Implementasi Dari Undang-Undang No 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia Dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anindito, Danar, Tesis: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor Impor Limbah B3 yang Disepakati, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2012.

Buku / Textbook:

Bagus, Ida Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung: 2009

Bagus, Ida Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama, Bandung: 2014

Bram, Deni, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Setara Press, Malang: 2014

Effendi, Aan, Instrumen Ekonomik dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2014

Erwin, Muhamad, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008 Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional (Bagian I), Unpad Press,

Bnadung: 2011

Keating, Michael diterjemahkan Loeky S. Jasin Rahman, “ Bumi Lestari” dengan judul asli” Agenda for Change”, KONPHALINDO: Jakarta: 1994.

Kamil, Melda.A.,Hukum dan Kebijakan Lingkungan, bahan ajar/modul, 2012. PIC/Rotterdam Convention.

Lalonde, B, “Reduction of Wates at Source”, Marine Policy Vol.14;3

McCoy, Michael dan Patrick McCully, The Road From Rio : An NGO Action Guide to Environmental and Development, WISE, Amsterdam : 1993. Pramudianto, Andreas, HukumPembangunan Berkelanjutan, FE UI didanai olah

DRPM UI: 2011

Pramudianto, Andreas, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, Setara Press, Malang: 2014


(2)

Rahmadi, Takdir, Resume Buku Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2013

Ria, Marhaeni Siombo, Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2012 Setia, Hadi Tunggal, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Havarindo, Jakarta: 2014

Setia, Hadi Tunggal, Peraturan Lingkungan Hidup 2014, Harvarindo, Jakarta : 2014.

Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta: 2009 Soemartojo, W.Roekmiyai dan Hestriati Erdawanto.1988 , “Berbagai Segi

Limbah Bahan Berbahaya dan pengelolaannya di DKI Jakarta”, Lingkungan dan Pembangunan Vol 8:2: 1998.

Supramono, Gatot, PenyelesaianSengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2013

Rahmadi, Takdir, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga

University Press, Surabaya: 2003.

Sefriani, HukumInternasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta: 2011 Sundari, Siti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaa Lingkungan Nasional,

Airlangga University Press, Surabaya: 2005

Syahrin, Elvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Sofmedia, Jakarta: 2009

Tolba, Mostafa K., “The Global Agenda and the Hazardous Wastes Challenge” , Marine Policy Vol 14:3,1990, h.205;W.L.Long, (1990), “Economic Aspect of Transport and Disposal of Hazardous Wastes”, Marine Policy Vol. 14:3, 1990.

Wahidin, Samsul, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2014

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida


(3)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional.

Katharina Kummer (1992). “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous Wastes: the 1989 Basel Convention,” International and Comparative Law Quarterly.

Jurnal

Palmer, G “New Ways to Make International Environmental Law , 1992 , The American Jurnal Of International Law.

Artikel 21 The Basel Convention on the Control of Tranboundary Movements Of

Hazardous Wates And Their Disposal. Artikel

Website

tanggal 14 Desember 2013

id.m.wikipedia.org/wiki/KTT_Bumi tanggal akses 24 Oktober 2013.

http:/www.KonvensiRotterdam/PIC.int/Procedures/ImportResponse/tabib/1162/la nguage/en-US/Default.aspx.diakses pada tanggal 9 November 2013. http://www.KonvensiRotterdam/PIC.int/Procedures/ExportNotifications/Formand

Instructions/tabid/1365/language/en-US/Default.aspx.diakses pada tanggal 9 November 2013.


(4)

2012.


(5)

BAB III

MEKANISME PERSETUJUAN DALAM PERDANGANGAN INTERNASIONAL TERKAIT BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA

BERBAHAYA TERTENTU

A.Mekanisme Untuk Bahan Kimia yang Dilarang atau Dibatasi

Selanjutnya pada pasal 5 menyatakan tentang bahan-bahan yang diatur dalam konvensi ini, yaitu:46

1. Setiap Pihak yang telah mengadopsi suatu ketetapan peraturan final wajib memberitahukan Sekretaris secara tertulis dari tindakan tersebut. Notifikasi tersebut wajib dilakukan segera mungkin, dan dalam setiap waktu tidak melewati 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal ketetapan peraturan final berlaku, dan wajib memuat informasi yang disyaratkan dalam Lampiran tersedia.

Prosedur untuk bahan kimia yang dilarang atau dibatasi :

2. Setiap Pihak wajib, pada tanggal mulai berlakunya Konvensi ini untuk Pihak tersebut, memberitahukan Sekretariat secara tertulis mengenai ketetapan peraturan finalnya yang berlaku pada waktu itu, kecuali bagi setiap Pihak yang telah menyampaikan notifikasi ketetapan peraturan final berdasarkan Amended London Guidelines atau The international Code of conduct tidak perlu menyampaikan kembali notifakasi tersebut .

46

Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(6)

3. Sekretariat wajib, sesegera mungkin, dan dalam setiap waktu tidak melewati enam bulan setelah menerima notifikasi berdasarkan ayat (1) dan (2), memeriksa apakah notifikasi memuat informasi yang diisyaratkan dalam Lampiran I. Bila notifikasi memuat informasi yang, diisyaratkan sekretariat wajib segera meneruskan seluruh Para Pihak suatu ringkasan informasi yang diterima. Bila notifikasi tidak memuat informasi yang disyaratkan, Sekretariat wajib menginformasikan Pihak yang memberi notifikasi sebagaimana mestinya.

4. Sekretariat wajib setiap enam bulan mengkomunikasikan kepada Para Pihak suatu ringkasan informasi yang diterima sesuai dengan ayat (1) dan (2), yang meliputi informasi mengenai notifikasi yang tidak memuat semua informasi yang disyaratkan dalam Lampiran I.

5. Bila Sekretariat telah menerima paling sedikit satu notifikasi dari dua regional Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal mengenai suatu bahan kimia tertentu yang telah diperiksa memenuhi persyaratan Lampiran I, Sekretariat wajib meneruskannya pada Komisi Pengkaji Bahan Kimia. Komposisi regional Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal wajib ditentukan dalam suatu keputusan yang akan diadopsi secara konsensus pada sidang pertama Konferensi Para Pihak.

6. Komisi Pengkaji Bahan Kimia wajib meninjau informasi yang diberikan dalam notifikasi tersebut dan, sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam Lampiran II, merekomendasikan pada Konferensi Para Pihak apakah bahan kimia yang dipertanyakan harus tunduk pada prosedur Persetujuan


(7)

Atas Dasar Informasi Awal dan, sebagaimana mestinya, dicantumkan dalam daftar Lampiran III.

Dalam Pasal 5 ayat (5), tersebut, terdapat komisi pengkaji bahan kimia, merupakan badan pembantu yang dibentuk melalui pertemuan pertama konvensi para pihak. Hal tersebut jelas berkaitan dengan proses pelasanaan konvensi Rotterdam/PIC. Seperti pada saat para pihak mengadopsi ketetapan peraturan final untuk melarang atau membatasi bahan kimia, para pihak memberitahukannya kepada sekretariat.Setelahnya hal tersebut wajib diteruskan kepada komisi pengkaji bahan kimia dalam rangka meninjau dan mempertimbangkan rekomendasi bahan kimia dari pihak tersebut untuk dimasukkan dalam Lampiran III konvensi ini.Selain itu, setiap pihak yang merupakan negara berkembang atau negara dengan ekonomi dalam transisi yang mengalami masalah karena dampak terhadap kesehatan manusia atau lingkungan yang disebabkan oleh formulasi pestisida sangat berbahaya di bawaqh kondisi penggunaan di wilayahnya, dapat mengusulkan kepada Sekretariat daftar dari formulasi pestisida sangat berbahaya dalam Lampiran III dari Konvensi.Selanjutnya, Sekretariat meneruskan Proposal kepada Komisi Pengkaji nbahan kimia dalam rangka untuk meninjau dan mempertimbangkan untuk dimasukkan dalam Lampiran III dari Konvensi.

Selanjutnya masih dalam pasal dan ayat yang sama, terdapat konvensi para pihak. Pengaturan mengenai Konferensi Para Pihak dalam konvensi ini akan dijelaskna pada Pasal 18. Dalam konvensi para pihak yang mengulas dan mengevaluasi pelaksaan konverensi juga mengkaji dan mengadopsi program kerja dan anggaran konvensi untuk setiap dua tahunan.Arapat Konferensi Para Pihak


(8)

biasanya diadakan setiap dua tahun dan diatur oleh aturan prosedur dan aturan keuangan.

Selanjutnya mengenai pencantuman bahan kimia dalam Lampiran II, yang diatur dalam Pasal 7, yaitu :

1. Untuk setiap bahan kimia oleh Komisi Pengkaji Bahan Kimia telah diputuskan untuk direkomendasikan agar dicantumkan dalam Lampiran III, Komisi wajib menyusun suatu rancangan dokumen pedoman keputusan47

2. Rekomendasi yang merujuk pada ayat (1) bersama dengan rancangan dokumen pedoman keputusan wajib diteruskan ke Konferensi Para Pihak. Koferensi Para Pihak wajib memutuskan apakah bahan kimia seharusnya tunduk pada prosedur Persetujuan Atas dasar Informasi Awal, sebagaimana mestinya, mencantumkan baham kimia dalam Lampiran III dan menyetujui rancangan dokumen pedoman keputusan.

.Dokumen pedoman keputusan tersebut seharusnya, peling sedikit, disadarkan atas ketentuan informasi dalam Lampiran I, atau, mungkin pada kasus tertentu, Lampiran IV, dan meliputi informasi menggenai penggunaan bahan kimia dalam suatu kategori selain kategori yang baginya ketetapan peraturan final berlaku.

3. Apabila suatu keputusan untuk mencantumkan suatu bahan kimia dalam Lampiran III telah diambil dan dokumen pedoman keputusan

47


(9)

yang relevan telah disetujui oleh Konferensi para pihak, sekretariat wajib segera mengkomunikasikan informasi ini kepada semua pihak. Dalam pasal 7 ini yang dimaksud dengan dokumen pedoman keputusan yaitu berisi tentang lingkup dari subjek bahan kimia dan informasi dasar tentang kimia antara lain klasifikasi bahayanya.

