuk pembentuk dan penunjang kebijaksanaan nasional dalam bidang kebudayaan, misalnya


(16)

meningkatkan pengetahuan dalam antropologi mengenai ekspresi budaya dalam hal ini perkembangan peradaban Islam dan meningkatkan kesatuan bangsa.

Sedangkan manfaat akademisnya, penelitian adalah sebagai bahan untuk menyusun sebuah karya ilmiah dalam rangka menyelesaikan program studi strata satu pada jurusan Antropologi di FISIP – USU. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan Antropologi khususnya mengenai upacara peralihan yang dalam hal ini upacara pernikahan.

I.5. Ruang Lingkup Dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan berusaha untuk mendeskripsikan ritual proses pernikahan pada pengikut jamaah salafiyyah. Proses pernikahan ini mencakup kegiatan-kegiatan dalam usaha mematangkan, melaksanakan, dan memantapkan suatu pernikahan. Kegiatan-kegiatan yang mematangkan suatu pernikahan adalah adab sebelum upacara pernikahan yang disebut khitbah, kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan pernikahan adalah adab dan tata cara saat pernikahan dalam hal ini disebut walimah, sedangkan kegiatan-kegiatan setelah pernikahan adalah adab-adab dalam berumah tangga.

1. Adab dan tata cara sebelum pernikahan meliputi :  Tujuan pernikahan

 Pembatasan pernikahan, adab meminang, proses penentuan jodoh, pernikahan yang dianjurkan dan pernikahan yang dilarang.

 Syarat-syarat pernikahan.


(17)

 Persiapan sebelum upacara pernikahan  Peresmian pernikahan

3. Adab setelah pernikahan (tata cara berumah tangga) meliputi :  Adab menetap setelah menikah

 Adab-adab dalam berumah tangga

Untuk kepentingan penelitian ini, penulis memilih lokasi penelitian di sekitar wilayah kota Medan. Alasan penelitian lokasi yang cenderung dianggap terlalu meluas adalah mengingat bahwa pengikut gerakan dakwah salafiyyah ini menyebar dan membaur dengan masyarakat pada umumnya, sehingga tidak ada wilayah yang secara khusus terkonsentrasi oleh pengikut gerakan dakwah salafiyyah ini. Penulis akan mendatangi acara pernikahan pengikut dakwah salafiyyah ini untuk melakukan pengamatan dan penelitian selama masih di sekitar wilayah kota Medan.

I.6. Tinjauan Pustaka

Agama dan segala bentuk kegiatan yang ada di dalamnya telah lama menjadi pusat pengkajian dari ilmu-ilmu sosial yang ada, termasuk di dalamnya antropologi yang menaruh perhatian besar pada aktivitas keagamaan dan pola perilaku dari suatu kepercayaan manusia. Nilai-nilai ajaran agama dan masyarakat saling mempengaruhi. Nilai-nilai ajaran agama dapat mempengaruhi aktivitas dari perilaku individu di dalam masyarakat, demikian pula perkembangan pemikiran masyarakat dan pola perilaku Individu dalam masyarakat juga dapat mempengaruhi agama.


(18)

Meskipun demikian, penelitian terhadap agama terus dikembangkan, terutama menekankan kepada kelembagaan agama, fungsi agama, hubungan antar umat beragama, nash-nash sumber ajaran agama (Ali,1981;334). Sehingga penelitian terhadap suatu ajaran atau perilaku penganut suatu aliran terhadap suatu ajaran keagamaan akan semakin jelas dan terarah.

Aktivitas keagamaan dapat terlihat dalam berbagai pola. Aktivitas tersebut dapat merupakan aktivitas individu maupun secara bersama-sama. Antropologi juga mengkaji pola-pola keagamaan yang terbentuk dari kepercayaan sebagai sistem religi. Menurut Koentjaraningrat dalam (Emile Durkheim,1980;80-81) ada lima unsur pokok yang penting untuk di kedepankan yaitu :

1. Emosi Keagamaan, yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia.

2. Sistem Keyakinan, yaitu sistem keyakinan di dalam suatu religi yang berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam ghaib, terjadinya alam dan dunia, zaman akhirat, wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, dan lain-lain.

3. Sistem Ritus dan Upacara, yaitu upacara dalam suatu religi yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan.


(19)

4. Peralatan, Ritus dan Upacara, yaitu yang biasa dipergunakan sebagai sarana dalam melaksanakan aktifitas dan tindakan manusia dalam pelaksanaan kebaktiannya terhadap Tuhan.

5. Umat beragama, yaitu kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan melaksanakan sistem ritus upacara.

Sistem dan ritus upacara saat mengkaji aktivitas kehidupan manusia yang memiliki keyakinan atau sistem religi sebagai bentuk pelaksanaan kebaktian manusia kepada Sang Pencipta yang dalam hal ini contohnya adalah proses upacara pernikahan menurut ajaran suatu religi atau keagamaan yang termasuk suatu upacara peralihan dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pelaksanaan ritus dan upacara didasarkan atas adanya sistem keyakinan yang dimiliki untuk melaksanakan suatu ritus atau upacara tertentu.

Upacara merupakan wujud dari adat istiadat yang berhubungan segala aspek kehidupan manusia, sedang pelaksanaannya selalu dibayangkan sebagai upacara yang hikmat dan bersifat keramat, karena pendukungnya mengikuti dengan hikmat dan merasa sebagai sesuatu yang bersifat magis dan disertai dengan berbagai perasaan serta perlengkapan yang bersifat simbolis. Peragaan dan penggunaannya secara simbolis tersebut dapat ditangkap maknanya melalui interpretasi, orang-orang yang ada di dalamnya maupun para penganut (Syamsuddin,1985;1).

Selain dari kegiatan tersebut, upacara juga mempunyai empat komponen penting yaitu : tempat, saat upacara, tata cara upacara, dan orang-orang yang melakukan atau memimpin upacara (Koentjaraningrat,1985;1).


(20)

Menurut Van Gennep upacara peralihan atau “rites de passage” terdiri dari : 1. Upacara perpisahan dari status semula (rites de sparation)

2. Upacara perjalanan ke status yang baru (rites de marge)

3. Upacara penerimaan dalam status yang baru (rites de aggregation), Ketiga tahap ini selalu disertai dengan ritus, tahap pertama disertai dengan ritus perpisahan, tahap kedua disertai dengan ritus peralihan, dan tahap ketiga disertai dengan ritus penerimaan dalam status yang baru (Van Baal,1988;26).

Pranata pernikahan pada setiap masyarakat di dunia mempunyai larangan-larangan terhadap pemilihan atau penentuan jodoh bagi anggota-anggotanya (incest taboo), dan ada juga masyarakat yang memiliki marriages preference atau perkawinan yang diinginkan oleh sebahagian besar warga masyarakat dan dianggap sebagai perkawinan ideal (Keesing,1981;261-263)

Dalam adat perkawinan ada syarat-syarat kawin yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk yaitu mas kawin (bride price), pencurahan tenaga kerja (bride service), dan pertukaran gadis (bride exchange) (Koentjaraningrat,1980;99).

Dari suatu pernikahan, setiap masyarakat dan dalam kebudayaannya masalah tempat tinggal setelah pernikahan merupakan masalah yang perlu dibahas. Dalam ilmu antropologi adat menetap setelah menikah yaitu :

 Pengantin baru bebas menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau istri yang disebut utrolokal.

 Pengantin baru menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami yang disebut virilokal.


(21)

Pengantin baru menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri yang disebut uxorilokal.

 Pengantin baru tinggal bergantian, suatu masa tertentu tinggal di sekitar kerabat suami dan suatu masa lain tinggal di kediaman kerabat istri yang disebut bilokal.

 Pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman mereka yang baru yang disebut neolokal.

 Pengantin baru tinggal menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu dari suami yang disebut avulokal.

 Pengantin baru tinggal terpisah, suami tinggal di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri, dan istri tinggal di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri pula, yang disebut natolokal (Haviland,1988;94).

Dalam penelitian ini, masyarakat dipandang sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat atau kebiasaan tertentu yang bersifat kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningra,1980;160).

Menurut Undang-undang Nomor.1 tahun 1974 Pasal 1, perkawinan atau pernikahan adalah ikatan lahir dan batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Proses upacara pernikahan adalah rangkaian upacara peralihan (rites de passages) yang mempunyai fungsi sosial yaitu menyatakan kepada masyarakat


(22)

tentang tingkat hidup/ lingkungan sosial yang baru seorang individu (Koentjaraningrat,1993;5-6).

