EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR.

(1)

D

R

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan Oleh ANIK DWI NASTITI

NPM : 0864020015

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM SURABAYA


(2)

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR” untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas akhir guna mencapai derajat Magister Manajemen Agribis pada Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur di Surabaya.

Sehubungan dengan hal tersebut penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. Teguh Soedarto, MP selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. sebagai pembimbing pendamping yang telah

memberikan petunjuk yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini.

2. Rektor dan Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen dan staf yang telah memberikan kesempatan mengikuti kuliah di Program Pascasarjana UPN ” Veteran ” Surabaya

3. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis yang telah memberikan dukungan, semangat dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat.


(3)

semoga mendapat pahala dari Allah SWT, Amin.

Surabaya, 4 Januari 2010


(4)

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... ……… iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 11

2.2. Landasan Teori ... 21

2.1.1. Budidaya Tebu ... 21

2.1.2. Perkembangan Industri Gula Di Indonesia ... 30

2.1.3. Perkembangan Tanaman Tebu Di Indonesia ... 32

2.1.4. Potensi Tebu di Indonesia dan Jawa Timur ... 35

2.1.5. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional ... 39


(5)

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 50

3.1. Kerangka Pemikiran ... 50

3.2. Hipotesis ... 54

IV. METODE PENELITIAN ... 55

4.1. Penentuan lokasi ... 55

4.2. Populasi dan Contoh ... 55

4.3. Jenis data ... 56

4.4. Pengambilan Data ... 56

4.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 56

4.6. Analisis Data ... 57

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

5.1. Deskripsi Pabrik Gula di Jawa Timur ... 61

5.2. Pelaksanaan Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur ... 62

5.3. Dampak Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur ... 67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

6.1. Kesimpulan ... 97

6.2. Saran ... 97


(6)

Judul Halaman 1. Pertumbuhan Luas Arel Giling Tebu di Propinsi Jawa

Timur, Tahun 1998-2007 ... 67 2. Pertumbuhan Produksi Tebu di Propinsi Jawa Timur,

Tahun 1998-2007 ... 72 3. Pertumbuhan Produksi Gula di Propinsi Jawa Timur,

Tahun 1998-2007 ... 76 4. Pertumbuhan Rendemen di Propinsi Jawa Timur, Tahun

1998-2007 ... 79 5. Pertumbuhan Produksitivitas Tebu di Propinsi Jawa Timur,

Tahun 1998-2007 ... 84 6. Pertumbuhan Produksitivitas Gula di Propinsi Jawa Timur,

Tahun 1998-2007 ... 89 7. Hasil Uji-t ... 93


(7)

Judul Halaman 1. Kerangka Pemikiran ... 51 2. Perkembangan Luas Arel Giling Tebu Sebelum Program

Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 68 3. Perkembangan Luas Arel Giling Tebu Sesudah Program

Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 69 4. Perkembangan Produksi Tebu Sebelum Program Bongkar

Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 74 5. Perkembangan Produksi Tebu Sesudah Program Bongkar

Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 75 6. Perkembangan Produksi Gula Sebelum Program Bongkar

Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 77 7. Perkembangan Produksi Gula Sesudah Program Bongkar

Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 78 8. Perkembangan Rendemen Sebelum Program Bongkar Ratoon

di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 81 9. Perkembangan Rendemen Sesudah Program Bongkar Ratoon

di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 82 10. Perkembangan Produksitivitas Tebu Sebelum Program

Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 86 11. Perkembangan Produksitivitas Tebu Sesudah Program

Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 87 12. Perkembangan Produksitivitas Gula Sebelum Program

Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2003 ... 90 13. Perkembangan Produksitivitas Gula Sesudah Program


(8)

Judul Halaman

1. Laporan Produksi Giling Tahun 1998 ... 101

2. Laporan Produksi Giling Tahun 1999 ... 103

3. Laporan Produksi Giling Tahun 2000 ... 105

4. Laporan Produksi Giling Tahun 2001 ... 107

5. Laporan Produksi Giling Tahun 2002 ... 109

6. Laporan Produksi Giling Tahun 2003 ... 111

7. Laporan Produksi Giling Tahun 2004 ... 113

8. Laporan Produksi Giling Tahun 2005 ... 115

9. Laporan Produksi Giling Tahun 2006 ... 117

10. Laporan Produksi Giling Tahun 2007 ... 119

11. Rekapitulasi Data Selama 10 Tahun (Tahun 1998-2007) ... 121


(9)

Anik Dwi Nastiti. NPM : 0864020015. Evaluasi Kebijakan Bongkar Ratoon dan Keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur. Pembimbing Utama Prof. Dr. Teguh Soedarto, MP dan Pembimbing Pendamping Dr. Ir. Zainal Abidin, MS.

Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional tahun 2003-2007 (biasa disebut bongkar ratoon), dalam rangka meningkatkan produksi gula nasional dengan tiga kegiatan yaitu: rehabilitasi tanaman melalui bongkar ratoon, penguatan kelembagaan, dan rehabilitasi/peningkatan kinerja pabrik gula dari sisi on farm berupa pembangunan Kebun Bibit. Melalui program akselerasi ini diharapkan produksi dan produktivitas gula meningkat. Namun, pada kenyataannya, program akselerasi baru menyentuh sebagian aspek on-farm, yaitu berupa kegiatan bongkar ratoon yang ditindaklanjuti dengan replanting tanaman tebu varietas unggul dan dukungan berupa pembangunan kebun bibit secara berjenjang, serta peningkatan pemberdayaan petani tebu dan koperasi.

Tujuan penelitian antara lain : (1) mengevaluasi pelaksanaan Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur, (2) mengukur dampak kebijakan Program Bongkar Ratoon terhadap keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur.

Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder : data luas areal, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula, produktivitas gula kurun waktu 10 tahun (1998 s/d 2007). Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif, tren linear dan uji beda rata-rata.

Hasil penelitian antara lain (1) sasaran pelaksanaan program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional (Bongkar Ratoon) di Jawa Timur dilihat dari tingkat produksi gula sudah mencapai yaitu tercapainya produksi gula sebesar 1,2 juta ton/tahun (tahun 2007 sebesar 1.205.997,40 ton) sedangkan ditinjau dari rata-rata rendemen belum mencapai 8,79% (tahun 2003-2007 sebesar 7,05%) (2) dampak program Bongkar Ratoon di Jawa Timur ditinjau dari rata-rata sebelum dan sesudah program pada luas areal giling, produksi tebu, produktivitas tebu, produksi gula, produktivitas gula berdampak positif, sedangkan pada rendemen gula terjadi perkembangan yang tidak stabil.


(10)

1.1. Latar Belakang

Tebu adalah komoditas perkebunan penuh legenda bagi hampir seluruh masyarakat dunia. Bagi Indonesia, tebu menjadi bagian budaya dan citra kehidupan petani, dengan hasil utama saat ini adalah gula. Tebu yang oleh berbagai kalangan disebutkan berasal dari Pasifik Selatan menyebar di Indonesia khususnya pulau Jawa. Gula yang saat ini sebagai salah satu hasil utama tebu, merupakan komoditas yang banyak dibutuhkan masyarakat, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Secara Nasional konsumsi gula terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada saat ini mencapai 3,6 juta ton yang terdiri atas gula konsumsi 2,2 juta ton, gula untuk industri (makanan, minuman dan farmasi) 700 ribu ton dan gula mentah untuk industri (rafinasi) 750 ribu ton. Sementara ini produksi gula domestik hanya mencapai 1,9 juta ton, dengan pertumbuhan produksi selama sepuluh tahun terakhir terus mengalami penurunan, baik dari sisi luas areal, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula dan produktivitas gula yang telah dihasilkan oleh Pabrik Gula (P3GI, 2004).

Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an. Saat itu pabrik gula yang beroperasi mencapai 179 pabrik gula dengan produktivitas hablur sekitar 14,8 ton per hektar dan rendemen


(11)

mencapai 11-13,8%. Ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton (Sudana et al, 2000).

Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16,6 persen per tahun pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan laju 2,96 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03 persen per tahun. Pada tahun 1997-2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju 6,14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002).

Penurunan produksi dan kenaikan defisit yang dihadapi Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal yang saling terkait juga disebabkan oleh penurunan efisiensi di tingkat on farm (tanaman) dan off farm (pabrik gula), berbagai faktor kebijakan pemerintah, khususnya untuk periode tahun 1982-2000, juga berpengaruh secara signifikan terhadap kemunduran industri gula Indonesia (Adisasmito, 1998; Murdiyatmo, 2000 dalam Susila, 2005). Kebijakan pemerintah lebih memihak pada sektor non-pertanian dan kebijakan pergulaan, khususnya periode 1997-2000, hal ini kurang bisa merespon pasar gula dunia yang distortif dan protektif, juga berperan dalam kemunduran kinerja industri gula Indonesia (Sudana et al, 2000; Soentoro et al, 1999 dalam Susila, 2005).


