Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga

(1)

AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN

HUTAN PENELITIAN DRAMAGA

ROZZA TRI KWATRINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Rozza Tri Kwatrina NRP E351070134


(3)

ROZZA TRI KWATRINA. Determining of Harvest Quota and Initial Population Size of Rusa Deer on Captive Breeding at Dramaga Research Forest. Under supervised by YANTO SANTOSA and AGUS PRIYONO KARTONO.

Development Center of Deer Captive Breeding Technology at Dramaga Research Forest (DRF) is projected to be one of professional institution that produce deer offspring for conservation and commercial requirement. The objective of this research were to determine the harvest quota, initial harvest time, and initial population size of rusa deer on DRF, and to give the best alternative about deer captive breeding system. Data and information were collected by literature study and field observation during December 2008 until April 2009. The result revealed that minimal harvest quota for intensive system (IS), semi intensive (SS) system, and extensive system (ES) were 226, 33, and 16 individual/year respectively. Initial harvest timing was minimal 4 years after introducing of initial population size. Initial population size for IS, SS and ES on initial harvest timing 4 years were 376, 89, and 78 individual respectively. Semi intensive system (SS) was the best deer captive breeding system alternative for DRF based on feed plant available, harvest quota, population size, carrying capacity, and sensitivity analysis.

Keywords: rusa deer, harvest quota, population size, feed plant productivity, captive breeding


(4)

ROZZA TRI KWATRINA. Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia yang jumlah populasinya cenderung semakin menurun di alam sebagai akibat dari perburuan secara ilegal untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis. Tingginya kebutuhan akan rusa perlu diantisipasi dengan pemenuhan ketersediaan rusa dari penangkaran di dalam negeri. Oleh sebab itu Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam mengembangkan penangkaran rusa sebagai konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari untuk tujuanrestocking ke habitat alam dan pemenuhan kebutuhan bibit rusa di unit-unit penangkaran rusa. Agar penangkaran dapat memanen sejumlah rusa setiap tahunnya, diperlukan perencanaan mengenai berapa jumlah rusa yang dapat dipanen, kapan dapat dipanen, dan sistem penangkaran apa yang sesuai untuk penangkaran yang berlokasi di Hutan Penelitian Dramaga Bogor ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) menentukan kuota panenan, waktu awal pemanenan rusa timor, dan ukuran populasi awal rusa timor, (2) memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Metode yang digunakan terdiri dari studi literatur dan pengumpulan data langsung di lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kuota panenan minimal per tahun yang dapat ditetapkan berdasarkan sistem penangkaran adalah sebanyak 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada sistem ekstensif. Waktu awal pemanenan ditetapkan minimal empat (4) tahun setelah populasi awal tersedia berdasarkan target panenan berupa rusa timor keturunan kedua berumur minimal 15 bulan.

Ukuran populasi awal yang harus tersedia tergantung pada waktu awal pemanenan. Pada waktu awal pemanenan minimal empat tahun, ukuran populasi awal yang harus tersedia adalah 376 individu pada sistem intensif, 89 individu pada sistem semi intensif, dan 78 individu pada sistem ekstensif. Sistem penangkaran yang dipilih untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga berdasarkan ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal, luas areal, dan analisis sensitivitas adalah sistem semi intensif.

Kata kunci: rusa timor, kuota panenan, ukuran populasi, produktivitas hijauan pakan, penangkaran


(5)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(6)

AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN

PENELITIAN DRAMAGA

ROZZA TRI KWATRINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI

PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA Nama : Rozza Tri Kwatrina

NRP : E351070134

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

(9)

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: (1) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas kebesaran jiwanya mempercayakan penelitian ini pada penulis, serta pemikiran dan arahannya yang membuka wawasan dan pemahaman penulis, (2) Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas pemikiran, waktu dan kesabarannya membimbing penulis, (3) Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. atas kesediaannya selaku Penguji Luar Komisi, masukan serta koreksinya sehingga menjadikan tesis ini lebih baik.

Selama persiapan, pelaksanaan, dan penulisan karya ilmiah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Bapak Ir. Muh.Abidin, MP., (2) Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kepala Pusat Penelitian Hasil Hutan, Kepala Laboratorium Terpadu Puslit Hasil Hutan, Ketua Kelompok Peneliti Kimia dan Energi, Dr. Chalid Thalib dan Dr. I. Wayan Matius dari Pusat Penelitian Ternak, Dr. Pratiwi dari Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Air, dan Dr. Irnayuli Sitepu dari Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan, yang telah memberi izin dan kesempatan sehingga penulis dapat menggunakan alat dan fasilitas penelitian, (3) Prof. Riset. Dr. Ir. M. Bismark. MS. dan Prof. Riset Dr. Ir. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. atas motivasi dan dukungannya, (4) Ir. Mariana Takandjandji atas segala kebersamaan, dukungan, motivasi, dan bantuannya sejak dari awal perkuliahan, (5) Ir. Endro Subiandono selaku Ketua Kelompok Peneliti Konservasi Sumber Daya Hutan beserta para peneliti dan teknisi, Drh. Pudjo Setio, M.Si. selaku ketua tim pengelola Pusat Teknologi Pengembangan Penangkaran Rusa, dan Bapak Zainal selaku Kepala Pengelola Hutan Penelitian Dramaga, (6) Pak Carlan dan Pak Iwan beserta keluarga, serta semua petugas di penangkaran atas bantuan dan kerjasamanya selama di lapangan, (7) Teman-teman S2 Research School angkatan 2007 atas kebersamaannya, (8) Teman-teman S2 KVT angkatan 2007 (Bu Merry, Dewi, Bu Yayu, Pak Aswan, Pak Glen, Pak Paijo/Yohan, Pak Teddy, Pak Iman, Pak Toto, dan Pak Andy) atas kebersamaannya, serta Pak Sofwan, Bi Uum, Bu Irma, dan Pak Ismail atas bantuannya.


(10)

Santiyo Wibowo, STP., dan anak-anak tersayang (Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazhifah) atas kasih sayang, doa, dan pengorbanannya. Kepada orangtua tercinta (Gafar BA & Djanewar), serta mertua tercinta (Sanly Surat & Ratna Komalasari) atas doa, motivasi, dan dukungannya. Kepada kakak-kakak (Ni Pi, Da Nang, Da At, beserta keluarga) atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan.

Akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Kiranya Allah SWT Maha Sempurna membalas semua kebaikan dengan yang terbaik. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2009


(11)

Penulis dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 3 April 1975 sebagai anak keempat dari pasangan Gafar BA dan Djanewar.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 3/77 Bukit Tinggi pada tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 7 Bukit Tinggi, pada tahun 1990 dan SMA Negeri I Bukittinggi pada tahun 1993. Pada tahun 1993, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Biologi Fakultas FMIPA, Universitas Andalas dan berhasil memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1998.

Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika.

Penulis menikah dengan Santiyo Wibowo, STP dan dikaruniai oleh ALLAH SWT dua orang putri bernama Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazhifah.


(12)

i

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 3

1.3 Manfaat Penelititan ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 3

1.5 Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Rusa Timor ... 6

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi ... 6

2.1.2 Habitat, Penyebaran, dan Status... 6

2.1.3 Perilaku dan Reproduksi... 8

2.1.4 Nilai Ekonomi Rusa ... 9

2.2 Sistem Penangkaran Rusa ... 10

2.3 Analisis Populasi ... 11

2.3.1 Definisi dan Karakteristik Populasi... 11

2.3.2 Natalitas ... 12

2.3.3 Mortalitas ... 13

2.3.4 Model Pertumbuhan Populasi ... 14

2.4 Daya Dukung... 15

2.5 Pemanenan ... 16

2.6 AnalisisBreak Event Point ... 17

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

3.1 Letak, Luas dan Status Hukum... 19

3.2 Iklim dan Topografi ... 19

3.3 Topografi dan Tanah... 20

3.4 Flora... 20

3.5 Fauna ... 21

3.6 Lokasi Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ... 21

IV. METODE PENELITIAN ... 23

4.1 Lokasi dan Tempat Waktu Penelitian ... 23

4.2 Alat dan Bahan ... 23

4.3 Jenis Data ... 24

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 24

4.4.1 Kondisi Biofisik Habitat ... 24

4.4.2 Biaya Penangkaran ... 24


(13)

ii

4.4.5 Produktivitas Hijauan Pakan ... 26

4.4.6 Tingkat Konsumsi Pakan ... 27

4.5 Analisis Data ... 28

4.5.1 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah ... 28

4.5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan ... 28

4.5.3 Tingkat Konsumsi Pakan Rusa ... 29

4.5.4 Daya Dukung habitat ... 29

4.5.5 Kuota Panenan ... 30

4.5.6 Ukuran Populasi Pada Saat Pemanenan ... 31

4.5.7 Ukuran Populasi Awal ... 31

4.5.8 Pendugaan Kebutuhan Areal Penangkaran ... 32

4.5.9 Analisis Pemilihan Sistem Penangkaran ... 33

4.5.10 Analisis Populasi pada Sistem Penangkaran Terpilih ... 33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

5.1 Jumlah dan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan ... 34

5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan ... 38

5.3 Tingkat Konsumsi Pakan ... 41

5.4 Daya Dukung Habitat ... ... 44

5.5 Analisis Populasi ... 45

5.5.1 Parameter Demografi ... 45

5.5.2 Kuota Panenan BerdasarkanBreak Even Point... 46

5.5.3 Ukuran Populasi ... 49

5.5.4 Sensitivitas Ukuran Populasi Awal Secara Ekologi dan Ekonomi ... 52

5.6 Luas Areal Penangkaran ... 54

5.7 Pemilihan Sistem Penangkaran ... 56

5.8 Spesifikasi dan Perkembangan Populasi Awal Pada Sistem Penangkaran Terpilih... 59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 64

6.1 Kesimpulan ... 64

6.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(14)

iii

Halaman 1. Kondisi lokasi, vegetasi tumbuhan bawah dan hijauan pakan

di Hutan Penelitian Dramaga ... 35 2. Penyebaran jenis-jenis hijauan pakan pada setiap lokasi ... . 37 3. Produktivitas dan ketersediaan hijauan pakan rusa timor di

Hutan Penelitian Dramaga ... . 39 4. Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian empat individu rusa

timor ... . 42 5. Parameter demografi populasi rusa timor pada beberapa lokasi.

penangkaran semi intensif di Jawa Barat ... . 45 6. Biaya tetap, biaya variabel, dan kuota panenan rusa timor

pada tiga sistem penangkaran ... . 48 7. Ukuran populasi awal berdasarkan waktu awal pemanenan ... . 52 8. Sensitivitas ukuran populasi awal secara

ekologis dan ekonomis ... . 53 9. Luas areal penangkaran berdasarkan ukuran populasi awal

dan waktu awal pemanenan ... . 55 10. Kelas umur individu awal pada sistem terpilih (semi intensif)... . 60 11. Perkembangan populasi awal rusa timor sampai tahun ke 5 ... . 61


