KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN NYANYIAN TANGIS BERU SI JAHE

BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN NYANYIAN TANGIS BERU SI JAHE

3.1 Tangis Beru Si Jahe

Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nyanyian ini pada umumnya disajikan dengan gaya repetitif dengan mengutamakan teks daripada melodi (strofic-logogenic). Namun dalam perkembangannya beberapa tahun belakangan ini tangis beru si jahe bukan lagi disajikan untuk upacara adat namun menjadi salah satu bentuk hiburan dan telah difestivalkan.

Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si jahe disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat terdekat dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain itu, orang-orang yang didatangi oleh beru sijahe tersebut akan memberi dia makan (nakan pengindo tangis ) dimana tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe, maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan keluarga suaminya.

Pada umumnya teks dari tangis beru si jahe berisikan tentang kiasan dan perumpamaan. Seperti yang dapat dilihat dalam teks berikut di Bab VI “Nang...mela podinken enda berumu, tah terjampa-jampa berumu mengkuso kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna. Bisa saja nanti putrimu ini merasa bingung karena dia tidak tau apa yang akan dia perbuat.” Selain teks tersebut masih banyak lagi perumpamaan yang terkandung dalam teks nyanyian tersebut baik yang menangisi inangna (ibunya) maupun yang menangisi puhun (pamannya).

Yang dinyanyikan pada umumnya kebalikan dari kenyataan, hal tersebut dikarenakan si gadis merasa bahwa seolah-olah orang tuanya sudah tidak perduli bahkan mencampakkan dia. Selain itu dia nantinya tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti apa yang dirasakan selama ini di lingkungan keluarganya. Bahkan dia menuduh bahwa keluarganya menganggap dia sudah mati seperti yang disebut dalam teks nyanyian menangisi Puhunna berikut “Nang...nggo mo kepeken karinana memurpurken daging si melala inang ni beruna dekket bapani berruna puhun ni turang dekket bapani bere berena. Ternyata orang tuaku menganggap aku seperti orang sudah mati demikian halnya dengan engkau paman.”

3.2 Deskripsi Penyajian Nyanyian Tangis Beru Si Jahe Dalam Budaya Pakpak

Tangis beru si jahe pada masa ini digunakan untuk upacara adat perkawinan dan dianggap sakral.

Pada dasarnya tangis beru si jahe ditujukan kepada dua hal yaitu, untuk manusia dan untuk alam. Tangis beru si jahe yang ditujukan kepada manusia dimulai dengan menangisi orang tuanya, kemudian menangisi Puhun (paman), berikutnya menangisi namberru (bibi), selanjutnya menangisi rading-radingna (rekan-rekan ataupun teman-teman terdekatnya). Kemudian beru si jahe akan menerima petuah dan barang-barang untuk nantinya digunakan pada saat sudah berumah tangga. Selain daripada itu beru jahe akan menerima takal manuk (kepala ayam) dari setiap anggota keluarga yang ditangisi, dan semakin banyak kepala ayam yang diterima maka akan semakin tinggi derajatnya dikeluarga barunya nanti. Apabila kepala ayam itu banyak dibawa kerumah mertuanya nantinya, hal itu menandakan bahwa mereka taat akan adat istiadat Pakpak. Waktu yang baik untuk mengunjungi sanak saudara masa ini adalah sore hari (cibon atau boni ari, antara pkl 15.00-18.00)

Setelah menangisi orang tuanya, si beru jahe akan berangkat menuju rumah puhun (paman) dan sanak saudara lainnya, dia akan ditemani salah seorang rading (teman sebaya) dan seorang Ibu tua yang memiliki marga yang sama dengannya. Masing-masing sanak saudara diatas akan ditangisi setiap sorenya. Jika jumlah sanak saudara yang ditangis 7 orang maka dibutuhkan waktu tujuh hari untuk menangisi mereka. Hal ini memakan waktu yang lama sesuai dengan jumlah yang akan ditangisi dan lokasi tempat tinggal dari masing-masing sanak keluarga.

