DEMOKRATISASI DI MAROKO
BAB II DEMOKRATISASI DI MAROKO
Sebagai negara monarki di kawasan Timur Tengah dengan kultur otoritarian yang sangat kuat, proses demokratisasi di Maroko mengalami pasang surut sejak negara ini merdeka pada tahun 1956. Sejak meraih kemerdekaan Maroko sesungguhnya telah mengadopsi sistem pemerintahan demokratis dengan bentuk negara monarki konstitusional, sistem multipartai, dan pemilu parlemen yang rutin dilaksanakan. Akan tetapi, perebutan kekuasaan politik antara partai- partai politik dengan kerajaan kemudian menghambat keterbukaan sistem politik di Maroko. Tercatat Maroko telah melaksanakan amandemen konstitusi sebanyak
enam kali sejak tahun 1956. 75 Namun demikian, faktor eksternal seperti penyebaran norma demokrasi oleh aktor internasional seperti Uni Eropa (UE) dan
Amerika Serikat, serta faktor internal seperti tuntutan masyarakat sipil Maroko akan proses demokratisasi dalam pemerintahan Maroko, kemudian mendorong Maroko untuk memulai proses demokratisasi yang lebih nyata dalam aspek politik.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan proses demokratisasi di Maroko dalam aspek-aspek politik yang penting bagi demokrasi Maroko, yaitu pemisahan kekuasaan, penguatan peran parlemen, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Pemisahan kekuasaan yang jelas, dengan tidak adanya dominasi kekuasaan oleh eksekutif, legislatif, atau
75 Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elites and Struggles for Power in The Post-Independence State (New York: Routledge, 2007), hlm. 34 75 Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elites and Struggles for Power in The Post-Independence State (New York: Routledge, 2007), hlm. 34
pada demokrasi. 76
Demokratisasi adalah landasan bagi promosi demokrasi. Oleh karena itu, dengan melihat proses demokratisasi dalam tiga aspek politik dalam demokrasi Maroko tersebut, proses promosi demokrasi yang dianalisa dalam penelitian ini akan memiliki landasan yang jelas. Adapun dalam penjelasan mengenai reformasi dan proses demoratisasi di tiga aspek tersebut, penulis akan membagi uraian dalam tiga periode, yaitu periode awal transisi demokrasi – reformasi konstitusi 1996, pasca reformasi konstitusi 1996- reformasi konstitusi 2011, dan periode pasca reformasi konstitusi 2011-Desember 2013.
A. Pemisahan Kekuasaan
1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996
Proses demokratisasi secara nyata di Maroko baru dilaksanakan pada awal tahun 1990- an, yang disebut sebagai „periode transisi
76 Tasniem Anwar, Anne van Groningen, Rosa Hendriks Awuy, dan Tim Stork, “The State and Capacity of Civil Society,” Zeytun Research Paper , Morocco Program 2012-2013, University of
Amsterdam (2013), hlm. 43 Amsterdam (2013), hlm. 43
1990-an kemudian menjadi periode perubahan politik yang paling besar dalam sejarah Maroko pasca kemerdekaan. Periode ini ditandai dengan adanya dua perubahan konstitusional dan referendum rakyat pada tahun
1992 dan 1996, juga dua pemilihan legislatif pada tahun 1993 dan 1997. 78 Perubahan ini pada akhirnya mempengaruhi kerangka politik
Maroko menjadi lebih demokratis sekaligus lebih otoriter di saat yang bersamaan. 79 Raja Hasan II yang berkuasa pada periode ini, berusaha
melakukan rekonsiliasi dengan oposisi tradisionalnya, sekaligus tetap mempertahankan dominasi kerajaan. Hal ini dipicu oleh situasi yang tidak menguntungkan kerajaan, dimana terjadi protes besar-besara karena keterlbatan Maroko dalam Perang Teluk, sekaligus meningkatnya kekuataan oposisi utama, Partai Istiqlal dan USFP. Akibatnya, beberapa reformasi yang dilakukan pemerintah Maroko sejak „periode transisi demokrasi‟ pada tahun 1990-an, nyatanya tidak pernah menyentuh kekuasaan penuh yang dipegang Kerajaan. 80
Sebenarnya, reformasi konstitusi 1992 memberi dasar bagi pemerintahan Maroko yang lebih akuntabel, diantaranya dengan memberi hak bagi Perdana Menteri untuk memilih menteri dan membentuk
77 Maati Monjib, “The „Democratization‟ Process in Morocco: Progress, Obstacles, and The Impact of The Islamist- Secularist Divide,” Working Paper The Saban Center for Middle East
Policy at The Brookings Institution , No. 5 (Agustus 2011), hlm. 4 78 James Nadim Sater, Civil Society and Political Change in Morocco (New York: Routledge,
2007) hlm. 84
80 Ibid Storm, hlm. 54-55 80 Ibid Storm, hlm. 54-55
Partai Politik, karena di saat yang sama Raja memperkuat posisi Kerajaan dengan mempengaruhi partai politik agar tunduk kepada jaringan kerajaan ( Makhzen ), sehingga secara keseluruhan, pemerintahan tetap berada dalam kontrol Kerajaan.