Dokumen ini bukan satu-satunya sumber informasi tentag bahan kimia, juga terdapat informasi tambahan yang disampaikan oleh para pihak.Selain itu, dokumen pedoman keputusan ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah menilai resiko yang terkait dengan penanganan dan penggunaan bahan kimia, sehingga dalam membuat keputusan dapat lebih tepat berkaitan dengan masa depan impor dan penggunaan bahan kimia yang mempertimbangkan kondisi lokal.

Selanjutnya pasal 8 menyatakan mengenai bahan kimia dalam prosedur persetujuan atas dasar informasi awal sukarela setiap bahan kimia, selain dari bahan kimia yang tercantum dalam lampiran III, yang tercakup dalam prosedur persetujuan atas dasar informasi awal sukarela sebelum tanggal sidang konferansi para pihak pertama, konferensi para pihak wajib memutuskan pada sidang tersebut untuk mencantumkan bahan kimia dalam lampiran III, asalkan bahan kimia tersebut memenuhi seluruh persyaratan untuk pencatuman dalam lampiran telah dipenuhi.


(10)

Dalam konvensi ini bukan hanya merekomendasikan bahan-bahan kimia yang akan tercantum pada lampiran III tetapi juga dapat menghapus, hal ini diatur dalam pasal 9 sebagi berikut:48

1. Bila Pihak menyampaikan kepada Sekretariat informasi yang tidak tersedia pada saat keputusan untuk mencantumkan suatu bahan kimia dalam Lampiran III dan informasi tersebut menunjukkan bahwa pencantumannya mungkin tidak lagi dibenarkan menurut kriteria yang relevan dalam Lampiran II atau, mungkin dalam kasus tertentu, Lampiran IV, Sekretariat wajib meneruskan informasi tersebut kepada Komisi Pengkaji Bahan Kimia.

2. Komisi Pengkaji Bahan Kimia wajib mengkaji informasi yang diterima berdasarkan ayat (1). Untuk setiap bahan kimia yang diputuskan Komisi Pengkaji Bahan Kimia, sesuai dengan kriteria yang relevan dalam Lampiran II atau, mungkin dalam kasus tertentu, Lampiran IV, untuk merekomendasikan penghapusan dari Lampiran III, Komisi wajib mempersiapkan rancangan dokumen pedoman keputusan yang direvisi 3. Suatu rekomendasi yang mengacu pada ayat (2) wajib diteruskan kepada

Konferensi Para Pihak dan disertai dengan suatu rancangan dokumen pedoman keputusan yang direvisi. Konferensi Para Pihak wajib memutuskan apakah bahan kimia harus dihapus dari Lampiran III dan apakah menyetujui rancangan dokumen pedoman keputusan yang direvisi.

48

Pasal 9 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(11)

4. Bila suatu keputusan untuk menghapuskan suatu bahan kimia dari Lampiran III telah diambil dan dokumen pedoman keputusan yang direvisi telah disetujui oleh Konferensi Para Pihak, Sekretariat wajib segera mengomunikasikan informasi ini kepada semua Pihak.

Berkaitan dengan ketentuan yang penting dalam konvensi ini yaitu mengenai pengaturan ataupun kewajiban dalam impor dan ekspor bahan kimia, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan 11 sebagai berikut:49

1. Setiap Pihak wajib melaksanakan tindakan legislatif atau administratif yang layak untuk menjamin keputusan yang tepat waktu dalam kaitan dengan impor bahan kimia yang tercantum dalam Lampiran III.

2. Setiap Pihak wajib mengirimkan kepada Sekretariat, sesegera mungkin, dan dalam keadaan apa pun tidak melewatiampaui sembilan puluh hari setelah tanggal pengiriman dokumen pedoman keputusan yang mengacu pada Pasal 7 ayat (3), suatu tanggapan mengenai impor berikutnya dari bahan kimia yang dimaksud. Bila suatu Pihak mengubah tanggapan ini, Pihak tersebut wajib segera menyampaikan tanggapan yang direvisi kepada Sekretariat.

3. Sekretariat wajib, pada berakhirnya jangka waktu dalam ayat (2), segera menyampaikan kepada Pihak yang tidak memberikan tanggapan tersebut, permintaan tertulis untuk memberikan tanggapan. Apabila Pihak tersebut tidak memberikan tanggapan, Sekretariat wajib, bila perlu, membantu

49

Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(12)

Pihak tersebut untuk memberikan tanggapan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam kalimat terakhir Pasal 11 ayat (2).

4. Tanggapan berdasarkan ayat (2) wajib terdiri atas salah satu dari:

a) Keputusan final,sesuai dengan tindakan legislatif atau administratif, untuk:

i. menyetujui impor;

ii. tidak menyetujui impor, atau

iii. menyetujui impor hanya tunduk pada ketentuan persyaratan, atau

b) Tanggapan sementara, yang dapat meliputi:

i. keputusan sementara yang menyetujui impor dengan atau tanpa ketentuan persyaratan, atau tidak menyetujui impor selama jangka waktu sementara;

ii. pernyataan bahwa suatu keputusan final masih dalam pertimbangan,

iii. permintaan kepada Sekretariat, atau kepada Pihak yang memberitahukan tindakan pengaturan final tersebut, untuk memperoleh informasi lebih lanjut;

iv. permintaan kepada Sekretariat untuk memperoleh bantuan dalam mengevaluasi bahan kimia tersebut.

5. Tanggapan berdasarkan ayat (4) huruf a atau huruf b wajib berkaitan dengan kategori atau beberapa kategori yang ditentukan untuk bahan kimia dalam Lampiran III


(13)

6. Keputusan final harus disertai dengan uraian tindakan legislatif atau administratif yang mendasari keputusan tersebut.

7. Setiap Pihak wajib, tidak melewati tanggal Konvensi ini mulai berlaku untuk Pihak tersebut, mengirimkan kepada Sekretariat tanggapan mengenai setiap bahan kimia yang tercantum dalam Lampiran III. Setiap Pihak yang telah memberikan tanggapan tersebut berdasarkan Amended London Guidelines atau the International Code of Conduct tidak perlu menyampaikan kembali tanggapan tersebut.

8. Setiap Pihak wajib membuat tanggapannya berdasarkan Pasal ini bagi mereka yang berkepentingan dalam jurisdiksinya, sesuai dengan tindakan legislatif atau administratif.

9. Suatu Pihak yang, sesuai ayat (2) dan ayat (4) di atas dan Pasal 11 ayat (2), mengambil suatu keputusan untuk tidak menyetujui impor suatu bahan kimia atau menyetujui impornya hanya berdasarkan ketentuan persyaratan wajib, jika Pihak itu belum mengambil keputusan tersebut, melarang secara serentak atau tunduk pada persyaratan yang sama:

a. impor bahan kimia dari sumber mana pun, dan

b. produksi domestik bahan kimia untuk penggunaan domestik.

Setiap enam bulan Sekretariat wajib menginformasikan kepada semua Pihak tanggapan yang telah diterima oleh Sekretariat.Informasi tersebut wajib meliputiuraian tentang tindakan legislatif atau administratif yang melandasi keputusan tersebut, apabila tersedia.Sekretariat wajib, di


(14)

samping itu, menginformasikan kepada Para Pihak setiap kasus kegagalan untuk mengirimkan suatu tanggapan.

Selanjutnya pasal 11 mengenai kewajiban yang berhubungan dengan ekspor bahan kimia yang tercantum dalam lampiran III :50

1. Setiap Pihak pengekspor wajib:

Kewajiban yang berhubungan dengan ekspor bahan kimia yang tercantum dalam Lampiran III

a) Melaksanakan tindakan legislatif atau administratif yang sesuai dalam mengomunikasikan tanggapan yang diteruskan oleh Sekretariat berdasarkan Pasal 10 ayat (10) kepada pihak yang berkepentingan di dalam yurisdiksinya,

b) Mengambil tindakan legislatif atau administratif yang sesuai dalam menjamin bahwa para eksportir di dalam yurisdiksinya taat terhadap keputusan dalam setiap tanggapan tidak melewati enam bulan setelah tanggal di mana Sekretariat pertama kali menginformasikan kepada Para Pihak tanggapan tersebut berdasarkan Pasal 10 ayat (10),

c) Memberi saran dan membantu Pihak pengimpor, atas permintaan dan apabila perlu:

50

Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(15)

i. untuk memperoleh informasi lebih lanjut guna membantu para pihak untuk mengambil tindakan berdasarkan Pasal 10 ayat (4) dan ayat (2) huruf c di bawah ini, dan

ii. untuk memperkuat kapasitas dan kapabilitas para pihak untuk mengelola bahan kimia secara aman sepanjang daur hidupnya. 2. Setiap Pihak wajib menjamin bahwa bahan kimia yang tercantum dalam

Lampiran III tidak diekspor dari teritorialnya kepada Pihak pengimpor mana pun, yang dalam keadaan tertentu telah gagal mengirimkan tanggapan atau telah mengirimkan tanggapan sementara yang tidak memuat keputusan sementara, kecuali:

a) bahan tersebut merupakan bahan kimia yang, pada saat diimpor, terdaftar sebagai bahan kimia pada Pihak pengimpor, atau

b) bahan tersebut merupakan bahan kimia yang terbukti sebelumnya telah digunakan dalam, atau diimpor ke, Pihak pengimpor dan berkaitan dengan hal itu tidak ada tindakan pengaturan yang diambil untuk melarang penggunaan bahan kimia itu, atau

c) persetujuan eksplisit atas impor telah diminta dan diterima oleh eksportir melalui otoritas nasional yang ditunjuk dari Pihak pengimpor. Pihak pengimpor wajib menanggapi permintaan tersebut dalam waktu enam puluh hari dan wajib memberitahukan dengan segera kepada Sekretariat mengenai keputusannya.

Kewajiban Pihak pengekspor berdasarkan ayat ini wajib berlaku sejak batas akhir periode enam bulan dari tanggal ketika Sekretariat pertama


(16)

kali memberitahukan Para Pihak, berdasarkan Pasal 10 ayat (10), bahwa suatu Pihak telah gagal untuk mengirimkan tanggapan atau yang telah mengirimkan tanggapan sementara yang tidak memuat keputusan sementara, dan wajib berlaku untuk satu tahun.

