Tokoh Netral Tokoh Character

84 maneh Majasem lan Kemaguhan. Samya sumiwi nangkil, milane punika, ingsun kinen andusta, pinundut ing kadang mami, Sri Kemaguhan benjang ingsun kinanti, mila mukti ing nagari Pasantenan, tumut mangreh nagari. ... Asmaradana, pupuh 15-16; lan durma, pupuh 12-15 Yuyurumpung katanya, “Aduh adinda bagaimanakah gerangan, sepupuh dahulu engkau kuperintahkan agar supaya pergi mencuri keris dan mahkotanya Raden Sukmayana, apakah sudah dapat?”. Sondong Majruk berkata perlahan: “Aduh adinda ketahuilah, mahkota ini adalah hasil pencurianku. Mahkota ini konon menurut riwayatnya, bahwa barang siapa yang memakainya kelak akan menjadi raja di negeri Pesantenan, yang memerintah Paranggaruda, Carangsoka dan Majasem serta Kemaguhan. Mereka semua akan tunduk oleh saudaraku Dipati Kemaguhan, dan kelak aku turut menikmati kebahagiaan di negeri Pesantenan serta turut memerintah negeri”. ... Asmaradana, pupuh 15-16; dan Durma, pupuh 12-15 Kutipan di atas menunjukkan karakter Sondong Majruk yang sebenarnya, yaitu jahat, licik dan penguasa daerah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk menguasai Pesantenan beserta Yuyurumpung.

4.1.2.1.3 Tokoh Netral

Tokoh netral merupakan tokoh yang berperan netral atau penyeimbang, artinya tidak memihak kepada yang baik dan jahat, hanya meluruskan apabila terjadi permusuhan. Dalam cerita Dewi Rayungwulan terdapat tokoh netral, yaitu Nayagenggong dan Sabdopalon, yang merupakan abdi Raden Kembangjaya. Ini ditunjukkan pada saat Raden Kembangjaya difitnah Ni Suciyah, istri Raden Sukmayana kakak Kembangjaya dan abdinya Nyai Sepat yang disuruh memberikan keterangan palsu mengenai pelecehan yang dilakukan Raden Kembangjaya kepada Ni Suciyah. Kedua tokoh tersebut lebih dikenal sebagai Krida Pertanian karena lebih menangani semua kebun atau tegalan milik tuannya, 85 Raden Kembangjaya. Nayagenggong sama halnya seperti ”Sang Pamomong”, selalu memberikan nasehat tentang kehidupan, terutama bagi tuannya. Nayagenggong dianggap merupakan tokoh netral tetapi dapat dianggap pula tokoh protagonis. Nayagenggong merupakan abdi Raden Kembangjaya, yang bertempat tinggal di dukuh Banthengan. Hal ini dibuktikan dengan tidak memihak siapa yang benar dan yang salah. Bagaimanapun juga kebenaran harus ditegakkan. Sedangkan Sabdopalon juga merupakan abdi Raden Kembangjaya. Sabdopalon merupakan anak dari Nayagenggong. Dalam suatu kejadian Kembangjaya difitnah Ni Suciyah, kalau dirinya telah diperkosa Kembangjaya hingga sobek semua jaritnya tetapi oleh Nayagenggong itu hanya berita bohong yang disebarkan untuk suaminya, kakak Kembangjaya yaitu Raden Sukmayana, dan Nayagenggong menceritakan semua dari awal sampai akhir kejadian. Berikut kutipannya: S15 Nayagenggong menjelaskan kebenaran cerita kepada Sukmayana Nayagenggong lingnya sendu, duh raden tan mangkana, mangke kula tutur- tutur beneripun, yayi dika Kembangjaya punika atine becik, rayi dika Ni Suciyah lah punika ingkang culika sisip, kang rayi dipunririmuk, den jak ulah asmara, suprandene Kembangjaya datan purun, dipuncandak sabukira, den ajak manjing ing panti. Kembangjaya pun lumajar, rayi dika Suciyah anggendoli, binekta lumajeng metu, Suciyah nunya tiba, lajeng nangis tapihe sinuwek sampun, sarwi ngucap hiya dandang, sun warah kuntul sayekti. Sukmayana duk miyarsa, ing ature Nayagenggong sayekti, gegetunira kalangkung, pan sarwi rawat waspa. Sukmayana ananggapi sarwi ngrangkul, lah yayi apuranira, yektine salah wak mami anggugu wawadulira, kadangira ingkang asung pawarti, nanging ingsun nora nggugu, pun ora aturira, Nini Sepat karya seksi ing luputmu, sajarwa sira nyidra, marma ngandel ingsun iki. Mulane kang para sangar, ing satindak datan bisa nalisip, kang rayi umatur nuwun. ... Pangkur, pupuh 13-23 Nayagenggong katanya pedas: ”Aduh raden tidak demikian, nanti hamba mengatakan sesungguhnya. Adik paduka si Kembangjaya itu hatinya baik, sedangkan istri paduka Ni Suciyahlah yang bersalah. Adik paduka dirayu- rayunya, diajaknya bermain asmara, oleh karena Kembangjaya tidak mau, 86 lalu dipegang ikat pinggangnya dan diajak ke tempat tidur. Kembangjaya kemudian berlari, sedangkan istri paduka menggantunginya, hingga terbawa ke luar, Ni Suciyah jatuh lalu menangis sambil menyobek kainnya kuntul nanti. Ketika mendengarkan perkataannya Nayagenggong, Sukmayana sangat menyesal, serta berlinang-linang air matanya. Sukmayana menyambut serta merangkul: ”Adinda maafkanlah, aku sungguh-sungguh bersalah, sepupuh mempercayai pengaduan yang disampaikan oleh saudaramu, sedang tadinya aku tidak mempercayai, namun akhirnya perkataan Ni Sepat yang menjadi saksi akan kesalahanmu, bahwa engkau sungguh-sungguh berlaku tidak baik, makanya aku lalu percaya. Sepupuh itu bagi yang berbuat tidak baik, tindakannya tidak bisa disembunyikan, adiknya mengucap terima kasih. ... Pangkur, pupuh 13-23 Kutipan tersebut menjelaskan mengenai karakter Nayagenggong dan Sabdopalon yang tidak memihak, bukan karena Kembangjaya tuannya terus lebih dihargai, tetapi dalam hal ini Kembangjaya telah difitnah dan Nayagenggong melihatnya, sebaliknya apabila Kembangjaya bersalah pasti juga akan ditegur dan dinasehati.

4.1.2.2 Latar Setting

Latar setting merupakan waktu dan tempat yang berkaitan dengan terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar setting dalam cerita Dewi Rayungwulan dibagi menjadi tiga setting, yaitu: latar waktu waktu terjadinya peristiwa, latar tempat lokasi terjadinya peristiwa, dan latar sosial status sosial.

4.1.2.2.1 Latar Waktu Time Setting

Waktu terjadinya cerita Dewi Rayungwulan dalam Serat Babad Pati sekitar abad XIII M, ditandai dengan muncul tiga daerah dan tiga Penguasa Daerah. Telah dijelaskan pada ulasan sebelumnya, tepatnya pada tahun 1323, keadaan Pati Pesantenan saat itu ditemukan oleh tiga pembesar yang bergelar Adipati, yaitu: 1 Kadipaten Paranggaruda yang dipimpin oleh Adipati Yujopati.