Salah satu capaian penting di awal periode transisi demokrasi ini adalah Raja Hassan II berupaya membentuk sistem perwakilan ( alternance ) dalam pemerintahan Maroko guna memulai proses demokratisasi. Salah satu caranya adalah dengan mempersatukan oposisi tradisional, yaitu blok demokratis Koutla ke dalam pemerintahannya. Pada awalnya reformasi ini diharapkan mampu mewujudkan pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan Maroko, karena selama ini hubungan
Kerajaan dengan 82 Koutla tidak berjalan dengan baik.
Namun demikian, hubungan baik yang berusaha dijalin ini berakhir pada Januari 1995, ketika Raja Hassan II dianggap tidak konsisten untuk mempertahankan sistem perwakilan ini dengan menunjuk seorang teknokrat tanpa afiliasi politik sebagai Perdana Menteri. Kerajaan berusaha melanjutkan negosiasi dengan Koutla sebagai usaha agar oposisi tetap mendukung suksesi takhta Kerajaan dari Raja Hassan II kepada putranya,
81 Martina Warning, “Neighborhood and Enlargement Policy: Comparing the Democratization Impact of the European Union in Morocco and Turkey,” CIRES Working Paper Series, WP4
(2006), hlm. 18 82 Sami Zemni dan Koenraad Bogaert, “Morocco and the Mirages of Democracy and Good
Governance,” UNISCI Discussion Papers , No. 12 (Oktober 2006), hlm. 105
Mohammed VI. Negosiasi ini berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan referendum konstitusi pada 13 September 1996. Koutla pun menerima konstitusi baru 1996, dengan harapan suasana politis yang
terlegitimasi dan berdasarkan konsensus dapat terwujud. 83
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011
Konstitusi 1996 memang mendefinisikan Maroko sebagai „Kerajaan demokratis, sosial dan konstitusional‟, namun karakteristik
kekuataan eksekutif yang dipegang oleh Kerajaan menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Struktur dan institusi demokrasi formal Maroko sebenarnya dibayangi oleh struktur pemerintahan informal yang disebut Makhzen, yaitu jaringan Kerajaan yang menguasai garis kebijakan utama dan bertindak sebagai
penjaga segala bentuk reformasi politik. 84
Menurut aturan konstitusi 1996, Raja Maroko memiliki supremasi secara politik dan religius sehingga ia memiliki kekuasaan eksekutif yang luas dengan justufikasi religius yang tidak terbantahkan. Kekuasaan di Maroko memang dibedakan secara hukum dan fungsinya, namun pada praktiknya tidak ada pemisahan kekuasaan ( separation of power ), dengan
83 Ibid , hlm. 106 84 Kristina Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?,” ECFR/FRIDE Working Paper, No.01 (Mei 2008), hlm. 2
Kerajaan memimpin kekuasaan eksekutif dan memiliki pengaruh besar atas kekuasaan legislatif dan yudikatif. 85
Pada masa Raja Hassan II, Kerajaan sempat memperbolehkan pemerintahan oposisi berkuasa pada Maret 1998, dengan menunjuk Abdurrahman Youseffi, dari partai oposisi sosialis, merujuk pada aturan
baru konstitusi 1996. 86 Namun, hal ini tidak terlalu berpengaruh sebab seluruh menteri dalam pemerintahan oposisi adalah elit pendukung
kerajaan. 87 Adapun di bawah pemerintahan Mohammed VI berdasarkan aturan Konstitusi 1996, kerajaan tetap menjadi pemegang kontrol sistem
politik Maroko, serta berusaha mengendalikan kekuasaan legislatif. Selain itu, sistem pemilu nasional Maroko, yang didasarkan pada perwakilan tertentu, selalu menghasilkan parlemen yang terfragmentasi, sehingga
dengan mudah dapat diatur oleh Kerajaan. 88
Menurunnya tingkat kepercayaan rakyat serta dinamika politik di Maroko yang berubah pasca Revolusi Arab tahun 2010, menjadi momentum dimulainya proses demokratisasi di bidang politik Maroko. Komitmen menuju reformasi politik dimulai ketika Raja Mohammed VI melalui pidatonya pada tanggal 9 Maret 2011 mengumumkan rencana
85 Ibid 86 Marvine Howe, “Morocco's Democratic Experience,” World Policy Journal , Vol. 17, No. 1
(Spring, 2000), hlm. 66, [jurnal on-line], tersedia di http://www.jstor.org/stable/40209678 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014