Masih berkaitan dengan ekspor, terdapat pengaturan mengenai pemberitahuan ekspor dan informasi bahan kimia yang diekspor, yang diatur dalam pasal 12 dan 13, yaitu :51

1. Apabila suatu bahan kimia yang dilarang atau dibatasi oleh suatu Pihak diekspor dari wilayahnya, Pihak tersebut wajib memberikan notifikasi ekspor kepada Pihak pengimpor. Notifikasi ekspor tersebut wajib meliputi informasi yang ditentukan dalam Lampiran V.

Notifikasi ekspor

2. Notifikasi ekspor wajib diberikan untuk bahan kimia tersebut sebelum ekspor pertama diikuti dengan pengadopsian tindakan pengaturan final yang sesuai. Setelah itu, notifikasi ekspor wajib diberikan sebelum ekspor pertama pada setiap tahun kalender. Persyaratan untuk notifikasi sebelum ekspor dapat diabaikan oleh otoritas nasional yang ditunjuk dari Pihak pengimpor.

3. Suatu Pihak pengekspor wajib memberikan notifikasi ekspor yang terbaru setelah Pihak tersebut mengadopsi tindakan pengaturan final yang

51

Pasal 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(17)

menghasilkan suatu perubahan besar mengenai larangan atau pembatasan yang sangat ketat terhadap bahan kimia tersebut.

4. Pihak pengimpor wajib memberitahukan tanda terima notifikasi ekspor pertama setelah pengadopsian tindakan pengaturan final. Apabila Pihak pengekspor tidak menerima pemberitahuan dalam waktu tiga puluh hari setelah pengiriman notifikasi ekspor, Pihak pengekspor wajib memberikan notifikasi kedua. Pihak pengekspor wajib melakukan upaya yang layak untuk menjamin bahwa Pihak pengimpor menerima notifikasi kedua.

5. Kewajiban suatu Pihak yang ditetapkan dalam ayat (1) wajib berakhir bila:

a) bahan kimia telah dicantumkan dalam Lampiran III,

b) Pihak pengimpor telah memberikan suatu tanggapan tentang bahan kimia kepada Sekretariat berdasarkan Pasal 10 ayat (2), dan

c) Sekretariat telah mendistribusikan tanggapan tersebut kepada Para Pihak berdasarkan Pasal 10 ayat (10).

Informasi mengenai bahan kimia yang diekspor :52

1. Konferensi Para Pihak wajib mendorong the World Customs Organization 53

52

Pasal 13 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

53

Sistem Harmonisasi Kode yang dikembangkan oleh WCO memberikan suatu standar internasional untuk mengidentifikasi bahan kimia yang tercantum dalam Lampiran III.Hermonizedsystem codes and the world custumes organization (WCO)

untuk menetapkan kode kepabeanan Sistem Harmonisasi (Harmonized System) yang spesifik untuk bahan kimia tunggal atau kelompok bahan


(18)

kimia yang tercantum dalam Lampiran III, apabila perlu. Setiap Pihak wajib mensyaratkan bahwa, kapan saja suatu peraturan telah ditetapkan untuk suatu bahan kimia, dokumen pengapalan bahan kimia tersebut memuat kode kepabeanan ketika diekspor.

2. Tanpa mengabaikan persyaratan yang mana pun dari Pihak pengimpor, setiap Pihak wajib mensyaratkan bahwa bahan kimia baik yang tercantum dalam Lampiran III maupun bahan kimia yang dilarang atau yang dibatasi di wilayahnya , apabila diekspor, tunduk pada persyaratan pelabelan yang menjamin ketersediaan informasi yang memadai mengenai risiko dan/atau bahaya bagi kesehatan manusia atau lingkungan hidup, dengan memperhatikan standar internasional yang relevan.

3. Tanpa mengabaikan persyaratan yang mana pun dari Pihak pengimpor, setiap Pihak dapat mensyaratkan bahwa bahan kimia yang dikenai persyaratan pelabelan terhadap lingkungan hidup atau kesehatan di wilayahnya, bila diekspor, dikenai persyaratan pelabelan yang menjamin ketersediaan informasi yang memadai mengenai risiko dan/atau bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, dengan memperhatikan standar internasional yang relevan.

4. Dalam hal bahan kimia yang tercantum dalam ayat (2) yang dimanfaatkan untuk berbagai tujuan kegiatan , setiap Pihak pengpor wajib mensyaratkan bahwa lembar data keselamatan yang mengikuti suatu format internasional yang diakui, menggambarkan informasi yang paling mutakhir yang tersedia, dikirimkan pada setiap pengimpor .


(19)

5. Informasi pada label dan pada lembar data keselamatan harus, sepraktis mungkin, diberikan dalam satu bahasa resmi atau lebih dari Pihak pengimpor.

Mengenai hal ekpor dan impor ini digunakan kata pemberitahuan (notification) dalam ekspor dan tanggapan atau respon dalam impor. Berkaitan dengan tanggapan oleh pihak pengimport yaitu mengenai keputusan yang menunjukkan apakah mereka akan mengetujui atau tidak untuk mengimpor bahan kimia yang tercantum dalam Lampiran III. Hal tersebut dapat dilihat dalam database mengenai tanggapan import,54

Selanjutnya mengenai pemberitahuan eksport yang harus diberitahukan kepada pihak pengimport hal tersebut harus ditandai penerimaan pemberitahuan eksport dengan cara pemberitahuan tersebut harus ditandatangani oleh otoritas nasional yang ditunjuk negara pengimport dan dikirim ke DNA negara pengekspor.

yang didalamnya terdapat bahan kimia, beserta nama negara yang merespon dan keputusan yang diambil oleh negara tersebut.

55

54

Database of Import response, http:/www.Konvensi Rotterdam

/PIC.int/Procedures/ImportResponse/tabib/1162/language/en-US/Default.aspx.diakses pada tanggal 9 November 2013.

55

Export Notifications, Form and Instructions, http://www.Konvensi Rotterdam /PIC.int/Procedures/ExportNotifications/FormandInstructions/tabid/1365/language/en-US/Default.aspx.diakses pada tanggal 9 November 2013.

Dalam konvensi ini juga mengatur mengenai pertukaran informasi bahan kimia dari para pihak sehingga memungkinkan adanya informasi yang merata antara para pihak mengenai bahan-bahan kimia yang diatur dalam


(20)

konvensi ini. Pertukaran informasi dalam konvensi ini diatur dalam ketentuan pasal 14 yaitu:56

1. Setiap Pihak wajib, bila perlu dan berdasarkan tujuan Konvensi ini, memfasilitasi:

a) pertukaran informasi ilmiah, teknis, ekonomi, dan hukum mengenai bahan kimia dalam ruang lingkup Konvensi ini, yang meliputi informasi toksikologi, ekotoksikologi, dan keamanan,

b) ketentuan informasi yang tersedia untuk umum mengenai tindakan pengaturan domestik yang relevan dengan tujuan Konvensi ini, dan

c) ketentuan informasi kepada Para Pihak lain, secara langsung atau melalui Sekretariat, mengenai tindakan pengaturan domestik yang berkenaan dengan pembatasan secara substantif satu penggunaan bahan kimia atau lebih, jika perlu.

2. Para Pihak yang melakukan pertukaran informasi menurut Konvensi wajib melindungi setiap informasi rahasia sebagaimana disetujui bersama.

3. Informasi berikut tidak boleh dianggap sebagai rahasia untuk tujuan Konvensi ini:

a) informasi yang tercantum dalam Lampiran I dan IV, yang diserahkan masing-masing sesuai dengan Pasal 5 dan 6,

b) informasi yang dimuat dalam lembar data keselamatan yang tercantum dalam Pasal 13 ayat (4),

56

Pasal 14 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(21)

c) tanggal daluwarsa bahan kimia,

d) informasi mengenai tindakan kehati-hatian, yang meliputi klasifikasi bahaya, sifat risiko dan saran keselamatan yang relevan, dan

e) hasil ringkasan uji toksikologi dan ekotoksikologi. (uji lab/cek RPP)

4. Tanggal produksi bahan kimia secara umum tidak boleh dipertimbangkan sebagai rahasia untuk tujuan Konvensi ini.

5. Pihak mana pun yang membutuhkan informasi mengenai perpindahan transit melalui wilayah nya dari bahan kimia yang terdaftar dalam Lampiran III dapat melaporkan kebutuhannya kepada Sekretariat, yang wajib menginformasikan kepada semua Pihak sebagaimana mestinya.

Mengenai pelaksanaan konvensi diatur dalam pasal 15 sebagai berikut :57

1. Setiap pihak wajib mengambil tindakan yang mungkin perlu untuk membentuk dan memperkuat infrastruktur dan kelembagaan nasionalnya untuk pelaksanan yang efektif dari Konvensi ini. Tindakan tersebut dapat meliputi, sebagaimana diperlukan, adopsi atau amendemen dari tindakan legislatif dan administratif nasional dan dapat pula meliputi:

Pelaksanaan Konvensi

a) pembentukan daftar dan basis data nasional yang meliputi informasi keamanan untuk bahan kimia,

b) dorongan inisiatif oleh industri untuk meningkatkan keamanan bahan kimia, dan

57

Pasal 15 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(22)

c) peningkatan persetujuan sukarela, dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 16.

2. Setiap pihak wajib menjamin, sejauh dapat terlaksana, bahwa masyarakat mempunyai akses yang memadai untuk informasi mengenai penanganan bahan kimia dan pengelolaan kecelakaan serta mengenai alternatif yang lebih aman bagi kesehatan manusia atau lingkungan hidup dari bahan kimia yang tercantum dalam Lampiran III.

3. Para Pihak bersepakat untuk bekerja sama, secara langsung atau, bila perlu, melalui organisasi internasional yang kompeten, dalam pelaksanaan Konvensi ini pada tingkat subregional, regional, dan global.

4. Tidak ada sesuatu dalam Konvensi ini boleh ditafsirkan sebagai pembatasan hak dari Para Pihak untuk mengambil tindakan yang kesehatan manusia dan lingkungan hidup jauh lebih terlindungi daripada tindakan yang ditetapkan dalam Konvensi ini, dengan syarat bahwa tindakan tersebut konsisten dengan ketentuan Konvensi ini dan sesuai dengan hukum internasional.