(15)

iv

Halaman

1. Rusa timor jantan dan betina ... . 7

2. Peta Lokasi Hutan Penelitian Dramaga ... . 19

3. Plot pengamatan produktivitas hijauan pakan ... 26

4. Penimbangan rusa sebelum pengamatan konsumsi pakan ... 27

5. Kondisi beberapa lokasi tumbuhan bawah ... 34

6. Jumlah jenis hijauan sumber pakan berdasarkan lokasi ... 36

7. Perbandingan produktivitas hijauan pakan dengan tingkat cahaya harian ... 40

8. Kandang rusa dan tempat pakan pada pengamatan tingkat konsumsi di Hutan Penelitian Dramaga ... 43

9. Hubungan waktu awal pemanenan dengan ukuran populasi awal berdasarkan sistem penangkaran ... 51

10. Pengaruh pembinaan habitat terhadap luas areal penangkaran berdasarkan tahun awal pemanenan dan sistem penangkaran ... 58


(16)

v

Halaman 1. Intensitas cahaya harian pada lokasi pengamatan di Hutan

Penelitian Dramaga ... 72 2. Jenis-jenis tumbuhan bawah pada sembilan lokasi pengamatan

di Hutan Penelitian Dramaga ... 73 3. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah di

Hutan Penelitian Dramaga ... 74 4. Data iklim areal Hutan Penelitian Dramaga dan sekitarnya ... 78 5. Data pengamatan tingkat konsumsi pakan ... 81 6. Biaya investasi pada sistem penangkaran intensif, semi intensif,

dan ekstensif ... 82 7. Biaya tetap pada sistem penangkaran intensif, semi

intensif, dan ekstensif ... 83 8. Biaya variabel pada sistem penangkaran intensif, semi


(17)

1.1 Latar Belakang

Rusa timor (Rusa timorensisde Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia. IUCNRed List of Threatened Species tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah populasi rusa timor di alam cenderung semakin menurun sekitar 10% dalam kurun waktu minimal lima belas tahun terakhir. Total populasi diperkirakan hanya 10.000 individu dewasa. Kondisi ini disebabkan berbagai hal yang salah satunya adalah perburuan secara ilegal pada habitat aslinya di alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis (IUCN 2008).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam upaya konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari adalah kegiatan penangkaran. Perkembangan penangkaran rusa di masa yang akan datang diperkirakan semakin besar. Hal ini didasarkan pada tingginya pemanfaatan terhadap rusa, terutama daging rusa, sebagai pemenuhan kebutuhan protein hewani. Tingkat konsumsi daging rusa oleh konsumen restoran di wilayah DKI Jakarta sebesar 84,21% (Suita & Mukhtar 2002). Selain itu, sebesar 60% dari penjual daging yang diwawancarai dalam penelitian Suita & Mukhtar (2002) menyatakan berminat menjual daging rusa. Namun demikian, walaupun permintaan dan minat cukup tinggi, sebagian besar daging rusa masih diimpor dari luar negeri karena terbatasnya ketersediaan rusa di dalam negeri. Oleh sebab itu, penyediaan bibit rusa timor di dalam negeri yang dikembangkan melalui unit-unit penangkaran menjadi sangat penting dilakukan.

Salah satu institusi pemerintah yang sedang mengembangkan penangkaran rusa timor adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Penangkaran yang terletak di Hutan Penelitian Dramaga ini selain berfungsi sebagai media pendidikan, penelitian, rekreasi, juga berfungsi sebagai salah satu lembaga penyedia bibit rusa timor. Penangkaran ini diharapkan menjadi salah satu lembaga resmi yang menyediakan bibit rusa timor dari penangkaran secara profesional untuk tujuan konservasi dan pemanfaatan secara komersil di unit-unit penangkaran.


(18)

Sesuai dengan salah satu tujuan pengelolaan satwaliar yaitu untuk konservasi dan pemanenan (Cauhgley 1977), maka pengelolaan populasi rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga perlu diarahkan untuk memperoleh panenan lestari. Banyaknya jumlah rusa yang dipanen setiap tahun merupakan kuota panenan yang mesti ditetapkan oleh pengelola dan diharapkan dapat berkontribusi terhadap ketersediaan populasi rusa timor di alam maupun di unit-unit penangkaran.

Keberhasilan suatu pengelolaan sangat tergantung pada upaya pemanenan yang dilakukan dan waktu pemanenan (Xu et al. 2005), sehingga salah satu pertanyaan sulit yang harus dijawab oleh pengelola populasi satwaliar adalah berapa jumlah satwa yang harus dipanen dari populasi dalam setiap tahunnya (CCM 2008), dan kapan pemanenan dapat mulai dilakukan. Besarnya ukuran populasi yang awal yang harus disediakan dipengaruhi oleh waktu pemanenan, semakin lama jangka waktu pemanenan maka ukuran populasi awal yang harus disediakan menjadi lebih kecil. Oleh sebab itu, pertanyaan penting yang perlu dijawab untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah berapa kuota panenan yang dapat ditetapkan setiap tahunnya? kapan pemanenan sebaiknya dilakukan? dan berapa ukuran populasi awal yang harus tersedia agar kuota panenan dapat tercapai?.

Penelitian-penelitian tentang pengelolaan populasi khususnya rusa, sebagian besar menitikberatkan pada habitat alam di suaka margasatwa dan taman nasional seperti yang dilakukan oleh Hasiholan (1995), Iqbal (2004) dan Wichatitsky et al. (2005), atau di taman buru yang menitikberatkan pada aspek perburuan dan nilai ekonomi seperti yang dilakukan oleh Mukhtar (1996), Ratag (2006) dan Priyono (2007). Penelitian-penelitian yang dilakukan di penangkaran, sebagian besar membahas aspek reproduksi, pengelolaan habitat, desain tapak, atau aspek finansial usaha penangkaran seperti yang dilakukan oleh Teddy (1998), Handariniet al. (2004), Semiadi et al. (2005), Sumanto (2006) dan Nurulaini et al. (2007). Demikian juga dengan penelitian mengenai populasi dan pemanenan, sebagian besar dilakukan di alam pada kawasan beriklim nontropis seperti yang dilakukan oleh Trenkel et al. (2000), Mysterud et al. (2007), serta Trepet & Eskina (2007). Berdasarkan hal tersebut dan terbatasnya penelitian mengenai


(19)

penentuan kuota panenan dan ukuran populasi rusa di penangkaran, maka penelitian ini dilakukan.

Perbedaan sistem penangkaran dapat mempengaruhi kuota panenan dan ukuran populasi awal yang harus ditetapkan. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis pemilihan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga, berdasarkan kuota panenan, ukuran populasi awal, dan luas areal penangkaran, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan penangkaran selanjutnya.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan kuota panenan, waktu awal pemanenan, dan ukuran populasi awal rusa timor

2. Memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan panduan bagi pengelola atau pengusaha untuk menentukan kuota panenan dan waktu pemanenan, dan ukuran populasi awal, serta memberikan rekomendasi mengenai pengelolaan populasi di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga

1.4 Kerangka Pemikiran

Kesenjangan antara jumlah permintaan dengan ketersediaan rusa, berdampak terhadap meningkatnya perburuan rusa di alam. Oleh sebab itu, upaya penyediaan rusa dari hasil penangkaran melalui kegiatan pemanenan mesti ditingkatkan. Kuota panenan merupakan sejumlah rusa yang dipanen dari penangkaran. Kuota panenan dari suatu populasi dapat ditentukan secara ekologis ataupun secara ekonomis. Kuota secara ekologis pada prinsipnya merupakan sejumlah anggota populasi yang dapat dikeluarkan dari suatu populasi dengan mempertimbangkan daya dukung dan ukuran populasi aktual yang tersedia tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi. Untuk pengelolaan populasi satwa yang


(20)

memiliki target pemanenan tertentu dengan mempertimbangkan sejumlah biaya penyelenggaraan penangkaran, maka penentuan kuota panenan secara ekonomis perlu digunakan. Dalam hal ini, kuota panenan tidak ditetapkan berdasarkan ukuran populasi aktual yang tersedia, melainkan berdasarkan target pemanenan tertentu yang ingin dicapai oleh pengelola penangkaran dengan mempertimbangkan aspek ekonomi.

Analisis Break Even Point (BEP) merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menetapkan kuota panenan secara ekonomis. Kuota panenan yang diperoleh dari perhitungan BEP ini merupakan kuota panenan minimal yang harus ditetapkan agar kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Pada prinsipnya BEP diperhitungkan berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap menggambarkan biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan penangkaran, sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu individu rusa.

Kuota panenan yang telah ditetapkan hanya dapat dipanen apabila terpenuhinya ukuran populasi yang tersedia pada saat pemanenan, dan ukuran populasi awal saat kegiatan penangkaran dimulai. Besarnya nilai ukuran populasi awal tersebut sangat tergantung pada kuota panenan yang ditetapkan dan waktu pemanenan. Semakin besar kuota panenan yang ditetapkan, dan semakin singkat jangka waktu pemanenan maka semakin besar ukuran populasi awal yang harus tersedia. Selain itu, peubah-peubah parameter demografi seperti natalitas, mortalitas, laju pertumbuhan populasi, dan komposisi jenis kelamin, sangat mempengaruhi besarnya ukuran populasi awal yang akan ditetapkan.

Besarnya kuota panenan yang ditetapkan juga terkait dengan sistem penangkaran yang akan diterapkan di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Dalam penelitian ini, sistem penangkaran rusa dibedakan atas penangkaran sistem intensif, semi intensif, dan ekstensif. Untuk mencapai target kuota panenan pada sistem penangkaran ekstensif dan semi intensif dimana semua atau sebagian besar kebutuhan rusa disediakan oleh alam, maka komponen daya dukung habitat yang menentukan adalah ketersediaan hijauan pakan, yang dapat diketahui melalui penghitungan produktivitas hijauan pakan. Sedangkan untuk penangkaran dengan sistem intensif, dimana semua kebutuhan satwa disediakan dan diatur oleh


(21)

manusia, maka komponen daya dukung habitat yang menentukan adalah kebutuhan terhadap ruang yang dapat diketahui melalui penghitungan kebutuhan areal penangkaran.

Akhirnya, aspek pemanenan yang mencakup kuota panenan dan waktu pemanenan tersebut menjadi tujuan dalam penelitian ini, untuk menjawab ukuran populasi awal yang harus tersedia dan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga.

1.5 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian tentang penentuan kuota panenan dan ukuran populasi awal rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah: semakin tinggi kuota panenan semakin tinggi ukuran populasi awal yang harus tersedia.


