11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang industri gula telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian ini telah berkembang dari tahun ke tahun.
Produksi gula di Jawa yang cenderung menurun dari tahun ke tahun berdampak signifikan terhadap produksi gula Nasional, mengingat
peran Jawa dalam menghasilkan gula masih 70 dari kebutuhan Nasional. Penurunan produksi tersebut merupakan akibat berkurangnya
areal di lahan sawah dan bergeser ke lahan tegalan yang menjauh dari Pabrik Gula, sehingga berdampak pula terhadap penurunan produktivitas
dalam rentang waktu bersamaan. Penurunan luas areal tanam merefleksikan merosotnya minat petani, sebagai reaksi rasional terhadap
rendahnya pendapatan riil dan nilai tukar term of trade secara konsisten selama satu dekade terakhir. Penurunan produktivitas merupakan
konsekuensi logis merosotnya kualitas teknis budidaya pada areal yang masih bertahan maupun pada areal baru di lahan kering Ditjenbun,
2003. Kebijaksanaan pengembangan industri gula Nasional Pantjar
Simatupang, 1999 menyampaikan bahwa kebijaksanaan Pemerintah tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja produksi dan
perdagangan gula dunia. Beberapa temuan penting yang harus dipertimbangkan disini adalah persatuan produksi dan sumber pasokan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
12
ekspor gula dunia pada sejumlah kecil negara seperti Brazilia, Australia dan Amerika
Haryanto 1991 Keunggulan Komparatif Pengembangan Gula di Indonesia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Jawa
dilaksanakan pada berbagai tipe lahan sawah, yang semula pada lahan sawah paling subur kemudian berkembang ke lahan sawah yang lebih
rendah tingkat kesuburannya. Usahatani tebu juga dijumpai pada lahan- lahan tegal di kawasan produksi pabrik gula di Jawa. Bila diasumsikan
bahwa perbedaan tipe lahan itu identik dengan tingkat kesuburannya, maka akan dijumpai keragaman tingkat produktivitas antara tipe-tipe lahan
tersebut. Berarti akan terdapat keragaman tingkat pendapatan rata-rata per hektar yang diterima petani. Disamping itu juga disebutkan di Jawa
dijumpai dua sistem usahatani yaitu, tanam tebu asal bibit selama 15 bulan dan tebu keprasan pertama selama 12 bulan. Berdasarkan sistem
ini maka akan terjadi pengorbanan lebih besar pada penggunaan lahan sawah dan lahan tegal untuk bertanam tebu. Sebenarnya terjadi semacam
“Persaingan” antara tebu dan tanaman pangan dalam penggunaan lahan. Tingkat pendapatan rata-rata per hektar tanaman dapat digunakan untuk
mengukur daya saing antara alternatif-alternatif penggunaan lahan tersebut.
Penelitian tentang kebijakan industri gula di Indonesia dilakukan oleh Susila dan Sinaga 2005 yang meneliti tentang kebijakan pemerintah
serta alternatif kebijakan yang terkait dengan industri gula di Indonesia.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
13
Metode yang digunakan adalah simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam
situasi perdagangan yang distortif, kebijakan yang berkaitan dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input,
guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif
impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan tebu rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara
dan perkebunan swasta. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah dalam menciptakan
medan persaingan yang adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor,
tariff-rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia.
Susila dan Sinaga 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia Yang Kompetitif Pada Situasi Persaingan Yang Adil. Hasil penelitian
antara lain : tiga upaya atau kebijakan yang perlu diprioritaskan. Pertama, meningkatkan efisiensi di tingkat usaha tani yang mencakup: 1
penanaman varietas unggul, 2 percepatan peremajaan tanaman keprasan, 3 optimasi masa tanam dan tebang, dan 4 perbaikan sistem
bagi hasil. Kedua, meningkatkan efisiensi pabrik gula melalui: 1 penutupan pabrik gula yang tidak efisien, 2 rehabilitasi pabrik gula yang
masih potensial, dan 3 konsolidasi pabrik gula yang lokasinya
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
14
berdekatan. Ketiga, menciptakan persaingan yang adil bagi industri gula Indonesia dengan tiga pilihan kebijakan, yaitu: 1 mempertahankan esensi
kebijakan tata niaga impor gula, 2 meningkatkan tarif impor menjadi sekitar 50, atau 3 menerapkan kebijakan provenue-tariff rate quota.
Pemerintah perlu pula memberikan insentif dan dukungan kebijakan untuk pengembangan industri gula di luar Jawa.
Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh Mardianto, Simatupang, Hadi, Malian dan Susmiadi 2005 mengenai pengaruh road map dan
kebijakan pengembangan industri gula nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga permasalahan utama yang dihadapi
Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan yaitu 1 produktivitas gula yang cenderung terus turun disebabkan antara lain karena
penerapan teknologi on-farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah, 2 impor gula yang semakin meningkat yang disebabkan karena harga gula
di pasar internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi yang sebenarnya, gula dijual di bawah ongkos produksinya, kebijakan
border measure yang sifatnya ad-hoc, dan banyaknya impor gula ilegal, serta 3 harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh
sistem distribusi yang kurang efisien. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pengembangan
industri gula di masa yang akan datang perlu disusun dalam Program Jangka Pendek 3 tahun, Program Jangka Menengah 10 tahun dan
Program Jangka Panjang 20 tahun. Program jangka pendek ditujukan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
15
untuk melakukan rehabilitasi pabrik gula dari sisi on farm penjenjangan kebun bibit dengan varietas unggul mulai dari KBP, KBN, KBI dan KBD, di
Jawa sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar internasional. Program
jangka menengah ditujukan untuk pengembangan pabrik gula di luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang
kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Program jangka panjang ditujukan untuk pengalihan pemilikan pabrik gula BUMN kepada petani
tebu, serta pengembangan industri berbasis tebu, seperti ethanol, alkohol, dan lain-lain. Selain itu perlu juga dilakukan revitalisasi kegiatan research
and development, dengan memberikan dukungan dana yang lebih memadai Mardianto et al, 2005.
Santoso, Soetriono, dan Prasongko 2006 melakukan penelitian tentang sistem pergulaan Jawa Timur: optimalisasi produk, distribusi, dan
kelembagaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur bersama PTPN dan P3GI telah berhasil
melaksanakan program bongkar ratoon tebu di Jawa Timur dengan proyek dana bergulir dari APBN. Keberhasilan ini memerlukan perawatan
dan keberlanjutan sustainaibility dan tidak boleh berhenti, program rawat ratoon perlu juga menjadi program unggulan untuk meningkatkan
produktivitas dengan fasilitas kemudahan yang disediakan oleh pemerintah daerah dan pelaku-pelaku bisnis terkait.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
16
Penelitian juga mempunyai implikasi kebijakan bahwa Pemerintah Daerah Jawa Timur seharusnya mengeluarkan suatu Perda yang
menyangkut Pengelolaan Terpadu Sistem Pergulaan Jawa Timur Integrated Sugar Management System of East Java. Sistem ini
diharapkan menjadi model yang bisa diterapkan dan dilaksanakan dengan baik dan benar, khususnya model alternatif Sistem Pengelolaan Produksi
Pergulaan Jawa Timur Sugar Production Management System of East Java, karena dewasa ini yang menjadi permasalahan utama adalah
sistem produksinya. Penelitian lain dilakukan oleh Abidin 2000 mengenai dampak
liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula Indonesia: suatu analisis kebijakan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak
liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula domestik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara eksportir, tingkat produksi
menjadi pertimbangan yang utama dalam mengekspor, sedangkan di negara importir, pertimbangan utamanya adalah harga impor dan tingkat
konsumsi. Di samping itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa intervensi pasar negara eksportir maupun importir akan mempengaruhi
harga gula dunia dan kebijakan kemandirian produksi gula domestik akan memperbaiki keragaan industri gula domestik pada era liberalisasi
perdagangan.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
17
Penelitian yang berkaitan dengan industri gula juga dilakukan oleh Mohammad Ilyas 2002 yang memfokuskan pada strategi pengembangan
industri gula di Jawa Timur, dengan objek penelitian 3 pabrik gula di Kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
lingkungan internal dan eksternal mempengaruhi upaya pengembangan gula di Kabupaten Sidoarjo. Secara berurutan, dari tingkat kekuatan
tertinggi hingga terendah, faktor internal yang berpengaruh adalah pemanfaatan sumber daya lokal, potensi areal, pengalaman berusaha
tani, pemanfaatan lembaga riset dan pengembangan serta kelembagaan petani. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah peningkatan
konsumsi gula per kapita, peningkatan produktivitas tebu, perluasan areal tanaman tebu dan peningkatan efisiensi pabrik gula. Secara berurutan
dari tingkat ancaman tertinggi hingga terendah, faktor eksternal dan berpengaruh adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, persaingan
usahatani tebu dengan usahatani lain, selisih harga gula produk dalam negeri dan gula impor, kebijakan pemerintah mengenai pengenaan pajak
impor gula sebesar 25 dan kestabilan politik pemerintah. Soekartawi 1991 menyatakan ada beberapa alasan mengapa kita
optimis dalam upaya mencapai swasembada gula, antara lain disebabkan adanya peluang meningkatkan produktivitas usahatani tebu, adanya
peluang untuk meningkatkan luas areal tanaman tebu, khususnya di lahan kering, adanya peluang untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan
efisiensi di pabrik gula dan adanya peluang untuk meningkatkan konsumsi gula per kapita.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
18
Pakpahan 1999 menyatakan bahwa industri gula Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan, namun demikian industri gula ini masih
memiliki prospek untuk ditingkatkan kinerjanya melalui program peningkatan produktivitas dan efisiensi yang dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Program peningkatan kinerja tersebut diperkirakan memerlukan transisi selama 3 tiga tahun. Dalam periode waktu tersebut
diperlukan insentif agar beban revitalisasi industri gula ini tidak terlalu berat. Mengingat kunci permasalahan adalah terletak pada produktivitas
dan efisiensi, maka upaya revitalisasi perlu difokuskan pada kedua aspek tersebut.