Jadi, dalam pelaksanaan konvensi ini, para pihak perlu untuk memperkuat infrastruktur dalam domestik masing-masing negara, adanya jaminan para pihak dalam melaksanakan konvensi dan juga melakukan kerjasama.Dalam melaksanakan konvensi ini para pihak mempunyai hak untuk melakukan tindakan yang lebih dalam kaitan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, tetapi tetap dengan berdasarkan tidak melanggar ketentuan konvensi ini maupun hukum Internasional.


(23)

B. Mekanisme Untuk Formulasi Pestisida Sangat Berbahaya

Dalam rangka usaha meningkatkan produksi pertanian, Pestisida mempunyai peranan yang sangat penting.58 Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:59

1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian; 2. Memberantas rerumputan;

3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;

4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk;

5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;

6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;

7. Memberantas atau mencegah binatang binatang dan jasadjasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;

8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

58

Bagian Menimbang “ Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.”

59

Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida


(24)

Mekanisme untuk Formulasi Pestisida Sangat Berbahaya diatur dalam Pasal 6 Konvensi Rotterdam Tahun 1998 yaitu:60

1. Pihak manapun yang merupakan negara berkembang atau negara dengan ekonomi transisi yang sedang mengalami masalah yang diakibatkan oleh formulasi pestisida yang berbahaya dalam kondisi penggunaan di teritorialnya, dapat mengusulkan kepada Sekretariat daftar formulasi pestisida yang berbahaya. Dalam mengembangkan suatu usulan, Pihak dapat mempergunakan keahlian teknis dari sumber yang relevan. Usulan yang diberikan menurut Pasal 6 ayat (1) wajib meliputi dokumen memadai yang berisi informasi berikut:61

a. Nama formulasi pestisida berbahaya;

b. Nama bahan atau bahan-bahan aktif dalam formulasi; c. Jumlah relatif dari setiap bahan aktif dalam formulasi; d. Jenis formulasi;

e. Nama dagang dan nama produsen, jika ada;

f. Pola penggunaan formulasi yang umum dan diakui di Pihak yang mengusulkan;

60

Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

61

Lampiran III bagian 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(25)

g. Suatu deskripsi yang jelas dari suatu kejadian yang berhubungan dengan masalah tersebut, yang meliputi pengaruh yang merugikan dan cara formulasi tersebut digunakan;

h. Setiap pengaturan, administratif atau tindakan lainnya yang diambil, atau dimaksudkan untuk diambil, oleh Pihak yang mengusulkan sebagai tanggapan atas peristiwa tersebut.

2. Sekretariat wajib, sesegera mungkin, dan dalam setiap waktu tidak melewati enam bulan setelah penerimaan suatu usulan berdasarkan ayat (1), memeriksa apakah usulan memuat informasi yang disyaratkan dalam bagian 1 Lampiran IV. Bila usulan memuat informasi yang disyaratkan, Sekretariat wajib segera meneruskan kepada semua Pihak suatu ringkasan informasi yang diterima. Bila usulan tidak memuat informasi yang disyaratkan, Sekretariat wajib menginformasikan Pihak pengusul sebagaimana mestinya.

3. Sekretariat wajib mengumpulkan informasi tambahan yang tercantum dalam bagian 2 Lampiran IV mengenai usulan yang diteruskan berdasarkan ayat (2). Adapun informasi yamg relevan yang berhubunngan dengan formulasi meliputi: 62

a. sifat fisiko-kimia, toksikologi dan ekotoksikologi dari formulasi tersebut;

62

Lampiran III bagian 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(26)

b. keberadaan penanganan atau pembatasan pemakai di Negara lain;

c. informasi mengenai kejadian yang berhubungan dengan formulasi di Negara-negara lain;

d. informasi yang diberikan oleh Pihak lain, organisasi internasional, organisasi nonpemerintah, atau sumber lain yang relevan, baik nasional atau internasional;

e. evaluasi risiko dan/atau bahaya, apabila ada;

f. indikasi, jika ada, dari tingkat penggunaan formulasi, seperti jumlah pendaftaran atau produksi atau kuantitas penjualan; g. formulasi lain dari pestisida yang dipertanyakan, dan kejadian,

bila ada, yang berhubungan dengan formulasi ini; h. praktek alternatif pengendalian hama;

i. informasi lain yang oleh Komisi Pengkaji Bahan Kimia dapat diidentifikasi relevan.

4. Bila persyaratan ayat (2) dan ayat (3) di atas telah dipenuhi mengenai formulasi pestisida tertentu yang berbahaya, Sekretariat wajib meneruskan usulan dan informasi terkait kepada Komisi Pengkaji Pengkaji Bahan Kimia.

5. Komisi Pengkaji Bahan Kimia wajib mengkaji informasi yang diberikan dalam usulan dan informasi tambahan yang terkumpul dan, sesuai dengan kriteria yang dicantumkan dalam bagian 3 Lampiran IV, merekomendasikan kepada Konferensi Para Pihak apakah formulasi


(27)

pestisida yang berbahaya yang dipertanyakan seharusnya tunduk pada prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dan, sebagaimana mestinya, dicantumkan dalam Lampiran III. Dalam meninjau usulan yang disampaikan oleh Sekretariat menurut Pasal 6 ayat (5), Komisi Pengkaji Bahan Kimia wajib mempertimbangkan:63

a. bukti yang dapat dipercaya yang menunjukan bahwa penggunaan formulasi, sesuai dengan penggunaan yang umum atau praktek yang diakui oleh Pihak yang mengusulkan, yang dihasilkan dalam laporan kejadiaan tersebut;

b. relevansi dari kejadian tersebut kepada negara lain dengan kesamaan iklim, kondisi dan pola penggunaan formulasi;

c. keberadaan penanganan atau pembatasan pemakai yang melibatkan teknologi atau teknik yang mungkin penerapannya tidak secara layak atau secara luas berlaku di negara yang kekurangan infrastruktur yang dibutuhkan;

d. signifikansi dari pengaruh yang dilaporkan dalam hubungannya dengan kuantitas formulasi yang digunakan;

e. penyalahgunaan yang disengaja tidak dengan sendirinya merupakan suatu alasan yang memadai untuk mendaftarkan suatu formulasi dalam Lampiran III.

63

Lampiran III bagian 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(28)

BAB IV

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ROTTERDAM TENTANG PROSEDUR PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI AWAL UNTUK

BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA BERBAHAYA TERTENTU DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A.Ketentuan Dasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H mengamanatkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan serta melindungi kesehatan manusia dan/atau lingkungan hidup dari ancaman kesehatan terutama dari dampak penggunaan bahan kimia.Untuk itu, penggunaan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu harus diatur.64

Perdagangan global dalam bidang industri bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun, saat ini tumbuh pesat dalam rangka memenuhi kebutuhan perindustrian dan pertanian. Perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu tetap berjalan karena memberikan keuntungan dan masih diperlukan terutama oleh negara berkembang untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk kegiatan industri dan pertanian. Namun, Indonesia sebagai negara berkembang masih mempunyai kesulitan dalam rangka melakukan pengawasan serta untuk menetukan bahan

64

Penjelasan bagian Umum Pengesahan Rotterdam Convention on the prior informed consent procedure for Certain hazardous chemicals and pesticides in international trade (konvensi Rotterdam tentang prosedur persetujuan atas dasar informasi awal untuk bahan Kimia dan pestisida berbahaya tertentu dalam perdagangan internasional)


(29)

kimia dan pestisida yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Untuk itu, dianggap perlu adanya suatu komitmen yang mengatur prosedur persetujuan atas dasar informasi awal dalam perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu yang diwujudkan dalam Rotterdam for Certain Hazardous Chemicals dan Pesticides in International Trade (Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu dalam Perdagangan Internasional) yang selanjutnya disebut sebagai Konvensi Rotterdam.65

Pemerintah Negara Indonesia, sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial. Dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Rotterdam ini pada tanggal 11 September 1998 dan mengesahkannya menjadi undang-undang pada tanggal 8 Mei 2013.66

Konvensi Rotterdam terdiri atas 30 pasal dan 5 lampiran. Materi pokok Konvensi Rotterdam mengatur antara lain:67

65

Ibid.

66

Ibid .


(30)

1. Konvensi ini berlaku untuk bahan kimia yang dilarang atau dibatasi dan formulasi pestisida yang berbahaya.

2. Penunjukan Otoritas Nasional yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan fungsi administratif secara perorangan

3. Kewajiban para pihak terkait ekspor dan impor bahan kimia yang tunduk pada prosedur pemberitahuan atas dasar informasi awal.

4. Notifikasi ekspor yang wajib diberikan oleh negara pengekspor kepada negara pengimpor

5. Informasi mengenai bahan kimia yang diekspor

6. Pertukaran informasi mengenai bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu

7. Bantuan teknis

Dengan penandatanganan konvensi tersebut, maka memberikan landasan hukum yang kuat kepada Indonesia sebagai pengguna dan penghasil bahan kimia dan pestisida dalam melakukan pengawasan terhadap lalu lintas perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu serta meningkatkan kerja sama antarnegara dalam perdagangan internasional dengan memfasilitasi pertukaran dan penyediaan informasi bagi proses pengambilan keputusan ekspor dan impor bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu. Dan dengan penandatanganan konvensi ini juga bertujuan untuk meningkatkan upaya tanggung jawab bersama dan kerja sama para pihak dalam perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida bebahaya tertentu untuk meningkatkan


(31)

perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup serta menunjang penggunaannya yang berwawasan lingkungan.68

Konvensi Rotterdam ini bertujuan untuk meningkatkan upaya tanggung jawab bersama dan kerja sama antarnegara dalam perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup serta meningkatkan penggunaan bahan kimia dan pestisida yang ramah lingkungan melai pertukaran informasi dan proses pengambilan keputusan ekspor dan impor. Adapun manfaat pengesahan Konvensi Rotterdam ini bagi Indonsia, antara lain:69

1. Mendorong peran aktif Indonesia dalam pengambilan keputusan dengan negara pihak untuk menentukan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu yang wajib mengikuti prosedur persetujuan atas dasar informasi awal.

2. Melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif perdangangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu melalui pengaturan prosedur persetujuan atas dasar informasi awal sehingga terhindar dari pemakaian yang berlebihan terhadap bahan kimia dan pestisida berbahaya tersebut yang dapat merugikan kesehatan, kecerdasan, dan kualitas masyarakat Indonesia.

