Latar Belakang Implementasi Dari Undang-Undang No 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia Dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak revolusi industri yang terjadi pada periode tahun 1750 – 1850 yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, sebagian besar aspek kehidupan masyarakat global kini bergantung pada penggunaan mesin yang bersifat manufaktur.Peralihan penggunaan tenaga manusia ke tenaga mesin dalam memproduksi suatu produk telah mengubah wajah perdagangan dunia.Penggunaan teknologi yang semakin hari semakin cepat membuat industri perdagangan kian pesat.Namun penggunaan mesin dan teknologi tidak selalu berdampak positif. Proses produksi dengan menggunakan mesin kini telah dibuktikan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Limbah yang dihasilkan dalam produksi secara gradual merusak alam sekitar. Kesadaran masyarakat global mengenai bahaya limbah beracun dimulai pada tahun 1980-an ketika ditemukan fakta bahwa terdapat penimbunan limbah beracun di sejumlah negara di Afrika dan negara-negara berkembang lainnya yang diimpor dari negara-negara maju. Hal ini tentu saja menimbulkan kekuatiran publik. 1 1 Basel Convention: Overview, dapat diakses di: Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun B3 di berbagai sektor http:www.basel.inttheconventionoverviewtabib1271default.aspx akses tanggal 14 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri impor. B3 yang dihasilkan dari dalam negeri, juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses impor dan ekspor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi. 2 2 Penjelasan bagian Umum Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang meratifikasi Konvensi Rotterdam 1998 yang mengatur tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, namun Indonesia seringkali masih menjadi sasaran pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun secara ilegal. Menurut Wahana Lingkungan Hidup WALHI sejak larangan impor dikeluarkan, lebih dari 5000 ton sampah plastik yang masuk ke Indonesia dari Amerika Serikat, Jepang, dan Australia telah disita. Tingginya tingkat intensitas impor limbah ke Indonesia dari tahun ke tahun makin terbuka lebar dengan adanya desentralisasi pemerintahan.Dengan adanya desentralisasi, sebagian besar urusan pemerintahan saat ini telah dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Hal ini mendorong banyak eksportir melirik kabupaten terutama daerah terpencil untuk menerima limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dengan iming-iming kompensasi yang besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD.Eksportir negara maju membuang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ke negara berkembang seperti Indonesia dengan imbalan yang menggiurkan. Namun nilai itu sebenarnya lebih murah dibandingkan mengolah di negaranya karena harus memenuhi standar lingkungan yang tinggi Universitas Sumatera Utara Bahan Berbahaya dan Beracun B3 merupakan salah satu dari tujuh masalah lingkungan utama pada tingkat global, sehingga membutuhkan kerjasama diantara negara-negara untuk mengatasinya. 3 Bahan Berbahaya dan Beracun B3 dapat masuk atau dimasukkan dalam lingkungan melalui beberapa sumber atau kegiatan, yaitu tempat usaha, transportasi, pergudangan, penyimpanan, penggunaan dan pembuangan. Ancaman pencemaran lingkungan akibat limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3 mulai disadari sejak sebuah studi yang dilaksanakan oleh kantor menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup pada tahun 1983, mengungkapkan bahwa kegiatan sektor industri di Jakarta telah membuang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3 sebesar 47.798,4 ton per tahun, baik dalam bentuk limbah padat maupun limbah cair. 4 Negara-negara penghasil limbah biasanya mencari jalan termudah dan termurah untuk membuang limbahnya.Negara-negara yang miskin yang sedang berkembang seringkali menjadi sasaran karena peraturan lingkungan yang masih Tingginya intensitas kegiatan ekspor impor limbah yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun ke negara berkembang disebabkan berbagai faktor.Pertama, kurangnya pengetahuan para pengambil keputusan tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.Kedua, kurangnya sarana dan prasarana untuk mengetahui dan menganalisis limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.Ketiga, besarnya biaya pengolahan limbah tersebut dan ketatnya peraturan pengelolaan lingkungan di negara-negara maju.Keempat, banyak tipu muslihat para eksportir. 