Jamaah salafiyyah merupakan gabungan dua kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata Jamaah diambil dari bahasa Arab yaitu Al-Jama’i yang artinya banyak dan berkumpul, secara bahasa jamaah berarti banyaknya orang-orang yang berkumpul, atau bisa disebut sebagai pengikut. Dalam istilah agama kata jamaah sering digunakan sebagai orang-orang yang mengikuti paham saatu ajaran agama. Emile Durkheim dalam (Phitchard;1984:73) menyebutkan bahwa agama selalu merupakan peristiwa kelompok, kolektif. Tak ada agama tanpa rumah ibadah. Agama merupakan suatu kesatuan sistem kepercayaan dengan pelaksanaan, dalam hubungannya dengan benda-benda suci , yaitu benda-benda yang disisihkan dari yang lain dan terlarang, kepercayaan dan pelaksanaan yang bersatu ke dalam suatu kelompok moral yang dinamakan jamaah, yaitu semua mereka yang mengikutinya. Oleh karena itu jamaah dapat diartikan orang yang mengikuti suatu ajaran keagamaan. Sedangkan salafiyyah berasal dari kata as-salaf yang berarti terdahulu atau yang pertama. Dalam istilah ini as-salaf merupakan tiga generasi pertama dari umat Islam, yaitu para sahabat nabi, kemudian tabi’in (mereka yang mengikuti sahabat), kemudian tabi’ut tabi’in (mereka yang mengikuti para pengikut sahabat). Salafiyyah adalah sebuah gerakan dakwah yang sama artinya dengan gerakan dakwah yang mengikuti generasi as-salaf. Salafi adalah sebutan untuk orang yang menyatakan diri sebagai muslim yang berupaya mengikuti ajaran Al-Qur’an dan Hadits, sesuai dengan pemahaman ulama as-salaf. Sehingga jamaah salafiyyah merupakan suatu kumpulan orang-orang yang mempraktekkan


(23)

Islam sebagaimana yang dianjurkan atau dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya (Afdhal dkk,2005;154).

Mengkaji fenomena jamaah salafiyyah ini adalah pemahaman nilai-nilai tentang ajaran agama Islam menurut mereka yang kemudian dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terbentuklah pola perilaku para pengikut jamaah ini dalam masyarakat yang membentuk ciri khas tersendiri secara fisik maupun cara pikir mereka. Ciri khas tersebut dapat dilihat dalam bentuk cara berpakaian, cara bergaul atau berhubungan dengan masyarakat dan berperilaku sesuai dengan apa yang ada di dalam pemikiran mereka dalam bentuk pemahaman terhadap ajaran agama.

Nilai-nilai ajaran agama yang mereka pahami akan membentuk pola perilaku mereka, sehingga pola perilaku tersebut nantinya semakin lama akan membentuk suatu budaya. Ciri khas atau watak mereka dalam memahami ajaran Islam yang membentuk pola perilaku dapat disebut sebagai kepribadian. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mendefenisikan kebudayaan merupakan sarana rasa, cipta, dan karsa manusia. Kebudayaan. Kebudayaan yang membentuk ciri khas tersebut terdapat dalam substansi nafsani manusia yang memiliki tiga daya yaitu:

1. Qalbu, sebagai aspek supra kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa)

2. Akal, sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi atau pemikiran (cipta)


(24)

3. Nafsu, sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang memiliki daya konasi (karsa).

Sehingga akhirnya ketiga konponen nafsani tadi akan berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku atau pola perilaku (Hartati dkk,2004;163).

Akar-akar gerakan dakwah salafiyyah dapat dilacak pada gerakan dakwah wahabi, yaitu penisbatan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 – 1787) yang memiliki ide untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran agama Islam yang murni. Gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam penyampaian dakwahnya dilakukan dengan cara tegas, lugas, keras, dan tidak tidak mengenal kompromi sama sekali, terlebih lagi kalau sudah menyangkut dalam masalah tauhid dan bidang akidah lainnya (Pasha,2000;20). Gerakan wahabi ini merupakan suatu gerakan pemurnian Islam yang dibangun atas inspirasi Ibnu Taimiyah (661 H), seorang imam besar dari Damaskus yang menganut madzhab Hanbali yang terkenal karena ia mengkafirkan orang mongol yang telah masuk Islam. Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk pemikiran filsafat yang masuk ke dalam ajaran Islam. Wahhabisme terus-menerus mengumandangkan keunikan tuhan dan terus menerus menolak prinsip perantara (para wali) yang ada dalam ajaran sufi dan orang awam. Wahhabi juga menolak perubahan yang terjadi atas ajaran Islam. Atas pengaruh dua tokoh diataslah gerakan dakwah salafiyyah terbentuk pada abad ke XIX (Roy,2005;24).

Gerakan dakwah salafiyyah termasuk gerakan dakwah yang terpengaruh oleh gerakan yang dibangkitkan oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Munculnya gerakan dakwah ini yang disebut sebagai gerakan


(25)

pembaharuan di dalam Islam setelah penguasaan Ibnu Su’ud yang telah merebut dan menguasai negeri Hijaz (Mekah dan Madinah) untuk membentuk negara Arab Saudi pada tahun 1924. Ide untuk mendirikan negara yang di bentuknya sebagai negara berhukum Islam berdasarkan manhaj salaf yang berlandaskan atas penolakan perpecahan yang terjadi di dalam Islam dalam permasalahan pemahaman ilmu fiqih yang terkenal dengan sebutan fiqih madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dilakukan Ibnu Su’ud atas inspirasi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang di kenal sebagai gerakan Wahhabi. Dengan demikian Ibnu Su’ud menjadi raja pertama yang memproklamirkan negara Arab Saudi menjadi negara yang berhukum Islam tidak tegak berdasarkan ikut kepada salah satu madzhab besar dan menyebutkan bahwa negara tersebut adalah negara salafiyyah (Noer,1982;85-95).

Gerakan dakwah salafiyyah ini muncul di Indonesia terutama di kota-kota besar di pulau Jawa seperti Jogjakarta dan Bandung. Oleh karena cara-cara mereka memahami ajaran Islam sama dengan gerakan wahhabi, yang karenanya mereka berhadapan dengan masalah praktek Islam yang bertolak belakang. Islam yang ada adalah Islam yang terpengaruh oleh budaya lokal. Islam yang ada di Indonesia adalah Islam yang sudah dikembangkan karena dalam setiap proses pengenalan Islam selalu terjadi apa yang disebut parokhialisasi dan generalisasi. Parokhialisasi adalah penyesuaian Islam kedalam budaya lokal, sedangkan geralisasi adalah menarik budaya lokal ke dalam kerangka Islam yang umum atau mungkin yang dasar yang bisa berlaku di mana-mana. Pengikut dakwah salafiyyah sering disebut kelompok yang menganggap orang lain melakukan


(26)

praktek Islam yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya (Afdhal dkk; 2005 : 160).

Tidak hanya di pulau Jawa, dakwah salafiyyah bahkan sudah tersebar ke seluruh wilayah Indonesia termasuk di Sumatera Utara, terutama di kota Medan. Di kota Medan jamaah salafiyyah ini telah membuat suatu organisasi dakwah yang berbentuk yayasan bernama Yayasan Minhajus Sunnah sebagai wadah pengkoordinir kegiatan-kegiatan dakwah mereka. Pendirian yayasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh penerimaan yang responsif dari masyarakat yang ada di kota Medan dan sekitarnya.

I.7. Metode Penelitian I.7.1. Informan

Sebagian data dalam penelitian ini diperoleh melalui informan dan untuk melengkapi data yang ada diperlukan juga data dari studi kepustakaan. Kebanyakan Informan adalah laki-laki dari pengikut jamaah salafiyyah karena sulitnya berinteraksi dengan perempuan pengikut jamaah salafiyyah dalam masalah hubungan lawan jenis. Informan pokok dalam penelitian ini adalah pengikut jamaah salafiyyah yang telah menikah atau baru melangsungkan pernikahan. Informan kunci dalam mencari data adalah mereka yang menjadi tuan guru atau ustadz yang paham segala hal tentang tata cara dan hukum-hukum serta adab-adab pernikahan. Sedangkan informan biasa adalah mereka-mereka yang mengetahui tentang eksistensi jamaah ini namun bukan pengikut dari jamaah ini.


(27)

I.7.2.Teknik Pengumpulan Data

Langkah pertama yang dilakukan dalam memperoleh data adalah melakukan studi literatur atau studi kepustakaan. Penelusuran kepustakaan ini dimaksudkan untuk terlebih dahulu mengetahui beberapa konsep dasar yang berkenaan dengan jamaah salafiyyah terutama mengenai masalah pernikahan dan hukum-hukumnya. Pengetahuan inilah yang akan dipergunakan dalam melakukan penelitian ke lapangan.

Validitas hasil penelitian ini sangat tergantung pada data yang diperoleh di lapangan. Teknik kedua yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk melihat bagaimana bentuk acara-acara atau kegiatan-kegiatan saat berlangsungnya proses upacara pernikahan. Observasi dilaksanakan dengan melihat langsung bentuk prosesi pernikahan pegikut jamaah salafiyyah ini di sekitar wilayah kota Medan, sehingga peneliti akan mengetahui secara mendalam nilai-nilai yang terkandung bentuk kegiatan atau simbol-simbol yang digunakan. Hal ini memberikan manfaat agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap ajaran dan pemahaman jamaah salafiyyah terutama mengenai makna dalam proses pernikahan.