87 Tom Pierre Najem, “State power and democratization in North Africa: Developments in Morocco, Algeria, Tunisia, and Libya,” Democratization in the Middle East: Experiences,
struggles,challenges , ed. Amin Saikal dan Albrecht Schnabel (New York: United Nation University Press, 2003), hlm. 188
Warning, hlm. 20 Warning, hlm. 20
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011- Desember 2013
Reformasi Konstitusi 2011 menekankan pada sejumlah perubahan penting dalam sistem politik Maroko, seperti meningkatkan demokratisasi, dengan memperkuat prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan dan membawa
seluruh pemangku kepentingan ke dalam proses politik. 90 Terkait dengan pemisahan kekuasaan dalam politik Maroko, ketentuan umum konstitusi
2011 pasal 1, menjelaskan bahwa: “The constitutional regime of the Kingdom is founded on the separation, the
balance and the collaboration of the powers, as well as on participative democracy of [the] citizen, and the principles of good governance... The territorial organization of the Kingdom is decentralized, founded on an advanced regionalization.” “Maroko adalah monarki konstitusional, demokratis, parlementer dan sosial. Rezim konstitusional Kerajaan didasarkan atas pemisahan, keseimbangan, dan kolaborasi kekuasaan, serta mengakui demokrasi partisipatif dari seluruh rakyat, prinsip-prinsip pemerintahan yang baik ( good governance )... organisasi teritorial
kerajaan juga didasarkan pada desntralisasi, dan regionalisasi lanjutan.” 91
Secara keseluruhan, konstitusi 2011 berhasil mendemonstrasikan „pembagian kekuasaan politik yang seimbang dan setara‟ yang selama ini
menjadi tuntutan utama rakyat Maroko. Keseimbangan kekuasaan antara Kerajaan dan Parlemen memang hanya terbatas pada kekuasaan eksekutif dan legislatif saja. Untuk kekuasaan militer dan keamanan, tetap berada di
89 John P. Entelis, “Morocco‟s “New” Political Face: Plus ça change, plus c‟est la même chose,”
Policy Brief Project on Middle East Democracy (5 Desember 2011), hlm. 2 90 “Morocco‟s 2011 Parliamentary Elections,” diakses dari http://moroccoonthemove.wordpress.com/faq-moroccos-2011-parliamentary-elections/ pada 5 Agustus 2014
91 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July 2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 4 91 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July 2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 4
kekuasaan independen di institusi eksekutif dan legislatif. 92
Kekuasaan eksklusif Raja terkait dengan isu-isu takhta Kerajaan, seperti penunjukkan Raja. Hal ini dijelaskan pada pasal 41, 44, 47, 51, 57,
59, 130, dan 174 konstitusi 2011. Adapun kekuasaan bersama antara Raja, Pemerintah, dan Parlemen, diwujudkan dengan pemberian kekuasaan kepada Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) dalam semua isu, kecuali isu yang berkaitan dengan takhta Kerajaan. Hal ini dijelaskan dalam pasal
49, 54, 104, dan 130 konstitusi 2011. 93
Penjelasan tentang pemisahan kekuasaan dalam konstitusi 2011 kemudian menjadi langkah awal yang positif dalam reformasi politik di Maroko. Adapun kemudian, dunia internasional khususnya negara-negara sahabat Maroko seperti AS, Uni Eropa, Perancis, maupun Inggris
merespon positif dan mendukung reformasi ini. 94 UE misalnya, memberi pernyataan resmi terkait reformasi pemisahan kekuasaan ini pada bulan
Maret 2011, melalui perwakilannya Catherine Ashton dan Stefan Füle yang menyatakan bahwa:
92 Abdelilah Belkaziz, “Morocco and democratic transition: a reading of the constitutional amendments – their context and results”, Contemporary Arab Affairs , Vol. 5:1 (2012), hlm. 41-42
93 Ibid , hlm. 42 94 “Morocco Is Irrevisibly Comitted To Democratic Reform and Good Governance,” diakses dari
http://moroccoonthemove.wordpress.com/press ‐releases‐morocco‐delivers/ pada 22 April 2014
“ The reforms include important commitments to enhancing democracy and respect for human rights; strengthening separation of powers notably by
increasing the role of parliament and the independence of the judiciary; advancing regionalisation and enhancing gender equality.”