Pada masa itu mereka yang mengalami tangis beru si jahe akan berkumpul dan melakukan tarian sebagai pertanda bahwa mereka mengalami hal yang sama atau dengan kata lain mempunyai nasib yang sama. Setiap gerakan yang mereka Pada masa itu mereka yang mengalami tangis beru si jahe akan berkumpul dan melakukan tarian sebagai pertanda bahwa mereka mengalami hal yang sama atau dengan kata lain mempunyai nasib yang sama. Setiap gerakan yang mereka

Gambar No.2

Tamma Br.Bancin Penyaji tangis beru si jahe

Tamma Br. Bancin merupakan salah satu penyaji tangis beru si jahe. Beliau juga pernah mengalami hal tersebut. Beliau merupakan mantan penyanyi lagu daerah Pakpak, banyak lagu yang masih dihapal olehnya termasuk lagu perjuangan dan lagu opera. Walaupun usia beliau sudah sangat tua, namun beliau masih dapat dikatakan energik. Beliau masih sanggup menari dan karakter vokalnya masih sangat baik.

Gambar No.3 (Dokumen Pribadi 2014) Mencontohkan salah satu gerakan dembas (tarian Pakpak)

3.3 Deskripsi Penyajian Nyanyian Tangis Beru Si Jahe Pada Masa Sekarang

3.3.1 Penyajian

Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dari nyanyian tangis beru sijahe, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan P Merriam (1964:303) yang dikemukakan dalam tulisannya tentang Music and Culture is Dynamic dalam buku The anthropology of Music yang mengatakan “culture change begins with the processes of innovation. Type of innovation is variation, invention, tentation, dan culture borrowing ”.

Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataan perubahan itu Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataan perubahan itu

Alan P Merriam mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).

Pada masa sekarang tangis beru si jahe disajikan untuk kepentingan umum. Nyanyian ini sudah dipertunjukkan dihadapan umum bahkan sudah berkali-kali difestivalkan. Nyanyian ini disajikan dengan berbagai cara dan dengan persiapan yang matang. Misalnya untuk festival, para penyaji harus mengikuti prosedur dan segala aturan yang diutarakan oleh para Juri. Mereka harus belajar dari pelatih dan menghapal lirik demi lirik tangis beru si jahe yang diberikan oleh pelatih untuk dipertandingkan nantinya. Proses demi proses latihan dijalani oleh mereka yang nantinya mengikuti festival. Langkah-langkah yang harus mereka lalui yaitu: 1) menerima syarat-syarat dan aturan-aturan yang Pada masa sekarang tangis beru si jahe disajikan untuk kepentingan umum. Nyanyian ini sudah dipertunjukkan dihadapan umum bahkan sudah berkali-kali difestivalkan. Nyanyian ini disajikan dengan berbagai cara dan dengan persiapan yang matang. Misalnya untuk festival, para penyaji harus mengikuti prosedur dan segala aturan yang diutarakan oleh para Juri. Mereka harus belajar dari pelatih dan menghapal lirik demi lirik tangis beru si jahe yang diberikan oleh pelatih untuk dipertandingkan nantinya. Proses demi proses latihan dijalani oleh mereka yang nantinya mengikuti festival. Langkah-langkah yang harus mereka lalui yaitu: 1) menerima syarat-syarat dan aturan-aturan yang

4) penentuan kostum yang akan dikenakan dan properti yang digunakan pada saat festival. Festival dan Pertunjukan nyanyian tangis beru si jahe pada masa sekarang dilakukan di ruangan indoor maupun outdor. Seperti di gereja, di Aula Pertemuan bahkan di lapangan luas.