Wawancara dilakukan dengan mengunjungi pengikut jamaah salafiyyah yang telah menikah atau baru melangsungkan pernikahan dan orang-orang yang dianggap berilmu dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.


(28)

Setelah seluruh data yang penting dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan dan penganalisan data. Analisis terhadap data penelitian bersifat kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang artinya hanya menggambarkan pola perilaku dari objek yang diteliti. Kemudian data tersebut disusun dalam satuan-satuan yang dapat dikategorisasikan sesuai dengan urutan penyajian hasil penelitian kelak secara sistematis.

Data yang diperoleh dari lapangan akan diteliti untuk melihat kelengkapan hasil wawancara. Data yang diperoleh dari tuan guru atau ustadz merupakan kunci untuk menjawab masalah penelitian yang dilakukan terutama mrngenai hukum, tata cara dan makna pada prosesi pernikahan.


(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI JAMAAH SALAFIYYAH

II.1. Sejarah Munculnya Gerakan Dakwah Salafiyyah

Gerakan dakwah salafiyyah merupakan gerakan dakwah yang lahir dari kebangkitan Islam di Timur Tengah. Kebanyakan orang-orang dan penulis serta peneliti aliran-aliran dalam Islam menyebutkan gerakan dakwah mereka sebagai “jamaah-jamaah salafiyyin” atau “kaum salafiyyun” karena pada hakekatmya kaum salafiyyun tidak pernah menjadi satu kelompok yang bersifat mutlak saja. Sebutan ini digunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda dari satu masa ke masa. Tidak pernah ada institusi formal yang menjadi tempat bernaung dari kaum salafiyyun ini. Sebanya salafiyyah adalah aliran umum yang tidak terbentuk dalam perkumpulan-perkumpulan kecuali di beberapa Negara dalam beberapa waktu saja. Misalnya jamaah Anshar Al--Sunnah Al-Muhammadiyyah di Mesir dan Sudan atau Jam’iyyah Ihya’ Al-Turats Al-Islami di Kuwait.


(30)

Gerakan dakwah ini mengajarkan ketaatan yang total kepada manhaj Nabi Muhammad dan as-salaf as-shalih. As-Salaf merupakan kata umum yang menunjukkan pelopor Islam yang shalih dan semua orang Islam yang mengikuti jalan mereka dalam keyakinan, moral, dan tingkah laku. As-Shalih menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim. Mereka itu adalah sahabat nabi, tabi’i, tabi’ut tabi’i. Mereka itu yang telah dijanjikan Nabi : “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kumpulan-kumpulan ini mendefenisikan kelompoknya sebagai Islam itu sendiri. Salafi merupakan Islam yang murni dan bebas dari penambahan, pengurangan, dan perubahan. Salafiyyah adalah Qur’an dan Sunnah. Dakwah Salafiyyah bukanlah partai politik atau madzhab yang baru. Dakwah salafiyyah merupakan Islam dalam totalitasnya, yang menuntun manusia apapun budayanya, ras, atau warna kulitnya. Dakwah salafiyyah merupakan manhaj yang lengkap dan sempurna dalam memahami Islam dan melaksanakan tindakan sesuai dengan ajaran-ajaran sumbernya (Rahmat,2005;61).

Istilah salaf digunakan juga untuk menyebutkan para ulama Ahlussunnah Waljamaah sesudah generasi ketiga yang telah diberkahi yang mengikuti jalan mereka dalam keyakinan maupun perilaku. Menurut pendukung dakwah salafiyyah, di antara ulama-ulama tersebut adalah : Abu Hanifah atau imam madzhab hanafi (150), Al-Awza’I (157), Al-Ta’un (161), Al-Lais bin Sa’ad (175), Malik bin Anas atau imam madzhab maliki (179), Abdullah bin Al-Mubarak (181), Sufyan bin ‘Uyainah (198), Asy-Syafi’I atau imam madzhab syafi’i (204),


(31)

Ishaq (238), Ahmad bin Hanbal atau imam madzhab hambali (241), Al-Bukhari (256), Muslim (261), abu Dawud (275), Ibnu Taimiyyah (728), Az-Zahabi (748), Ibnu Al-Qayyim (751), Ibnu Katsir (774), Munammad bin abdul Wahhab (1206) dan sejumlah murid dan pengikutnya di zaman kita sekarang ini : ‘Abdul ‘Aziz bin Baz yaitu ketua perkumpulan ulama-ulama Saudi Arabia seorang ahli fiqih. Kemudia Muhammad Nashiruddin Al-Albani seorang imam ahli hadits abad ini yang berasal dari Negara Yordania dan ulama-ulama lainnya.

Orang yang paling giat menyebarkan, membela, melahirkan pemikiran-pemikiran, serta menerangkan ajaran-ajaran salafiyyah ini dalam bidang akidah, fiqih, maupun etiket adalah Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah beserta pengikut-pengikutnya. Di antara murid-murid dan pengikutnya yang menonjol adalah Imam Abu Abdullah bin Al-Qoyyim. Kedua syaikh inilah yang telah meninggalkan literatur yang banyak dan kaya demi kepentingan aliran salafiyyah, yang muncul pada zaman mereka sebagai performa pembaharuan dan reformasi Islam.

Di zaman modern saat ini, aliran salafiyyah kembali muncul lewat tangan pembaharu Islam di Jazirah Arab yaitu oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang gerakannya memiliki karakter khusus memerangi segala bentuk syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid, serta melindungi tauhid dari segala noda. Ia ingin membebaskan umat setelah mereka terkungkung dalam dalam bid’ah di zaman kemunduran dan tidak mengikuti dan mencontoh jalan salaf. Selain itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga memerangi penafsiran terhadap ayat-ayat maupun hadits-hadits tentang berbagai sifat Allah.


(32)

Sehingga inilah yang menjadi akar dan asal-muasal gerakan dakwah atau aliran salafiyyah.

Kemunculan aliran salafiyyah ini di tangan Muhammad bin Abdu Wahhab mewarisi kecendrungan orang-orang sebelumnya dalam memahami teks-teks syariat secara harfiah, mengenyampingkan kajian akan beragam tujuan, makna, serta sebab-musabab yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut. Sehingga banyak di kalangan orang-orang yang berlawanan dengan aliran salafiyyah menyebut dakwah mereka sebagai dakwah kaum Wahhabiyyah, karena menunjuk Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pembangkitnya.

Oleh karena itu, gerakan dakwah salafiyyah dan gerakan wahhabiyyah adalah sama saja. Wahhabisme didirikan oleh seorang muballigh abad 18 oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di semenanjung Arab. Abdul Wahhab berusaha membersihkan Islam dari kerusakan yang dipercayainya telah merasuk ke dalam agama Islam. Dia menerapkan literalisme yang sangat ketat yang menjadikan teks menjadi satu-satunya sumber otoritas yang sah dan menampilkan permusuhan ekstrem kepada filsafat, mistisisme, dan semua perbedaan sekte di dalam Islam.

Menurut doktrin Wahhabi, sangat penting kembali pada proses kemurnian, kesederhanaan, dan kelurusan Islam yang dapat seluruhnya diperoleh kembali dengan menerapkan perintah Nabi secara harfiah dan dengan ketaatan yang penuh terhadap praktik-praktik ritual yang benar. Wahhabisme juga menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis dan kontekstual dengan kemungkinan adanya penafsiran ulang ketika kondisi berubah. Wahhabisme juga


(33)

menganggap sebagian besar sejarah umat Islam merupakan perusakan terhadap Islam yang benar.

Doktrin wahhabi muncul kembali pada awal abad ke 20 oleh Abdul Aziz Ibnu Saud yang mendirikan kerajaan Saudi Arabia dengan menguasai negeri Hijaz (Mekah-Madinah) pada 1924. Ia menyebutkan Negeri itu sebagai negeri salafiyyah oleh karena Ia juga menganut paham wahhabi. Meskipun disertai dengan tatanan Negara Saudi Arabia, wahhabisme masih merupakan doktrin yang bersifat terbatas pengaruhnya hingga pada pertengahan tahun 1970-an ketika harga minyak melonjak tajam, secara dramatis membuat pengaruh wahhabi makin berkembang dan tersebar di dunia Islam.

Wahhabi tidak tidak menyebarkan dirinya sebagai salah satu aliran di dalam Islam atau salah satu orientasi tertentu di dalam Islam, tetapi menyatakan diri sebagai “jalan lurus” Islam. Dengan menyatakan memiliki ketaatan secara harfiah dalam memahami teks agama Islam, dia dapat membuat klaim keautentikan yang dapat dipercaya pada saat identitas Islam sedang diperebutkan. Selain itu para penganjur wahhabisme menolak untuk disebut atau dikategorikan sebagai pengikut tokoh tertentu bahkan termasuk Abdul Wahhab sendiri. Para penganjurnya menegaskan diri bahwa mereka hanya sekedar mematuhi ketentuan as-salaf as-shalih (para pendahulu pembimbing yaitu Nabi dan para sahabatnya) dan dengan demikian, kaum wahhabi dapat memanfaatkan simbol dan kategori salafisme (Rahmat,2005;68).