(22)

2.1 Rusa Timor

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi

Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Cetartiodactyla, Sub Ordo Ruminantia, Family Cervidae, Sub Family Cervinae, dan Genus Rusa. Nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis de Blainville, 1822. Namun demikian, nama rusa timor juga memiliki beberapa sinonim, yaitu:Cervus celebensis Rorig, 1896;Cervus hippelaphus G.Q. Cuvier, 1825; Cervus lepidus Sundevall, 1846; Cervus moluccensis Quoy & Gaimard, 1830; Cervus peronii Cuvier, 1825; Cervus russa Muller & Schlegel, 1845;Cervus tavistocki Lydekker, 1900; Cervus timorensis Blainville, 1822; dan Cervus tunjuc Horsfield, 1830 (IUCN 2008).

Secara morfologi rusa timor memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dan kaki yang lebih pendek dibandingkan rusa sambar (Cervus unicolor) dan rusa bawean (Axis kuhlii). Warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna lebih terang dibandingkan bagian punggung. Warna bulu ini tersebar merata pada seluruh tubuh dan tidak memiliki titik-titik (spot) pada tubuhnya. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina. Panjang tubuh berkisar antara 130–210 cm, tinggi bahu 80–110 cm, berat 50–115 kg, dan panjang ekor 10 – 30 cm. Rusa jantan dewasa memiliki ranggah. Ranggah penuh mempunyai tiga ujung runcing dengan panjang rata-rata 80–90 cm (Schroder 1976, Drajat 2002, Worlddeer 2005).

2.1.2 Habitat, Penyebaran, dan Status

Rusa timor merupakan jenis yang sangat utama pada habitat padang rumput di daerah tropis dan sub tropis, tapi dapat beradaptasi pada habitat hutan, pegunungan, serta semak belukar. Walaupun dapat beradaptasi mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, rusa timor jarang dijumpai pada ketinggian di atas 2500 m di atas permukaan laut. Semiadi dan Hedgesdalam IUCN (2008) bahkan mengungkapkan bahwa rusa timor hidup pada ketinggian 0 – 900 m dari


(23)

permukaan laut. Jika dibandingkan jenis rusa sambar, rusa timor juga memiliki adaptabilitas yang tinggi untuk hidup pada daerah yang kering. Hal ini disebabkan kebutuhan air pada rusa timor sangat rendah (Schroder 1976). Walaupun demikian rusa timor juga dapat hidup di daerah rawa (Worlddeer 2005).

Gambar 1 Rusa timor jantan (a) dan betina (b).

Rusa timor merupakan satwa asli Indonesia. Menurut Bemmel (1949) rusa timor berasal dari Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Malaka. Namun demikian kalangan ahli lainnya menyatakan bahwa rusa timor hanya berasal dari Jawa dan Bali (IUCN 2008). Dalam perkembangannya, rusa timor menyebar luas sampai ke bagian timur wilayah Indonesia seiring dengan perpindahan manusia. Hal ini berbeda dengan jenis rusa sambar yang daerah penyebarannya hanya berada di bagian Barat wilayah Indonesia. Luasnya penyebaran rusa timor juga terlihat dari banyaknya sub spesies yang dimiliki, yakni 8 sub-spesies. Menurut Bemmel (1949), penamaan sub-spesies ini didasarkan atas daerah penyebarannya, yakni:

a. Cervus t. russa, terdapat di Jawa dan Kalimantan (S.E. Borneo). b. Cervus t. laronesiotes, terdapat di Pulau Peucang.

c. Cervus t. renschi,terdapat di Bali.

d. Cervus t. timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Pulau Kambing, Alor, Pantar, Pulau Rusa.

e. Cervus t. macassaricus, terdapat di Sulawesi, Banggai, Selayar. f. Cervus t. jonga,terdapat di Pulau Buton dan Pulau Muna.

g. Cervus t. moluccensis, terdapat di Ternate, Mareh, Moti, Halmahera, Bacan, Parapotan, Buru, Seram dan Ambon.

h. Cervus t. florensiensis,terdapat di Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo, Flores, Adonara, Solor dan Sumba.


(24)

Berdasarkan kategori IUCN Red List, sejak tahun 2008 rusa timor termasuk dalam kategori rentan (vulnerable). Sebelumnya rusa timor berstatus resiko rendah/kurang perhatian (lower risk/least concern) sejak tahun 1996. Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan (IUCN 2008).

Di Indonesia, rusa timor termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun demikian, rusa dapat dimanfaatkan melalui penangkaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwaliar, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu di bidang peternakan, rusa telah menjadi salah satu satwa potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002.

2.1.3 Perilaku dan Reproduksi

Rusa timor bersifat nokturnal, akan tetapi juga dapat mencari makan pada siang hari (Reyes 2002). Namun pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Schroder (1976) bahwa rusa timor secara alamiah tidak bersifat nokturnal, tetapi dapat secara mudah berubah sifat menjadi nokturnal dan pergi ke wilayah terbuka pada siang hari. Rusa jantan dan betina biasanya hidup terpisah dalam kelompok tertentu, kecuali pada musim kawin. Selama musim kawin, rusa jantan menjadi lebih agresif dan menghiasi ranggahnya dengan dedaunan dan ranting untuk menarik perhatian betina dan mengintimidasi jantan lainnya (Reyes 2002). Rusa timor bersifat sosial, dan dapat dijumpai dalam kelompok kecil dengan jumlah individu mencapai 25 individu.

Perilaku rusa di penangkaran dilaporkan oleh Lelono (2005) yang menggambarkan tiga pola aktivitas harian rusa timor, yaitu aktivitas makan, aktivitas istirahat, dan aktivitas lain. Aktivitas makan dilakukan pada pagi (pukul 07.00 – 11.00), siang (pukul 11.00 – 14.00), dan sore (pukul 17.00 – 18.00).


(25)

Aktivitas istirahat dilakukan pada pagi dan sore hari setelah aktivitas makan. Aktivitas lain terdiri dari aktivitas berjalan, memelihara diri, merawat anak, bercumbu, bertarung, berlari dan lainnya.

Rusa dapat hidup selama 15 – 20 tahun di alam maupun di penangkaran, dengan rata-rata 17,5 tahun. Usia dewasa kelamin rata-rata 21 bulan, walaupun juga ditemukan rusa dewasa kelamin pada usia lebih kurang 15 bulan. Umumnya rusa mengalami dewasa kelamin pada usia 15 – 18 bulan. Menurut Semiadi (2006) dewasa kelamin dipengaruhi oleh berat badan dan ketersediaan pakan.

Kelahiran pada rusa tropis terjadi sepanjang tahun. Sody (1940) menyatakan bahwa musim kelahiran pada rusa timor umumnya terjadi pada bulan April–Juni, sedangkan di Jawa pada bulan September, Flores pada bulan Maret serta Sulawesi pada Januari dan Agustus. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dalam setiap kelahiran adalah satu. Rata-rata masa menyusui adalah 8 bulan atau 251 hari, rata-rata masa menyapih adalah 7 bulan atau 228 hari, walaupun demikian untuk wilayah timur Indonesia, masa sapih pada rusa timor adalah 4 – 7 bulan (Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Reyes 2002).

Untuk di penangkaran di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pubertas rusa timor adalah 8–8,1 bulan, siklus berahi 20 hari, lama berahi 2 hari, lama bunting 8,3 bulan, dan jumlah anak pada setiap kelahiran pada umumnya 1 ekor. Umur perkawinan pertama pada jantan adalah 11 – 12,67 bulan, dan 10 – 15,25 bulan pada betina. Namun demikian rusa timor sudah mampu kawin pertama kali umur 7 bulan. Umur kebuntingan pertama adalah 11 – 17 bulan, dan lama kebuntingan adalah 8,3 – 8,5 bulan. Umur melahirkan pertama adalah 20 – 25 bulan, dan interval kelahiran pertama dan kedua adalah 13,25 -13,75 bulan. Persentase kelahiran di Indonesia berkisar antara 45 – 75% (Semiadi 2006, Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Takandjandjiet al. 1998).

2.1.4 Nilai Ekonomi Rusa

Sebagai satwa herbivora, rusa memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan daging, ranggah, velvet, kulit, bahkan satwa hidup, sehingga sangat potensial dikembangkan di penangkaran. Di dunia, seperti Kanada, wapiti (Cervus canadensis) jantan dijual senilai CDN$135.000. Velvet rusa juga memiliki nilai


(26)

ekonomi tinggi, dan Republik Korea merupakan pasar utama penjualan velvet rusa secara internasional. Sedangkan New Zealand merupakan negara modern pertama penghasil velvet di dunia. Di Kanada, pada tahun 1997, pemanenan ranggah wapiti mencapai 50 ton dengan nilai total mencapai CDN$7,13 juta. Pada pasar lokal seperti di Vancouver, harga velvet tertinggi mencapai CDN$260/kg, dan terendah senilai CDN$45/kg. Sementara di Malaysia velvet dijual dengan harga RM 3.000/kg (Chardonnetet al. 2002, Semiadi 2002)

Daging merupakan produk yang paling populer dari satwaliar di seluruh dunia dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga jual karkas rusa fallow (Dama dama) di Amerika Serikat pada tahun 1997 adalah US$4,5/pound. Di Canada, harga jual daging untukvenison antara C$3,1 – C$3,6/pound. Sedangkan di Australia harga jual karkas rusa fallow mencapai A$2,24/kg, untuk daging rusa merah A$2,56/kg, dan rusa jawa A$2,12/kg. Untuk Selandia baru, harga jual karkas rusa merah mencapai antara NZ$3,32 hingga NZ$5,20/kg karkas (Semiadi 2002). Salah satu alasan pemilihan daging rusa, adalah karena rusa mampu mengkonversi 30 kilogram bahan kering menjadi 3 kilogram daging, sehingga rusa lebih efisien dibandingkan sapi dan domba. Daging rusa memiliki rasa yang khas dan rendah kalori, sehingga digunakan sebagai venison. Di Malaysia, harga daging rusa mencapai RM 30 perkilogram lebih tinggi dibandingkan daging sapi yang hanya RM 10 perkilogram (Drajat 2002, Semiadi 2002). Untuk Indonesia harga daging rusa bervariasi pada kisaran Rp. 250.000,- perkilogram.

Untuk ranggah, hasil penelitian Garsetiasih (2000) menunjukkan bahwa harga tanduk rusa tua dalam bentuk hiasan di beberapa tempat di Bogor memiliki harga Rp. 250.000,- sampai Rp. 750.000,-. Sedangkan untuk satwa hidup memiliki nilai jual bervariasi mulai dari Rp. 3.500.000,- sampai Rp. 15.000.000,-2.2 Sistem Penangkaran Rusa

Sistem penangkaran rusa pada beberapa wilayah di beberapa negara mengacu pada prinsip pengelolaan habitat yaitu secara intensif atau extensif. Pada pengelolaan intensif, campur tangan manusia sangat tinggi, sebaliknya pada pengelolaan ekstensif manusia hanya mengatur beberapa aspek habitat dan kebutuhan hidup satwa.