(12)

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah mencanangkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional tahun 2003-2007 (biasa disebut bongkar ratoon), dalam rangka meningkatkan produksi gula nasional melalui peningkatan kinerja industri gula agar mampu menghasilkan gula dengan tingkat efisiensi yang relatif tinggi serta mampu menutupi kebutuhan gula dalam negeri, paling tidak untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi langsung (direct consumption).

Konsentrasi program ini, adalah penggantian varietas baru, tanaman yang sudah kepras 3 sampai 4 kali harus dibongkar, diganti varietas baru sesuai sesuai rekomendasi dari Pusat Penelitian Gula Indonesia (P3GI) dan bimbingan dari Pabrik Gula selaku pembina teknis di lapang.

Tiga subprogram besar yang dilakukan melalui program ini adalah rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu, rehabilitasi pabrik gula dari sisi on farm, melalui penjenjangan pembibitan mulai dari KBP (Kebun Bibit Pokok), KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk), KBD (Kebun Bibit Dasar), dan peningkatan investasi untuk pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan industri gula baru di luar Jawa. Kegiatan rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal dengan istilah “bongkar ratoon”) bertujuan untuk memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Hal ini penting mengingat gula sebenarnya diproduksi di dalam tanaman tebu, sementara pabrik hanya memeras nira tebu untuk diolah menjadi gula kristal.


(13)

Sejak tahun 2003, pemerintah melalui Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) dan kelompok tani yang tersebar di 47 pabrik gula di Jawa mencoba menata ulang komposisi tanaman tebu di Jawa. Sejumlah dana dari APBN telah disetujui oleh pemerintah guna melaksanakan program ini. Dana APBN disalurkan dalam bentuk Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) untuk digunakan dalam kegiatan pembangunan kebun bibit dan membongkar tanaman ratoon milik anggota koperasi serta sarana produksi yang meliputi Pupuk, pengendalian hama penyakit tanaman dan memperbaiki prasarana pengairan pada perkebunan tebu (got malang, got mujur dan got keliling).

Sasaran dari program akselerasi (bongkar ratoon) sampai dengan tahun 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional yaitu 3 juta ton gula kristal, dengan rendemen rata 8,79% dan hablur rata-rata 7,74 ton per hektar. Dari target produksi tersebut, sekitar 40% atau 1,2 juta ton merupakan target produksi di Jawa Timur sebagai provinsi penghasil gula utama di Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa industri gula Jawa Timur sering dianggap sebagai lokomotif penggerak industri gula nasional.

Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional (biasa dikenal dengan bongkar ratoon) di Jawa Timur mencakup tiga kegiatan yaitu:

1. Rehabilitasi tanaman melalui bongkar ratoon. Bongkar ratoon adalah


(14)

dari 4 kali dengan tanaman varietas unggul yang telah di rekomendasi oleh Lembaga Pusat Pengembangan dan Penelitian Gula Indonesia (P3GI). Varietas lama antara lain BZ 148, BZ 132, sedang Varietas unggul baru PS 864, PS 951, PS 861 dan BL. Tanaman tebu mempunyai spesifik dibanding tanaman semusim lainnya. Spesifik terletak pada Tanaman tahun pertama (PC/Plant Cane), setelah tanaman pertama panen/sistem kepras pada pangkal batang menjadi tanaman tahun ke dua (R1/Ratoon 1). Tanaman tahun ke dua dipanen/dikepras menjadi tanaman ke tiga (R2/Ratoon 2), demikian seterusnya sampai tanaman tersebut dibongkar dan kembali pada tanaman pertama atau Plant Cane.

2. Penguatan kelembagaan. Dalam penguatan kelembagaan di Jawa

Timur, dari 31 Pabrik Gula yang ada memililiki 46 Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) di masing masing wilayah Pabrik Gula yang tersebar di 24 Kabupaten. Dari 46 Koperasi Petani Tebu Rakyat merupakan Koperasi Primer yang tergabung dalam satu wadah Koperasi Sekunder yang mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur. Koperasi Sekunder berdomisili di Surabaya bernama Koperasi Usaha Bersama Pergulaan Rosan Kencana Jawa Timur. Koperasi Sekunder berfungsi sebagai koordinator dari Koperasi koperasi Primer di daerah/Kabupaten.