Susilowati 2005 meneliti tentang evaluasi kinerja kebijakan akselerasi peningkatan produktivitas gula dengan studi kasus di Pabrik
Gula Tjoekir, Jombang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program akselerasi peningkatan produktivitas gula terbukti dapat meningkatkan
luas areal, produksi tebu produktivitas tebu, rendemen, produksi gula dan produktivitas gula. Penurunan Harga Pokok produksi HPP dan
pemantapan kelembagaan ekonomi yaitu Koperasi Petani Tebu Rakyat KPTR sehingga pendapatan dan kesejahteraan petani tebu di Jawa
Timur meningkat. Situasi resesi ekonomi Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997
telah mengakibatkan pertumbuhan negatif dalam perekonomian Indonesia dan penurunan daya beli masyarakat, sehingga konsumsi per kapita dan
permintaan total gula pasir dan gula merah, baik konsumsi langsung
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
19
maupun tidak langsung di pedesaan, perkotaan pada tahun 1998 diproyeksikan menurun. Setelah tahun 1998 konsumsi per kapita
diproyeksikan sedikit meningkat meskipun dengan laju pertumbuhan yang sangat kecil sehingga konsumsi percapita gula putih dalam periode 1999-
2001 masih dibawah konsumsi per kapita tahun 1996. Baru pada tahun 2002 tingkat konsumsi per kapita gula pasir diproyeksikan akan pulih dan
sama dengan yang terjadi pada tahun 1996. Mulai tahun 2003 konsumsi percapita diproyeksikan akan meningkat cepat sejalan dengan
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Keragaan proyeksi konsumsi total gula pasir searah dengan proyeksi konsumsi per capitanya. Proyeksi
konsumsi langsung per kapita gula merah menunjukkan penurunan secara konsisten, sedangkan permintaan tidak langsung menunjukkan
penurunan di tahun 1998 dan sesudah itu menunjukkan peningkatan. Dalam konteks ini proyeksi total konsumsi gula merah menunjukkan
penurunan secara konsisten Purwanto, 1998. Penelitian Hafsah 1989 dalam Soekartawi 1991 menunjukkan
bahwa usahatani tebu bukan saja memberikan keuntungan kepada petani, tetapi juga berpengaruh nyata dalam perekonomian wilayah. Begitu juga
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perusahaan Gula Indonesia P3GI juga memberikan gambaran bahwa upaya swasembada
gula akan dicapai, walaupun hal tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Upaya untuk melakukan swasembada gula dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan efisiensi usahatani, memperbaiki sistem penyaluran
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
20
sarana produksi, menerapkan usahatani terpadu, membina sistem kelompok tani dan koperasi dan meningkatkan peran serta petani dalam
usahatani tebu. Pakpahan 1999 menyatakan bahwa industri gula Indonesia dalam
kondisi yang memperihatinkan, namun demikian industri gula ini masih memiliki prospek untuk ditingkatkan kinerjanya melalui program
peningkatan produktivitas dan efisiensi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Program peningkatan kinerja tersebut diperkirakan
memerlukan transisi selama 3 tiga tahun. Dalam periode waktu tersebut diperlukan insentif agar beban revitalisasi industri gula ini tidak terlalu
berat. Mengingat kunci permasalahan adalah terletak pada produktivitas dan efisiensi, maka upaya revitalisasi perlu difokuskan pada kedua aspek
tersebut. Soekartawi 1991 menyatakan ada beberapa alasan mengapa kita
optimis dalam upaya mencapai swasembada gula, antara lain disebabkan adanya peluang meningkatkan produktivitas usahatani tebu, adanya
peluang untuk meningkatkan luas areal tanaman tebu, khususnya di lahan kering, adanya peluang untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan
efisiensi di pabrik gula dan adanya peluang untuk meningkatkan konsumsi gula per kapita.
Haryanto, dkk., 1991 menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Jawa dilaksanakan pada berbagai tipe lahan sawah, yang semula pada
lahan sawah paling subur kemudian berkembang ke lahan sawah yang
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
21
lebih rendah tingkat kesuburannya. Selain usahatani tebu juga dijumpai pada lahan-lahan tegal di kawasan produksi beberapa pabrik gula di
Jawa. Bila diasumsikan bahwa perbedaan tipe lahan itu identik dengan tingkat kesuburannya, maka akan dijumpai keragaman tingkat
produktivitas antara tipe-tipe lahan tersebut. Berarti akan terdapat keragaman tingkat pendapatan rata-rata per hektar yang diterima petani.
Disamping itu juga disebutkan di Jawa dijumpai dua sistem usahatani yaitu, tanam tebu asal bibit selama 18 bulan dan tebu keprasan pertama
selama 28 bulan. Berdasarkan sistem ini maka akan terjadi pengorbanan lebih besar pada penggunaan lahan sawah dan lahan tegal untuk
bertanam tebu keprasan. Sebenarnya terjadi semacam “Persaingan” antara tebu dan tanaman pangan dalam penggunaan lahan. Tingkat
pendapatan rata-rata per hektar tanaman dapat digunakan untuk mengukur daya saing antara alternatif-alternatif penggunaan lahan
tersebut.
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Budidaya Tebu