(34)

Pada awal 1970-an Wahhabisme telah berhasil mengubah dunia Islam menjadi Islam yang berteologi literalis, puritan, dan konservatif. Harga minyak yang menaik tajam pada 1975, menjadikan Arab Saudi pengajur utama Wahhabisme, dapat menyebarkan doktri Wahhabisme dengan wajah salafisme yang dimaksudkan untuk kembali kepada dasar-dasar agama yang autentik dan belum dirusak oleh berbagai tambahan praktik sejarah.

Bagi para aktifis dakwah ini, kata salafi merujuk kepada seseorang yang benar-benar mengikatkan dirinya pada kaum salaf. Pengikatan diri ini tidak secara semena-mena kepada seseorang atau kelompok umat tertentu. Pengikatan diri ini dilakukan kepada sesuatu yang tidak akan pernah salah yaitu Nabi Muhammad, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Dengan kata lain salafiyyah bukanlah kepengikutan buta terhadap para imam atau syaikh tertentu. Mereka taat kepada Qur’an dan sunnah sebagaimana yang dipahami dan dipraktekkan bersama oleh para as-salaf as-shalih. Salafi yang benar adalah menjunjumg tinggi tauhid, mengesakan Allah dalam segala amal ibadah yaitu dalam berdoa, memohon pertolongan, meminta dibebaskan dari kesengsaraan dan kesulitan, dalam berkorban, dalam berjanji, dalam ketakutan dan pengharapan, dalam berkeyakinan dan sebagainya. Salafi yang benar secara aktif berusaha menghindari syirik dan segala tingkatannya. Seorang salafi tahu bahwa kemenangan tidaklah mungkin tanpa tauhid yang benar, dan bahwa syirik tidak bisa dipertemukan dengan hal-hal seperti itu. Salafi yang benar mengacu dan taat kepada Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad dan para sahabatnya.


(35)

Kaum salafi bercita-cita menghidupkan kembali sunnah Nabi Muhammad dalam ibadahnya dan kebiasaan hidupnya. Beberapa karakter seorang salafi antara lain :

1. Menganjurkan yang baik dan melarang yang mungkar. Seorang salafi selalu mengingatkan masyarakat tentang syirik, bid’ah, jalan yang sesat, penyimpangan dan kelompok-kelompok yang senang dengan kekerasan.

2. Terus-menerus mengharapkan ampunan Allah, melakukan pertobatan yang sungguh-sungguh, mengingat Allah secara terus-menerus, menyibukkan diri untuk melakukan perbuatan baik dalam rangka membersihkan jiwanya.

3. Beribadah kepada Allah disertai rasa takut, harap dan cinta.

4. Seorang salafi bukanlah khawarij yang suka mengkafirkan banyak kaum muslimin karena ia berbuat dosa besar. Seorang salafi bukanlah syi’ah yang suka menghujat para sahabat Nabi, dan mengatakan bahwa Qur’an telah diubah, menolak keaslian sunnah dan memuja keluarga Nabi. Seorang salafi bukanlah Qadariyyah yaitu kelompok yang menolak taqdir Allah. Seorang salafi bukanlah Murji’ah yang mengklaim bahwa iman adalah kata-kata bukan perbuatan. Seorang salafi bukanlah Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah. Seorang salafi bukanlah seorang Sufi yang memuja kuburan-kuburan dan mengklaim kebangkitan abadi. Seorang salafi bukanlah Muqallidun


(36)

yang menuntut seluruh umat harus menyandarkan diri kepada salah satu madzhab, imam atau syaikh tertentu, meskipun ketika madzhab itu bertentangan dengan nash yang jelas dari Qur’an dan sunnah yang asli.

Dengan kata lain, bagi mereka, Salaf yang benar adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bagi manhaj salaf adalah taifah al-mansurah (kelompok pemenang) dan firqah an-najiah (kelompok yang selamat). Bagi mereka dakwah salafiyyah merupakan satu-satunya Islam yang benar. Seorang muslim tidak ada pilihan lain selain menjadi kaum salafi. Untuk itu dia mentaati kelompok yang telah dijamin berhasil, menang dan selamat dari api neraka. Merujuk kepada Ibnu Taimiyyah mereka menyatakan bahwa siapapun yang berbeda dan berseberangan dengan Nabi Muhammad sesudah jalan yang benar dan diperlihatkan secara jelas kepada mereka, berarti telah mengikuti selain jalan para as-salaf as-shalih. Dan siapa pun yang mengikuti yang lain selain jalan as-salaf as-shalih maka ia telah melawan dan berseberangan dengan Nabi Muhammad. Jika seseorang berfikir bahwa ia telah berbuat salah ketika mengikuti jalan as-salaf as-shalih maka ia sama saja dengan orang yang berfikir telah berbuat salah ketika mengikuti Nabi Muhammad (Rahmat,2005;63).

Dakwah salafi dibangun atas beberapa prinsip tauhid dan tazkiyah. Tauhid berarti menerima dan percaya dengan keesaan Allah dan keunikan pesan-Nya. Artinya untuk beribadah hanya semata-mata kepada Allah dan untuk mengabdi kepada-Nya menurut tata aturan-aturan-Nya. Tauhid juga menuntut ketaatan kepada Nabi secara penuh. Sayangnya ketaatan yang benar kepada jalan Nabi


(37)

Muhammad dan cinta yang benar kepada Nabi menurut mereka telah melemah dan menghilang di kalangan umat. Ini disebabkan beberapa hal yaitu :

1. Umat Islam telah meninggalkan sunnah Nabinya dan tidak mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, meremehkannya, sehingga munculnya sikap sombong terhadap sunnah Nabi.

2. Menyebarnya sejumlah hadits lemah dan palsu di kalangan umat Islam sehingga mereka beribadah dan berdalil dengannya.

3. Munculnya berbagai bid’ah di kalangan umat muslim. 4. Taqlid buta terhadap salah satu madzhab tertentu. 5. Munculnya fatwa Islam tanpa pengetahuan atau dalil.

6. Berakhirnya penerapan syari’at atau hukum Islam di seluruh negeri-negeri Islam dan diganti oleh ideologi dan hukum orang-orang kafir. Sedangkan tazkiyah berarti memurnikan diri sendiri dengan tunduk dan patuh kepada perintah-perintah Allah. Dalam bentuk yang sempurna tazkiyah akan menjadikan seseorang mengabdi hanya kepada Allah dengan penyerahan yang total.

Beberapa tujuan dari dakwah salafi antara lain :

1. Kembali kepada Qur’an dan sunnah Rasulullah yang otentik dan mengembalikan pemahaman atas keduanya sesuai pemahaman dan praktek kaum salaf.


(38)

2. Mengingatkan kaum muslimin untuk membersihkan kehidupan mereka dari segala bentuk syirik, bid’ah, khurafat, dan filsafat atau pemikiran lain yang tidak dikenal dalam ajaran-ajaran Islam yang esensial dan murni.

3. Membersihkan sunnah dari hadits yang lemah dan palsu.

4. Mendidik kaum muslimin untuk tunduk kepada ajaran agama Islam yang benar, bertindak sesuai dengan ajaran-ajarannya dan membekali dirinya dengan moral dan etika.

5. Bekerja keras untuk menghidupkan kembali pemikiran Islam dalam bingkai prinsip-prinsip Islam dan melawan ketaatan yang buta kepada madzhab dan fanatisme kepada golongan. Masalah ini menyebabkan pemisahan kaum muslimin dari sumber-sumber Islam yang asli dan murni dan menjauhkan mereka dari persaudaraan sejati sesama muslim.

6. Menghadirkan solusi Islam yang realistik bagi masalah kontemporer dan bekerja keras untuk mewujudkan jalan hidup yang benar dan membangun masyarakat Islam yang diatur oleh hukum Allah.

Dalam mewujudkan tujuannya dakwah salafi menempatkan tekanan yang kuat pada sektor pendidikan. Bukan saja pada pada proses pendidikan akademis, tetapi melalui proses pembinaan juga yang membuat proses pendidikan itu sempurna yang berarti menumbuhkan pribadi muslim yang paham agamanya dan menjalankannya dengan cara yang sebaik-baiknya.


(39)

II.2. Masuknya Dakwah Salafiyyah Di Indonesia

Persinggungan awal para aktivis gerakan dakwah salafi di Indonesia dengan pemikiran salafisme terjadi pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga ini kemudian belakangan berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Islam dan Sastra Arab (LIPIA). Lembaga ini memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran para ulama-ulama salafi. LIPIA merupakan cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh negara Saudi Arabia. Pada awal tahun 1980 Imam Muhammad bin Saud University di Riyadh yang telah memiliki cabang di Djibouti dan Mauritania memutuskan untuk membuka cabang ketiga di Indonesia.