“ Reformasi ini mengandung beberapa komitmen penting dalam mendorong demokrasi dan penghormatan terhadap HAM; memperkuat pemisahan kekuasaan
utamanya dengan meningkatkan peran parlemen dan independensi peradilan; meningkatkan regionalisasi, dan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. 95
Dukungan aktor internasional terhadap reformasi di bidang pemisahaan kekuasaan Maroko pasca reformasi konstitusi 2011 menjadi penting mengingat beberapa perubahan dan reformasi di bidang ini pada periode-periode sebelumnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak adanya tekanan terhadap Kerajaan untuk berkomitmen terhadap perubahan yang tertulis dalam konstitusi menyebabkan tersendatnya reformasi tersebut. Dalam hal ini, aktor internasional seperti Uni Eropa berperan penting untuk memberi tekanan dan memastikan komitmen Maroko terhadap reformasi yang dilaksanakan.
B. Penguatan Peran Parlemen
1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996
Selain menciptakan kekuasaan mutlak Kerajaan dalam politik dan pemerintahan Maroko, perubahan politik pada periode ini pada akhirnya juga melemahkan kekuasaan legislatif dan parlemen Maroko. Dalam
95 European Commission, “Joint statement by High Representative Catherine Ashton and Commission er Stefan Fule on the referendum on the new Constitution in Morocco”,
MEMO/11/478 (2 Juli 2011).
kondisi yang demikian, Parlemen Maroko tidak dapat menjalankan kebijakan yang tidak disetujui oleh Raja. 96
Hal ini ditegaskan oleh Raja Hassan II dalam salah satu pidatonya : “T he fact that I am delegating certain powers to the government and Parliament
does not mean that I am devolving or relinquishing these powers to them”
“Fakta bahwa saya mendelegasikan sejumlah kekuasaan kepada pemerintah dan parlemen tidak berarti bahwa saya memindahkan atau melepaskan kekuasaan ini
kepada mereka...”. 97
Lemahnya peran parlemen ini juga disebabkan tidak adanya celah bagi partai-partai oposisi untuk menentang Makhzen . Sebelum Pemilu legislatif 1997, partai-partai oposisi selalu berada di luar perundingan Makhzen dengan Kerajaan. Hal ini terbukti ketika Konstitusi 1996, yang memberi Raja kekuasaan eksekutif yang luas dan justifikasi relijius yang tidak terbantahkan, disetujui oleh 99,97 persen anggota parlemen meskipun partai-partai oposisi menyerukan boikot terhadap keputusan
ini. 98 Selain itu, dalam konstitusi 1996 ini Raja juga memiliki beberapa hak prerogatif yang melemahkan kekuatan legislatif, seperti menyetujui
dan mengadopsi keputusan parlemen, sekaligus dapat memveto keputusan tersebut. 99
Dengan kekuatan Kerajaan yang demikian besar, pemerintah dan parlemen lebih memilih melaksanakan keinginan Makhzen, daripada melaksanakan keinginan rakyat. Dengan Makhzen sebagai elit
96 Sater, Civil Society and Political Change in Morocco , hlm. 85 97 Ibid , hlm. 86 98 Ibid 99 Kristina Kausch, “The European Union and Political Reform in Morocco,” Mediterranean
Politics , Vol. 14, No. 2 (July 2009), hlm. 168 Politics , Vol. 14, No. 2 (July 2009), hlm. 168
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011
Meskipun dianggap melemahkan peran parlemen, konstitusi 1996 sebenarnya membawa perubahan yang lebih signifikan terhadap politik Maroko. Konstitusi ini menetapkan Maroko kembali menggunakan sistem bikameral dalam parlemen Maroko, yang terdiri atas Majelis Rendah dan Majelis Tinggi, setelah sebelumnya sistem ini pernah digunakan pada tahun 1962-1970. Anggota Majelis Rendah dipilih melalui pemilihan langsung, sedangkan anggota Majelis Tinggi dipilih melalui pemilihan tak langsung. Lebih lanjut, Konstitusi 1996 menetapkan Majelis Rendah sebagai parlemen yang lebih kuat karena dipilih secara langsung, dan
partai pemenang pemilu berhak membentuk pemerintahan. 101
Penetapan sistem bikameral ini merupakan salah satu capaian positif dalam proses demokratisasi Maroko. Namun, hal ini juga menimbulkan masalah utama sebagaimana terjadi di negara-negara yang menetapkan sistem bikameral, yaitu: partai-partai oposisi selalu mendesak amandemen konstitusi karena tidak puas dengan pemerintahan yang dibentuk oleh partai pemenang pemilu. Adapun di Maroko, partai-partai oposisi ini kemudian mendukung legitimasi dan peran Kerajaan dalam
100 Loc. Cit , hlm. 3 101 Gregory White, “The Advent of Electoral Democracy in Morocco? The Referendum of 1996,”
Middle East Journal , Vol. 51, No. 3 (Summer, 1997), hlm. 393 [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/4329087 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 Middle East Journal , Vol. 51, No. 3 (Summer, 1997), hlm. 393 [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/4329087 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014
yang dimiliki oleh Majelis Tinggi, seperti hak untuk memastikan bahwa pemerintahan sesuai dengan kondisi politik terkini, sejalan dengan hak prerogatif Kerajaan. Sehingga, majelis tinggi sering dipandang sebagai
„pembela kerajaan‟. 103