(27)

Pengelolaan secara ekstensif berimplikasi terhadap luasnya areal dan umumnya tenaga dan biaya yang dibutuhkan perhektarnya relatif rendah. Sebaliknya pada pengelolaan intensif dibutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk setiap hektar areal. Beberapa tindakan pengelolaan yang termasuk ke dalam pengelolaan ekstensif diantaranya adalah pembakaran terkendali, pengendalian semak belukar, dan seleksi tumbuhan sumber pakan. Sedangkan pengelolaan intensif diantaranya adalah pemberian pakan oleh pengelola secara cut and carry, membangun kebun pakan, membangun kandang, sumber air, peneduh (cover). Pengelolaan reproduksi secara non alami juga dapat digolongkan pada pengelolaan secara intensif (SRNF 2008).

Di beberapa negara, pengelolaan ekstensif lebih penting dan efektif dibandingkan sistem intensif. Namun pada beberapa situasi, pengelolaan secara intensif digabungkan dengan pengelolaan ekstensif untuk mencapai pengelolaan yang lebih efektif dalam mengatasi beberapa faktor pembatas.

Konsep pengelolaan intensif dan ekstensif tersebut di Indonesia diadaptasi ke dalam sistem penangkaran secara intensif dan ekstensif. Penggabungan kedua konsep tersebut melahirkan sistem semi intensif yang banyak diterapkan pada berbagai penangkaran di Indonesia. Sistem-sistem penangkaran tersebut diterapkan dalam beberapa bentuk pemeliharaan. Semiadi dan Nugraha (2004) mengelompokkan ke dalam bentuk pemeliharaan, yaitu diikat, dikandangkan, dan dilepas di padang umbaran yang disebut pedok (paddock). Bentuk pemeliharaan diikat dan dikandangkan dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan intensif, sedangkan penggembalaan di padang umbaran dapat tergolong pada sistem ekstensif atau semi intensif tergantung pada tingkat campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat, populasi, dan reproduksi satwa.

2.3 Analisis Populasi

2.3.1 Definisi dan Karakteristik Populasi

Populasi adalah sekelompok organisme sejenis atau memiliki kesamaan genetik yang secara bersama-sama mendiami wilayah tertentu dan waktu tertentu, serta mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Odum 1971, Krebs 1978, Alikodra 1990). Menurut Tarumingkeng (1992), populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang


(28)

tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu.

Krebs (1978) menyatakan unsur utama dari populasi adalah individu organisme yang memiliki potensi untuk berkembang-biak. Populasi tersebut dapat dibagi ke dalam sejumlah deme atau populasi lokal yang merupakan kelompok organisme yang mampu berkembang-biak, yang merupakan unit kolektif terkecil dari sebuah populasi tumbuhan atau satwa. Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Tarumingkeng (1992) yang menyatakan bahwa deme adalah populasi setempat yang merupakan sekelompok individu dimana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satugene pool).

Populasi memiliki beragam karakteristik kelompok, yang secara pengukuran statistik tidak dapat diterapkan secara individual. Karakteristik dasar dari populasi adalah ukuran atau kepadatannya (densitas). Densitas atau disebut juga kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang yang umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau volume. Ukuran populasi atau kepadatan ini dipengaruhi oleh empat parameter populasi yang dikenal sebagai parameter populasi primer, yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Selain itu, terdapat parameter populasi sekunder yang terdiri dari distribusi umur, komposisi genetik, dan pola sebaran ruang (Krebs 1978, Alikodra 2002).

2.3.2 Natalitas

Suatu populasi dapat meningkat disebabkan oleh natalitas. Natalitas, yang dapat juga disebut sebagai potensi perkembangbiakan, adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa laju natalitas adalah jumlah organisme yang lahir per induk per satuan waktu. (Odum 1971, Krebs 1978).


(29)

Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk ke dalam klas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran tersebut ditentukan oleh faktor-faktor: (1) perbandingan komposisi kelamin dan kebiasaan kawin, (2) umur tertua dimana individu masih mampu untuk berkembangbiak (maximum breeding age), (3) umur termuda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002).

2.3.3 Mortalitas

Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas terdiri dari angka kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode waktu; dan angka kematian spesifik, yaitu perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama satu periode waktu. Faktor-faktor yang menyebabkan kematian adalah; (1) kematian oleh keadaan alam, seperti bencana alam, penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, (2) kematian oleh kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, (3) kematian oleh adanya pertarungan dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan dan air serta untuk menguasai kawasan, dan (4) kematian yang disebabkan oleh aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, perburuan, pencemaran dan kecelakaan lalulintas (Alikodra 2002).


(30)

2.3.4 Model Pertumbuhan Populasi

Ukuran dan kepadatan populasi dapat bertambah, tetap, atau berkurang. Besarnya penambahan atau pengurangan ukuran atau kepadatan populasi tersebut dapat dinyatakan dengan laju pertumbuhan populasi. Dalam pertumbuhan populasi, laju petumbuhan pada awalnya rendah kemudian mencapai maksimal dan akhirnya menurun sampai akhirnya mencapai nol pada kondisi dimana jumlah individu sama dengan daya dukung lingkungannya (Krebs, 1978) Laju pertumbuhan populasi dapat disebabkan oleh faktor internal (genetik), eksternal (lingkungan), atau interaksi keduanya.

Pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam suatu model pertumbuhan populasi. Dikenal ada dua model pertumbuhan populasi, yaitu model pertumbuhan eksponensial dan model pertumbuhan logistik. Model pertumbuhan eksponensial terjadi pada populasi yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan. Pada kondisi ideal dan tidak ada faktor penghambat (fisik maupun biotik), maka populasi akan berkembang terus dan tumbuh secara maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa populasi tumbuh dalam keadaan lingkungan yang tidak membatasi pertumbuhannya.

Secara realistis, terdapat persaingan, keterbatasan ruang dan makanan yang akan menyebabkan pertumbuhan populasi menurun dan pada akhirnya berhenti pada saat daya dukung sudah tercapai. Apabila model pertumbuhan eksponensial diterapkan untuk waktu yang tidak terbatas tetapi sumber dayanya terbatas, maka akan menjadi tidak realistis karena tidak diperhitungkannya faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan populasi seperti kerapatan, makanan dan lainnya. Atas dasar hal tersebut, maka dibangun model yang lebih realistis yang memasukkan faktor kerapatan populasi sebagai faktor pembatas, sehingga disebut sebagai model terpaut kerapatan atau model pertumbuhan logistik. Model matematis pertumbuhan kerapatan adalah sebagai berikut:


(31)

Keterangan:

Nt = ukuran populasi pada waktu ke-t N0 = ukuran populasi awal

K = kapasitas daya dukung lingkungan r = laju pertumbuhan

t = waktu ke-t

e = bilangan euler (e = 2,718281…)

Menurut Tarumingkeng (1992), model logistik dibangun berdasarkan asumsi-asumsi: (1) populasi akan mencapai keseimbangan dengan lingkungan sehingga memiliki sebaran umur stabil (stable age distribution), (2) populasi memiliki laju pertumbuhan yang secara berangsur-angsur menurun secara tetap dengan konstanta r, (3) pengaruh r terhadap peningkatan kerapatan karena bertumbuhnya populasi merupakan respon yang instantaneous atau seketika itu juga dan tidak terpaut penundaan atau senjang waktu (time lag), (4) sepanjang waktu pertumbuhan keadaan lingkungan tidak berubah, (5) pengaruh kerapatan adalah sama untuk semua tingkat umur populasi, dan (6) peluang untuk berkembangbiak tidak dipengaruhi oleh kerapatan.

2.4 Daya Dukung

Sharkey (1970) mendefinisikan daya dukung sebagai bobot satwa dari satu atau gabungan populasi yang dapat disokong secara permanen pada area tertentu. Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Bailey (1984) yang menyatakan bahwa daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat. Menurut Alikodra (2002), besarnya nilai daya dukung ditentukan oleh kondisi potensi makanan dan ruang. Selain itu nilai daya dukung tidak berlaku umum melainkan spesifik bagi suatu spesies tertentu pada waktu dan lokasi tertentu, sehingga kondisi habitat yan berbeda akan menyebabkan perbedaan daya dukung habitat. Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat, misalnya produkstifitas hijauan. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang


(32)

rumput dapat dilakukan dengan cara pemotongan hijauan pada suatu luasan sampel savanal, menimbang dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu.

Beberapa ahli membagi daya dukung atas dua kategori yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah kepadatan maksimum satwa yang masih dapat hidup secara lestari tanpa pemanenan dan rekayasa terhadap vegetasi, sedangkan daya dukung ekonomis adalah kepadatan satwa yang memungkinkan pemanenan maksimal secara lestari dan selalu lebih rendah dari daya dukung ekologis (Caughley 1976). Daya dukung ekologis terdiri dari tingkat kepadatan subsisten, tingkat kepadatan toleran, dan tingkat kepadatan aman. Sedangkan daya dukung ekonomis terdiri dari tingkat kepadatan pemanenan maksimum, dan tingkat kepadatan yang dampaknya minimum terhadap satwa lain dan habitatnya.

2.5 Pemanenan

Pemanenan merupakan salah satu komponen penting dalam program pengelolaan populasi satwa khususnya yang bernilai ekonomis, seperti rusa. Pengelolaan akan sangat menentukan tujuan dan target yang akan dicapai dalam pemanenan (Evans et al. 1999). Prinsip pemanenan dalam pengelolaan populasi adalah menyediakan panenan lestari, yaitu sejumlah hasil yang dapat diambil dari tahun ketahun tanpa menyebabkan penurunan populasi. Jumlah panen lestari tertinggi yang mungkin diperoleh disebut sebagai panen lestari maksimum (maximum sustainable yield), sedangkan panen lestari yang dapat diperoleh tanpa menyebabkan kerusakan disebut dengan panen lestari optimum (optimum sustainable yield) (Caughley 1977).

Pada pengelolaan Ungulata untuk tujuan pemanenan umumnya digunakan konsep tingkat kepadatan pemanenan maksimum, yaitu jumlah satwaliar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini dapat dicapai dengan cara mengatur faktor-faktor kesejahteraan, dengan demikian, keadaan pemanenan maksimum memerlukan pengelolaan secara intensif. Selain itu, juga diperlukan data dasar untuk menetapkan jumlah satwaliar maksimum yang dapat dipanen, dan memelihara populasi agar mencapai jumlah yang maksimum. Untuk mendapatkan jumlah hasil pemanenan maksimum yang tepat diperlukan berbagai fakta seperti model


(33)

populasi yang dapat disusun berdasarkan respon pertumbuhan populasi terhadap berbagai macam ukuran populasi dan kondisi produktifitas habitat (Adams 1971, Anderson 1971).