Pembukaan cabang ketiga di Indonesia ini terkait dengan gerakan penyebaran ajaran Wahhabi yang berwajah salafi ke seluruh dunia Islam yang dilakukan pemerintah Arab Saudi pasca melonjaknya harga minyak dunia pada pertengahan tahun 1970-an. Sejak masa booming minyak itu, terdapat beberapa lembaga Islam di dunia termasuk di Indonesia yang mendapat bantuan dana maupun bentuk lain dari pemerintah Arab Saudi. Di Indonesia bantuan ini sebagian besar diterima oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang bersifat puritan, seperti ; Persis, Al-Irsyad, maupun organisasi puritan yang bersifat modernis, seperti ; Muhammadiyah dan DDI (Dewan Dakwah Islamiyah).

Selain menyediakan beasiswa studi di Arab Saudi bagi mahasiswa Indonesia, pemerintah Arab Saudi mendirikan lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki misi menyebarkan ajaran Wahhabiyyah/salafiyyah dan penyebaran


(40)

bahasa Arab pada pertengahan tahun 1980-an. Pada awalnya lembaga yang memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswa Indonesia bernama LPBA (Lembaga Pengajaran Bahasa Arab). Setelah membuka fakultas syariah dan program diploma, lembaga ini mengubah namanya menjadi LIPIA.

Upaya membuka cabang di Indonesis ini di Awali dengan datangnya Syaikh Abdul Aziz Abdullah AL-Ammar, seorang murid tokoh paling penting salafi di seluruh dunia yaitu ketua perkumpulan uama-ulama Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Baz ke Jakarta. Oleh Syaikh bin Baz, ia disuruh bertemu dengan Muhammad Natsir sesampainya di Jakarta. Muhammad Natsir menyambut baik rencana pendirian lembaga ini dan bersedia menjadi mediator dengan pemerintah Indonesia. Maka sejak awal berdirinya lembaga ini sebagian besar mahasiswanya berasal dari lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki sifat puritan yaitu, Persis, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad.

Lembaga pendidikan ini mengikuti kurikulum lembaga induknya yaitu Universitas Imam Muhammmad bin Saud di Riyadh, dan pada setiap fakultasnya terdapat ulama-ulama salafi yang dikirim langsung dari Arab Saudi. Selain itu lembaga ini juga memberikan beasiswa penuh mencakup buku-buku, dan kebutuhan hidup yang standar 100 hingga 300 real, atau setara hingga 82 dollar. Terdapat juga sejumlah mahasiswa yang berprestasi untuk melanjutkan program studinya hingga ke jenjang Master dan Doktor di Riyadh, Arab Saudi. Di antara lulusan pertama lembaga ini yang kemudian menjadi tokoh terkenal gerakan dakwah atau da’i salafi di Indonesia yaitu, Abdul Hakim Amir Abdat, Abdul


(41)

Qodir Yazid Jawas, Farid Okbah, Ainul Harits, Abu Bakar M. Altway, Ja’far Umar Thalib, dan Yusuf Usman Baisa.

Selain dari LIPIA, beberapa tokoh gerakan salafi juga menimba ilmu dari Arab Saudi, Yaman, Afghanistan dan Pakistan. Yusuf Usman Baisa misalnya, selepas dari LIPIA ia melanjutkan studinya di Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Kemudian setelah itu ia mendirikan pesantren Al-Irsyad di Salatiga. Tokoh lain kaum salafi adalah Abu Nida dengan nama aslinya Chamzah Shofwan. Ia merupakan tokoh terkenal dari kalangan salafi di Jawa. Pada mulanya ia belajar di madrasah NU di Gresik, lalu melanjutkan studinya di Akademi Pendidikan Muhammadiyah di daerah Gresik juga. Kemudian pada tahun 1975 ia mengikuti program dari organisasi DDII untuk perekrutan menjadi muballigh dan berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh hingga ia terkenal sekembalinya dari sana sebagai muballigh penyebar dakwah salafiyyah.

Gerakan dakwah salafi tidak memiliki metode dakwah yang khusus, karena tujuan dakwah salafi sebenarnya tidak berbeda dengan dakwah Islam, yakni mengajak umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam secara keseluruhan dengan Qur’an dan sunnah sesuai dengan pengamalan dan pemahaman generasi as-salaf. Dengan demikian menurut mereka metode gerakan dakwah mereka adalah dengan metode dakwah Islam itu sendiri. Untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan mereka menggunakan seluruh metode pendidikan dakwah.

Kelompok salafi menyebut diri mereka sebagai Dakwah salafi. Mereka menolak untuk menggunakan kata harokah (gerakan). Menurut mereka, Dakwah


(42)

salafi adalah dakwah Islam, tidak lebih dan tidak kurang. Dakwah salafi mempraktekkan ajaran Qur’an dan sunnah sesuai dengan praktek dan pengamalan Nabi dan para sahabatnya dalam menerapkan ajaran Islam. Mereka menolak dan melawan segala bentuk fanatisme dan penggolongan (hizbiyyah), baik dalam bentuk partai, kelompok-kelompok, madzhab, ras, bangsa, dan sebagainya. Mereka hanya setia dan berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa pemimpin salafi adalah Nabi Muhammad. Maka dari itu, dakwah ini mengajarkan ketaatan yang total kepada manhaj Nabi Muhammad dan as-salaf as-shalih. As-Salaf merupakan kata umum untuk menunjuk para pelopor di dalam Islam yang saleh dan semua orang yang mengikuti jalan mereka dalam keyakinan, moral, dan tingkah laku.

Sebagaimana gerakan dakwah salafi di seluruh dunia, gerakan dakwah salafi di Indonesia menempatkan tekanan yang kuat di sektor pendidikan. Bukan saja pada pendidikan yang bersifat akademis, tetapi juga proses yang menyeluruh yang berarti menumbuhkan pribadi muslim yang paham agamanya dan menjalankan agamanya itu dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, gerakan dakwah salafi terfokus pada Islamisasi masyarakat dan tidak akan menyentuh wilayah politik (non politis). Oleh karena itu, dalam menjalankan dakwahnya kelompok gerakan dakwah salafi tidak boleh membentuk organisasi massa, karena nantinya akan bertentangan dengan prinsip dakwah mereka yang non hizbiyyah.

Seiring dengan pengaruh watak gerakan dakwah dan metode pemahaman Islam yang berasal dari Timur Tengah yang cenderung puritan, fundamentalis, dan eksklusif tentu saja tidak mudah bagi masyarakat pada umumnya untuk


(43)

menerima dakwah ini dengan serta merta, apalagi ditambah politik di Indonesia yang cenderung bernuansa sekuler. Tetapi lain halnya terhadap gerakan-gerakan dakwah Islam yang sudah lama ada di Indonesia atau organisasi-organisasi Islam yang keras dalam sifatnya yang puritan dan cenderung fundamentalis juga seperti gerakan dakwah salafiyyah ini, tentu saja membuat menarik simpati mereka. Mereka di antaranya adalah Persis, Muhammadiyyah dan DDII yang kemudian menjadi pendukung dakwah salafiyyah ini. Bahkan banyak tokoh dan kader-kader mereka berganti haluan dan menjadi pengikut gerakan dakwah ini.

Dalam praktek keagamaan, gerakan dakwah salafiyyah yang menekankan ketaatan yang penuh dan setia terhadap ajaran agama yang dipraktekkan oleh Nabi dan generasi sahabat. Mereka berupaya keras untuk mencontohkan cara hidup Nabi atau apa yang lazim disebut sebagai sunnah, dari hal yang bersifat mutlak dan wajib hingga hal-hal yang bersifat sekecil-kecilnya atau tidak mengapa jika ditinggalkan. Anjuran untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah dan Rasul-Nya berbanding lurus dengan anjuran untuk meninggalkan segala bentuk dari apa yang mereka anggap sebagai bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Purifikasi dalam agama inilah yang menjadi bagian yang sangat penting bagi inti penyebaran dakwah mereka.

Dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan, gerakan dakwah salafiyyah ini menampilkan cara yang berbeda dan khas. Dalam rangka mempraktekkan cara hidup Nabi dan para sahabatnya, mereka menonjolkan ciri tersendiri yaitu antara lain dalam penampilan fisik dan cara berpakaian. Memelihara jenggot, memakai gamis dan wewangian serta memakai celana panjang di atas mata kaki, terkadang


(44)

memakai jubah dan penutup kepala seperti kerudung wanita dengan mengenakan ikat kepala khas Arab, menjadi ciri-ciri yang umum bagi kaum laki-laki. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan pakaian dengan jilbab yang menjulur ke seluruh tubuh mereka hingga yang tersisa wajah dan telapak tangan, bahkan banyak juga yang memakai cadar seperti lazimnya di Negeri Arab Saudi. Biasanya juga pakaian wanita dari kaum salafi ini cenderung berwarna gelap seperti hitam, biru gelap, coklat dan warna-warna gelap lainnya. Demikian juga dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, interaksi yang cenderung leluasa dan bebas antar lawan jenis menjadi hal yang sangat dibenci. Mereka menerapkan aturan dan pola perilaku hidup yang sangat ketat agar laki-laki dan perempuan tidak terjerumus kedalam ikhtilat.