Meskipun kemajuan yang dicapai cukup signifikan, Kerajaan kembali berhasil melemahkan kekuatan parlemen pada Pemilu legislatif tahun 2002, namun dilakukan dengan cara yang berbeda. Pada saat itu, tidak ada koalisi formal yang benar-benar dominan dalam pemilu 2002. Maka, Raja Mohammed VI kemudian menunjuk Perdana Menteri bukan dari partai pemenang pemilu, yaitu Driss Jettou, mantan Menteri Dalam
Negeri Maroko sebagai Perdana Menteri. 104
Kondisi politik Maroko pasca pemilu 2002 kemudian meningkatkan keinginan parlemen untuk mengadakan reformasi politik. Hal ini kemudian diwujudkan dengan merubah kode pemilu baru pada tahun 2006. Parlemen akhirnya menyetujui sistem baru dimana partai- partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu akan dibedakan menjadi dua atau tiga blok yang berbeda untuk pemilu pada tahun 2007. Namun, sistem pemilu seperti ini justru mengurangi jumlah partai politik dalam
102 Lise Storm, Democratization in Morocco: The Political Elite and Struggles for Power in The Post Independence State , (New York: Routledge, 2007), hlm. 114
103 Ibid , hlm. 130 104 James N. Sater, “Parliamentary Elections and Authoritarian Rule in Morocco,” Middle East
Journal , Vol. 63, No. 3 (Summer, 2009), hlm. 386; [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/20622927 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 Journal , Vol. 63, No. 3 (Summer, 2009), hlm. 386; [jurnal on-line]; tersedia di http://www.jstor.org/stable/20622927 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014
Kegagalan dua reformasi Konstitusi di Maroko dalam meningkatkan peran Parlemen pada akhirnya mendorong pemerintah Maroko untuk melaksanakan reformasi konstitusi untuk yang ketiga kali sejak „periode transisi demokrasi‟ pada tahun 2011.
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013
Konstitusi 2011 menetapkan bahwa Kepala Pemerintahan akan ditunjuk dari Partai Politk yang memenangkan Pemilu Parlemen, serta perluasan kekuasaan Kepala Pemerintahan dan Parlemen, dengan memberi mereka kekuasaan legislatif. Hal ini ditegaskan dalam pasal 47
Konstitusi 2011, yang berbunyi: 106 “The King appoints the Head of Government from within the political party
arriving ahead in the elections of the members of the Chamber of Representatives.... On proposal of the Head of Government, He appoints the members of the government” “Raja menunjuk Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) dari partai politik yang memenangkan pemilihan legislatif. ...atas proposal Kepala Pemerintahan, Raja akan menentukan anggota kabinet...”
Pasca penetapan konstitusi ini, Maroko mengadakan pemilu legislatif pada tahun 2011. Hasilnya, koalisi yang dipimpin partai oposisi Islam, Justice and Development Party (PJD), memenangkan pemilu 2011. Pemimpin PJD, Abdelillah Benkirane kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri. PJD adalah partai oposisi utama terhadap koalisi partai loyalis
105 Ibid , hlm. 133 106 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July
2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 15 2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 15
Sejak tahun 1992, kerajaan dan RNI selalu berusaha melemahkan kekuatan PJD di parlemen dan pemilu legislatif karena popularitas PJD dan komitmen PJD terhadap demokrasi. Usaha ini, kemudian berlanjut ketika koalisi loyalis kerajaan mengusulkan mengadakan pemilu pada 2012. Adapun pada pemilu legislatif 2012 ini, Independence Party (Istiqlal) meninggalkan koalisi PJD dan bergabung dengan koalisi loyalis kerajaan. Namun, pemilu legislatif 2012 kemudian tetap menghasilkan
PJD sebagai pemenang. 108 Berikut adalah distribusi kursi dalam parlemen Maroko pasca pemilu 2012:
Tabel II.B.1. Distribusi Kursi Parlemen Maroko
Koalisi Partai di Parlemen Jumlah Kursi Party of Justice and Development
Party of istiqlali of unity and egalitarianism 60 Party of the National Rally of Independents
54 Party of authenticity and modernity
47 + 1 Party of the Socialist Union of Popular Forces
33 Party of Constitutional Union
Party of movement
23 Party of Democratic Progress
Sumber: Website resmi Parlemen Maroko, http://www.parlement.ma/en/_organo3.php?filename=201202011459500 pada 21 November 2014
107 Matt Buehler, “Safety-Valve Elections and the Arab Spring: The Weakening (and Resurgence) of Morocco‟s Islamist Opposition Party,” Terrorism and Political Violence Journal , No. 24
(2013), hlm. 140 108 Mohamed Daadaoui, “Party Politics and Elections in Morocco,” The Middle East Institute
Policy Brief , No.29 (May 2013), hlm. 6
Berkuasanya PJD sebagai partai yang berkomitmen terhadap demokrasi berpengaruh terhadap usaha-usaha pemerintah Maroko dalam meningkatkan peran parlemen. Salah satu capaian parlemen Maroko adalah mengadakan konferensi dalam mereformasi aturan prosedur pemerintahan ( Conference on Reforming Rules of Procedures ) pada tanggal 21 Maret 2012. Konferensi ini menghasilkan berbagai temuan dan rekomendasi yang menjadi inisiatif untuk pembentukan rencana strategis
( 109 strategic plan ) untuk meningkatkan kerja parlemen.
