Menarik kesimpulan Mengasumsi Mengklasifikasi

menjelaskan, mengevaluasi hasil percobaannya dan dipertanggungjawabkan pada saat mempresentasikan percobaan saat diskusi berlangsung. Mengevaluasi dapat digunakan untuk mengungkapkan kompetensi yang sebenarnya yang dimiliki oleh siswa Sarwi Liliasari, 2008, sehingga guru mengetahui kemampuan masing- masing. Setelah diberi tiga kali treatment dan posttest, rata-rata aspek mengevaluasi berkembang menjadi sebesar 63 berada dalam kategori kurang kritis. Perkembangan pada aspek mengevaluasi rendah, dikarenakan siswa kurang maksimal mengerjakan soal posttest.

4.2.1.5 Menarik kesimpulan

Siswa dibiasakan untuk menyimpulkan keadaan dengan menginterpretasikan objek atau peristiwa berdasarkan fakta yang didapat saat melakukan percobaan. Membuat kesimpulan berawal dari pengumpulan data, kemudian melalui percobaan dibuat kesimpulan sementara berdasarkan informasi yang dimiliki. Penelitian dari Yuliati et al 2011 mengemukakan bahwa kemampuan menarik kesimpulan siswa dapat dilihat saat menafsirkan secara logis data, yang telah disusun secara sistematis menjadi ikatan sebab akibat pada percobaan. Pada pelaksanaan percobaan, treatment yang diberikan adalah, siswa didorong agar dapat menyimpulkan hasil percobaan dengan bahasa mereka sendiri. Hasil posttest untuk aspek menarik kesimpulan berada dalam kategori kritis. Untuk aspek menarik kesimpulan dikatakan berkembang dengan baik karena hasil pretest berada dalam kategori kurang kritis, ini dikarenakan saat pemberian treatment siswa dibiasakan untuk menyimpulkan hasil percobaan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.

4.2.1.6 Mengasumsi

Aspek mengasumsi dimasukan dalam LKS sebagai treatment. Perlakuan yang diberikan adalah siswa diajak untuk memperkirakan hasil percobaan. Siswa dibimbing untuk mencari informasi sebanyak mungkin agar hasil asumsi sesuai yang diperkirakan dalam LKS. Permasalah yang diasumsikan membuat siswa menjadi termotivasi. Dwijanati Yulianti 2011 mengemukakan bahwa jika sebuah permasalahan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, membuat siswa menjadi termotivasi dan kemudian berusaha untuk memecahkan masalah yang sudah diasumsikan, dan memperkirakan bahwa suatu itu benar untuk mendukung penyelidikannya.

4.2.1.7 Mengklasifikasi

Perlakuan yang diberikan kepada siswa untuk aspek mengklasifikasi adalah mengelompokkan atau memisahkan objekdata. Kegiata mengklasifikasi yang dilakukan yaitu mengamati persamaan, perbedaan, dan hubungan keterkaitan satu sama lain. Perlakuan yang diberikan dalam LKS adalah siswa menyebutkan klasifikasi alat dan bahan yang digunakan saat percobaan yang memiliki kesinambungan. Setelah diberi treatment, kemampuan berpikir kritis untuk aspek mengklasifikasi berkembang walaupun hanya sedikit. Perkembangan aspek mengklasifikasi yang rendah dikarenakan siswa masih belum terbiasa untuk mengklasifikasikan suatu keadaan, karena saat pemberian treatment hanya ditugaskan untuk dapat mengklasifikasikan alat dan bahan yang digunakan saat percobaan, bukan mengklasifikasikan suatu keadaan atau konsep. Hasil posttest dapat dilihat pada Gambar 4.2. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sochibin et al 2009, perkembangan aspek mengklasifikasi pada penelitian ini lebih besar. Hasil penelitian Sochibin memiliki persentase sebesar 8,53 , sedangkan pada penelitian ini sebesar 24 . Pada penelitian Sochibin kemampuan berpikir kritis dikembangkan dengan model pembelajaran inquiry terbimbing. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan model BTL dan terdapat pembelajaran inquiry yang didesain dalam LKS yang digunakan. Diantara semua aspek berpikir kritis yang diukur, aspek menghipotesis merupakan aspek yang memiliki hasil posttest paling tinggi, karena menghipotesis adalah kegiatan menduga suatu permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari- hari dan mudah ditemui, sehingga siswa dapat mengembangkan konsep tersebut. Aspek yang memiliki hasil posttest paling rendah adalah mengklasifikasi. Siswa masih lemah untuk mengklasifikasikan suatu permasalahan. Siswa masih sulit untuk mengetahui ciri-ciri dari gerak lurus berubah beraturan, karena saat diberikan treatment, yang diterapkan hanya mengenai pengklasifikasian alat dan bahan percobaan yang akan dilaksanakan. Sesuai dengan hasil penelitian yang terlihat pada Gambar 4.3. Hasil rata-rata pretest berada pada kategori kurang kritis, nilai yang diperoleh 46 dan pada posttest rata-rata masuk dalam kategori kritis dan nilainya sebesar 69, dapat dikatakan bahwa treatment yang diberikan, efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan penelitian Lambertus 2009 bahwa jika kemampuan berpikir dilatih secara terus menerus maka akan berkembang dan berubah menjadi kebiasaaan. Hasil uji gain pada penelitian ini adalah sebesar 0.41 berkategori sedang dan untuk hasil uji-t sebesar 10,47. Harga t yang diperoleh berada pada daerah penolakan Ho, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kritis dari skor pretest dan posttest. Penelitian lain yang dilakukan oleh Setyowati et al 2011 menunjukkan bahwa pendekatan konflik kognifif pada pembelajaran fisika dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Namun, masih terdapat kelemahan dalam model pembelajaran BTL. Siswa masih merasa kesulitan dalam menyelesaikan laporan tepat waktu. Siswa belum bisa mengorganisasi tugas di LKS dengan teman sekelompoknya sehingga waktu yang sudah dijadwal menjadi tidak tepat. Seiring berjalannya waktu siswa sudah mulai terbiasa untuk mengorganisasi tugas. Mistar dan stopwatch yang dapat digunakan hanya sedikit sehingga membuat kegiatan pembelajaran model BTL sedikit terhambat.

4.2.2. Perkembangan Karakter Siswa