Sikap sosial yang juga menonjol dari jamaah salafiyyah ini adalah kecendrungan yang bersifat eksklusif terhadap kelompok Islam atau jamaah Islam yang lainnya, apalagi dengan kalangan non-muslim. Doktrin keagamaan yang kuat ditanamkan oleh mereka kepada pengikutnya berakibat munculnya keyakinan dan kebenaran yang bersifat tunggal, yakni kebenaran Islam dari kelompok mereka sendiri. Kelompok Islam lainnya yang tidak sepaham atau bersebrangan persepsi dan pemahaman dari mereka dianggap oleh mereka sebagai kelompok yang telah menyimpang dan tersesat sehingga harus didakwahi agar kembali ke jalan yang benar.

Gerakan dakwah salafi menjadikan tiga target sebagai tempat utama sasaran dakwahnya yaitu; pesantren, mesjid-mesjid, dan kampus-kampus. Pesantren dinilai oleh mereka adalah merupakan tempat sistem pendidikan yang lebih


(45)

mampu menanamkan keimanan dan membekali siswa dengan ilmu Islam dibandingkan dengan sekolah. Mesjid menurut mereka juga dinilai sebagai tempat strategis untuk mendidik dan mengendalikan orang-orang di dalamnya atau orang yang diangkat menjadi imam untuk menentukan keberlangsungan dan pemeliharaan manhaj dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di mesjid. Sedangkan universitas diharapkan akan menjadi sumber lahan dakwah perekrutan dari sasaran dakwah mereka karena mahasiswa dianggap adalah orang yang mampu berfikir kritis dan dapat menerima hal-hal yang bersifat kebenaran.

Seiring dengan berkembangnya terus-menerus dakwah salafiyyah di tanah air terjadi pertikaian yang berawal dari perbedaan pendapat di kalangan tokoh-tokoh gerakan dakwah salafiyyah. Perbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan sikap acuh tak acuh tersebut akhirnya menyebar di kalangan para pengikut gerakan dakwah salafiyyah di Indonesia secara keseluruhan yang bermula dari para tokoh salafi di pulau Jawa. Dua kubu besar atau kelompok salafi yang terpecah itu adalah gerakan salafi yang dibina oleh Ja’far Umar Thalib yang lebih cenderung mengacu kepada gerakan dakwah salafi yang berasal dari Yaman. Sedangkan kelompok salafi yang mengacu pada gerakan dakwah salafi negara Arab Saudi dan Kuwait adalah Yazid Jawas, Yusuf Usman Baisa, Farid Okbah, Abdul Hakim Abdat, dan Abu Nida.

Perbedaan pendapat yang menimbulkan perpecahan di kalangan pengikut dakwah salafiyyah ini bermula dari kecurigaan dan tuduhan yang ditujukan atas kelompok salafi yang mengacu pada gerakan dakwah salafi Arab Saudi dan Kuwait yang telah menerima bantuan dana untuk berdakwah dan mengembangkan


(46)

dakwah salafiyyah di Indonesia dari yayasan At-Turats Al-Islami Kuwait kepada yayasan yang dikelola oleh Abu Nida di Jogjakarta. Ja’far menilai bahwa yayasan At-Turats yang ada di Kuwait itu di dalamnya sudah dikuasai oleh tokoh-tokoh atau kalangan Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyun. Kemudian Ja’far mencurigai tokoh-tokoh penyebar dakwah salafi dan menuduh mereka telah berganti manhaj dan aqidah dari kelompok Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyun. Selain itu Ja’far juga memvonis tokoh salafi tersebut sebagai sururi hanya karena tokoh-tokoh salafi tersebut pernah berdialog dan bermajelis atau beramah-tamah dengan tokoh-tokoh yang dinilai Ja’far berpaham sururi untuk mendakwahi mereka. Perpecahan di kalangan salafi ini menjalar ke seluruh wilayah Indonesia yang telah masuk dakwah salafi di sana. Di setiap daerah kita akan menemukan dua kubu besar salafi.

Dalam perkembangan berikutnya, Ja’far yang merupakan lulusan LIPIA kemudian melanjutkan studinya di Pakistan, tepatnya pada Maududi Institute di Lahore. Setelah kembalinya dari Pakistan, Ja’far mendirikan dan memimpin kelompok mujahid untuk berperang ke Ambon yang bernama Lasykar Jihad Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang kemudian dinilai kelompok Abu Nida sebagai pembentukan kelompok yang bersifat perkumpulan massa yang dianggap menyimpang dari prinsip dakwah salafiyyah. Namun pada perkembangannya Lasykar Jihad tidak pernah sampai berjihad atau ikut berperang di Ambon yang ketika masa itu mengalami kekacauan karena adanya fatwa dari sejumlah ulama besar di Arab Saudi yang menilai tidak patutnya membuat kelompok untuk berjihad di Ambon walaupun umat Islam menurut mereka teraniaya di sana,


(47)

dengan alasan pemerintah Indonesia yang dianggap ulama Arab Saudi merupakan negeri muslim memiliki hak dan kewajiban untuk menenangkan dan mengurusi kekacauan yang ada di negaranya. Dengan keluarnya fatwa ini dari ulama-ulama Arab Saudi, Ja’far kemudian membubarkan Lasykar Jihad.

Perpecahan di kalangan pengikut dakwah salafiyyah ini telah di ketahui oleh semua ulama salafi di Timur Tengah. Lewat pengadaan dauroh yang rutin di lakukan para ulama salafi berkunjung ke Indonesia untuk membina pengikut dakwah salafi ini setiap tahunnya, niat mendamaikan perselisihan di antar dua kelompok besar salafi ini dilakukan. Namun kelompok Ja’far selalu menolak untuk berdamai dengan alasan yang tidak diketahui pasti. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya Ja’far membuat gempar seluruh tokoh-tokoh salafi di Indonesia dan ulama-ulama salafi di Timur Tengah dengan mengikuti majelis zikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham yaitu seorang ustadz muda pemimpin majelis zikir Adz-Dzikra. Terlibatnya Ja’far dalam acara zikir bersama yang dipimpin oleh Arifin Ilham dinilai oleh tokoh-tokoh salafi sebagai perbuatan bid’ah yang Ja’far telah mengetahui hukumnya dan sudah menyimpang dari prinsip dakwah salafiyyah sehingga mereka memvonisnya sebagai pelaku bid’ah atau ahli bid’ah di karenakan Ja’far merupakan salah seorang ustadz salafi di Indonesia yang seharusnya tidak mencontohkan perbuatan yang demikian. Ditambah dengan prnyataan Ja’far yang secara langsung ia telah keluar dari jalur dakwah yang ditempuh oleh prinsip dakwah salafiyyah dengan mengatakan bahwa ia telah keliru selama ini telah keras dalam berdakwah dengan mudah membid’ahkan orang lain yang telah menjadi ciri khas dakwah salafiyyah


(48)

menurutnya. Dengan pernyataan itu, Ja’far kemudian tidak diakui lagi oleh tokoh-tokoh salafi di Indonesia juga ulama-ulama salafi di Timur Tengah baik tokoh-tokoh yang bersebrangan dengannya maupun tokoh yang dahulu mendukungnya.

Walaupun secara nyata Ja’far tidak diakui lagi di kalangan salafiyyah, namun bukan berarti perpecahan di kalangan salafiyyah berakhir. Posisi pemimpin pengganti Ja’far ada di tangan Umar As-Sewed. Dengan memakai isu-isu yang lama yang dahulu telah ditebarkan sama seperti Ja’far, Umar As-Sewed juga menolak untuk berdamai dengan tokoh salafi yang dahulu telah dituduh oleh Ja’far. Namun karena hilangnya sosok figur seperti Ja’far yang telah meninggalkan dakwah mereka, Umar As-sewed seperti kehilangan pamor kepemimpinan dan membuat dakwah kalangan salafi Yazid Jawas, Abu Nida dan Amir Abdat semakin berkembang di Indonesia.

II.3. Jamaah Salafiyyah Di Kota Medan

Sama halnya di kota-kota lainnya di pulau Jawa, perkembangan dakwah salafiyyah di kota Medan juga mengalami kemajuan pesat. Seperti juga disebutkan sebelumnya bahwa di kota Medan dakwah salafiyyah juga tidak luput dari perpecahan. Namun perpecahan yang terjadi di kota Medan dinilai oleh sebagian besar kalangan salafi lebih parah dibandingkan dengan perselisihan yang terjadi di pulau Jawa.

Pada awal mula kemunculan dakwah salafiyyah di kota Medan tidak diketahui secara pasti secara tepat. Namun memang beberapa tokoh-tokoh


(49)

gerakan dakwah salafiyyah di kota Medan secara umum berasal dari pengikut pemahaman ajaran dalam Islam yang bersifat puritan seperti berasal dari organisasi dakwah dan sosial Muhammadiyyah. Selain itu, tidak dipungkiri pula bahwa sebagian besar tokoh salafi di kota Medan memiliki latar belakang etnis Minangkabau yang banyak di ketahui bahwa banyaknya tokoh-tokoh agamis yang berasal dari ranah minang memiliki pemahaman Islam yang bersifat puritan seperti tokoh-tokoh terkenal dahulu yaitu Tuanku Imam Bonjol, Haji Miskin, Haji Ahmad Dahlan, Buya Hamka dan lain-lain.