Pada masa sekarang festival tangis beru si jahe disajikan pada acara ulang tahun kabupaten, ulang tahun gereja, pesta gotilen gereja, pagelaran budaya Pakpak, ulang tahun Organisasi. Panitia akan mengadakan lomba dan menyediakan hadiah bagi pemenang. Menurut wawancara penulis dengan informan yang pernah memenangkan festival tangis beru si jahe yaitu Sorti br.Tumanggor (pernah memenangkan festival tangis beru si jahe pada tahun 2010) dan ibu br.Solin bersama ibu Munthe (juara harapan 1 festival tangis beru si jahe dalam acara pagelaran budaya Pakpak yang tahun 2012) mereka mendapat hadiah selain berupa uang tunai, mereka juga mendapat sertifikat, atau piagam penghargaan dan piala sebagai hasil dari kemenangan mereka.

Gambar berikut merupakan gambar Penyaji tangis beru si jahe pada saat mengikuti festival tangis beru si jahe dalam Penyelenggaraan Festival Budaya Daerah di Gedung Serbaguna Kota Salak pada tahun 2012. Dengan kata lain kita dapat melihat bahwa didalam gambar jelas kita lihat bahwa mereka berada diatas sebuah panggung yang indah, terdapat forografer, tukang syuting, serta mereka juga menggunakan mikrophone agar suara mereka didengar oleh orang-orang yang hadir dalam gedung tersebut.

Tujuan tangis beru si jahe ini diangkat kembali yaitu untuk melestarikan budaya Pakpak yang sudah punah, memperkenalkannya kembali pada masyarakat Pakpak terutama generasi muda. Supaya masyarakat Pakpak semakin mencintai budayanya dan menghargai adat isti adat yang ada.

Gambar No.4 (Hasil Rekonstruksi) Juara harapan tahun 2012 (br.Solin dan br. Munthe)

Dari hasil wawancara penulis dengan informan tersebut bahkan yang sudah pernah menjadi juri dalam festival tangis beru si jahe, Hal-hal yang dinilai dari festival tangis beru si jahe, antara lain yaitu:

1. Penguasaan panggung

2. Kelengkapan material

3. Kostum

4. Urutan tangis yang benar

5. Durasi waktu, dalam hal ini tidak boleh melebihi dari waktu yang ditentukan oleh panitia

6. Mimik/ekspresi

7. Logat (cengkok) yang tepat

8. Teknik vokal dan mampu mengikuti intonasi nyanyian tersebut

9. Penguasaan nyanyian, meresapi nyanyian, mengerti nyanyian

10. Kekompakan Pelaku dari pertunjukan maupun festival tangis beru si jahe tidak hanya mereka yang sudah tua, bahkan yang muda juga dapat menyajikan tangis ini. Karena disajikan dalam bentuk pertujukan ataupun festival pelakunya tidak harus yang mengalami tangis beru si jahe, namun mereka yang memiliki karakter vokal dan mampu menyajikan tangis beru si jahe dengan baik. Hal ini dikarenakan mereka juga memiliki pelatih dan mereka bisa belajar vokal dengan pelatih tersebut.

Berikut merupakan contoh gambar pertujukan nyanyian tangis beru si jahe yang diadakan di Sanggar Pelatihan musik Pakpak LP Mandiri di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Pakpak Bharat.

Gambar No.5 (Hasil Rekonstruksi)

Dalam hal ini penulis memilih ibu Munthe sebagai ibu (Inang ni beru si jahe ) dan ibu Solin (selaku sekdes Sukaramai) sebagai beru si jahe. Mereka pernah mengikuti festival tangis beru si jahe dalam rangka pagelaran Budaya Pakpak di gedung Serbaguna Kota Salak tahun 2012.

Berikut merupakan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan sebagai gambaran dari tangis beru sijahe yang dilaksanakan pada masa menjelang tahun 60-an

Gambar No.6 (Hasil Rekonstruksi) Nasi Putih

Nakan/nasi diberikan oleh orang tua si beru jahe yang memiliki makna sebagai suapan terakhir si ibu kepada si beru jahe dikarenakan akan ada perpisahan diantara mereka.