2.6 AnalisisBreak Even Point

Analisis Break Even Point (BEP) merupakan sebuah teknik yang telah digunakan secara luas oleh manajemen produksi dan manajemen akuntan. Tujuan dari analisis BEP adalah untuk menentukan jumlah pulang pokok (breakeven quantity) dari suatu produk dengan mempelajari hubungan diantara struktur biaya perusahaan, volume output, dan keuntungan (Martinet al. 1991). Jumlah pulang pokok yang ditentukan sebagai BEP adalah sejumlah unit yang harus terjual dalam upaya menghasilkan keuntungan sebesar nol tetapi akan menutupi biaya-biaya yang berhubungan, sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian. Dengan demikian prinsip dasar BEP adalah total penerimaan sama dengan total pengeluaran. BEP dapat dinyatakan dalam unit atau harga (FeedBurner 2008, Homeet al. 1995).

Analisis BEP berdasarkan pada pengelompokan biaya produksi atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap atau biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak bervariasi berdasarkan volume penjualan atau jumlah dari perubahan output. Biaya tetap bersifat independen terhadap kuantitas produk yang dihasilkan dan seimbang terhadap sejumlah harga yang tetap. Biaya variabel atau biaya langsung adalah biaya yang tetap per unit output tetapi berubah secara keseluruhan jika output berubah. Total biaya variabel diperhitung berdasarkan biaya variabel per unit dan mengalikannya dengan jumlah produksi dan penjualan (Martin et al. 1991).

Break Even Point dapat diketahui dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu,trial and error analysis,contribution margin analysis, danalgebric analysis (Martin et al. 1991). Asumsi yang digunakan dalam analisis BEP adalah (1) semua barang produksi terjual habis, (2) apabila harga jual dan biaya berubah, maka harga dan biaya produksi tetap. Analisis BEP dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajerial yaitu mengatur tingkat harga, menargetkan biaya tetap dan biaya variable yang optimal, menentukan pilihan strategi yang


(34)

berbeda bagi perusahaan, serta merencanakan penjualan setiap bulan atau setiap tahun. Selain itu, BEP berfungsi sebagai indikator kelayakan suatu usaha, dan sebuah teknik pengawasan operasi (Berry 2003). Namun demikian analisis BEP memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya (1) hubungan biaya-volume-keuntungan diasumsikan linier, (2) kurva total penerimaan diperkirakan meningkat secara linier dengan volume output, (3) diasumsikan produksi tetap dan penjualan tidak tetap, dan (4) perhitungan breakeven merupakan bentuk analisis yang statis. Oleh sebab itu analisis BEP digunakan untuk tindakan-tindakan manajerial, bukan untuk pengambilan keputusan akhir (Martinet al. 1991).


(35)

3.1 Letak, Luas dan Status Hukum

Dramaga yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, merupakan salah satu dari 13 dalam lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Secara administratif pemerintahan, Dramaga termasuk ke dalam wilayah Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Secara geografis, Hutan Penelitian Dramaga terletak pada posisi antara 6o32’59,04”–6o33’13,98” LS dan 106o44’0,06”–106o44’59,64” BT. Berdasarkan ketinggian tempat, areal Dramaga terletak pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut dengan luas keseluruhan adalah 57,75 ha. Sekitar 10 ha dari luasan tersebut, digunakan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research). Status hukum Dramaga adalah milik Departemen Kehutanan Republik Indonesia c.q. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (IPB & Dephut 1999).

Gambar 2 Peta Lokasi Dramaga. 3.2 Iklim dan Topografi

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe curah hujan di wilayah Hutan Penelitian Dramaga termasuk ke dalam tipe A dan tidak memiliki bulan kering. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Kls I Dramaga tahun 2005 sampai dengan 2007, suhu rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Oktober sebesar

Setu Gede

HP Darmaga CIFOR Penangkaran

Hutan Penelitian Dramaga


(36)

26,23oC dan terendah pada bulan Februari sebesar 25,33oC. Kelembaban relatif rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Februari sebesar 89,33% dan terendah pada bulan September sebesar 77% . Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Februari sebesar 364 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 71,5 mm, sedangkan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2383,5 mm.

3.3 Topografi dan Tanah

Bentuk wilayah datar sampai agak berombak dengan kelerengan 0–6% dan berada pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut. Tanah di areal Hutan Penelitian Dramaga termasuk latosol coklat kemerahan. Bahan induknya tuf volkan intermedier yang dicirikan oleh lapisan setebal ± 17 cm, berwarna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8, lembab) pada kedalaman 150 – 167 cm. Di bawah lapisan ini terdapat lapisan lain yang warna dan teksturnya hampir sama dengan tanah di atas lapisan induk.

Tanah latosol pada lapisan atas berwarna coklat tua kemerahan (5 YR 3/3, lembab) dan berangsur-angsur lebih cerah pada lapisan dalam (5 YR ¾, lembab). Tekstur liat sampai liat berdebu (halus), struktur gumpal sampai remah, konsistensi gembur, liat, plastis. Solum dangat dalam, batas lapisan umumnya baur, drainase sedang sampai baik dan air tanahnya dalam (8 – 12 m).

Reaksi tanah masam sampai sedang (pH 5,0 – 6,0), kadar C organik dan N sedang pada lapisan atas, rendah sampai sedang pada lapisan bawah, kadar P2O5 tinggi sekali, sedangkan K2O sangat rendah di semua lapisan. Kejenuhan basa rendah dan permeabilitas sedang, yaitu 4,31 cm/jam pada lapisan atas dan 0,22 cm/jam pada lapisan bawah (IPB & Dephut 1999).

3.4 Flora

Dramaga merupakan salah satu Hutan Penelitian di pulau Jawa yang mewakili ekosisitem dataran rendah. Sejak tahun 1956 sampai 1998 di Hutan Penelitian Dramaga telah diintroduksi sebanyak 130 jenis tumbuhan mencakup 88 marga dan 43 famili. Berdasarkan penyebaran alaminya terbagi atas jenis asli Indonesia dan jenis introduksi dari luar Indonesia. Jenis tanaman asli Indonesia berasal dari hampir seluruh pulau besar yang ada di Indonesia, mencakup Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Sedangkan jenis tanaman introduksi


(37)

berasal dari negara beriklim tropis dan subtropis. Jenis tanaman asing terdiri dari kelompok daun jarum (Gymnospermae) dan kelompok daun lebar (Angiospermae). Jenis yang dominan dari kedua kelompok ini adalahPinus spp, Khaya, danTerminalia. Untuk jenis tanaman asli Indonesia, pada kelompok daun jarum (Gymnospermae) terdiri dari marga Agathis, Pinus dan Podocarpus. Sedangkan pada kelompok daun lebar ((Angiospermae) terdiri dari Shorea, Eugenia, Diptecarpus, dan Hopea.

Tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga terdiri dari jenis jukut kakawatan (Cynodon dactylon), paku kawat (Lycopodium cernuum), kirinyuh (Eupatorium pallescens), paku areuy (Gleichenia linearis), dan harendong (Melastoma polyanhum) (IPB & Dephut 1999).

3.5 Fauna

Jenis-jenis fauna utama yang ditemukan di Hutan Penelitian Dramaga diantaranya, ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), tupai/bajing (Lariscus sp.), dan musang (Paradoxurus hermaphroditus) (IPB & Dephut 1999). Solihati (2007) menyatakan bahwa selama tiga periode pengamatan pada tahun 2006 di areal Dramaga, dijumpai 29 jenis burung yang termasuk ke dalam 20 famili dengan indeks keragaman 2,51. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Lonchura leucogastroides, Sterptopelia chinensis, dan Prinia familiaris. Jenis yang melimpah adalah Collocalia liinchi, Dicaeum trochileum, Lonchura leucogastroides, Passer montanus, dan Prinia familiaris. Selain itu terdapat dua jenis burung endemik Jawa yaituSpizaetus bartelsi danStachyris grammiceps. 3.6 Lokasi Penangkaran di Hutan Penelitian Dramaga

Hutan Penelitian Dramaga merupakan suatu areal percobaan dan penelitian yang secara keseluruhan memiliki luas 57,75 ha. Dari luasan tersebut 10 ha digunakan untuk perkantoran dan fasilitas CIFOR, seluas 35,85 ha digunakan untuk kegiatan hutan penelitian dan penyediaan fasilitas kerja, dan seluas 11,9 ha berfungsi sebagai areal penyangga. Sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan Hutan Penelitian Dramaga sebagai sarana koleksi dan pelestarian jenis-jenis pohon, maka sebagian besar vegetasi di Hutan Penelitian Dramaga merupakan


(38)

tegakan jenis-jenis pohon asli Indonesia dan eksotik yang telah berumur lebih dari 30 tahun.

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di dalam kawasan Hutan Penelitian Dramaga adalah pembangunan penangkaran rusa timor pada tahun 2008. Penangkaran tersebut diberi nama Pusat Pengembangan Teknologi Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis). Penangkaran yang diresmikan pembangunannya oleh Menteri Kehutanan H. MS Kaban pada tanggal 15 Mei 2008 ini menggabungkan kegiatan konservasi dengan kegiatan Eko Widya Wisata. Luas areal penangkaran yang direncanakan seluas hampir 7 hektar akan dikembangkan secara bertahap.

Dalam perkembangannya, populasi rusa timor di penangkaran terus bertambah melalui introduksi maupun kelahiran. Rusa yang berasal diintroduksi berasal dari penangkaran di Hutan Penelitian Haurbentes, Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor. Untuk selanjutnya, populasi terus ditambah dengan melakukan pengambilan dari berbagai sumber diantaranya Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Ukuran populasi sampai bulan Juni 2008 adalah 19 individu, yang terdiri dari 6 jantan, 9 betina, dan 3 anak.


(39)

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor yang merupakan salah satu Hutan Penelitian yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Penelitian berlangsung selama ± 5 (lima) bulan, dari Desember 2008 hingga April 2009.

4.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

(1) perlengkapan untuk inventarisasi tumbuhan, meliputi: pita meter, tali rafia, dantally sheet

(2) perlengkapan untuk pengukuran berat basah dan berat kering tumbuhan pakan rusa, meliputi: pagar bambu, tali rafia, gunting rumput, neraca timbang, timbangan digital merk AND GF-200 dengan ketelitian 0,001 g, oven elektrik, kantong plastik ukuran 2 kg, kertas koran, spidol permanen, (3) perlengkapan untuk pengamatan konsumsi pakan, meliputi: plastik terpal

ukuran 2 m, papan, paku, timbangan ternak merk Great Scale XK-3190A7 Weighing Indicator, timbangan ukuran 5 kg, gunting, parang, dan kantong plastik

(4) perlengkapan pembuatan spesimen herbarium, yakni: alkohol 70%, kertas koran, kantong plastik, dan label spesimen

(5) peta tematik Hutan Penelitian Dramaga skala 1:5000 yang memuat informasi mengenai tata ruang dan petak-petak percobaan tumbuhan di kawasan Hutan Penelitian Dramaga


(40)

4.3 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: komponen biaya penangkaran rusa, jenis tumbuhan bawah, jenis tumbuhan pakan, produktivitas hijauan pakan, tingkat konsumsi pakan, kebutuhan ruang per individu rusa, serta parameter demografi rusa timor (natalitas, mortalitas, dan laju pertumbuhan populasi). Data sekunder meliputi: kondisi biofisik Hutan Penelitian Dramaga, dan bioekologi rusa timor. 4.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data kondisi biofisik Hutan Penelitian Dramaga, komponen biaya penangkaran rusa, dan parameter demografi rusa timor. Sedangkan pengamatan langsung dimaksudkan untuk memperoleh data komposisi jenis tumbuhan bawah, jenis tumbuhan pakan, biomassa dan produktivitas tumbuhan pakan, serta tingkat konsumsi pakan rusa timor.