68

Ibid

69

Penjelasan Undang-Undang No 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan rotterdam convention on the prior informed consent procedure for Certain hazardous chemicals and pesticides in international trade (konvensi Rotterdam tentang prosedur persetujuan atas dasar informasi awal untuk bahan Kimia dan pestisida berbahaya tertentu dalam perdagangan internasional).


(32)

3. Memperkuat regulasi dan kebijakan nasional terkait pengawasan dan prosedur pedangangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu.

4. Terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan lingkungan akibat penggunaan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu yang dilarang dan dibatasi.

5. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kompetensi sumber daya manusia dalam melakukan pengawasan serta kemampuan untuk pengambilan keputusan impor dan ekspor bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu. 6. Memperoleh akses untuk melakukan pertukaran informasi secara mudah

mengenai bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu yang dilarang dan yang dibatasai dari semua negara pihak.

7. Memperoleh peluang kerja sama dalam hal bantuan pendanaan dan alih teknologi untuk pengembangan infrastruktur dan kapasitas pelaksanaan konvensi.

8. Menggalang kerja sama internasional untuk mencegah dan mengawasi perdagangan ilegal bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu.

9. Mempertegas posisi Indonesia dalam dunia intenasional dalam pengelolaan bahan kimia beracun yang berwawasan lingkungan hidup.

B.Implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 di Indonesia

Pada bulan Mei 2012, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, melakukan kunjungan ke lapangan terkait kasus penemuan kontainer impor besi tua yang berasal dari Irlandia, Bahrain, Inggris,


(33)

Afrika Selatan dan Perancis diduga terkontaminasi sampah, limbah dan B3 di Pelabuhan Belawan, Medan. Peninjauan ini merupakan tindak lanjut penanganan kejadian berdasarkan Laporan Kejadian (LK) dari Kantor Pelayanan Utama (KPU) Tipe Madya Bea dan Cukai Pelabuhan Belawan, Medan pada tanggal 11 April 2012, dimana terdapat Importir Produsen (IP) limbah non-B3 yang mengimpor limbah non-B3 yang diduga mengandung bahan berbahaya dan beracun.70

Pihak Bea dan Cukai Pelabuhan Belawan, Medan selanjutnya menyurati Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang ditujukan kepada Deputi Bidang Pengelolaan B3 dan Sampah yang intinya meminta bantuan pemeriksaan terhadap kontainer-kontainer tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan secara visual didapati beberapa kontainer yang berisi limbah non-B3 dalam kondisi yang tidak bersih dan terdapat limbah yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No, 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta ketentuan atau persyaratan sehubungan dengan izin impor bahan berbahaya dan beracun yang diatur dalam Konvensi Rotterdam 1998.71

Deputi Bidang Pengelolaan B3 dan Sampah melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup bersama-sama dengan PPNS Bea dan Cukai selanjutnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan terhadap kontainer-kontainer tersebut dengan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (PULBAKET) dan pengambilan sampel limbah yang mengandung B3.

71


(34)

Pelaksanaan PULBAKET ini melibatkan importir produsen (perusahaan) sebagai saksi.Bila hasil analisa laboratorium menyatakan bahwa yang didalam kontainer-kontainer tersebut merupakan limbah B3, maka pihak importir produsen (perusahaan) dapat dugaan melakukan tindakan memasukkan limbah B3 yang dilarang oleh Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.72

Disisi lain berdasarkan Undang-Undang No 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional, bila negara tujuan menolak limbah yang masuk kenegaranya, maka focal point Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup memberitahukan kepada negara asal limbah yang intinya akan mengirim kembali limbah tersebut kenegara asal karena sebelumnya tidak ada kesepakatan mengenai ekspor impor antara Indonesia dengan negara-negara tersebut. Nantinya pihak focalfoint negara asal limbah memerintahkan pihak mengirim limbah untuk menarik kembali limbah yang dikirim ke negara tujuan (Indonesia).73

Dengan masuknya kontainer-kontainer yang mengandung B3 tersebut maka telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pelarangan masuknya limbah B3 ke NKRI berdasarkan Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No 10

72

Ibid .

73


(35)

Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional. Di tingkat internasional, maka terjadinya impor ilegal ini akan diinformasikan oleh Bea Cukai Indonesia kepada Bea Cukai di negara asal. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di NKRI, maka pihak importir dapat dikenakan sanksi pidana dan kewajiban mere-ekspor ke negara asal.74

C.Analisis Terhadap Implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 di Indonesia

Indonesia pada prinsipnya selalu konsisten menolak masuknya limbah B3 yang berasal dari negara asing hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya diskriminasi dalam membatasi perdagangan limbah B3 mengingat limbah B3 memang terbukti secara nyata tidak hanya berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup namun juga bagi kelestarian lingkungan.

Kasus penemuan kontainer impor besi tua yang berasal dari Irlandia, Bahrain, Inggris, Afrika Selatan, dan Perancis yang diduga akan dibuang di Pelabuhan Belawan, Medan adalah termasuk dari perdagangan limbah B3 yang berbahaya bagi lingkungan sehingga termasuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

74


(36)

Dalam Pasal 2 huruf (f) UU Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional disebutkan defenisi dari ekspor dan impor adalah dalam pengertian mereka masing-masing, perpindahan suatu bahan kimia dari satu pihak ke pihak yang lain, tetapi tidak termasuk kegiatan transit.75

Didalam penyelesaian kasus ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional mengamanatkan agar diselesaikan melalui perundingan atau cara damai lain yang dipilih

Dari defenisi tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan impor yang dilakukan dalam kasus tersebut jelas melanggar Undang-Undang Nomor 10 tahun 2013 oleh karena kegiatan impor dilakukan tidaklah dilakukan dari satu pihak ke pihak yang lain melainkan dilakukan hanya secara sepihak tanpa adanya kesepakatan perdagangan.

76

. Didalam penerapannya Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menginstruksikan agar importir berkewajiban mere-ekspor ke negara asal77

75

Pasal 2 huruf (f) UU Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional

76

Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional

.


(37)

Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup adalah upaya dalam penegakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional. Hal tersebut dilakukan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dijadikan tempat pembuangan limbah ataupun limbah B3 dan juga untuk memberi efek jera terhadap pelanggaran impor limbah B3.


(38)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis mengambil kesimpulan, sebagai berikut:

1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat masalah limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tidak saja berskala nasional tetapi juga internasional dan menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia seperti teknologi, perdagangan, kesehatan, kebijaksanaan pemerintah dan hukum, maka diperlukan kerjasama negara-negara dan peraturan perundang-undangan untuk mengatasinya. Adapun berbagai instrumen yang mengatur Bahan Berbahaya dan Beracun meliputi: Konvensi Basel Tahun 1989, Deklarasi Rio Tahun 1992, Konvensi Stokholm 2001, Konvensi Rotterdam 1998 yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya


(39)

Tertentu Dalam Perdagangan Internasional dan Peraturan lainnya yang berkaitan dengan Bahan Beracun dan Berbahaya.

2. Adapun mekanisme untuk bahan kimia yang dilarang atau dibatasi menjelaskan bahwa setiap pihak yang telah mengadopsi suatu ketetapan peraturan final wajib memberitahukan Sekretaris secara tertulis dari tindakan tersebut. Sekretariat wajib, sesegera mungkin, dan dalam setiap waktu tidak melewati enam bulan setelah menerima notifikasi berdasarkan ayat (1) dan (2), memeriksa apakah notifikasi memuat informasi yang diisyaratkan dalam Lampiran I. Sekretariat wajib setiap enam bulan mengkomunikasikan kepada Para Pihak suatu ringkasan informasi yang diterima sesuai dengan ayat (1) dan (2), yang meliputi informasi mengenai notifikasi yang tidak memuat semua informasi yang disyaratkan dalam Lampiran I. selanjutnya Sekretariat wajib meneruskannya pada Komisi Pengkaji Bahan Kimia. Selanjutnya mekanisme untuk formulasi pestisida sangat berbahaya menjelaskan bahwa Pihak manapun yang merupakan negara berkembang atau negara dengan ekonomi transisi yang sedang mengalami masalah yang diakibatkan oleh formulasi pestisida yang berbahaya dalam kondisi penggunaan di teritorialnya, dapat mengusulkan kepada Sekretariat daftar formulasi pestisida yang berbahaya.Sekretariat wajib, sesegera mungkin, dan dalam setiap waktu tidak melewati enam bulan setelah penerimaan suatu usulan berdasarkan ayat (1), memeriksa apakah usulan memuat informasi yang disyaratkan dalam bagian 1 Lampiran IVSekretariat wajib mengumpulkan informasi tambahan yang tercantum dalam bagian 2 Lampiran IV mengenai usulan yang


(40)

diteruskan berdasarkan ayat (2).Sekretariat wajib meneruskan usulan dan informasi terkait kepada Komisi Pengkaji Pengkaji Bahan Kimia.

3. Penandatanganan konvensi Rotterdam memberikan landasan hukum yang kuat kepada Indonesia sebagai pengguna dan penghasil bahan kimia dan pestisida dalam melakukan pengawasan terhadap lalu lintas perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu serta meningkatkan kerja sama antarnegara dalam perdagangan internasional dengan memfasilitasi pertukaran dan penyediaan informasi bagi proses pengambilan keputusan ekspor dan impor bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu. Terkait kasus penemuan kontainer impor besi tua yang berasal dari Irlandia, Bahrain, Inggris, Afrika Selatan dan Perancis yang terjadi di Pelabuhan Belawan, Medan pada bulan Mei Tahun 2012 dimana, berdasarkan hasil pemeriksaan secara visual didapati beberapa kontainer yang berisi limbah non-B3 dalam kondisi yang tidak bersih dan terdapat limbah yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No, 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta ketentuan atau persyaratan sehubungan dengan izin impor Bahan Berbahaya dan Beracun yang diatur dalam Konvensi Rotterdam 1998. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di NKRI, maka pihak importir dapat dikenakan sanksi pidana dan kewajiban mere-ekspor ke negara asal.Didalam penyelesaian kasus ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam


(41)

Perdagangan Internasional mengamanatkan agar diselesaikan melalui perundingan atau cara damai lain yang dipilih. Didalam penerapannya Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menginstruksikan agar importir berkewajiban mere-ekspor ke negara asal

B. Saran

Setelah melihat berbagai kondisi yang ada, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Mengingat pentingnya perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan kimia beracun dan berbahaya tertentu maka penting untuk meningkatkan upaya tanggung jawab bersama dan kerja sama Para Pihak dalam perdagangan internasional yang berwawasan lingkungan hidup, dengan memfasilitasi pertukaran informasi tentang karakteristik bahan kimia berbahaya tertentu, dengan menyediakan informasi bagi proses pengambilan keputusan nasional mengenai impor dan ekspor, dan menyebarluaskan keputusan tersebut kepada Para Pihak.