Gambar No.6 (Hasil Rekonstruksi) Manuk tasak/ayam yang sudah dimasak

Ayam yang dimasak merupakan salah satu menu yang disajikan orangtua kepada beru si jahe untuk dimakan. Namun yang paling dipentingkan dalam bagian ini yaitu kepala ayam tersebut (takal manuk). Kepala ayamlah yang nantinya akan dibawa si beru jahe ketempat keluarga barunya. Penulis menggunakan teori semiotika untuk menganalisis gambar diatas, bahwa ada terdapat tanda dimana kepala ayam menjadi perlambang bahwa semakin banyak kepala ayam yang dibawa si beru jahe ketempat keluarga suaminya, maka akan semakin tinggi pula derajat si beru jahe atau dengan kata lain keluarga dari si beru jahe taat akan adat. Tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe, maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan keluarga suaminya (wawancara dengan Ibu Tamma br.Bancin)

Gambar No.7 (Hasil Rekonstruksi) Baka berisi sirih

Setelah Ibu dari beru si jahe memberikan sekepal nasi kepadanya sebaliknya si beru jahe akan memberikan sirih kepada ibunya. Sirih yang ada dalam baka ini akan diberikan oleh beru si jahe kepada ibu sebagai tanda bahwa dia akan pergi dan melepas masa mudanya dan dia akan meninggalkan semua kebiasaan dan kenangan selama masih berada di lingkungan keluarganya.

Gambar No. 8 (Hasil Rekonstruksi) Tikar/belagen

Gambar nomor-6 Merupakan salah satu materi yang diberikan keluarga kepada beru si jahe untuk bekal nantinya saat membina keluarga baru.

Gambar No.7 (Hasil Rekonstruksi) Keseluruhan Perlengkapan

3.3.2 Pelaku Festival Tangis Beru Si Jahe

Pelaku festival Tangis beru si jahe:

1) Beru si jahe yaitu gadis yang akan di nikahkan dan yang menjadi objek utama penelitian.

2) Orang tua beru si jahe

3) Keluarga puhun yaitu mereka yang memiliki kedudukan tertinggi dalam adat Pakpak

4) Pihak namberu

5) Rading-rading yaitu teman sebaya dari beru si jahe

6) Juri, tim penilai dari festival tersebut

7) Tokoh-tokoh adat, budayawan

8) Tim audio/visual

9) Penonton Mereka yang disebutkan diatas merupakan orang-orang yang menjadi pelaku dalam pertunjukan/festival tangis beru si jahe.

3.3.3 Lokasi festival

Adapun yang menjadi lokasi festival tangis beru si jahe yang penulis teliti berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat berada di rumah Ibu Munte Lembaga Pelatihan Musik Pakpak (LPMP) Mandiri. Posisi pelaku berada di bagian depan sebuah ruangan seolah-olah berada dalam ruang pertunjukan. Mereka duduk di atas belagen/tikar putih dengan segala perlengkapan yang sudah ditata dengan rapi. Jarak mereka dengan penonton kira- kira 2m supaya penonton lebih bebas untuk menyaksikan penampilan mereka.

3.3.4 Jalannya festival

Festival tangis beru si jahe dilaksanakan setelah menempuh beberapa persiapan. Mulai dari menentukan kelompok-kelompok yang dapat diajak kerjasama, kemudian pendaftaran dan penentuan pelatih, proses latihan dan tahapan festival.

3.4 Perubahan yang Terjadi dari Nyanyian Tangis Beru Si Jahe

Perubahan yang terjadi dalam nyanyian tangis beru si jahe adalah perubahan konsep penyajian. Hal-hal yang berubah diantaranya adalah : penyaji tangis (pelaku), konsep penyajian, waktu penyajian tangis, dan lain sebagainya.

Berikut merupakan penjelasan dari perubahan dan keberlanjutan dari tangis beru si jahe.