4.4.1 Kondisi Biofisik Habitat

Pengumpulan data biofisik Hutan Penelitian Dramaga dan kawasan di sekitarnya dilakukan melalui studi literatur untuk mengetahui karakteristik habitat dan lingkungan rusa timor. Data dan informasi berasal dari berbagai sumber seperti jurnal, hasil penelitian, dan laporan studi yang relevan. Selain itu data juga diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika.

4.4.2 Biaya Penangkaran

Pengumpulan data biaya penangkaran bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai komponen dan biaya yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran rusa timor. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pengelola penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Selain itu juga dilakukan studi literatur terhadap berbagai sumber data dan informasi yang relevan seperti jurnal, hasil penelitian, dan laporan.


(41)

Biaya penangkaran dikelompokkan menjadi biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang disusun berdasarkan sistem penangkaran, yaitu sistem intensif, semi intensif dan ekstensif. Untuk penyusunan biaya-biaya tersebut digunakan standar biaya yang berlaku secara lokal maupun nasional, yang mencakup standar biaya pegawai, tenaga kerja, upah, bahan dan pekerjaan. Standar biaya yang digunakan antara lain standar biaya umum tahun 2009, dan standar harga barang dan jasa pemerintah kota Bogor tahun 2009 yang diperoleh dari instansi terkait, diantaranya Departemen Keuangan dan Dinas Cipta Karya Kotamadya Bogor.

4.4.3 Parameter Demografi Rusa Timor

Data parameter demografi rusa timor digunakan untuk menentukan ukuran populasi awal rusa timor untuk Data yang dikumpulkan meliputi: natalitas, mortalitas, dan laju pertumbuhan populasi. Data diperoleh dari berbagai hasil penelitian ilmiah, dan laporan-laporan yang relevan mengenai rusa timor di berbagai tempat, serta kunjungan ke beberapa penangkaran rusa timor di wilayah Jawa Barat.

4.4.4 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah

Analisis vegetasi tumbuhan bawah bertujuan untuk mengetahui jenis dan komposisi tumbuhan bawah, serta jenis tumbuhan pakan rusa timor. Metode yang digunakan metode kuadrat dalam bentuk petak tunggal berukuran 1 m x 1 m. Petak contoh pertama ditempatkan secara acak pada lokasi pengamatan dan selanjutnya dilakukan secara sistematik dengan jarak antar petak 5 m. Jumlah petak contoh yang digunakan didasarkan pada kurva lengkung spesies area, dimana penambahan petak sampel akan dihentikan apabila tidak terdapat penambahan jumlah jenis spesies rumput lebih dari 5 – 10% (Oostinget al.1958 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988).

Petak contoh ditempatkan pada sembilan lokasi di dalam dan di luar areal penangkaran. Lokasi I, II, III, IX terletak di dalam penangkaran yang merupakan areal tempat kegiatan penangkaran diselenggarakan, sedangkan lokasi IV, V, VI, VII, dan VIII terletak di luar penangkaran, mewakili lokasi-lokasi yang berpotensi terdapat rumput dan hijauan sebagai sumber pakan rusa timor. Lokasi di dalam


(42)

penangkaran meliputi: areal kurang ternaungi, areal ternaungi di bawah tegakan, areal terbuka tanpa naungan, dan areal yang telah diolah di bawah tegakan. Lokasi di luar penangkaran meliputi: areal terbuka pada kebun murbei, areal ternaungi di bawah tegakan pada kebun murbei, areal berumput tanpa naungan yang terdapat pada dua lokasi, dan areal berumput di bawah naungan.

Data yang dikumpulkan adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, serta jenis tumbuhan pakan rusa timor. Selain itu pada setiap lokasi dicatat tingkat intensitas cahaya harian dengan menggunakan Lux meter. Pencatatan dilakukan pada pagi, siang dan sore hari selama tiga (3) hari.

4.4.5 Produktivitas Hijauan Pakan

Produktivitas hijauan pakan diduga melalui pengamatan tumbuhan pakan rusa timor pada petak contoh berukuran 1m x 1m. Sebanyak 5 petak contoh masing-masing ditempatkan secara sistematik pada sembilan lokasi pengamatan di dalam dan di luar penangkaran, sehingga total petak contoh pengamatan adalah 45 petak contoh. Lokasi pengamatan produktivitas hijauan pakan disesuaikan dengan lokasi pengamatan analisis vegetasi tumbuhan bawah. Pada setiap petak contoh dilakukan pemotongan setiap jenis rumput dan tumbuhan pakan rusa kemudian dibiarkan selama 20 hari. Setelah jangka waktu 20 hari tersebut, setiap jenis rumput dan tumbuhan hijauan pakan dipotong kembali, dipisahkan berdasarkan jenisnya, dan ditimbang berat basahnya (Prasetyonohadi 1986). Sisa bagian hijauan yang tertinggal akan dibiarkan tumbuh selama 20 hari, kemudian dilakukan pemotongan dan penimbangan kembali dengan cara yang sama sebanyak 3 kali.


(43)

Untuk mengetahui produktivitas dan ketersediaan dalam berat kering, serta kadar biomassa, dilakukan analisis biomassa terhadap ± 50 g bobot segar hijauan sampel yang diperoleh pada setiap pemotongan untuk setiap hijauan pakan. Selanjutnya sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 700C selama 48 jam. 4.4.6 Tingkat Konsumsi Pakan

Tingkat konsumsi pakan harian rusa timor diketahui dengan memberikan sejumlah hijauan pakan kepada empat (4) individu rusa timor yang dipelihara dalam kandang pemeliharaan yang terpisah. Empat rusa mewakili jenis kelamin jantan dan betina, serta kelas umur anak dan dewasa. Sebelum pengamatan, setiap rusa ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat badannya. Hijauan pakan juga ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya. Banyaknya hijauan pakan yang diberikan adalah dua kali sepuluh persen dari berat badan rusa. Berat hijauan sisa diketahui dengan menimbang hijauan yang tidak dimakan pada hari berikutnya. Selisih antara berat hijauan awal dengan berat hijauan sisa merupakan gambaran berat hijauan yang dimakan oleh rusa timor dalam satuan kilogram per hari. Pemberian hijauan pakan dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari selama tujuh (7) hari yang dianggap sebagai ulangan.

Gambar 4 Penimbangan rusa sebelum pengamatan konsumsi pakan (a) kandang individu, (b) penyiapan timbangan, (c) penimbangan rusa, (d) indikator timbangan

a b

d


(44)

4.5 Analisis Data

4.5.1 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah

Data analisis vegetasi ditabulasi untuk mengetahui jenis dan jumlah jenis tumbuhan bawah, serta tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi pengamatan. Selain itu, data vegetasi disajikan dalam bentuk matrik yang menggambarkan keberadaan jenis-jenis tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi.

4.5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan

Ketersediaan pakan rusa di Hutan Penelitian Dramaga ditentukan melalui penghitungan produktivitas hijauan, yaitu pertambahan biomassa tumbuhan pakan pada petak contoh dengan mempertimbangkan seluruh hijauan yang potensial sebagai sumber pakan, serta luas masing-masing lokasi. Ketersediaan pakan pada masing-masing lokasi diduga dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

= ketersediaan hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/th); BBi = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg)

A = luas areal lokasi (ha)

ai = unit contoh pengamatan ke-i (ha) t = waktu pengamatan (th)

fk = faktor konsumsi rusa (digunakan nilai 70%)

Ketersediaan hijauan pakan di dalam areal penangkaran merupakan ketersediaan hijauan pakan pada lokasi I, II, III, dan IX, sedangkan ketersediaan hijauan pakan di luar areal penangkaran merupakan ketersediaan hijauan pakan pada lokasi IV, V, VI, VII, dan VIII. Ketersediaan pakan total merupakan gabungan ketersediaan di dalam dan di luar penangkaran. Dalam bentuk lain, ketersediaan pakan total juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

P = ketersediaan hijauan pakan seluruh lokasi (kg/th)

p = produktivitas hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/ha/th) A = luas areal masing-masing lokasi (ha)


(45)

Untuk mengetahui ketersediaan hijauan pakan dalam berat kering, maka digunakan persamaan berdasarkan Semiadi (2006):

Keterangan:

KBi = kadar biomassa hijauan pakan pengamatan ke-i (%); BKi = bobot kering hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) BBi = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) 4.5.3 Tingkat Konsumsi Pakan Rusa

Tingkat konsumsi pakan merupakan selisih antara berat hijauan yang diberikan dengan berat hijauan yang tersisa. Rata-rata tingkat konsumsi pakan untuk 4 individu rusa selama 7 hari pengamatan dihitung dengan menggunakan persamaan:

Konsumsi pakan (kg/hr) = Berat hijauan pakan awal (kg) – Berat hijauan pakan sisa (kg)

4.5.4 Daya dukung habitat

Nilai daya dukung habitat merupakan perbandingan antara produktivitas hijauan dengan tingkat konsumsi, sehingga daya dukung dihitung dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

K = daya dukung habitat (individu/ha) P = ketersediaan hijauan pakan (kg/ha)

C = rata-rata komsumsi pakan setiap individu(kg/individu)

Berdasarkan pendekatan tiga sistem penangkaran rusa, yaitu sistem ekstensif, semi intensif dan intensif, maka daya dukung diduga berdasarkan ketersediaan pakan pada ketiga sistem penangkaran tersebut. Perbedaan ketersediaan pakan pada ketiga sistem tersebut terletak pada cara memperoleh tumbuhan pakan yaitu: tumbuhan pakan yang dapat langsung dikonsumsi dari alam (terletak di dalam areal penangkaran), dan tumbuhan pakan yang disediakan oleh manusia melalui pemotongan/cut and carry (terletak di luar areal penangkaran). Untuk sistem intensif, pakan berasal dari luar areal penangkaran.