3. Pembangunan Kebun Bibit. Penjenjangan Kebun Bibit dimulai dari


(15)

Bibit Induk), KBD (Kebun Bibit Datar). KBP dikerjakan oleh P3GI karena bersumber dari KBPU (Kebun Bibit Pokok Utama), sumber bibit ini dipercayakan pada peneliti peneliti yang ada di P3GI. Untuk KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk) dan KBD (Kebun Bibit Datar) dilaksanakan oleh Pabrik Gula yang peruntukannya tetap pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula tersebut. Tetapi ada sebagian petani yang sudah bisa melaksanakan KBD (Kebun Bibit Datar) sendiri, karena lebih efisien dari sisi biaya dan jarak antara KBD dengan KTG (Kebun Tebu Giling). Melalui program akselerasi ini diharapkan produksi dan produktivitas gula meningkat. Program akselerasi baru menyentuh sebagian aspek on-farm, yaitu berupa kegiatan bongkar ratoon yang ditindaklanjuti dengan replanting tanaman tebu varietas unggul dan dukungan berupa pembangunan kebun bibit secara berjenjang, serta peningkatan pemberdayaan petani tebu dan koperasi.Sedang sisi Of-farm ada program Revitalisasi Pabrik Gula oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Diharapkan dari dua program ini saling menunjang baik dari sisi on- farm maupun of–farm sehingga produktivitas gula nasional 3 juta ton tercapai.

Kegiatan bongkar ratoon diprioritaskan pada tanaman tebu di atas keprasan ketiga. Tanaman tebu yang telah dikepras 3 kali kemudian dibongkar dan diganti dengan tanaman tebu baru. Tanaman tebu pengganti merupakan varietas tebu yang bersertifikat dan


(16)

direkomendasikan oleh P3GI. Penanaman varietas unggul tersebut tentu saja diikuti dengan pengairan dan rasionalisasi pemupukan. Dengan cara demikian diharapkan tanaman tebu memiliki produktivitas yang tinggi. Pada akhirnya produktivitas yang tinggi diharapkan mampu mempengaruhi produktivitas hablur dan rendemen yang dihasilkan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti ingin meneliti bagaimana implementasi (penerapan) pelaksanaan program bongkar ratoon dan kebijakannya terhadap keragaan industri gula di Jawa Timur dengan mengambil judul “Evaluasi Kebijakan Bongkar Ratoon dan Keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur”. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada luas areal giling, produksi tebu, produktifitas tebu, rendemen, produksi gula dan produktivitas gula sebelum dan setelah program bongkar ratoon dilaksanakan di Jawa Timur.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah pelaksanaan Program Bongkar Ratoon sudah sesuai dengan

target produksi gula di Jawa Timur ?

2. Berapa besar dampak dari Kebijakan Program Bongkar Ratoon

terhadap produksi gula Nasional, khususnya Jawa Timur ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


(17)

2. Mengukur dampak kebijakan Program Bongkar Ratoon terhadap keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur.

1.4. Manfaat Penelitan

Manfaat dari penelitian tentang Bongkar Ratoon dan kinerja Pabrik Gula adalah :

1. Manfaat langsung bagi petani tebu, petani akan mendapatkan tambahan modal (penguatan modal), ilmu (penguatan kelembagaan) yang berdampak pada peningkatan SDM karena dari sisi penguatan kelembagaan dan pemberdayaan petani yang di fasilitasi oleh Pemerintah. Tambahan penguatan modal, karena pemerintah memberikan dana yang bersumber dari APBN untuk PMUK (Penguatan Modal Usaha Kelompok) pada Koperasi Petani Tebu Rakyat yang dimanfaatkan oleh anggotanya. Dengan Bongkar Ratoon akan lebih terjalin kemitraan yang baik antara petani dan Pabrik Gula, bagi petani kepastian tebang angkutnya/penjualan. 2. Bagi Pabrik Gula, Pabrik Gula memperoleh kepastian bahan baku

sehingga tidak harus mencari bahan baku dari luar. Kecuali tebu dari wilayahnya kurang mencukupi baru cari tebu dari luar. Petani yang di wilayahnya diarahkan untuk menanam varietas unggul dan bulan tanam bisa disesuaikan dengan perencanaan pabrik untuk masa panennya..