2. Mengingat bahwa perdagangan bahan beracun dan berbahaya semakin meningkat di berbagai negara maka sangat penting untuk mengetahui sistem mekanisme untuk bahan kimia yang dilarang atau dibatasi dan sistem mekanisme formulasi pestisida sangat berbahaya agar tercipta perdagangan internasional yang transparan.

3. Mengingat bahwa telah disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida


(42)

Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional maka Pemerintah diharapkan dapat mengimplementasikan peraturan tersebut agar tidak terjadi perdagangan Internasional yang ilegal yang dapat merugikan negara Indonesia.


(43)

BAB II

INSTRUMEN HUKUM INTERNATIONAL YANG MENGATUR TENTANG BAHAN BERACUN DAN BERBAHAYA

A. Konvensi Basel Tahun 1989 ( Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal)

Konvensi Basel pertama kali diluncurkan pada tanggal 22 Maret 1989 dan mulai berlaku sejak 5 Mei 1992. Konvensi ini merupakan perangkat peraturan internasional pertama yang mengatur permasalahan perpindahan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya lintas batas secara komprehensif.14

Untuk memenuhi tujuan diatas, maka tindakan-tindakan yang perlu dilakukan antara lain:

Tujuan utama dari konvensi ini diatur dalam pembukaannya yaitu melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dengan mengatur dan mengontrol perpindahan lintas batas negara dari limbah bahan-Bahan Beracun dan Berbahaya sampai ke batas minimum. Hal ini tercantum dalam pembukaan konvensi pada alinea ketiga yaitu:

Mindful also that the most effective way of protecting human health and the environment from the dangers posed by such wastes is the reduction of their generation to a minimum in terms of quantity and0or hazard potential.

14

Anindito, Danar, Tesis: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor Impor Limbah B3 yang disepakati, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012. Hlm. 29.


(44)

1. Mengurangi limbah berbahaya dan meningkatkan metode pembuangan sampah yang aman terhadap lingkungan.

2. Pembatasan perpindahan limbah lintas batas dengan prinsip yang aman terhadap lingkungan.

3. Meregulasi suatu sistem dalam hal perpindahan limbah lintas batas.15 Pada mulanya limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) lebih dianggap sebagai masalah negara-negara maju, akan tetapi pada perkembangannya kemudian, ketika limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) menjadi salah satu objek atau komoditi yang dapat diperjualbelikan, banyak negara maju menjadikan negara-negara berkembang yang miskin sebagai sasaran tempat pembuangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) baik secara sah dan tidak sah, sehingga limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) tidak lagi dianggap sebagai masalah nasional dan regional, tetapi menjadi masalah global.16

Untuk mengantisipasi perkembangan limbah bahan beracun dan berbahaya, The United Nations Environment Programme (UNEP) memprakarsai penyusunan konvensi global tentang pengendalian dan pengangkutan lintas batas dan pembuangan limbah bahan beracun dan berbahaya. Pada tanggal 22 Maret 1989, The Convention On The Control Of Transboundary Movements Of Hazardous Wates And Their Disposal juga disebut dengan The Basel Convention ditandatangani oleh negara peserta konvensi itu.17

15

Pendahuluan Konvensi Internasional Mengenai Limbah B3.

16

Mostafa K.Tolba, “The Global Agenda and the Hazardous Wastes Challenge” , Marine Policy Vol 14:3,1990, h.205;W.L.Long, (1990), “Economic Aspect of Transport and Disposal of Hazardous Wastes”, Marine Policy Vol. 14:3, 1990, hlm 198.

17

Lihat artikel 21 The Basel Convention on the Control of Tranboundary Movements Of Hazardous Wates And Their Disposal.


(45)

Negara pihak diminta untuk mengambil langkah yang tepat untuk menjamin pengurangan generasi limbah berbahaya ke tingkat minimum.Kewajiban ini, bagaimanapun, tidak mutlak, sosiologis, aspek teknologi dan aspek ekonomi dapat deperhitungkan (Pasal 4, ayat 2 (a)). Negara pihak harus bekerja sama dalam pengembangan dan pelaksanaan teknologi yang menghasilkan limbah secara rendah dengan tujuan untuk mengurangi sejauh mungkin produksi limbah berbahaya (Pasal 10, ayat 2 (c)). Setiap pihak harus menjamin ketersediaan fasilitas pembuangan yang terletak di dalamnya serta ekspor limbah harus diminimalkan.18

Pihak harus menyaratkan bahwa limbah berbahaya yang mengalami perpindahan lintas batas dikelola secara ramah lingkungan, dimanapun tempat pembuangan mereka.Kewajiban untuk memastikan pengelolaan lingkungan limbah berbahaya dengan ramah lingkungan diutamakan untuk negara yang menghasilkan, dan tidak dapat dialihkan ke negara impor atau transit. Negara penghasil tidak diizinkan mengekspor limbah berbahaya jika terdapat alasan bahwa tidak ada jaminan akan terjadi pengelolaan limbah yang ramah lingkungan di Negara prospektif impor. Demikian juga, negara harus melarang impor limbah berbahaya ke wilayahnya jika memiliki alasan bahwa mereka tidak akan mampu mengelola secara ramah lingkungan.19

Hak kedaulatan setiap Negara untuk melarang impor limbah berbahaya baik hanya transit ataupun untuk pembuangan disebut secara tegas dalam pembukuan.Setiap pihak yang melaksanakan hak ini harus memberitahukan pihak

18

Anindito Danar, Loc. Cit. Hlm. 29.

19


(46)

lainnya, melalui Sekretariat Konvensi tentang keputusannya.Tidak ada negara pihak dapat mengizinkan limbah berbahaya untuk dikirim kepada pihak yang telah melarang impor tersebut.Negara pihak juga harus melarang ekspor limbah berbahaya kepada sekelompok negara yang tergabung dalam perhimpunan ekonomi dan/atau politik yang melarang impor limbah, serta perundang-undangan nasional yang melarang impor tersebut.

Pada pasal 4 ayat 5 dari konvensi menetapkan bahwa negara pihak tidak dapar mengizinkan ekspor limbah berbahaya ke suatu negara yang bukan pihak untuk konvensi, atau impor limbah berbahaya dari negara non-pihak. Konsep larangan terbatas dimodifikasi oleh Pasal 11, dimana melalui perjanjian multilateral, bilateral, atau regional menyetujui perpindahan lintas batas limbah berbahaya dengan negara pihak lainnya ataupun dengan negara non-pihak, dengan jalan perjanjuian tersebut tidak menyimpang dari yang ditentukan konvensi Basel. Jika kondisi ini terpenuhi, ketentuan-ketentuan Konvensi Basel tidak mempengaruhi perpindahan lintas batas yang dilakukan sesuai dengan instruksi dalam perjanjian tersebut.Sekretariat Konvensi Basel harus diberitahu mengenai perjanjian yang dilaksanakan oleh negara-negara pihak tersebut.20

Dalam proses perpindahan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya antar negara, berlaku prinsip Prior Informed Consent (PIC). Prinsip PIC ini merupakan prinsip yang mengharuskan tiap persetujuan atas perdagangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya didasarkan atas segala keterangan yang telah diperoleh sebelumnya. Jadi negara pihak harus mengetahui terlebih dahulu berbagai hal

20


(47)

terkait limbah Bahan Beracun dan Berbahaya yang akan dikirimkan baik jenis limbahnya, asalnya, pihak operatornya, tempat pembuangannya dan lain-lain.21 Salah satu ketentuan dalam konvensi ini adalah bahwa, jumlah limbah Bahan Beracun dan Berbahaya harus dikurangi sampai sekecil mungkin sejak tahap dulu (upstream) dalam proses industry melalui pemakaian teknologi bersih (clean technology).22

B. Deklarasi Rio Tahun 1992 (Rio Declaration on Environtment and Development)

Pada tahun 1992 di Rio de Janeiro berlangsung konferensi PBB yang membahas lingkungan dan pembangunan yang berhasil menghasilkan Rio Declaration on Environment and Development atau Deklarasi Rio. 23

1. Pengawasan sistematis pada pola produksi, khususnya pada produksi komponen beracun seperti timbal dalam bensin atau limbah radioaktif

Deklarasi Rio ini dikenal juga dengan KTT Bumi dimana ada 172 negara yang berpartisipasi dengan mengirimkan 108 kepala negara atau kepala pemerintahannya disertai pula dengan kehadirann 2.400 perwakilan dari organisasi non-pemerintah dan 17.000 orang lainnya pada kegiatan pararel organisasi non-pemerintah Forum Global yang memiliki status konsultatif. Berbagai isu yang dibahas dalam konferensi ini adalah:

21

Lihat Katharina Kummer (1992). “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous Wastes: the 1989 Basel Convention,” International and Comparative Law Quarterly, 41, Hlm. 547

22

B. Lalonde, “Reduction of Wates at Source”, Marine Policy Vol.14;3, hlm 224-225

23

Anindito, Danar, Tesis: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor Impor Limbah B3 yang disepakati, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012. Hlm. 26.


(48)

2. Sumber-sumber energi alternatif yang menggantikan penggunaan bahan bakar fosil yang terkait dengan perubahan iklim global

3. Ketergantungan baru pada sistem transportasi publik untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan, kemacetan di kota-kota dan masalah kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara dan asap.