Dalam rencana strategis ini ada lima fokus utama yang ingin diperbaiki oleh parlemen Maroko: (1) peningkatan kerangka institusional dan manajemen parlemen, (2) pembangunan peran legislatif, (3) penguatan pemerintahan, (4) peningkatan peran diplomatik, dan (5) strategi komunikasi dan pembangunan komunitas. Adapun, lima fokus utama ini berasal dari kerangka kerja yang ditawarkan oleh UE terhadap parlemen
Maroko sebagai bagian dari program kawasan Selatan ENP. 110
Sama seperti reformasi dalam bidang pemisahan kekuasaan, Penguatan peran Parlemen yang ditunjukkan melalui Konstitusi 2011 kemudian juga diikuti dengan dukungan dari dunia internasional. Pada tanggal 23-25 Maret 2012, Maroko untuk pertama kali menggelar pertemuan parlemen negara-negara kawasan Selatan ENP yang diadakan
109 Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “Strategic Plan for Upgrading and Enhancing The Work of The House of Representatives,” (25 Desember 2012), hlm. 2, diakses
dari http://www.parlement.ma/en , pada 12 Oktober 2014 110 Ibid , hal. 3 dari http://www.parlement.ma/en , pada 12 Oktober 2014 110 Ibid , hal. 3
kawasan Mediterania Selatan. 111
Selain dengan UE, Maroko juga bekerjasama dengan aktor internasional lain dalam reformasi peran parlemen ini. Inggris misalnya, memberikan program dukungan terhadap reformasi di Maroko melalui
Westminster Foundation for Democracy (WFD), yaitu badan pembangunan demokrasi yang didanai oleh Kementerian Luar Negeri Inggris. Pada bulan Januari 2013, WFD dan Pemerintah Maroko menandatangani MoU untuk program „ Increasing political participation and transparency in the Moroccan parliament ‟ yang dilaksanakan selama periode 2012-2015. 112
C. Penguatan Peran Civil Society Organization (Organisasi Masyarakat sipil) Maroko dalam Pembangunan Demokrasi
1. Periode awal transisi demokrasi – Reformasi Konstitusi 1996
Meskipun masyarakat sipil Maroko telah tumbuh sejak masa dinasti Idrissiyyah di Maroko, seperti kelompok Ulama dan komunitas Berber, konsep masyarakat sipil baru memasuki ranah politik Maroko sej ak „periode transisi demokrasi‟. Hal ini utamanya disebabkan oleh berbagai reformasi dan perubahan yang terjadi di bidang politik dan
111 Kingdom of Morocco, Parliament The House of Representative, “The Parliamentary Assembly of the Union for the Mediterranean,” diakses dari http://www.parlement.ma/en , pada 12 Oktober
2014 112 Westminster Foundation For Democracy, “Increasing Political Participation and Transparency
in The Moroccan Parliament 2012- 2015,” (2014), hlm. 25 in The Moroccan Parliament 2012- 2015,” (2014), hlm. 25
Berber, atau komunitas anti korupsi. 113
Peran CSO di Maroko secara umum sangat terkait dengan masyarakat politik. Masyarakat sipil Maroko sendiri dikenal bebas dalam mengembangkan aktifitasnya. Namun, beberapa CSO yang aktifitasnya terkait dengan isu-isu tabu seperti monarki, pemisahan kekuasaan, atau kemerdekaan Sahara Barat segera dihentikan melalui berbagai langkah hukum oleh pemerintah. Sementara itu, media penyiaran sebagai satu- satunya media dengan cakupan nasional, dikontrol secara efektif oleh
negara. 114
Kontrol pemerintah terhadap CSO di Maroko sangat jelas terlihat, terutama untuk CSO yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan. Elit pemerintah menganggap bahwa segala bentuk asosiasi yang tujuannya berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan dianggap sebagai kompetitor dalam politik Maroko. Oleh karena itu, Makhzen
113 Driss Ben Ali, “Civil Society and Economic Reform in Morocco,” ZEF Project Research Paper, Universitat Bonn (Januari 2005), hlm. 3
114 Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?”, hlm. 3 114 Kausch, “How serious is the EU about supporting democracy and human rights in Morocco?”, hlm. 3
diredam. 115
2. Pasca Reformasi Konstitusi 1996 – Reformasi Konstitusi 2011