3.4.1 Perubahan Penyajian dan Kontinuitas Tangis Beru Sijahe

Sebagaimana yang telah disebutkan di halaman 46 bahwa Alan P Merriam mengemukakan perubahan berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).

Perubahan yang terjadi dari penyajian tangis beru si jahe dimulai dari tahun 60-an hingga sekarang. Perubahan ini didasari karena kemajuan jaman, masuknya agama yang memberi larangan bahwa semua hal yang dianggap menentang agama harus dihapuskan dalam hal ini agama Kristen yang dalam pelaksanaan ibadahnya mengharuskan jemaat untuk bernyanyi secara bersama- sama sebagai bagian dari tata peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi bernyanyi secara bersama-sama ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan Perubahan yang terjadi dari penyajian tangis beru si jahe dimulai dari tahun 60-an hingga sekarang. Perubahan ini didasari karena kemajuan jaman, masuknya agama yang memberi larangan bahwa semua hal yang dianggap menentang agama harus dihapuskan dalam hal ini agama Kristen yang dalam pelaksanaan ibadahnya mengharuskan jemaat untuk bernyanyi secara bersama- sama sebagai bagian dari tata peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi bernyanyi secara bersama-sama ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan

Menjelang tahun 60-an tangis beru sijahe disajikan untuk upacara perkawinan, sedangkan pada masa sekarang sudah berubah dan disajikan untuk hiburan bahkan sudah difestivalkan. Tujuan diangkat kembali yaitu untuk memperkenalkan kepada generasi masyarakat Pakpak bahwa mereka pada masa dahulu memiliki suatu kebiasaan dalam adat perkawinan, serta untuk melestarikan kembali budaya-budaya Pakpak yang hampir punah.

Konsep penyajian tangis beru si jahe pada masa sekarang disesuaikan dengan urutan penyajian tangis pada masa dahulu. Awalnya si beru jahe menangisi ibunya dan mengungkapkan semua pertanyaan dalam hatinya mengapa dia harus dikawin paksakan. Berikutnya beru sijahe akan menemui puhun(paman) untuk meminta kepada pamannya jika bisa acara pernikahan tersebut dibatalkan. Kemudian dia menjumpai bibinya dan menerima nasehat-nasehat dari bibinya. Selanjutnya yaitu menjumpai kerabat terdekatnya untuk mengungkapkan kata- kata perpisahan. Yang berbeda yaitu para penyaji harus mengikuti prosedur dan setiap aturan-aturan yang diajukan oleh panitia, mengatur tata rias dan pakaian, belajar vokal dan penghayatan.

Namun pada masa sekarang, setiap peserta mengejar suatu kemenangan yaitu hadiah-hadiah yang dijanjikan oleh panitia lomba. Setiap peserta lebih memperhatikan penampilan daripada makna sebenarnya dari nyanyian tersebut.

3.5 Hal-hal Yang Melatar Belakangi Terjadinya Perubahan

Berikut ini merupakan beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan dalam nyanyian tangis beru si jahe. Selain Perubahan Yang Terjadi Dalam masyarakat yang mengikuti bagaimana perkembangan zaman, ada juga beberapa hal lain yang menjadi latar belakang perubahan dari penyajian tangis beru si jahe, antara lain yaitu:

1. Masuknya Agama Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat

setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26). Seluruh urusan adat diatur oleh aturan-aturan yang dibuat pertaki.