Mulai menonjolnya gerakan dakwah salafiyyah di kota Medan ditujukan pada seorang ustadz bernama Jamaluddin. Ia adalah seorang tokoh kalangan salafiyyah yang berasal dari Muhammadiyyah. Setelah mendengar ajaran dakwah salafiyyah di pulau Jawa dan memahami dan mempelajarinya, ia kemudian menjadi tokoh yang gencar menyebarkan dakwah salafiyyah di kota Medan. Ia juga disegani dan banyak dipuji oleh pendakwah yang ada di organisasi Muhammadiyyah di kota Medan karena kecerdasannya dan perjuangan dakwahnya. Pada awal mulanya pusat perkembangan salafiyyah di kota Medan ada di kecamatan Medan Denai yang dahulunya menurut cerita banyak di sana warga berasal dari etnis minangkabau dan berpaham Muhammadiyyah sehingga ketika dakwah salafiyyah muncul, warga setempat tidak terlalu sulit menerimanya karena sifat dakwahnya yang masih puritan juga. Di sana Ia mendirikan satu kompleks tempat pengadaan pengajian agama yang berisi pesantren, mesjid dan sekretariat yayasan bernama Al-Mujahadah sebagai badan hukum yang menaunginya.


(50)

Setelah berkembang pesatnya dakwah salafiyyah di kota Medan, maka banyak bermunculan tokoh-tokoh salafi yang telah kembali belajar menuntut ilmu dalam memahami ajaran dakwah salafiyyah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Di antara tokoh-tokoh salafi di kota Medan adalah Abdul Fattah, Abu Ihsan Atsary, Ali Nur, M. Faishal Jamil, Ali Ismah, Awaluddin, Nurdin Al-Bukhari, M. Husnil Matondang dan sejumlah tokoh salafi yang lainnya. Mereka berperan besar dalam menyebarkan dakwah salafi dari mesjid ke mesjid, universitas-universitas yang ada di kota Medan hingga ke daerah-daerah yang ada di luar kota Medan.

Tidak hanya kegiatan dakwah dari mesjid ke mesjid saja, kegiatan lain yang di lakukan oleh sebagian besar jamaah salafiyyah di kota Medan adalah dengan adanya silaturrahmi akbar atau pengajian besar dengan kunjungan ulama ke kota Medan yang berasal dari Mekah dan Madinah serta berasal dari negara Yordania yang pada umumnya ulama-ulama tersebut adalah murid-murid langsung tokoh salafi dari kalangan ulama yang terkenal di Timur Tengah yaitu Syaikh Abdul Aziz bi Baz dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Sama seperti kegiatan-kegiatan jamaah salafiyyah yang ada di Jawa, tidak ada kegiatan yang berbeda di kota Medan.

Perpecahan yang terjadi di antara kalangan salafiyyah di kota Medan juga terjadi seperti halnya di pulau Jawa. Pada awal mulanya ketika Jamaluddin masih merupakan tokoh yang dituakan dan dihormati di kalangan salafiyyah isu perpecahan belum terjadi. Awal mula isu perpecahan tersebut terjadi ketika anak didik yang telah dibinanya dari kecil dan di sekolahkannya di pesantren salafiyyah


(51)

yang ada di pulau Jawa yaitu Faishal Jamil kembali ke Medan setelah selesai studinya. Ketika itu Abdul Hakim Abdat sedang berkunjunng ke kota Medan dan mengisi acara pengajian di Mesjid Dakwah Universitas Sumatera Utara, Faishal Jamil melihat gurunya yaitu Jamaluddin datang dan beramah-tamah dengan Abdul Hakim Abdat. Faishal yang telah terkena isu perpecahan dan tuduhan yang dilontarkan oleh Ja’far Umar Thalib di Jawa terhadap tokoh salafi seperti Abdul Hakim Abdat, Yazid Jawas, Abu Nida dan lain-lainnya itu langsung mentahdzir gurunya tersebut dan menyatakan tidak mau berhubungan lagi dengannya. Setelah diketahui bahwa di Jawa Faishal berguru dan bergabung dengan kelompok salafi yang dibina oleh Ja’far Umar Thalib.

Kembalinya Faishal Jamil dan Ali Ismah dari pesantren di pulau Jawa yang membawa isu perpecahan membuat situasi yang rumit di kalangan salafiyyah di kota Medan. Terlebih ketika kejadian pentahdziran itu Jamaluddin mengasingkan diri dan berniat pindah dan menyebarkan dakwah di luar kota Medan yaitu di Tapanuli selatan tepatnya di Mandailing Natal. Tokoh-tokoh salafi yang lainnya yang bersebesrangan dengan pemikiran Faishal dan Ali Ismah seperti Abdul Fattah, Abu Ihsan, Ali Nur dan lain-lainya kemudian melanjutkan penyebaran dakwah yang senada dengan tokoh salafi di pulau Jawa yaitu Yazid Jawas, Abu Nida, Abdul Hakim Abdat.

Pada awal mula kemunculan dakwah salafiyyah di kota Medan, nama Abdul Fattah menjadi orang yang paling dituakan di kalangan salafiyyah dikota Medan sampai sekarang, walaupun ia tidak sampai terkenal di kalangan salafiyyah di Indonesia. Bersama-sama Jamaluddin menyebarkan dakwah salafiyyah di kota


(52)

Medan, Abdul Fattah sebenarnya dahulu berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat yang kemudian ia pindah ke kota Medan dan bertemu Jamaluddin dan menyebarkan dakwah salafiyyah di kota Medan. Oleh karena kesamaan manhaj dalam berdakwah itulah yang menyebabkan mereka menjadi dekat.

Dakwah salafiyyah yang disebarkan oleh Abdul Fattah di kota Medan berkembang sejak tahun 1980-an. Setelah belajar dan pindah dari Bukit Tinggi, ia kemudian pindah ke kota Medan untuk menerapkan ilmunya dalam berdakwah. Ketika di tahun itu juga terdengar fatwa dari ulama-ulama di Arab Saudi untuk menghimbau para pemuda dan pejuang kaum muslimin untuk berjihad dan berperang ke Afghanistan. Ketika itu Afghanistan diserang oleh negara Uni Soviet dengan alasan provokasi pemecahan negara-negara bagian soviet. Afghanistan yang pada saat itu telah merdeka dari Uni Soviet dan merupakan negara kedua setelah Arab Saudi melakukan reformasi diri dengan menerapkan hukum negara berdasarkan syariat Islam diserang oleh Uni Soviet sehingga menimbulkan kemarahan umat Islam di dunia, termasuk menjadi perhatian para ulama di Timur Tengah dalam mengeluarkan fatwa untuk berjihad di sana membantu pejuang muslim di Afghanistan.

Perang yang berkecamuk dan meninggalkan pemerintahan Afghanistan yang telah aman dalam pengusiran Uni Soviet, membuat pekerjaan para mujahidin telah selesai. Pada perang tersebut para mujahidin yang berasal dari kalangan salafiyyah Indonesia di usir dari Afghanisthan dikarenakan takut terjadi perang saudara akibat dakwah salafiyyah yang telah menasehati para pejuang lokal yang mereka anggap telah berbuat syirik dengan mengenakan jimat keberuntungan saat


(53)

berperang. Oleh karena itu, para pejuang lokal tidak terima dan menjadi berang. Abdul Fattah, Ali Nur, Abu Ihsan dan para tokoh salafi lain di pulau Jawa seperti Ja’far Umar Thalib dan lain-lain terusir dari sana. Abdul Fattah kemudian pulang ke Indonesia untuk melanjutkan dakwah dan menyuruh Ali Nur dan Abu Ihsan untuk menuntut Ilmu agama di Pakistan. Ali Nur kemudian kuliah di Universitas Darul Hadits dan Abu Ihsan kuliah di Daar Al-Ulum Pakistan. Setelah menyelelesaikan studinya, Ali Nur kemudian pulang untuk membantu dakwah Abdul Fattah sedangkan Abu Ihsan melanjutkan studinya dengan mengambil gelar master di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.

Dakwah salafiyyah di kota Medan makin pesat setelah Abu Ihsan kembali ke Medan. Pada mulanya Abu Ihsan tidak kembali langsung ke kota Medan dengan segera, tetapi ia menetap dahulu di Jawa dan menjadi tokoh salafi terkenal di Indonesia, bahkan sampai tingkat internasional di kalangan salafiyyah. Beberapa buku karyanya dalam menyebarkan dakwah manhaj salaf telah tercetak dan terbit dari percetakan buku-buku yang dikenal berbasiskan agama. Tidak hanya menjadi penulis buku-buku agama, karyanya yang lain adalah menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab yang dikarang oleh ulama-ulama salafi Timur Tengah. Jadwal mengisi acara kajiannya juga padat, tidak hanya mengisi di mesjid, kampus dan daerah lain di seluruh Indonesia, namun juga mengisi acara kajian dan dakwahnya antar negara. Terkadang ia dipanggil untuk berceramah atau mengisi kajian di Malaysia dan Jepang. Oleh karena popularitas dan keilmuannya inilah ia kemudian menjadi salah satu tokoh salafi di Indonesia


(54)

yang memiliki hubungan yang kuat dengan sejumlah ulama-ulama besar salafi di Timur Tengah.