Pelemahan terhadap organisasi masyarakat sipil tetap terjadi pasca reformasi konstitusi 1996. Salah satunya, pada November 1996 pemerintah Maroko membekukan segala aktivitas Konfederasi Umum Pengusaha Maroko atau General Confederations of Morocco’s Enterprises (CGEM), di bidang politik, seperti keterlibatan dalam pembuatan hukum yang yang mengatur hubungan bisnis dan pemerintah dan kampanye anti
korupsi. 116
Namun demikian, ketika Raja Mohammed VI berkuasa, dibentuk beberapa kebijakan yang mendukung masyarakat sipil Maroko, seperti pembebasan tahanan politik, pers yang lebih bebas, pengurangan pelanggaran HAM, dan beberapa reformasi politik yang mendorong negara agar lebih akuntabel terhadap rakyatnya. Perubahan ini berdampak positif terhadap masyarakat sipil Maroko secara keseluruhan yang
115 , hlm. 4 116 Ibid Ben Ali, hlm. 6 115 , hlm. 4 116 Ibid Ben Ali, hlm. 6
Pada delapan tahun awal sejak periode transisi demokrasi, CSO di Maroko dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu asosiasi pengusaha, persatuan buruh, dan Partai Politik. Sementara itu, sejak awal 2000-an, pertumbuhan CSO di Maroko berkembang sangat pesat. Berdasarkan survei CIVICUS index, ada sekitar 30.000 hingga 50.000 CSO yang berkembang sejak
tahun 2000-2011. 118
Berkembangnya jumlah CSO di Maroko juga semakin mengembangkan jenis-jenis CSO di Maroko. Menurut CIVICUS index, segala organisasi yang tidak terkait dengan negara atau sektor privat, dan dikembangkan untuk kepentingan bersama masuk dalam lingkup CSO. Maka, tidak hanya organisasi non-pemerintah atau non-governmental organization (NGO) yang masuk dalam definisi CSO. Adapun menurut CIVICUS index, CSO di Maroko berkembang menjadi organisasi perjuangan HAM, organisasi jasa dan pembangunan, organisasi pendidikan dan budaya, organisasi keagamaan, gerakan sosial, Zawayat (persaudaraan keagamaan), media privat, asosiasi profesional, dan badan
amal. 119
117 Francesc o Cavatorta, “Civil Society, Islamism and Democratisation: The Case of Morocco,” The Journal of Modern African Studies , Vol. 44, No. 2 (Juni 2006), hlm. 211; [jurnal on-line];
tersedia di http://www.jstor.org/stable/3876155 ;internet; diakses pada 9 Oktober 2014 118 Azeddine Akesbi, “Civil Society Index for Morocco,” CIVICUS Civil Scoety Index Anlytical
Country Report: International Version (2011), hlm. 20 119 Ibid
Beragamnya kategori CSO di Maroko menyebabkan pengaruh mereka dalam kaitannya dengan pemerintahan dan pembentukan kebijakan sulit diukur. CIVICUS index melakukan survei terhadap masyarakat sipil Maroko pada tahun 2010-2011 untuk mengukur pengaruh CSO dalam kehidupan sosial dan politik Maroko. Hasilnya, hanya asosiasi pengusaha, Partai Politik, dan persatuan buruh yang dianggap memiliki pengaruh, dan posisi ketiganya hanya berada di urutan ketiga setelah institusi Kerajaan
dan Perdana Menteri serta Parlemen. 120
Pelemahan Partai Politik dan CSO-CSO yang mengusung isu politik oleh negara menjadi salah satu penyebab rendahnya pengaruh mereka dalam kehidupan sosial dan politik Maroko. Selain itu, pemerintah Maroko dengan pengaruh Makhzen yang sangat kuat juga membatasi pergerakan beberapa persatuan buruh yang memiliki afiliasi khusus dengan Partai Politik, seperti General Union of Moroccan Workers (GUMW) yang berafiliasi dengan Partai Istiqlal, dan Workers Democratic Confederation (WDC) yang berafiliasi dengan Partai Socialist Union of Popular Forces (SUPF). Persatuan buruh ini memiliki pengaruh yang
cukup kuat dalam parlemen, khususnya di Majelis Tinggi. 121
3. Pasca Reformasi Konstitusi 2011-Desember 2013
Kondisi masyarakat sipil dan CSO Maroko mulai mengalami perubahan sejak Revolusi Arab berlangsung. Di Maroko, Gerakan 20
120 Ibid , hlm. 21 121 Ibid , hlm. 10
Februari 2011 yang merupakan pengaruh dari Revolusi Arab menunjukkan dinamisme masyarakat sipil Maroko dan keinginan mereka untuk reformasi politik di Maroko. Gerakan ini diantaranya menyerukan perlawanan rakyat terhadap korupsi di kalangan birokrat dan anggota parlemen. Selain itu, gerakan ini juga menunjukkan beragamnya masyarakat sipil di Maroko dan isu yang diserukan, mulai dari feminis, aktivis HAM, pemuda, maupun kelompok Islamis. Dinamisme ini, menurut Rachid Tohtou dapat membangun jembatan penghubung antara