(46)

Untuk sistem semi intensif, pakan berasal dari dalam dan luar areal penangkaran, sedangkan untuk sistem ekstensif pakan hanya berasal dari dalam areal penangkaran saja. Dengan demikian daya dukung untuk ketiga sistem penangkaran dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

K1 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran ekstensif (individu) K2 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran semi intensif (individu) K3 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran intensif (individu) PA = ketersediaan hijauan pakan yang terdapat di dalam areal penangkaran

(kg/th)

PB = ketersediaan hijauan pakan yang terdapat di luar areal penangkaran (kg/th)

C = rata-rata konsumsi pakan setiap individu (kg/th) 4.5.5 Kuota Panenan

Kuota panenan ditetapkan berdasarkan perhitungan nilai Break Event Point (BEP) yaitu jumlah panenan minimal yang masih layak pada suatu penangkaran rusa. Pendekatan BEP menggambarkan jumlah produksi minimal yang masih memungkinkan kegiatan penangkaran dapat terus diselenggarakan. Penentuan kuota panenan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:

a) Sistem penangkaran yang digunakan, meliputi: sistem ekstensif, sistem semi intensif, dan sistem intensif,

b) Jenis produk yang dihasilkan adalah satu jenis produk (single product) yaitu bibit rusa.

Dasar yang digunakan dalam penghitungan BEP adalah nilai biaya tetap dan biaya variabel yang ditetapkan berdasarkan biaya investasi masing-masing penangkaran. Selanjutnya, kuota panenan rusa timor yang dinyatakan sebagai Qt, dihitung dengan menggunakan persamaan (Homeet al. 1995):

Keterangan:

Qt = BEP/kuota panenan (individu/th) F = total biaya tetap (Rp./th)

P = harga jual per unit produk (Rp./individu)


(47)

4.5.6 Ukuran Populasi Pada Saat Pemanenan

Kuota panenan (Qt) yang telah ditetapkan merupakan jumlah rusa yang dapat dipanen setiap tahun sehingga populasi tetap lestari dan kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Kuota panenan dapat tercapai apabila ukuran populasi pada saat pemanenan mencukupi. Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY), maka ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Keterangan:

Nt = ukuran populasi pada saat pemanenan (individu) Qt = kuota panenan (individu/th)

h = laju pemanenan

r = laju pertumbuhan eksponensial

4.5.7 Ukuran Populasi Awal

Untuk mencapai kuota panenan dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka dilakukan perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan penangkaran dimulai. Ukuran populasi awal (N0) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan populasi terpaut kerapatan atau disebut juga model logistik (Caughley 1977). Persamaan dasar model logistik adalah:

Berdasarkan persamaan tersebut, maka ukuran populasi awal (N0) dapat ditentukan menurut persamaan:

Keterangan:

Nt = ukuran populasi pada waktu pemanenan (individu) N0 = ukuran populasi awal (individu)

K = daya dukung habitat (individu/th) r = laju pertumbuhan

t = waktu pemanenan (th)


(48)

Ukuran populasi awal dihitung berdasarkan peubah parameter demografi terutama laju pertumbuhan populasi dengan mempertimbangkan komposisi kelamin. Nilai laju pertumbuhan diperoleh dengan merata-ratakan atau menganalogikan dengan nilai natalitas dan mortalitas yang diperoleh dari penangkaran lain di Jawa Barat yang memiliki kondisi hampir sama dengan lokasi penelitian. Ukuran populasi awal juga ditentukan berdasarkan waktu pemanenan.

Untuk mengetahui pengaruh parameter pengamatan terhadap ukuran populasi awal, dilakukan analisis untuk mengetahui sensitivitas secara ekologi dan ekonomi. Sensitivitas secara ekologi bertujuan untuk melihat pengaruh parameter laju pertumbuhan terhadap kuota panenan dan ukuran populasi awal, sedangkan sensitivitas secara ekonomi bertujuan untuk melihat pengaruh parameter biaya operasional terhadap ukuran populasi awal. Pada penelitian ini digunakan kenaikan dan penurunan nilai sebesar 5% dari nilai awal masing-masing parameter.

4.5.8 Pendugaan Kebutuhan Areal Penangkaran

Pendugaan kebutuhan luas areal penangkaran rusa timor pada tiga sistem penangkaran dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis yang dimodifikasi dari Priyono (2007). Pendekatan yang digunakan untuk sistem ekstensif dan intensif adalah kebutuhan areal penangkaran berdasarkan ketersediaan pakan, sedangkan untuk sistem intensif digunakan pendekatan kebutuhan areal penangkaran berdasarkan kebutuhan terhadap ruang.

Keterangan:

Ax = kebutuhan areal penangkaran sistem ekstensif (ha) Ay = kebutuhan areal penangkaran sistem semi intensif (ha) Az = kebutuhan areal penangkaran sistem intensif (ha) N = populasi rusa (individu)

C = kebutuhan konsumsi setiap individu (kg/individu/th)

PA = produktivitas hijauan pakan di dalam areal penagkaran (kg/ha/th) PB = produktivitas hijauan pakan di luar areal penangkaran (kg/ha/th) R = kebutuhan ruang setiap individu (m2/individu)

fc = faktor koreksi bagi konsumsi setiap individu rusa (25%)

fr = faktor pengaman kebutuhan ruang setiap individu (2 kali kebutuhan ruang setiap individu)


(49)

4.5.9 Analisis Pemilihan Sistem Penangkaran

Sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ditentukan berdasarkan kuota panenan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan. Selain itu pemilihan juga mempertimbangkan produktivitas pakan, ketersediaan areal penaangkaran, dan sensitivitas secara ekologi dan ekonomi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ditetapkan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga.

4.5.10 Analisis populasi pada sistem penangkaran terpilih

Pada sistem penangkaran terpilih dilakukan penyusunan spesifikasi rusa yang mencakup ukuran populasi berdasarkan kelas umur, dan nisbah kelamin. Perkembangan populasi awal selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tabel yang menggambarkan perkembangan populasi pada tahun berikutnya. Dalam perhitungan ini digunakan data parameter demografi dan reproduksi seperti peluang hidup, kematian, persentase kebuntingan, persentase keberhasilan melahirkan, dan nisbah kelamin anak yang dilahirkan. Data tersebut diperoleh dari jurnal dan hasil penelitian yang relevan.


(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Jumlah dan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan

Hutan Penelitian Dramaga selain merupakan sarana koleksi jenis tumbuhan, juga merupakan habitat bagi rusa timor yang terdapat di penangkaran Pusat Penelitian Teknologi Penangkaran Rusa. Salah satu fungsi habitat adalah sebagai sumber pakan bagi rusa yang terdapat di dalamnya. Selain berupa tegakan pohon, pada Hutan Penelitian Dramaga juga terdapat vegetasi tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tumbuhan sumber pakan rusa timor. Tumbuhan bawah tersebut tersebar di beberapa lokasi dengan kondisi yang berbeda-beda sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kondisi beberapa lokasi tumbuhan bawah; (a) di bawah tegakan di dalam areal penangkaran, (b) di luar areal penangkaran, (c) pada padang rumput, (d) pada areal kebun murbei.

Tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga sebagian terdapat di dalam areal penangkaran, dan sebagian lainnya terletak di luar areal penangkaran. Pada beberapa lokasi, tumbuhan bawah terdapat di bawah tegakan pohon, dalam kondisi ternaungi, dan sangat kurang penetrasi cahaya matahari. Namun demikian terdapat juga areal yang tidak ternaungi berupa celah (gap), sehingga penetrasi cahaya matahari dapat mencapai lantai hutan. Selain itu, vegetasi tumbuhan bawah juga terdapat pada areal terbuka yang tersinari cahaya matahari sepanjang hari yaitu padang rumput, areal kebun murbei, dan areal penyangga. Kondisi lokasi dan vegetasi tumbuhan bawah pada setiap lokasi disajikan pada Tabel 1.

a b


(51)

Tabel 1 Kondisi lokasi, vegetasi tumbuhan bawah dan hijauan pakan di Hutan Penelitian Dramaga Kondisi Lokasi Karakteristik Rata cahaya harian (lux) Jumlah jenis tumbuhan bawah Jumlah jenis hijauan pakan Di dalam areal penangkaran:

I Terletak di dalam areal penangkaran di bawah tegakan pohon, telah dilakukan pemangkasan

4.638 11 7

II Terletak di dalam areal penangkaran, terdapat celah (gap) diantara tegakan pohon

2.567 10 5

III Terletak di dalam areal penangkaran di bawah tegakan pohon, ternaungi

5.718 6 3

IX Terletak di dalam penangkaran pada lahan terbuka berupa padang rumput

43.742 15 11

Di luar areal penangkaran:

IV Terletak di luar penangkaran di sekitar areal murbei

11.332 13 9

V Terletak di luar penangkaran pada areal kebun murbei

12.806 14 8

VI Terletak di luar penangkaran ternaungi

5.970 13 10

VII Terletak di luar penangkaran di areal penyangga, tidak ternaungi

15.116 13 9

VIII Terletak di luar penangkaran pada lahan terbuka, terdapat rumput

36.327 12 11

Sebagian besar lokasi di dalam areal penangkaran memiliki tingkat cahaya harian yang lebih rendah dibandingkan lokasi lain di luar areal penangkaran. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lokasi yang terletak di bawah tegakan hutan sehingga mengurangi sinar matahari yang sampai ke lantai hutan. Satu-satunya lokasi yang memiliki tingkat cahaya tinggi di dalam areal penangkaran adalah lokasi IX (43.742 lux) yang merupakan areal terbuka dan tidak terdapat tegakan pohon. Tingkat cahaya harian pada masing-masing lokasi disajikan pada Lampiran 1.

Jumlah jenis tumbuhan bawah dan hijauan pakan yang ditemukan pada areal yang tidak ternaungi lebih banyak dibandingkan pada areal yang ternaungi. Jumlah jenis paling sedikit terdapat pada lokasi III yang terdapat di bawah tegakan pohon, yaitu 6 jenis tumbuhan bawah dan 3 jenis hijauan pakan. Jumlah jenis paling banyak terdapat pada plot VII dan IX yang merupakan areal terbuka, yaitu 15 jenis tumbuhan bawah dan 10 jenis hijauan pakan. Jumlah jenis hijauan sumber pakan pada masing-masing lokasi disajikan pada Gambar 6.


(52)

Gambar 6 Jumlah jenis hijauan sumber pakan berdasarkan lokasi

Rusa timor merupakan satwa herbivora yang memakan hijauan dan rumput (grazer) disamping juga memakan ranting dan dedaunan (concentrate selector ataubrowser). Oleh sebab itu, ketersediaan tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga sangat penting artinya bagi penyediaan sumber pakan karena sebagian besar tumbuhan sumber pakan rusa timor tersedia pada tingkat vegetasi tumbuhan bawah. Pada sembilan lokasi di dalam dan di luar areal penangkaran pada Hutan Penelitian Dramaga ditemukan 38 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 20 famili, dan 23 jenis diantaranya merupakan tumbuhan yang berpotensi sebagai hijauan pakan rusa timor. Sebagian besar jenis tumbuhan bawah dan hijauan pakan yang mendominasi termasuk dalam famili Poaceae. Jenis dan dominasi jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada lokasi pengamatan disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 dan 3. Jenis-jenis tumbuhan/hijauan sumber pakan yang temukan pada masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 2.