(18)

3. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan industri pergulaan di Indonesia pada umumnya dan di Jawa timur pada khususnya.

4. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang akan melakukan

penelitian lebih lanjut, khususnya berhubungan dengan program bongkar ratoon dan industri gula di Jawa Timur.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan

program bongkar ratoon dan kebijakannya terhadap keragaan industri gula di Jawa Timur.

2. Penelitian ini termasuk dalam penelitian arsip (archival research)

yang merupakan penelitian terhadap fakta tertulis (dokumen) atau berupa arsip data. Dokumen atau arsip yang diteliti berdasarkan sumbernya berasal dari data internal yaitu: dokumen, arsip, dan catatan orisinil yang diperoleh dari suatu organisasi/perusahaan atau berasal dari data eksternal yaitu publikasi data yang diperoleh melalui orang lain. Proses pengumpulan data berupa dokumen atau arsip dapat dikerjakan sendiri atau penelitian atau berupa publikasi data yang proses pengumpulannya dikerjakan oleh orang lain (Damaijati, 2006).

3. Data yang dijadikan bahan penelitian adalah tahun 1998-2007 (


(19)

4. Objek penelitian adalah pabrik gula yang ada di wilayah Jawa Timur yaitu sebanyak 31 pabrik gula yang terbagi dalam 4 direksi yaitu Direksi PTPN X, Direksi PTPN XI, Direksi PT RNI I, dan Direksi PT. Kebon Agung tersebar di 24 Kabupaten.

5. Fokus penelitian, mengevaluasi implementasi sesuai target

Pemerintah meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan teknik evaluasi. Mengukur dampak kebijakan bongkar ratoon terhadap industri gula meliputi ; luas areal, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi hablur gula dan produktivitas hablur gula.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang industri gula telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian ini telah berkembang dari tahun ke tahun.

Produksi gula di Jawa yang cenderung menurun dari tahun ke tahun berdampak signifikan terhadap produksi gula Nasional, mengingat peran Jawa dalam menghasilkan gula masih 70% dari kebutuhan Nasional. Penurunan produksi tersebut merupakan akibat berkurangnya areal di lahan sawah dan bergeser ke lahan tegalan yang menjauh dari Pabrik Gula, sehingga berdampak pula terhadap penurunan produktivitas dalam rentang waktu bersamaan. Penurunan luas areal tanam merefleksikan merosotnya minat petani, sebagai reaksi rasional terhadap rendahnya pendapatan riil dan nilai tukar (term of trade) secara konsisten selama satu dekade terakhir. Penurunan produktivitas merupakan konsekuensi logis merosotnya kualitas teknis budidaya pada areal yang masih bertahan maupun pada areal baru di lahan kering (Ditjenbun, 2003).

Kebijaksanaan pengembangan industri gula Nasional (Pantjar Simatupang, 1999) menyampaikan bahwa kebijaksanaan Pemerintah tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja produksi dan perdagangan gula dunia. Beberapa temuan penting yang harus dipertimbangkan disini adalah persatuan produksi dan sumber pasokan


(21)

(ekspor) gula dunia pada sejumlah kecil negara seperti Brazilia, Australia dan Amerika

Haryanto (1991) Keunggulan Komparatif Pengembangan Gula di Indonesia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Jawa dilaksanakan pada berbagai tipe lahan sawah, yang semula pada lahan sawah paling subur kemudian berkembang ke lahan sawah yang lebih rendah tingkat kesuburannya. Usahatani tebu juga dijumpai pada lahan-lahan tegal di kawasan produksi pabrik gula di Jawa. Bila diasumsikan bahwa perbedaan tipe lahan itu identik dengan tingkat kesuburannya, maka akan dijumpai keragaman tingkat produktivitas antara tipe-tipe lahan tersebut. Berarti akan terdapat keragaman tingkat pendapatan rata-rata per hektar yang diterima petani. Disamping itu juga disebutkan di Jawa dijumpai dua sistem usahatani yaitu, tanam tebu asal bibit selama 15 bulan dan tebu keprasan pertama selama 12 bulan. Berdasarkan sistem ini maka akan terjadi pengorbanan lebih besar pada penggunaan lahan sawah dan lahan tegal untuk bertanam tebu. Sebenarnya terjadi semacam “Persaingan” antara tebu dan tanaman pangan dalam penggunaan lahan. Tingkat pendapatan rata-rata per hektar tanaman dapat digunakan untuk mengukur daya saing antara alternatif-alternatif penggunaan lahan tersebut.