3 G.Palmer, “New Ways to Make International Environmental Law , 1992 , The American Jurnal Of International Law, Hlm. 267 4 W.Roekmiyai Soemartojo dan Hestriati Erdawanto. 1988 , “Berbagai Segi Limbah Bahan Berbahaya dan pengelolaannya di DKI Jakarta”, Lingkungan dan Pembangunan Vol 8:2: 1998, Hlm 103 Universitas Sumatera Utara lemah.Keberadaan ekspor impor limbah Bahan Berbahaya dan Beracun antara negara maju dengan negara berkembang boleh dikatakan sudah berlangsung cukup lama sampai munculnya kembali kesadaran masyarakat internasional terhadap bahaya dari limbah industri tersebut.Untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh pengangkutan limban Bahan Berbahaya dan Beracun ini, maka perlu peraturan hukum yang jelas sebagai antisipasi untuk menghadapi dampak yang buruk terhadap lingkungan.Dalam mewujudkan tekad untuk menanggulangi masalah-masalah lingkungan, negara-negara telah mengikatkan diri pada perangkat hukum lingkungan internasional baik yang berlaku secara global maupun yang bersifat regional.Kemudian negara-negara juga menindaklanjuti dengan peraturan hukum nasional untuk kepentingan perlindungan terhadap lingkungannya. Melihat pengalaman Negara-negara maju, seperti Belanda, Amerika Serikat dan Jepang yang memiliki pengaturan hukum tentang Bahan Berbahaya dan Beracun B3 yang terdapat dalam undang-undang. 5 Di Belanda, Wet Gevaarlijke Stoffen, Stb.1963,313 mengatur tentang pengangkutan, pengepakan, penyerahan dan penyimpanan Bahan Berbahaya dan Beracun B3, sedangkan Wet Milieqevaarlijke Stoffen, Stb. 1983,639 yang mengatur pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun B3, yakni mencakup tahap produksi atau impor, pengedaran, penggunaan dan penyimpanan Bahan Berbahaya dan Beracun B3. 6 5 Takdir Rahmadi, “Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun” , Airlangga University Press, Surabaya: 2003, Hlm. 7 6 Loc.cit Hlm.7 Universitas Sumatera Utara Di Amerika Serikat, The Toxic Substance Control Act of 1976 TSCA mengatur tentang pembuatan, pengembangan dan penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun B3, sedangkan the Resoursce Conservation and Recovery Act of 1976 RCRA mengatur tentang pengangkutan, pengelolaan tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3, dan pemeliharaan fasilitas pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3. Di samping itu, the Comprehensive Enviromental Response, Compensation and Liability Act of 1986 CERCLA disebut juga the SuperFund Act mengatur tentang mekanisme perolehan dana untuk biaya pemulihan fasilitas pengolahan limbah yang rusak dan lingkungan hidup yang tercemar serta tangguggugat para penghasil limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3. 7 Pengendalian pencemaran lingkungan akibat Bahan Berbahaya dan Beracun B3 di Jepang juga diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan. Kerangka dasar pengendalian pencemaran lingkungan di Jepan diatur dalam the Basic Law for Enviromental Pollution Control Act of 1967 yang telah diubah pada tanggal 19 Nopember 1993 dengan sebutan the Enviromental Basic Law. 8 Mengingat masalah limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tidak saja berskala nasional tetapi juga internasional dan menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia seperti teknologi, perdagangan, kesehatan, kebijaksanaan pemerintah dan hukum, maka diperlukan kerjasama negara-negara untuk mengatasinya.Pada mulanya limbah Bahan Berbahaya dan Beracun lebih 7 Ibid Hlm. 8 8 Ibid Hlm. 10 Universitas Sumatera Utara dianggap sebagai masalah negara-negara maju. Akan tetapi dalam perkembangannya, ketika limbah Bahan Berbahaya dan Beracun menjadi salah satu objek atau komoditi yang dapat diperjualbelikan, maka banyak negara-negara maju yang menjadikan negara miskin yang sedang berkembang sebagai sasaran tempat pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun baik secara sah maupun tidak sah. Dengan demikian limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tidak lagi dianggap sebagai masalah nasional dan regional saja tetapi juga menyangkut masalah global.

B. Rumusan Masalah