56 menampung 89 individu, dan pada sistem ekstensif dibutuhkan areal seluas 51,27
ha untuk menampung 78 individu. Semakin lama waktu awal pemanenan dan semakin kecil ukuran populasi awal, maka semakin sempit areal yang dibutuhkan.
Jika dihitung jumlah rusa yang dapat ditampung pada masing-masing areal penangkaran, maka diperoleh rata-rata kepadatan rusa pada sistem intensif
sebanyak 3.634 individuha, pada sistem semi intensif sebanyak 2,8 individuha, dan pada sistem ekstensif sebanyak 1,5 individuha. Menurut Semiadi Nugraha
2004 kepadatan rusa pada padang rumput yang subur dengan sistem pedok atau sistem ekstensifsemi intensif berkisar antara 12 – 15 individuha untuk rusa
dewasa atau 15 – 20 individu untuk rusa remaja 2 tahun. Rendahnya rata-rata kepadatan rusa pada sistem semi intensif dan ekstensif di penangkaran Hutan
Penelitian Dramaga dapat disebabkan oleh rendahnya produktivitas hijauan pakan, sehingga jumlah rusa yang dapat ditampung sedikit.
5.7 Pemilihan Sistem Penangkaran
Penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga memiliki areal seluas hampir tujuh hektar. Seluas lebih kurang empat hektar merupakan areal
hutan, sedangkan sisanya merupakan areal terbuka. Pemilihan sistem penangkaran yang sesuai dengan kondisi areal Hutan Penelitian Dramaga sangat tergantung
pada parameter-parameter yang telah dianalisis dalam penelitian ini, yaitu kondisi habitat, ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal serta
luas areal yang tersedia. Pada sistem ekstensif, seluruh kebutuhan rusa diperoleh dari alam tanpa
campur tangan manusia sehingga biaya tetap dan biaya variabel yang dibutuhkan untuk memproduksi satu individu sangat rendah, yaitu Rp. 147.000,-.
Berdasarkan harga jual satu individu rusa sebesar Rp.7.500.000,- maka nilai margin atau selisih antara biaya produksi dengan harga jual menjadi sangat besar,
sehingga break even point pada sistem ekstensif diperoleh pada penjualan atau kuota panenan sebesar 16 individu per tahun. Namun demikian walaupun nilai
kuota panenan minimal dan ukuran populasi awal relatif rendah, luas areal yang dibutuhkan cukup luas. Hal ini disebabkan produktivitas hijauan sumber pakan
pada areal penangkaran ekstensif sangat terbatas, yaitu hanya yang terdapat di dalam areal penangkaran. Berdasarkan daya tampung areal penangkaran pada
57 sistem ektensif sebesar 1,5 individu per hektar, akan berdampak pada luasnya
areal yang dibutuhkan untuk menampung sejumlah besar rusa. Kondisi sebaliknya terdapat pada sistem intensif. Luas areal yang
dibutuhkan sangat sempit sehingga daya tampung perhektar areal menjadi sangat besar yaitu 3.634 individu. Namun demikian untuk menyelenggarakan
penangkaran dengan sistem intensif diperlukan dana yang sangat besar. Pada sistem intensif seluruh keperluan rusa disediakan oleh manusia sehingga
dibutuhkan sejumlah komponen biaya tetap seperti pemeliharaan dan operasional kandang intensif dan sarana pengelolaan limbah, serta gaji petugas untuk
menyuplai hijauan pakan. Selain itu, biaya variabel sangat tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi satu individu rusa adalah Rp. 6.680.100,-,
sedangkan harga jual satu individu rusa adalah Rp. 7.500.000, sehingga margin yang diperoleh sangat rendah. Hal ini mengakibatkan kuota panenan minimal dan
ukuran populasi awal menjadi sangat besar yaitu masing-masing 226 individu per tahun dan 1.022 individu. Kondisi ini dapat menjadi kendala bagi pengelola
penangkaran, karena dibutuhkan dana yang sangat besar untuk menyediakan 1.022 rusa pada awal kegiatan penangkaran.