Penelitian tentang kebijakan industri gula di Indonesia dilakukan oleh Susila dan Sinaga (2005) yang meneliti tentang kebijakan pemerintah serta alternatif kebijakan yang terkait dengan industri gula di Indonesia.


(22)

Metode yang digunakan adalah simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distortif, kebijakan yang berkaitan dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input, guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan tebu rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah dalam menciptakan medan persaingan yang adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor, tariff-rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia.

Susila dan Sinaga (2005). Pengembangan Industri Gula Indonesia Yang Kompetitif Pada Situasi Persaingan Yang Adil. Hasil penelitian antara lain : tiga upaya atau kebijakan yang perlu diprioritaskan. Pertama, meningkatkan efisiensi di tingkat usaha tani yang mencakup: 1) penanaman varietas unggul, 2) percepatan peremajaan tanaman keprasan, 3) optimasi masa tanam dan tebang, dan 4) perbaikan sistem bagi hasil. Kedua, meningkatkan efisiensi pabrik gula melalui: 1) penutupan pabrik gula yang tidak efisien, 2) rehabilitasi pabrik gula yang masih potensial, dan 3) konsolidasi pabrik gula yang lokasinya


(23)

berdekatan. Ketiga, menciptakan persaingan yang adil bagi industri gula Indonesia dengan tiga pilihan kebijakan, yaitu: 1) mempertahankan esensi kebijakan tata niaga impor gula, 2) meningkatkan tarif impor menjadi sekitar 50%, atau 3) menerapkan kebijakan provenue-tariff rate quota. Pemerintah perlu pula memberikan insentif dan dukungan kebijakan untuk pengembangan industri gula di luar Jawa.

Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh Mardianto, Simatupang, Hadi, Malian dan Susmiadi (2005) mengenai pengaruh road map dan kebijakan pengembangan industri gula nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan yaitu (1) produktivitas gula yang cenderung terus turun disebabkan antara lain karena penerapan teknologi on-farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah, (2) impor gula yang semakin meningkat yang disebabkan karena harga gula di pasar internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi yang sebenarnya, gula dijual di bawah ongkos produksinya, kebijakan border measure yang sifatnya ad-hoc, dan banyaknya impor gula ilegal, serta (3) harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pengembangan industri gula di masa yang akan datang perlu disusun dalam Program Jangka Pendek (3 tahun), Program Jangka Menengah (10 tahun) dan Program Jangka Panjang (20 tahun). Program jangka pendek ditujukan


(24)

untuk melakukan rehabilitasi pabrik gula dari sisi on farm penjenjangan kebun bibit dengan varietas unggul mulai dari KBP, KBN, KBI dan KBD, di Jawa sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar internasional. Program jangka menengah ditujukan untuk pengembangan pabrik gula di luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Program jangka panjang ditujukan untuk pengalihan pemilikan pabrik gula BUMN kepada petani tebu, serta pengembangan industri berbasis tebu, seperti ethanol, alkohol, dan lain-lain. Selain itu perlu juga dilakukan revitalisasi kegiatan research and development, dengan memberikan dukungan dana yang lebih memadai (Mardianto et al, 2005).

Santoso, Soetriono, dan Prasongko (2006) melakukan penelitian tentang sistem pergulaan Jawa Timur: optimalisasi produk, distribusi, dan kelembagaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur bersama PTPN dan P3GI telah berhasil melaksanakan program bongkar ratoon tebu di Jawa Timur dengan proyek dana bergulir dari APBN. Keberhasilan ini memerlukan perawatan dan keberlanjutan (sustainaibility) dan tidak boleh berhenti, program rawat ratoon perlu juga menjadi program unggulan untuk meningkatkan produktivitas dengan fasilitas kemudahan yang disediakan oleh pemerintah daerah dan pelaku-pelaku bisnis terkait.


(25)

Penelitian juga mempunyai implikasi kebijakan bahwa Pemerintah Daerah Jawa Timur seharusnya mengeluarkan suatu Perda yang menyangkut Pengelolaan Terpadu Sistem Pergulaan Jawa Timur (Integrated Sugar Management System of East Java). Sistem ini diharapkan menjadi model yang bisa diterapkan dan dilaksanakan dengan baik dan benar, khususnya model alternatif Sistem Pengelolaan Produksi Pergulaan Jawa Timur (Sugar Production Management System of East Java), karena dewasa ini yang menjadi permasalahan utama adalah sistem produksinya.