Target dakwah di kampus dan mesjid juga menjadi basis penyebaran pemahaman manhaj salaf. Di dalam kampus Universitas Sumatera Utara misalnya dakwah salafi telah berkembang. Tokoh-tokoh salafi yang mengisi kajian di kampus tersebut adalah Ali Nur, Abu Ihsan, Nurdin Al-Bukhari, Husnil Matondang, dan Faishal Jamil. Namun beberapa tahun belakangan ini Faishal Jamil tidak lagi mengisi kajian di kampus tersebut dikarenakan kelompok salafi yang mendukungnya tidak berpengaruh dan jumlahnya sangat sedikit dengan kelompok salafi yang dibina oleh Abu Ihsan dan Ali Nur. Tidak hanya mahasiswa yang mengikuti kajian, bahkan dosen pun banyak juga yang menjadi pengikut pemahaman salafiyyah.

Semakin pesatnya dakwah salafiyyah di kota Medan, baru pada awal tahun 2000 kelompok salafi yang dibina Abu Ihsan, Ali Nur, dan Abdul Fattah mendirikan sebuah yayasan dakwah yang mereka maksudkan agar menjadi badan hukum untuk pengkoordiniran kajian dan kegiatan dakwah salafiyyah di kota Medan, terutama di mesjid-mesjid untuk menjadi wadah yang legal. Yayasan tersebut diberi nama Minhajus sunnah yang kemudian diketuai oleh seorang pengikut dakwah salafi yang bukan tokoh pengajar manhaj salaf dengan alasan menghindari bentuk-bentuk hizbi atau pengelompokan umat Islam. Mulanya tempat kesekretariatan yayasan ini berada di rumah salah seorang pengikut dakwah salafiyyah, namun setelah mereka telah mendirikan mesjid sendiri yang menurut mereka mesjid mengikuti sunnah nabi di daerah Medan Johor kemudian


(1)

Muslimin.

12. Khatib : Orang yang berkhutbah atau berceramah di atas mimbar.

13. Khawarij : Kelompok sesat yang telah muncul pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan yang kemudian membunuhnya dan berlanjut ke zaman pemerintahan Ali dan Ali memerangi dan membunuh mereka. Paham kelompok ini adalah suka mengkafirkan orang-orang Islam tanpa dalil hanya karena tidak berhukum dengan hokum yang diturunkan Allah.

14. Khitbah : Laki-laki melamar perempuan yang disukainya, atau meminang calon isteri.

15. Khurafat : Cerita-cerita dusta atau berita-berita dusta yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

16. Mahar : Pemberian sesuatu yang diberikan suami kepada isterinya sebagai syarat atau hadiah pernikahan.

17. Mahram : Perempuan yang tidak boleh dinikahi.

18. Manhaj : Pemahaman atau metode dan jalan yang ditempuh untuk memahami suatu hal atau hukum.

19. Mimbar : Tempat khatib berkhutbah.

20. Muballigh : Da’i atau penceramah. Dapat juga disebut ustadz.

21. Murji’ah : Paham yang mengatakan bahwa iman letaknya di hati bukan termasuk lisan dan perbuatan.

22. Mu’tazillah : Paham yang lebih mengutamakan akal pikiran dalam menetapkan hukum-hukum agama dari pada menggunakan Qur’an dan Hadits.

23. Nasab : Garis keturunan.

24. Nash : Hukum-hukum dan Aturan dalam agama Islam yang jelas dan tertulis yaitu Qur’an dan Hadits.

25. Nazhor : Proses melihat calon isteri dalam pernikahan.

26. Qadariyyah : Paham yang menolak taqdir-taqdir atau ketentuan Allah baik dan buruknya.


(2)

27. Rukun : Sesuatu hal yang menjadi syarat yang harus dipenuhi atau dilakukan.

28. Salaf : Generasi pertama umat Islam yang terbaik yaitu nabi dan para sahabatnya.

29. Salafi : Orang yang mengikuti dan mencontoh generasi pertama yang terbaik tersebut.

30. Salafiyyah : Paham yang mengikuti contoh generasi pertama umat Islam yang terbaik.

31. Sufi : Paham yang mengutamakan kecintaan terhadap Allah dengan berlebih-lebihan beribadah kepada-Nya. Sufi berarti pemurnian hati dan diri dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian.

32. Sunnah : Segala sesuatu yang menyangkut perkataan, perbuatan, persetujuan, atau diamnya nabi Muhammad untuk dijadikan sumber rujukan hukum-hukum Islam.

33. Sururri : Kelompok yang ditujukan kepada pendirinya yaitu Muhammad Surrur bin Zein Al-Abidin yang berpaham anti Barat dan anti terhadap negara dan orang-orang Islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah atau tidak menggunakan hukum syariat Islam. Kelompok ini sering memberontak kepada pemerintah yang tidak menggunakan hukum Islam dan menghukuminya sebagai negara kafir dan orang-orangnya juga kafir. Yang termasuk kelompok ini adalah Jamaah Islamiyah, jamaah At-Takfir, ‘Ibadurrahman, Dll. Contoh orang yang termasuk kelompok ini di Indonesia adalah para pelaku bom bali yaitu Amrozi dan kawan-kawannya.

34. Syari’at : Hukum-hukum dan sejumlah aturan di dalam agama Islam menyangkut akidah (keyakinan), mu’amalah (hubungan sesama makhluk), Ibadah (tata cara menyembah Allah), Al-Ahkam As-Sulthoniyah (hukum mendirikan negara), Akhlak (perilaku mulia), dan lain-lainnya.


(3)

35. Syirik : Mensekutukan Allah dengan segala sesuatu apapun dari Makhluk ciptaannya baik dalam perbuatan, perkataan dan keyakinan yang bersumber dari hati.

36. Tahdzir : Perbuatan memboikot atau tidak peduli terhadap seseorang karena adanya kesalahan yang dibenarkan oleh syariat sebagai peringatan kepadanya.

37. Talaq : Perceraian antara suami dan Isteri dalam berumah tangga.

38. Tauhid : Perbuatan dengan bersunguh-sungguh untuk mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya.

39. Tazkiyah : Pemurnian atau pembersihan sesuatu ke bentuk aslinya. 40. Ta’aruf : Perkenalan jodoh.


(4)

DOKUMENTASI PENELITIAN

Hijab merupakan hal yang diwajibkan bagi jamaah salafiyyah di dalam penyelenggaraan pesta. Hijab dapat berupa kain, terpal atau tembok sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan kecuali anak-anak yang belum baligh.

Para pengikut dakwah salafiyyah sedang duduk-duduk dalam penyelenggaraan pesta pernikahan.


(5)

Para tamu dari kalangan pengikut dakwah salafiyyah yang baru tiba menghadiri undangan pernikahan.

Tuan rumah penyelenggara pesta mempersilahkan tamu undangan yang baru hadir untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan.


(6)

Suasana bilik tempat tamu laki-laki sedang menikmati makanan yang telah disediakan. Sulitnya mengambil gambar di bagian bilik perempuan membuat penulis hanya bisa mengambil gambar dari bilik tempat duduk laki-laki secara diam-diam dan tersembunyi mengingat jamaah salafiyyah melarang memotret.

Salah seorang pengikut dakwah salafiyyah yang baru saja selesai melangsungkan akad nikah yang berhasil penulis ambil gambarnya.


Dokumen yang terkait

Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

17 176 147

Aktivitas Komunikasi Dalam Tradisi Nyawer Pada Proses Pernikahan Adat Sunda di Kota Bandung (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Tradisi Nyawer Pada Proses Pernikahan Adat Sunda di Kota Bandung)

2 70 112

STRATEGI COPING PERNIKAHAN PADA SUAMI ANGGOTA JAMAAH TABLIGH Strategi Coping Pernikahan Pada Suami Anggota Jamaah Tabligh.

0 2 18

STRATEGI COPING PERNIKAHAN PADA SUAMI ANGGOTA JAMAAH TABLIGH Strategi Coping Pernikahan Pada Suami Anggota Jamaah Tabligh.

0 5 17

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 12

PENDAHULUAN Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 2 24

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 13

Studi Deskriptif Mengenai Kepuasan Pernikahan pada Istri Pasangan Commuter Marriage di Gereja "X" Kota Bandung.

0 0 42

hakikat dakwah salafiyyah

0 0 15

Garis Pemisah Dakwah Salafiyyah & Dakwah Hizbiyyah

0 0 9