Berdasarkan analisis sensitivitas, sistem intensif lebih sensitif terhadap perubahan biaya operasional. Hal ini dapat menjadi kendala dalam
menyelenggarakan penangkaran dengan sistem intensif karena pengelola harus menyediakan sejumlah besar rusa pada suatu waktu tertentu sebagai dampak dari
kenaikan biaya operasional. Dibandingkan sistem intensif, pengelolaan dengan sistem semi intensif
membutuhkan biaya yang lebih rendah, sehingga kuota panenan minimal dan ukuran populasi awal yang dapat ditetapkan menjadi lebih kecil. Hal ini diperkuat
oleh hasil analisis sensitivitas secara ekonomis yang menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas sistem semi intensif terhadap kenaikan biaya operasional, paling
rendah. Berdasarkan besarnya dana yang dibutuhkan dan ukuran populasi awal
yang harus tersedia pada sistem intensif, maka sistem ekstensif dan semi intensif lebih berpeluang diterapkan. Namun demikian penerapan sistem semi intensif dan
ekstensif tersebut sangat tergantung pada produktivitas hijauan pakan, sehingga
58 peluang penerapan kedua sistem tersebut akan sangat besar apabila produktivitas
hijauan pakan tinggi nilainya. Berdasarkan nilai rata-rata terboboti produktivitas hijauan pakan untuk sistem ekstensif sebesar 4.442,29 kghath, dan untuk sistem
semi intensif sebesar 8.155,36 kghath, menyebabkan areal yang dibutuhkan menjadi sangat luas. Oleh sebab itu, untuk mempersempit kebutuhan areal
penangkaran maka produktivitas hijauan pakan mesti ditingkatkan. Salah satu cara meningkatkan produktivitas adalah dengan menanam
rumput jenis unggul dan pemupukan. Mulia 1992 melaporkan bahwa pemupukan pada lima jenis rumput unggulan dengan mengunakan pupuk kandang
sebanyak 1.000 kgha, TCP 80 kgha, urea 200 kgha, dan KCl 80 kgha, dapat meningkatkan produktivitas rata-rata sebesar 287. Berdasarkan hal tersebut, jika
dilakukan pembinaan habitat sebesar 75 pada areal yang terdapat di dalam dan di luar penangkaran, maka produktivitas hijauan pakan pada sistem semi intensif
dan ekstensif dapat ditingkatkan masing-masing menjadi 17.554,41 kghath dan 9.562,03 kghath. Luas areal yang dibutuhkan pada kondisi awal tanpa
pembinaan dan dengan pembinaan 75 pada sistem semi intensif dan sistem ekstensif disajikan pada Gambar 10.
Keterangan: A0 = luas areal sebelum pembinaan pada sistem semi intensif; A75 = luas areal setelah pembinaan 75 pada sistem semi intensif; B0 = luas areal
sebelum pembinaan pada sistem ekstensif; B75 = luas areal setelah pembinaan 75 pada sistem ekstensif
Gambar 10 Pengaruh pembinaan habitat terhadap luas areal penangkaran berdasarkan tahun awal pemanenan dan sistem penangkaran
59 Pada Gambar 10 terlihat bahwa pembinaan habitat dengan cara
pemupukan pada 75 luas areal, dapat meningkatkan produktivitas hijauan pakan sehingga luas areal yang dibutuhkan menjadi lebih sempit. Kecenderungan
penurunan luas areal terdapat sistem penangkaran semi intensif maupun sistem ekstensif, dimana pembinaan habitat dapat menurunkan kebutuhan areal sebesar ±
53 dari luas areal sebelum pembinaan. Jika dibandingkan kebutuhan areal pada sistem kedua sistem, maka kebutuhan areal pada sistem semi intensif lebih sedikit
dibandingkan sistem ekstensif. Salah satu keterbatasan pada sistem ekstensif dalam upaya pemenuhan
kebutuhan pakan adalah ketersediaan pakan hanya terbatas pada hijauan pakan yang terdapat di dalam areal penangkaran. Pengelola hanya dapat melakukan
pembinaan habitat di dalam areal penangkaran, namun tidak dapat menambah sumber pakan lain dari luar areal penangkaran. Selain itu, sistem ekstensif sensitif
terhadap perubahan laju pertumbuhan populasi. Hal ini dapat menjadi kendala dalam upaya peningkatan laju pertumbuhan karena terbatasnya campur tangan
manusia dalam pengelolaan populasi. Upaya yang dapat dilakukan terbatas pada pengaturan nisbah kelamin, komposisi umur, dan pembinaan habitat.
Sebaliknya pada sistem semi intensif, pengelolaan populasi dan pembinaan habitat dapat dilakukan secara lebih intensif dibandingkan sistem ekstensif.
Pengelola dapat menyediakan sumber pakan dari luar areal penangkaran yaitu kebun pakan dengan cara cut and carry, sehingga ketersediaan hijauan pakan dan
laju pertumbuhan dapat ditingkatkan. Dengan mempertimbangkan biaya operasional, kuota panenan, ukuran populasi awal, kebutuhan areal penangkaran,
serta sensitivitas secara ekologis dan ekonomis, maka sistem semi intensif dapat dipilih sebagai sistem yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga.
5.8 Spesifikasi dan Perkembangan Populasi Awal Pada Sistem Penangkaran Terpilih