4. Kelangkaan air

Konferensi Rio 1992 ini menghasilkan beberapa dokumen sebagai berikut:24

1. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan 2. Agenda 21

3. Prinsip-prinsip Hutan

Selain itu terdapat dua perjanjian yang diperkenalkan dan dibuka untuk ditandatangani oleh para negara peserta, yaitu:

1. Konvensi Keanekaragaman Hayati

2. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim

Adanya konferensi ini tidak terlepas dari adanya keinsyafan bahwa dalam jangka panjang pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban untuk melindungi lingkungan demi tercapainnya pembangunan yang berkelanjutan.

24


(49)

Deklarasi yang dihasilkan ini sendiri bersifat sebagai giudelines yang memberikan panduan kepada para negara peserta untuk memenuhi prinsip prinsip yang dihasilkan oleh deklarasi Rio ini demi tercapainya tujuan meningkatkan kerjasama internasional dalam upaya menjaga kelangsungan lingkungan hidup global.Melalui deklarasi ini pula disepakati bahwa tiap individu berhak memiliki akses atas limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan aktivitas terkait yang berlangsung di komunitasnya serta memiliki peluang untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembuatan keputusan.25

Kemudian prinsip berikutnya yang berkaitan dengan permasalahan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya adalah prinsip ke-15 yang juga menjadi landasan bagi salah satu prinsip yang selama ini dikenal luas dalam hukum lingkungan internasional, yakni prinsip pencegahan. Prinsip ke-15 memiliki ketentuan sebagai berikut:

Prinsip ke-14 dari Deklarasi Rio mengharuskan negara-negara untuk mencegah atau menghalangi redaksi dan perpindahan dari substansi yang berbahaya seperti limbah Bahan Beracun dan Berbahaya ke negara lain. Prinsip ke-14 itu berbunyi:

States should effectively co-operate to discourage or prevent the relocation and transfer to other States of any activities and substances that cause severe environmental degradation or are found to be harmful to human health.

25

Michael McCoy dan Patrick McCully, The Road From Rio : An NGO Action Guide to Environmental and Development, (WISE : Amsterdam, 1993), Hlm. 21.


(50)

In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures toprevent environmental degradation.26

Untuk merealisasikan Deklarasi Rio maka dibuatlah agenda bernama Agenda 21 yang mencerminkan consensus global dan komitmen politik pada taraf tertinggi dalam hal kerjasama lingkungan dan pembangunan.Agenda ini menitikberatkan pada peran pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui kerjasama antar bangsa dan dengan lembaga-lembaga internasional, serta melibatkan partisipasi mesyarakat dan LSM seluas-luasnya.27Adapun beberapa kebijakan yang dirumuskan dalam Agenda 21 yang berkaitan dengan limbah berbahaya, antara lain:28

1. Mengharuskan dan membantu kalangan industri melakukan inovasi dalam metode produksi yang lebih bersih dan teknologi pencegahan serta daur ulang.

2. Mendorong penghapusan secara bertahap proses-proses yang menghasilkan resiko tinggi karena adanya limbah-limbah yang berbahaya.

26

Ibid. Hlm. 26.

27

Michael Keating diterjemahkan Loeky S. Jasin Rahman, “ Bumi Lestari” dengan judul asli” Agenda for Change”’ (KONPHALINDO: Jakarta, 1994), Hlm.1.

28


(51)

3. Membebani para produsen dengan tanggungjawab untuk melakukan pembuangan limbah yang mereka hasilkan dengan cara yang ramah lingkungan

4. Membangun pusat-pusat penanganan limbah berbahaya di tingkat nasional ataupun regional. Kemudian untuk kalangan industri diwajibkan menangani, mendaur ulang, memakai ulang, dan membuang limbahnya di atau didekat tempatnya dihasilkan.

5. Pemberian bantuan teknis kepada negara-negara berkembang dalam upaya menangani limbah atau mempermudah negara-negara tersebut mengembalikan bahan radioaktif yang telah terpakai kepada pemasoknya. 6. Tidak mengekspor limbah berbahaya ke negara-negara yang melarang

pemasukan limbah tersebut.

7. Menetapkan program menyangkut hak masyarakat untuk mengetahui peredaran bahan kimia berbahaya dengan menyediakan informasi tentang emisi zat beracun tahunan yang rutin maupun emisi yang tidak sengaja terjadi.

8. Memastikan bahwa pengelolaan bahan kimia beracun di satu negara tidak kurang ketatnya dengan di negara lain.

9. Mengupayakan penyimpanan, pengelolaan, transportasi dan pembuangan limbah berbahaya dengan aman.


(52)

C. Konvensi Rotterdam 1998 (Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedur for Certain Hazardous Chemical and Pestisides in Internasional Trade)

Perkembangan pembangunan diiringi dengan adanya peningkatan dalam aspek perekonomian salah satunya peningkatan sektor perindustrian dan pertanian.Dalam mendukung sektor perindustrian dan pertanian terdapat banyak hal yang berkaitan salah satunya terhadap penggunaan berupa bahan kimia dan pestisida baik dalam perindustrian dan pertanian ataupun penggunaan lainnya. Keadaan tersebut menimbulkan kondisi bahwa negara yang satu dan yang lain perlu untuk memenuhi kebutuhan bahan kimia dan pestisida tersebut tidak hanya dari produksi domestiknya sendiri tetapi juga dari perdagangan dengan negara lain.

Mengingat bahan kimia dan pestisida merupakan salah satu yang dapat berpotensi menimbulkan bahaya-bahaya bagi kesehatan manusi dan lingkungan untuk itu diperlukan informasi terhadap bahan kimia tersebut.Dalam hal ini, bagaimana pengaturan dalam hal kerjasama perdagangan internasional negara-negara dalam ekspor-impor bahan kimia dan pestisida berbahaya dan adanya saling tukar informasi terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor-impor kerjasama perdagangan internasional tersebut.

Saat ini pengaturan dalam dunia internasional mengenai kesepakatan tukar-menukar informasi terlebih dahulu atau yang dikenal konvensi Rotterdam/PIC (Prior Informed Consent) atau konvensi Rotterdam tentang prosedur persetujuan atas dasar informasi awal untuk bahan kimia dan pestisida


(53)

berbahaya tertentu dalam perdagangan internasional 1998.29Sebelum terbentuknya Konvensi Rotterdam/PIC terjadi negosiasi terlebih dahulu berkaitan dengan adanya kondisi bahwa terjadinya pertumbuhan yang dramatis dalam produksi bahan kimia dan perdagangan saat itu yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi risiko yang ditimbulkan oleh bahan kimia berbahaya dan pestisida.Hal tersebut berkaitan dengan negara-negara yang infrastrukturnya kurang memadai untuk memantau impor dan penggunaan bahan kimia.30

Konvensi Rotterdam/PIC ini bertujuan untuk meningkatkan pembagian tanggung jawab bersama dan usaha-usaha kerjasama antara para pihak dalam perdagangan internasional bahan-bahan kimia tertentu, agar dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahaya-bahaya potensial bahan kimia tersebut. Selain itu juga memiliki tujuan untuk memberikan fasilitas tukar-menukar informasi tentang sifat-sifat bahan kimia tersebut, untuk proses pengambilan keputusan nasional mengenai ekspor/impor dan menyebarluaskan keputusan-keputusan tersebut pada para pihak.31

Berdasarkan Pasal 2 huruf (a) disebutkan bahwa bahan kimia adalah suatu bahan baik dari bahan itu sendiri atau dalam campuran atau, preparasi dan baik hasil manufaktur atau yang diperoleh dari alam tetapi tidak meliputi organisme hidup bahan tersebut terdiri dari kategori berikut pestisida, meliputi beberapa

29

Rotterdam Convention On the Prior Informed Consent Prosedure For Certain Hazardous Chemicals and Pesticides In International Trade.

30

Ibid.

31

Melda Kamil.A., Hukum dan Kebijakan Lingkungan, bahan ajar/modul, 2012, PIC/Rotterdam Convention, Hlm. 30.


(54)

formulasi pestisida sangat berbahaya dan industry.32 Adapun ruang lingkup konvensi dalam pasal 3 yaitu:33

1. Konvensi ini berlaku untuk:

a. Bahan kimia yang dilarang atau yang sangat dibatasi b. Formulasi pestisida yang sangat berbahaya

2. Konvensi ini tidak berlaku untuk: a. Narkotika dan psikotropika b. Bahan yang bersifat radioaktif c. Limbah

d. Senjata kimia

e. Obat-obatan, yang meliputi obat manusia dan hewan

f. Bahan kimia yang digunakan sebagai bahan tambahna pangan g. Pangan

h. Bahan kimia dalam jumlah yang kemungkinan besar tidak mempengaruhi kesehatan manusia atau lingkungan hidup apabila bahan kimia tersebut diimpor:

1. Untuk tujuan penelitian atau analisis

2. Oleh perorangan untuk digunakan sendiri dalam jumlah yang layak untuk penggunaan tersebut.

32

Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

33

Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(55)

D. Konvensi Stokholm 2001 (Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutant)

Dalam beberapa dekade terakhir ini masyarakat dunia telah secara luas mengembangkan 100.000 bahan kimia sintesis yang digunakan untuk mengendalikan penyakit, meningkatkan produksi pangan dan memberikan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari.Angka tersebut belum termasuk pertambahan sekitar 1500 bahan kimia baru setiap tahunnya.Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan perubahan pola perilaku ekonomi berbasis karbohidrat ke arah pola perilaku berbasis bahan kimia. Dari bahan kimia yang dihasilkan tersebut ada yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik yang persisten atau lebih dikenal dengan POPs. POPs memiliki sifat beracun, sulit terurai, bioakumulasi dan terangkut, melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut harus diwaspadai mengingat dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup.34

Penggunaan bahan kimia yang bersifat persisten baru dimulai pada awal abad ke 21.Bahan kimia ini banyak digunakan dalam bidang industrial dan agrikultur sehingga ketika kedua sektor ini mulai berkembang pada tahun 1940an, eksistensi zat-zat beracun ini semakin banyak dilingkungan sekitar. Perkembangan seperti ini sangat menghawatirkan karena kadar racun dan tingkat persisten yang tinggi menyebabkan bahan-bahan kimia ini mengancam lingkungan. Beberapa zat kimia beracun ini kemudian dikelompokan kedalam

34

Setia, Hadi Tunggal, Peraturan Lingkungan Hidup 2014, Harvarindo, Jakarta 2014, Hal. 375.