Akan tetapi, dengan datangnya agama Kristen ke daerah ini sekitar awal abad ke-20, secara lambat laun telah turut membawa perubahan terhadap konsep dan kebiasaan bernyanyi yang dianut oleh masyarakat Pakpak. Hal ini sejalan dengan ajaran agama Kristen yang dalam pelaksanaan ibadahnya mengharuskan jemaat untuk bernyanyi secara bersama-sama sebagai bagian dari tata peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi bernyanyi secara bersama-sama ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan saja. Nyanyian-nyanyian tradisi selain Nangan (nyanyian berceritera) dan Ende-ende mendedah (Inggris: lullaby, nyanyian menidurkan anak) tetap saja tidak lazim disajikan di depan umum, bahkan sampai sekarang. Walaupun beberapa kali disaksikan nyanyian-nyanyian Akan tetapi, dengan datangnya agama Kristen ke daerah ini sekitar awal abad ke-20, secara lambat laun telah turut membawa perubahan terhadap konsep dan kebiasaan bernyanyi yang dianut oleh masyarakat Pakpak. Hal ini sejalan dengan ajaran agama Kristen yang dalam pelaksanaan ibadahnya mengharuskan jemaat untuk bernyanyi secara bersama-sama sebagai bagian dari tata peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi bernyanyi secara bersama-sama ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan saja. Nyanyian-nyanyian tradisi selain Nangan (nyanyian berceritera) dan Ende-ende mendedah (Inggris: lullaby, nyanyian menidurkan anak) tetap saja tidak lazim disajikan di depan umum, bahkan sampai sekarang. Walaupun beberapa kali disaksikan nyanyian-nyanyian

Pengaruh agama yang semakin kuat menjadi salah satu faktor yang mengikis kekuatan dan pengaruh kepercayaan lama. Hal ini disesuaikan dengan visi dan misi keagamaan dan aturan-aturan keagamaan itu sendiri. Diatas tahun 60-an, masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama diasingkan dan dianggap tidak mengikuti aturan pemerintahan. Mereka biasanya berdomisili di daerah-daerah terpencil dan semakin hari semakin merosot (wawancara dengan Bapak Pandapotan Solin).

2. Kemajuan Ekonomi Sebelum menjelang tahun 60-an sistem perekonomian di wilayah Pakpak

Bharat masih menganut sistem perdagangan. Dengan kata lain barang ditukar dengan barang(barter). Emas dan kain yang bagus pada masa itu belum dianggap sangat berharga seperti sekarang ini. Pada masa sekarang, emas dan kain-kain yang bagus memiliki harga yang sangat tinggi. Tidak sembarang orang mampu membeli emas dan pakian mahal tersebut. Berbeda dengan jaman dahulu, perekonomian masih sistem barter.

3. Kemajuan Pendidikan Sebelum mengecap dunia pendidikan masyarakat Pakpak pada umumnya

masih buta huruf. Kemajuan pendidikan menjadi salah satu faktor perubahan dari penyajian tangis beru si jahe.

4. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Berkembangnya media sosial dan pengetahuan pada masyarakat Pakpak

menjadi salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan dalam budaya Pakpak. Internet, handphone dan media lain menjadi pengaruh besar terhadap terjadinya perubahan dalam budaya Pakpak. Dulunya segala sesuatu dibicarakan dari mulut ke mulut. Namun sekarang median sosial menjadi alat yang sangat canggih untuk membantu pekerjaan manusia. Misalnya dalam hal mengundang sanak saudara menghadiri suatu upacara adat, dapat menggunakan Handphone sebagai alat bantu walaupun dipisahkan jarak yang sangat jauh, tanpa harus berkunjung kerumah-rumah sanak saudara yang akan menghadiri pesta yang akan digelar. Kemajuan dunia telekomunikasi seperti internet juga menjadi pengaruh besar dalam perubahan yang terjadi dalam budaya Pakpak bahkan dunia. Informasi-informasi terbaru yang setiap detiknya berubah dapat secara cepat dan tepat diterima/diakses.

3.6 Fungsi Tangis Beru Sijahe

Berbicara mengenai fungsi musik, Alan P Merriam mengemukakan sepuluh fungsi musik yaitu: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi Berbicara mengenai fungsi musik, Alan P Merriam mengemukakan sepuluh fungsi musik yaitu: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi

Jika dilihat dari eksistensi, perubahan penyajian dan kontinuitas dari tangis beru sijahe, maka penulis menemukan ada delapan fungsi musik yang terdapat pada nyanyian tangis beru sijahe. Diantaranya, Fungsi pengungkapan emosional, Fungsi hiburan, Sarana komunikasi, Fungsi perlambangan, Fungsi reaksi jasmani, Fungsi norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan., fungsi pengesahan lembaga sosial.