(53)

Tabel 2. Penyebaran jenis-jenis hijauan pakan pada setiap lokasi

Lokasi Jenis hijauan pakan

I II III IV V VI VII VIII IX Total Ageratum conyzoides L.

Kyllingia monocephala Rottb. Calliandra callothyrsus Benth. Melastoma polyanthum L. Clidemia hirta L. Mimosa pudica L. Oxalis corniculata L. Piper aduncum L. Polygala paniculata L. Lycopodium cernuum L. Panicum montanum L. Setaria barbata Lam. Konth. Axonopus compressus P.B. Heirochloe horsfieldii Kunth.Maxim.

Imperata cylindrica L. Beauv. Leersia hexandra Swartz. Isachne globosa Thunb. Carex baccans Noes. Phyllanthus niruri L. Centela asiatica L. (Urb.) Mikania micrantha H.B.K. Commelina nudiflora L. Rottboellia grandulosa Trin.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 5 3 1 2 1 4 3 1 2 3 5 2 5 2 4 7 3 1 4 2 3 4 1

Total 7 5 3 8 8 9 8 10 10 68

Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis-jenis hijauan pakan yang dijumpai tersebar pada lokasi yang berbeda-beda. Beberapa jenis hanya ditemukan di bawah tegakan di dalam areal penangkaran saja seperti Calliandra callothyrsus, Melastoma polyanthum, Clidemia hirta,dan Lycopodium cernuum. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan IPB & Dephut (1999), yang juga menemukan Melastoma polyanthum danLycopodium cernuum di bawah tegakan pohon di HP Dramaga. Diduga jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang dapat beradaptasi pada lingkungan dengan tingkat cahaya rendah. Sebaliknya, beberapa jenis lain seperti Kyllingia monocephala, Imperata cylindrica, Mimosa pudica, dan Commelina nudiflora hanya dijumpai pada lokasi yang tidak ternaungi atau areal terbuka. Jenis-jenis tersebut umum dijumpai pada tempat terbuka dengan tingkat cahaya tinggi (Steenis 2006).

Jenis hijauan yang ditemukan pada lokasi pengamatan termasuk dalam daftar 60 jenis hijauan yang dikonsumsi rusa timor sebagaimana yang dikelompokkan oleh Semiadi (2006). Beberapa diantaranya adalah Ageratum conyzoides, Axonopus compressus, Imperata cylindrica, Panicum spp, Setaria


(54)

spp,Caliandra callothyrsus,Mimosa pudica,Oxalis corniculata, Piper aduncum, Lycopodium cernuum, danPolygala paniculata. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian Witchatitsky et al. (2005), yang menemukan beberapa jenis hijauan seperti Imperata cylindrica, Ageratum conyzoides, dan beberapa jenis dari jenis Carex sp.,Kyllingia sp., danLycopodium sp. pada rumen rusa timor.

Keberadaan jenis-jenis hijauan pakan tersebut sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pakan bagi rusa timor. Berdasarkan kondisi areal yang sebagian berupa tegakan pohon, maka perlu adanya pengelolaan jenis hijauan pakan. Moser et al. (2006) menyatakan bahwa pengelolaan tumbuhan sumber pakan bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hijauan yang dapat diperoleh dengan memperbesar ruang masuknya cahaya matahari pada areal berhutan dengan cara membuka sebagian kanopi pohon.

5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan

Produktivitas hijauan pakan potensial diketahui melalui pemanenan hijauan pakan sebanyak 3 kali dengan interval waktu pemotongan 20 hari pada 45 plot pengamatan berukuran 1 m x 1m yang tersebar pada sembilan lokasi. Hampir seluruh areal penangkaran dapat diakses oleh rusa untuk mendapatkan hijauan pakan. Namun demikian, hijauan yang ada tidak seluruhnya tersedia bagi rusa. Menurut Brown (1954) sebagian hijauan yang dapat dikonsumsi rusa disebut sebagaiproper use. Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya nilai proper use, diantaranya topografi, kondisi tanah, jenis tanaman, jenis satwa, tingkat kesuburan suatu jenis pakan, dan keadaan musim. Berdasarkan perilaku rusa timor dalam memakan hijauan di alam, yang teramati saat kunjungan ke beberapa penangkaran, tidak semua bagian hijauan dikonsumsi oleh rusa. Hanya sekitar 70% dari keseluruhan bagian hijauan yang dikonsumsi oleh rusa. Bagian tanaman yang dapat dimakan tersebut merupakan proser use, yang dalam penelitian ini disebut sebagai faktor konsumsi. Dengan demikian dalam pendugaan produktivitas hijauan yang langsung diperoleh rusa, berlaku asumsi bahwa proporsi bagian rumput dan hijauan yang efektif dikonsumsi oleh rusa adalah sebesar 70%. Sedangkan untuk produktivitas hijauan yang disediakan oleh manusia, asumsi faktor konsumsi tidak berlaku.


(1)

Lampiran 4. Lanjutan

TAHUN MEI JUN JULI AGS

TEMP CH RH TEMP CH RH TEMP CH RH TEMP CH RH

2005 26,4 105 85 25,9 310 87 25,6 105 83 25,7 102 82 2006 26 76 84 25,7 81 81 26,1 59 79 25,2 - 76 2007 26 61 86 25,6 60 83 25,6 88 81 25,4 41 79

7


(2)

Lampiran 4. Lanjutan

TAHUN SEP OKT NOP DES

TEMP CH RH TEMP CH RH TEMP CH RH TEMP CH RH

2005 26,1 161 82 26 320 84 25,8 305 85 25,5 274 86 2006 25,9 - 72 26,7 - 74 26,4 248 83 26,1 429 87

2007 26 - 77 26 - 81 25,9 183 81 25,3 344 89

8


(3)

Hari

Rata-rata pakan diberikan per individu

(g)

Rata-rata pakan sisa per individu

(g)

Rata-rata konsumsi pakan per individu

(g)

1 8.250 2.862,5 5.387,5

2 8.250 1.955,0 6.295,0

3 8.250 2.281,8 5.968,3

4 8.250 1.678,8 6.571,3

5 8.250 1.115,5 7.134,5

6 8.250 1.448,8 6.801,3

7 8.250 1.633,8 6.616,3

Rataan 8.250 1.853,7 6.396,3

Tabel 2. Berat badan rusa sebelum pengamatan Rusa Berat badan awal (kg)

1 37,11

2 29,52

3 59,46

4 35,78

Rataan 40,47

Keterangan:

1= Betina dewasa 2= Betina anak 3= Jantan dewasa 4= Jantan anak


(4)

Lampiran 6. Biaya investasi pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif

Komponen Biaya Investasi (Rp.)

Intensif Semi Intensif Ekstensif Pemeliharaan dan operasional:

- Kantor & Pusat Informasi 34.500.000 34.500.000 34.500.000

- Laboratorium dan klinik satwa 27.600.000 -

- Pos keamanan 3.000.000 3.000.000 3.000.000

- Papan nama 300.000 300.000 300.000

- Gudang pakan dan gudang alat 24.000.000 15.000.000

-- Sarana pengolahan limbah 20.250.000 -

-- Menara air 3.500.000 -

-- Kandang intensif 132.000.000 -

-- Kandang individu 13.200.000 -

-- Shelter 26.400.000 7.200.000

-- Tempat pakan 4.125.000 1.875.000

-- Kandang angkut 10.000.000 10.000.000 10.000.000

- Kebun pakan 195.000.000 65.000.000

-- Menara pengawas - 800.000 800.000

- Pagar kawat keliling dan sekat kandang - 420.000.000 420.000.000

- Pagar tembok kandang - - 15000000

- Pembinaan habitat - 220.000.000 260.000.000

- Kandang karantina dan perkawinan - 52.800.000

-- Pagar tembok kandang terminal - 15.000.000

-Perlengkapan penangkaran 16.781.250 16.781.250 16.781.250

Instalasi listrik dan air 27.349.200 21.541.200 21.541.200

Biaya listrik 7.200.000 6.000.000 6.000.000

Peralatan laboratorium dan klinik satwa 35.554.375 -

-Neraca pegas - 472.500 472.500

Sarana transportasi 96.500.000 96.500.000 96.500.000

Perlengkapan operasional perkantoran 9.850.000 9.850.000 9.850.000

Gaji dan Upah karyawan per tahun 96.960.000 84.120.000 37.980.000


(5)

Komponen Biaya Tetap (Rp./th)

Intensif Semi Intensif Ekstensif Pemeliharaan dan operasional:

- Kantor & Pusat Informasi 1.380.000 1.380.000 1.380.000 - Laboratorium dan klinik satwa 1.104.000 120.000

-- Pos keamanan 120.000 32.000 120.000

- Papan nama 12.000 12.000 12.000

- Gudang makanan dan gudang alat 960.000 600.000 -- Sarana pengolahan limbah 810.000 29.400.000

-- Menara air 140.000 3.696.000

- Kandang intensif 9.240.000 600.000

-- Kandang individu 924.000 504.000

-- Shelter 26.400.000 131.250

-- Tempat pakan 4.125.000 700.000

-- Kandang angkut 700.000 4.550.000 700.000

- Kebun pakan intensif 13.650.000 15.400.000

-- Menara pengawas - - 32.000

- Pagar kawat keliling dan sekat kandang - - 29.400.000

- Pagar tembok kandang terminal - - 600.000

- Pembinaan habitat - - 18.200.000

Perlengkapan penangkaran 1.174.688 1.174.688 1.174.688

Instalasi listrik dan air 1.093.968 861.648 861.648

biaya listrik 7.200.000 6.000.000 6.000.000

Laboratorium dan klinik satwa 1.422.175 -

-Neraca pegas - 18.900 18.900

Sarana transportasi 15.125.000 15.125.000 15.125.000

Perlengkapan operasional perkantoran 2.698.000 2.698.000 2.698.000

Gaji dan Upah karyawan per tahun 96.960.000 84.120.000 37.980.000


(6)

Lampiran 8. Biaya variabel pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif

Komponen Biaya Variabel(Rp./th)

Intensif Semi Intensif Ekstensif

Pemberian pakan intensif 1.401.600 657.000

-Pemberian konsentrat 1.095.000 1.095.000

-Pakan tambahan 547.500 547.500

-Biaya pengelolaan rumput tambahan 3.504.000 -

-Perawatan kesehatan dan obat2an 12.000 12.000 12.000

Biaya penangkapan rusa - 15.000 15.000

Biaya pengangkutan rusa 20.000 20.000 20.000

Biaya ear tag & legalitas satwa 100.000 100.000 100.000