(56)

suatu golongan yang dikenal sekarang dengan istilah Persisten Organic Pollutant (POPs).Sifat nya yang persisten menyebabkan POPs mempengaruhi kesehatan manusia diseluruh dunia. Jika salah satu zat dalam kelompok POPs dilepaskan dinegara lain misalnya, kerugian tidak hanya dirasakan oleh masyarakat dinegara tersebut. Zat ini dapat dibawa oleh udara, air, bahkan binatang-binatang yang bermigrasi melewati batas-batas negara yang pada akhirnya berefek pada kehidupan darat maupun laut di negara tersebut.35

Hal tersebut diatas menjadikan POPs sebagai masalah yang bersifat global. Upaya pembentukan rezim pengelolaan POPs dimulai pada bulan Mei 1995 ketika dewan kerja UNEP memerintahkan suatu tindakan internasional terhadap 12 bahan kimia POPs. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti oleh IFCS (Intergovermental forum on chemical safety) yang menawarkan rekomendasi “international action” kepada UNEP untuk dipertimbangkan.36

Instrumen hukum yang mengimplementasikan tindakan internasional terhadap POPs disusun pada pertemuan di Montreal Kanada pada Juni 1998.Pada pertemuan ini negosiasi-negosiasi berhasil disepakati.Stocholm Convention on Persistent Organic Pollutant kemudian diadopsi dikonferensi luar biasa yang diselenggarakan di Stocholm Swedia pada 22, 23 Oktober 2001. Tujuan utama POPs konvensi ini antara lain :37

1. Melenyapkan zat-zat POPs yang berbahaya dari lingkungan hidup.

35

Sejarah Stockholm Convention on Persisten Organic Pollutants Dalam Konvensi Internasional Mengenai Limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya).

36

Ibid.

37


(57)

2. Mengusahakan penggunaan bahan kimia alternatif yang lebih ramah lingkungan

3. Melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.

4. Mengupayakan pembersihan terhadap tumpukan bahan kimia berbahaya yang ada di lingkungan

5. Memastikan kerja sama seluruh negara dalam upaya pengelolaan zat-zat POPs

Konvensi ini mengatur tindakan-tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan produksi terhadap:38

1. Zat-zat kimia yang bersifat persisten yang dihasilkan secara sengaja

Zat-zat kimia yang termasuk dalam kategori ini meliputi zat kimia yang dilarang yang diatur dalam Annex A dan zat kimia yang penggunaannya harus dibatasi yang pengaturannya terdapat di Annex B.

2. zat-zat kimia yang bersifat persisten yang dihasilkan secara tidak sengaja zat-zat kimia ini biasanya dihasilkan dari proses industrial atau pembakaran yang tidak sempurna yang tercantum dalam Annex C

3. Zat-zat kimia bersifat persisten yang dihasilkan dari timbunan limbah Tindakan-tindakan yang diatur dalam konvensi ini juga meliput i pengelolaan tumpukan limbah yang mengandung zat-zat kimia beracun yang bersifat persisten.

38


(58)

Negara peserta dalam konvensi ini dapat mengajukan zat kimia baru yang dianggap menjadi bahan kimia yang digolongkan dalam Annex A, B, dan C. Dalam hal ini, negara peserta harus menyampaikan proposal yang berisi berbagai informasi mengenai zat kimia yang baru kesekretariat komite. Jika informasi yang tercantum dalam proposal sudah memenuhi syarat, maka sekretariat komite akan mengajukannya ke POPs Review committe. Jika komite memutuskan bahwa proposal layak dan memenuhi syarat, maka komite mempublikasikan proposal dan hasil evaluasi dari zat tersebut kepada negara peserta lainnya.Sebaliknya, jika komite memutuskan proposal belum memenuhi kriteria, maka proposal tersebut disisihkan.39

1. Negara peserta wajib melakukan pertukaran informasi melalui sekretariat komite.

Dalam konvensi ini diatur tindakan-tindakan negara peserta yang wajib dilakukan, meliputi :

40

2. Negara peserta wajib menyediakan informasi publik, peningkatan kesadaran dan edukasi berkaitan dengan bahan POPs.41

3. Sesuai dengan kemampuan, tiap negara wajib melakukan penelitian, pengembangan dan pengawasan serta kerjasama mengenai bahan POPs

39

Ibid

40

Pasal 9 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

41

Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.


(1)

12. Untuk kelompok kecil Metanoia : Evi Novian Purba, S.H. selaku kapten kesebelasan dan Sisca Purba, S.H., Nody Silaban, S.H., Nelfi Simangunsong, S.H., Fier Sinaga, S.H., Elyza Siahaan, sebagai kesebelasan.Tuhan memberkati kalian dimana pun berada.

13. Untuk kelompok kecil Latreia : Meliasta Julin Munte, S.H., Antony Jahdin Panamotan Sihotang, S.H., Sofyan Siregar, S.H.Semoga terus mempersembahkan yang terbaik untuk-Nya.

14. Untuk rekan-rekan bandit seperjuangan : Lae Togi Sihite, S.H., Suspim “Ganteng” Nainggolan, S.H., Brader Immanuel Rumapea, S.H., Bang Fernandes Silaban, S.H. Jadilah bandit-bandit masa kini. 15. Untuk adek-adek stambuk 2010 terkhusus Giovanny Purba, S.H. dan

Deni Sitinjak, S.H. Terima kasih untuk cintanya.

16. Untuk teman-teman seperfutsalan : Maruli Sinaga, Efraim Sihombing, dan Jeffri366. Terima kasih untuk kebersamaan dalam perfutsalan. Untuk Jeffri terima kasih untuk editing skripsi saya.

Akhirnya saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak, terkhusus bagi pembaca.

Medan, Januari 2015 Hormat Saya,

NIM 080200159 MARTIN ALESSANDRO


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... …..iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakan ... 10

F. Metode Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan... 13

BAB II INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR TENTANG BAHAN BERACUN DAN BERBAHAYA A. Konvensi Basel Tahun 1989 (Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal). ... 16

B. Deklarasi Rio Tahun 1992 (Rio Declaration on Environment and Development). ... 20 C. Konvensi Rotterdam 1998 (Rotterdam Convention on the


(3)

Prior Informed Consent Procedur for Certain Hazardous Chemical and Pestisides in

Internasional Trade) ... 25 D. Konvensi Stokholm 2001 (Stockholm Convention

on Persistent Organic Pollutant) ...28

BAB III MEKANISME PERSETUJUAN DALAM PERDANGANGAN INTERNASIONAL TERKAIT BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA BERBAHAYA TERTENTU

A. Mekanisme untuk Bahan Kimia

yang Dilarang dan Dibatasi ... 34 B. Mekanisme untuk Formulasi

Perstisida Sangat Berbahaya ... 52

BAB IV IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ROTTERDAM TENTANG PROSEDUR PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI AWAL UNTUK BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA BERBAHAYA TERTENTU DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Ketentuan Dasar Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2013 ...57 B. Implementasi Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2013 di Indonesia ...61 C. Analisis Terhadap Implementasi Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2013 di Indonesia ...64 BAB V PENUTUP


(4)

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(5)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI DARI UNDANG-UNDANG NO 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ROTTERDAM TENTANG PROSEDUR PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI AWAL UNTUK

BAHAN KIMIA DAN PESTISIDA BERBAHAYA TERTENTU DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Martin Alessandro * Prof. Syamsul ** Arif ***

Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah bagaimana instrumen hukum internasional yang mengatur perdagangan bahan beracun dan berbahaya, bagaimana mekanisme persetujuan atas dasar informasi awal dalam perdagangan internasional terkait bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu, bagaimanakah implementasi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya tertentu dalam Perdagangan Internasional.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dann akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder dan bahan dari internet.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Rotterdam 1998 yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional dan Peraturan lainnya yang berkaitan dengan Bahan Beracun dan Berbahaya. Adapun mekanisme untuk bahan dan pestisida sangat berbahaya diatur dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang No 10 Tahun 2013. Didalam penerapannya Menteri Negara Lingkungan Hidup, Terkait kasus penemuan kontainer impor besi tua yang berasal dari Irlandia, Bahrain, Inggris, Afrika Selatan dan Perancis yang terjadi di Pelabuhan Belawan, Medan, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menginstruksikan agar importir berkewajiban mere-ekspor ke negara asal.

Kata kunci: Implementasi, Undang-Undang, Bahan Beracun dan Berbahaya

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(6)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF LAW NO. 10 OF 2013 CONCERNING THE RATIFICATION ROTTERDAM CONVENTION ON THE APPROVAL PROCEDURE ON THE BASIS OF INITIAL INFORMATION

FOR CHEMICALS AND PESTICIDES IN INTERNATIONAL TRADE OF CERTAIN HAZARDOUS.

Martin Alessandro * Prof. Syamsul **

Arif ***

Hazardous and toxic materials are here in after referred to as B3 is material because of the nature and or concentration or amount, either directly or indirectly, can pollute or damage the environment, or may endanger the environment, health, human survival and creatures other life. The issues to be studied in this paper is how the international legal instruments governing trade in toxic and hazardous materials, how the mechanism on the basis of informed consent in international trade related to hazardous chemicals and pesticides particular, how the implementation of Law No. 10 of 2013 concerning the ratification rotterdam convention on the approval procedure on the basis of initial information for chemicals and pesticides in international trade of certain hazardous.

The method used is the research literature, normative, the research aims to describe systematically, factually accurate dann against a state which is the object of research by basing research on normative legal provisions. Source study used secondary data sourced from the internet and from the material. Indonesia has ratified the Rotterdam Convention in 1998 which was passed into Law No. 10 of 2013 on the Ratification of the Rotterdam Convention On Informed Consent Procedure Early For Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade and Certain Other rules relating to Toxic and Hazardous Substances. The mechanism for material and highly dangerous pesticides under Article 5 and 6 of Law No. 10 of 2013. In its application the Minister of State for the Environment, related case container discovery import scrap metal from Ireland, Bahrain, Britain, South Africa and France are occurred in the port of Belawan, Medan, Prof. Dr Balthasar Kambuaya, MBA instructed that importers are obliged to re-export to the country of origin.

Kata kunci: Implementation, Law, Hazardous and Toxic Materials

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II