3.6.1. Fungsi Pengungkapan Emosional

Bunyi yang dihasilkan oleh musik mampu mempengaruhi emosional dari pendengarnya. Baik sedih, senang, rindu dan lain sebagainya. Dari hasil yang penulis telah uraikan, tangis beru sijahe disajikan didepan sanak keluarga dari beru si jahe. Sehingga semua ungkapan perasaan yang ada dalam hatinya dapat diungkapkan dan sangat wajar untuk diselesaikan bersama. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan beru si jahe berikut ini “Nang...nggom(nggo mo) ko peahen kono menuman berumu le nang ni beruna”.

( Ibu...apakah engkau telah bosan mengasuh putrimu, tidakkah engkau mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku)

Ungkapan emosional tersebut merupakan salah satu frase teks tangis beru si jahe yang ditujukan sigadis kepada ibunya. Karena ibunya setuju dan rela melepaskan si beru jahe untuk ikut dan bersatu dengan keluarga suaminya yang Ungkapan emosional tersebut merupakan salah satu frase teks tangis beru si jahe yang ditujukan sigadis kepada ibunya. Karena ibunya setuju dan rela melepaskan si beru jahe untuk ikut dan bersatu dengan keluarga suaminya yang

Hal ini tidak sepenuhnya benar, namun diakibatkan kekhawatiran dari si beru jahe apabila dia sudah berada di lingkungan keluarganya yang baru, dia tidak mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian seperti yang diterimanya saat berada dilingkungan keluarganya.

3.6.2. Fungsi komunikasi

Umumnya nyanyian mengandung makna-makna yang dapat mempengaruhi pendengar. Nyanyian juga berfungsi sebagai sarana komunikasi kepada pendengar. Demikian halnya dengan apa yang dirasakan beru si jahe, dia mengungkapkan isi hatinya seolha-olah mengkomunikasikan kepada yang mendengarkan tangisnya tentang apa yang dirasakannya. Yang diungkap dalam teks nyanyian “nggom kepe peahen kono menuman berumu le nang ni beru na.”

Demikianlah salah satu frase teks nyanyian tangis beru si jahe yang mengatakan bahwa orang tuanya tidak lagi menyayanginya bahkan mengatakan bahwa ibunya sudah lupa saat-saat melahirkannya serta menuduh ibunya menelantarkannya.

Hal ini diungkapkan si beru jahe dalam bahasa teks yang dalam keseharian tidak layak untuk diungkapkan. Selain itu si beru jahe juga mengungkapkan keluh kesahnya kepada pamannya (puhunna). Dalam hal ini si beru jahe menuturkan segala kesedihan yang dirasakannya lewat syair-syair tangisannya dengan tujuan untuk Hal ini diungkapkan si beru jahe dalam bahasa teks yang dalam keseharian tidak layak untuk diungkapkan. Selain itu si beru jahe juga mengungkapkan keluh kesahnya kepada pamannya (puhunna). Dalam hal ini si beru jahe menuturkan segala kesedihan yang dirasakannya lewat syair-syair tangisannya dengan tujuan untuk

Selain beberapa hal diatas, sebelum tahun 60-an tangisan ini juga menjadi syarat bahwa dalam waktu dekat akan ada yang melangsungkan perkawinan. Masyarakat bisa memprediksikan tanpa harus ada yang mengumumkan secara langsung.

