Kembangkan Wawasanmu Releksi Kerajaan Islam Di Sulawesi:
45
Sejarah Kebudayaan Islam - Kelas IX
seperti Syaikh Burhanuddin dari Ulakan Pariaman, Sumatra Barat. Ia juga sering berkunjung ke berbagai daerah di Sumatra dan Jawa.
Syaikh Abdur Rauf menjadi Mufti Kerajaan Aceh yang ketika itu masih diperintah oleh Sultanah Saiatuddin Tajul Alam. Dengan dukungan kerajaan ia berhasil menghapus ajaran Salik Buta tarekat
yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat Aceh, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa Para salik
pengikut tarekat yang tidak mau bertobat, harus dibunuh. Abdur Rauf memiliki sekitar 21 karya tertulis, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab
ikih, dan sisanya kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang berjudul Tarjuman al-Mustaid Terjemah Pemberi Faedah merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Salah satu kitab ikihnya berjudul Mir’at at-Tullab i Tahsil Ma’rifatil Ahkam asy-Syar’iyah li al- Malik al-Wahhab
Cermin bagi Penuntut Ilmu Fikih Pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syariah Allah. Di dalamnya dimuat berbagai masalah ikih mazhab Syai’i yang merupakan panduan
bagi seorang kadi. Kitab ini ditulis atas perintah Sultanah.
Di bidang tasawuf, karyanya antara lain ‘Umdat al-Muhtajin Tiang orang-orang yang memerlukan, Kifayat al-Muhtajin
Pencukup Para Pengemban Hajat, Daqaiq al-Huruf Detail-Detail Huruf, dan Bayan Tajalli
Keterangan tentang Tajalli. ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin merupakan karya Abdur Rauf yang terpenting. Buku ini terdiri atas tujuh bab, memuat antara lain
mengenai zikir, sifat-sifat Allah Swt. dan Rasul-Nya, dan asal-usul ajaran mistik. Di akhir bukunya, Abdur Rauf menceritakan riwayat hidupnya dan guru-gurunya. Di antara gurunya itu, ia sangat
memuji Ahmad Qusasi. Gurunya ini disebutnya sebagai “Pembisik Spiritual dan Guru di Jalan Allah”.
Abdur Rauf as-Singkili meninggal dunia pada tahun 1693, dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 km
dari Banda Aceh. Ia kemudian juga terkenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Ia juga sering disebut sebagai Wali Tanah Aceh. Oleh masyarakat setempat, makamnya dianggap tempat suci dan setiap
harinya ramai dikunjungi para peziarah.