keberadaan ion dalam perairan. Organisme akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5 Welch 1952.
2.3.4. Suhu
Suhu merupakan parameter yang sangat penting bagi biota perairan. Perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan.
Suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-32
o
C. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang latitude, ketinggian dari
permukaan laut altitude, lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses-
proses fisika, kimia, dan biologi suatu perairan. Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air
sehingga konsumsi oksigen meningkat Goldman Horne 1983. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan organisme. Effendi 2003 menyatakan bahwa peningkatan suhu perairan sebesar 10
o
C dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat sehingga
meningkatkan metabolisme dan respirasi organisme air. Adanya peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan
keberadaan oksigen sering tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organism akuatik melakukan proses metabolisme dan respirasi.
2.4. Kualitas Spermatozoa
2.4.1. Karakteristik spermatozoa
Spermatozoa tidak bergerak di dalam cairan plasma dan akan bergerak apabila bercampur dengan air. Spermatozoa dapat bertahan hidup pada pH 7,0 dan
tetap motil dalam waktu lama pada media isotonik darah. Pergerakan spermatozoa biasanya berbentuk spiral dan gerak progresif secara berkesinambungan hanya
terjadi 1 menit setelah bersentuhan dengan air. Sebagian besar spermatozoa ikan air tawar dapat bergerak motil selama 2-3 menit setelah bersentuhan dengan air
Iromo 2006. Lamanya spermatozoa motil dipengaruhi oleh umur, kematangan
spermatozoa, suhu, dan faktor-faktor lingkungan fisika dan kimia, seperti ion-ion,
pH, tekanan osmotik, elektrolit, dan non-elektrolit. Penurunan yang cepat dalam motilitas setelah aktivasi berhubungan dengan pengurangan yang teratur dari
kandungan Adenosin Triphosphate ATP intraseluler sampai akhirnya spermatozoa berhenti bergerak. Hal ini menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa dipengaruhi
oleh kandungan ATP. Persentase motil merupakan nilai estimasi yang menggambarkan gerakan spermatozoa dan berhubungan dengan kapasitas atau
kemampuan dalam fertilisasi dan ketersediaan energi dalam bentuk ATP Suquet et al. 2000. Penentuan kualitas spermatozoa dapat dilihat dari persentase spermatozoa
yang motil motilitas dan lamanya motil yang merupakan periode dari setiap
gerakan progresif spermatozoa sampai pergerakannya berhenti Fauvel et al. 2010. Kualitas spermatozoa juga dipengaruhi dari nilai pH semen. Pada umumnya
nilai pH semen ikan lele dumbo adalah 8,0 dan cenderung bersifat basa Lutfi 2009. Adanya variasi pH semen diduga dipengaruhi oleh konsentrasi asam laktat yang
dihasilkan dalam proses akhir metabolisme Salisbury Vandenmark 1961. Volume semen yang dihasilkan oleh setiap ikan juga bervariasi. Salisbury dan
Vandemark 1961 menyatakan bahwa volume spermatozoa pejantan yang diejakulasikan tidaklah sama antara indukan jantan. Pada umumnya volume semen
akan bertambah banyak sesuai dengan umur, ukuran tubuh, perubahan kondisi lingkungan, kesehatan organ reproduksi, dan frekuensi penampungan spermatozoa,
kemudian akan menurun setelah melewati puncak kedewasaannya. Pada ikan budidaya air tawar, spermatozoa memiliki lama motil yang sangat
rendah sehingga perlu dilakukan proses pengawetan spermatozoa, yaitu dengan proses cryopreservasi yang merupakan proses pengawetan spermatozoa dengan cara
pembekuan dengan tahap cooling –freezing–thawing pada suhu -196
o
C menggunakan nitrogen cair. Bahan krioprotektan yang biasa ditambahkan ke dalam
bahan pengencer extender dan sering digunakan untuk pengawetan spermatozoa ikan adalah Dimethylsulfoxide DMSO yang berguna untuk melindungi
spermatozoa dari kerusakan dan sumber makanan selama proses pembekuan Martinez et al. 2012.
2.4.2. Biokimiawi semen