3.6.3. Fungsi Perlambangan

Pada masyarakat Pakpak, tangis beru si jahe merupakan perlambangan dari hal-hal, ide-ide serta tingkah laku si beru jahe dengan orang yang ditangisinya. Dengan menyajikan tangis, beru si jahe akan diberi makan(nakan

pengindo tangis 11 ). Orang tua beru si jahe akan menyuguhkan makanan berupa daging ayam yang dimasak, namun ada bagian yang tidak bisa dimakan pada

masa itu yakni kepala ayam. Kepala ayam tersebut nantinya akan dikumpulkan dari seluruh anggota keluarga yang ditemuinya dan ditangisinya yang kemudian akan dibawa nantinya ke rumah suaminya sebagai lambang bahwa si beru jahe, keluarga dan kerabat-kerabatnya adalah orang yang patuh terhadap adat.ada juga bentuk perlambangan lain yang terdapat dalam lirik tangis beru si jahe yang menyatakan penderitaan yang akan dialami nantinya di keluarganya yang baru. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan: “Nang...mela podinken enda berumu, tah terjampa-jampa berumu mengkuso kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna, Bisa saja nanti putrimu ini merasa bingung karena tidak tau apa yang akan ku perbuat.

11 nakan pengindo tangis: makanan yang disuguhkan oleh orang tua beru jahe sebagai

3.6.4. Fungsi Reaksi Jasmani

Bagian akhir dari frasa teks tangis beru si jahe umumnya selalu diakhiri dengan isakan tangis. Hal ini diakibatkan kesedihan yang mendalam yang dirasakan si beru jahe. Hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap orang yang mendengarkan, jika mereka benar-benar memahami apa yang di ungkapkan beru jahe tersebut maka mereka juga akan ikut mengeluarkan air mata seolah-olah mereka ikut merasakan kesedihan si beru jahe tersebut. Demikian juga terhadap orang yang ditangisi. Mimik, ekspresi dan tangisan si beru jahe akan mempengaruhi pendengar seolah-olah memberitahukan betapa sedihnya perasaannya pada masa itu.

3.6.5. Fungsi norma-norma sosial

Paman memiliki kedudukan tertinggi dalam upacara adat masyarakat Pakpak. Apabila paman membatalkan untuk menikahkan seorang keponakannya maka tidak ada yang bisa melarang. Hal tersebut menandakan bahwa Paman memiliki hak mutlak dalam adat.

3.6.6. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan

Adanya festival dan pertunjukan tangis beru si jahe menjadi salah satu wujud dari kesinambungan kebudayaan. Kelanjutan dari tangis beru si jahe ini menjadi salah satu wacana untuk mengangkat kembali, melestarikan dan Adanya festival dan pertunjukan tangis beru si jahe menjadi salah satu wujud dari kesinambungan kebudayaan. Kelanjutan dari tangis beru si jahe ini menjadi salah satu wacana untuk mengangkat kembali, melestarikan dan

3.6.7. Fungsi Lembaga Sosial

Lembaga sosial (yang menyangga kebiasaan-kebiasaan adat) dapatdisahkan oleh lagu-lagu yang ikut menyangga kebiasaan adat dan untuk mentaati peraturan-peraturan adat (merriam)

Dalam hal ini tangis yang ditujukan kepada orang tua, paman, bibi dan kerabat selain sebagai ungkapan perasaan juga merupakan permohonan dukungan dari mereka melalui nasehat, materi sebagai bekal perkawinan yang akan diberikan kepada beru si jahe tersebut. Melalui pemberian-pemberian tersebut diatas sudah merupakan salah satu pertanda bahwa secara adat kelompok sosial tersebut sudah memberikan pengesahan melalui apa yang mereka berikan masing-masing kepada beru si jahe.

3.6.8. Fungsi Hiburan/ Pertunjukan

Tangis beru si jahe sudah mengalami pergeseran fungsi yang dahulunya berfungsi sebagai upacara adat namun saat sekarang sudah dipertunjukkan di depan umum sebagai bentuk hiburan bahkan sudah berkali-kali difestivalkan yang mana pemenang festival mendapat hadiah dan penghargaan. Dalam hal ini yang lebih diutamakan adalah penampilan dan keindahan dari apa yang mereka pertunjukkan.