cara formal dan informal dalam politik Maroko. 122
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Raja Maroko kemudian merespon gerakan ini dengan melakukan reformasi konstitusi dan menetapkan Konstitusi 2011 sebagai Konstitusi baru. Adapun terkait peran dan kedudukan CSO dijelaskan dalam pasal 12 konstitusi, yaitu: “The associations of civil society and the non -governmental organizations are
constituted and exercise their activities in all freedom, within respect for the Constitution and for the la w... The associations interested in public matters and the non-governmental organizations, contribute, within the framework of participative democracy, in the enactment, the implementation and the evaluation of the decisions and the initiatives [projets] of the elected institutions and of the public powers..., The organization and functioning of the associations and the non-governmental organizations must conform to democratic
principles.of a decision of justice.” “Asosiasi masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah diakui dan melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kebebasan, dengan tetap mematuhi konstitusi dan hukum... Asosiasi yang berkaitan dengan masalah publik dan organisasi non pemerintah, berkontribusi dalam kerangka demokrasi partisipatif, dalam penetapan, implementasi dan evaluasi keputusan dan inisiatif yang diambil oleh pemerintah dan pemimpin publik..., pengelolaan dan fungsionalisasi asosiasi dan organisasi non pemerintah harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip
demokratis.” 123
122 Anwar, Van Groningen, Hendriks Awuy, dan Stork, hlm. 46 123 Jeffry J. Ruchti, Morocco: Draft Text of the Constitution Adopted at the Referendum of 1 July
2011 (New York: William S. Hein & Co., Inc: 2011), hlm. 8
Selain pasal 12, Pasal 13, 14, dan 15 juga memperbolehkan masyarakat sipil Maroko untuk berpartisipasi dalam pembuatan draf kebijakan parlemen, serta berperan aktif dalam membentuk, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan publik. Sementara itu, pasal 139 memperbolehkan pendirian mekanisme partisipatif di level daerah, sehingga masyarakat sipil Maroko dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan di level daerah.
Kejelasan status CSO dan posisi masyarakat sipil dalam kehidupan sosial dan politik Maroko di dalam konstitusi 2011 pada akhirnya dapat meredakan Gerakan 20 Februari. Namun demikian, keterlibatan aktor internasional dalam promosi demokrasi di Maroko seperti Uni Eropa dan AS justru semakin membentuk potensi CSO dan masyarakat sipil di
Maroko. 124 Pasca penetapan konstitusi 2011, kesempatan CSO lokal Maroko untuk bekerjasama dengan institusi internasional semakin terbuka.
Uni Eropa misalnya, membangun Civil Society Facility (CSF) di negara- negara European Neighborhood Policy (ENP), termasuk di Maroko. Uni Eropa juga mengalokasikan dana sebesar 34 Juta Euro pada periode tahun 2011-2013 untuk mendanai fasilitas ini. CSF sendiri bertujuan untuk
124 Karima Rhanem, “Morocco turns Arab spring into a summer of Reform,” Pidato dalam Euro- Arab Seminar on Empowerment of Youth Organization and Led Civil Society Initiatives (22-24
Maret 2012) Maret 2012)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya proses demokratisasi di Maroko telah berjalan sejak awal kemerdekaan, namun secara nyata baru dilaksanakan pada awal tahun 1990-an. Pada praktiknya, proses demokratisasi di Maroko lebih banyak mengalami hambatan karena tidak ada komitmen dari Kerajaan maupun pemerintah Maroko terhadap reformasi demokrasi yang ingin dilaksanakan. Oleh karena itu, aktor internasional seperti UE memiliki peran yang penting untuk memberi tekanan kepada pemerintah Maroko untuk benar-benar melaksanakan reformasi demokrasi.
125 European Commission, “ Joint Staff Working Document: Implementation of the European Neighbourhood Policy in 2013 Regional report : A Partnership for Democracy and Shared
Prosperity with the Southern Mediterranean Pa rtners, ” (27 Maret 2014) hlm. 10