Penelitian lain dilakukan oleh Abidin (2000) mengenai dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula Indonesia: suatu analisis kebijakan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula domestik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara eksportir, tingkat produksi menjadi pertimbangan yang utama dalam mengekspor, sedangkan di negara importir, pertimbangan utamanya adalah harga impor dan tingkat konsumsi. Di samping itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa intervensi pasar negara eksportir maupun importir akan mempengaruhi harga gula dunia dan kebijakan kemandirian produksi gula domestik akan memperbaiki keragaan industri gula domestik pada era liberalisasi perdagangan.


(26)

Penelitian yang berkaitan dengan industri gula juga dilakukan oleh Mohammad Ilyas (2002) yang memfokuskan pada strategi pengembangan industri gula di Jawa Timur, dengan objek penelitian 3 pabrik gula di Kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan internal dan eksternal mempengaruhi upaya pengembangan gula di Kabupaten Sidoarjo. Secara berurutan, dari tingkat kekuatan tertinggi hingga terendah, faktor internal yang berpengaruh adalah pemanfaatan sumber daya lokal, potensi areal, pengalaman berusaha tani, pemanfaatan lembaga riset dan pengembangan serta kelembagaan petani. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah peningkatan konsumsi gula per kapita, peningkatan produktivitas tebu, perluasan areal tanaman tebu dan peningkatan efisiensi pabrik gula. Secara berurutan dari tingkat ancaman tertinggi hingga terendah, faktor eksternal dan berpengaruh adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, persaingan usahatani tebu dengan usahatani lain, selisih harga gula produk dalam negeri dan gula impor, kebijakan pemerintah mengenai pengenaan pajak impor gula sebesar 25% dan kestabilan politik pemerintah.

Soekartawi (1991) menyatakan ada beberapa alasan mengapa kita optimis dalam upaya mencapai swasembada gula, antara lain disebabkan adanya peluang meningkatkan produktivitas usahatani tebu, adanya peluang untuk meningkatkan luas areal tanaman tebu, khususnya di lahan kering, adanya peluang untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan efisiensi di pabrik gula dan adanya peluang untuk meningkatkan konsumsi gula per kapita.


(27)

Pakpahan (1999) menyatakan bahwa industri gula Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan, namun demikian industri gula ini masih memiliki prospek untuk ditingkatkan kinerjanya melalui program peningkatan produktivitas dan efisiensi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Program peningkatan kinerja tersebut diperkirakan memerlukan transisi selama 3 (tiga) tahun. Dalam periode waktu tersebut diperlukan insentif agar beban revitalisasi industri gula ini tidak terlalu berat. Mengingat kunci permasalahan adalah terletak pada produktivitas dan efisiensi, maka upaya revitalisasi perlu difokuskan pada kedua aspek tersebut.

Susilowati (2005) meneliti tentang evaluasi kinerja kebijakan akselerasi peningkatan produktivitas gula dengan studi kasus di Pabrik Gula Tjoekir, Jombang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program akselerasi peningkatan produktivitas gula terbukti dapat meningkatkan luas areal, produksi tebu produktivitas tebu, rendemen, produksi gula dan produktivitas gula. Penurunan Harga Pokok produksi (HPP) dan pemantapan kelembagaan ekonomi yaitu Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) sehingga pendapatan dan kesejahteraan petani tebu di Jawa Timur meningkat.

Situasi resesi ekonomi Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997 telah mengakibatkan pertumbuhan negatif dalam perekonomian Indonesia dan penurunan daya beli masyarakat, sehingga konsumsi per kapita dan permintaan total gula pasir dan gula merah, baik konsumsi langsung


(28)

maupun tidak langsung di pedesaan, perkotaan pada tahun 1998 diproyeksikan menurun. Setelah tahun 1998 konsumsi per kapita diproyeksikan sedikit meningkat meskipun dengan laju pertumbuhan yang sangat kecil sehingga konsumsi percapita gula putih dalam periode 1999-2001 masih dibawah konsumsi per kapita tahun 1996. Baru pada tahun 2002 tingkat konsumsi per kapita gula pasir diproyeksikan akan pulih dan sama dengan yang terjadi pada tahun 1996. Mulai tahun 2003 konsumsi percapita diproyeksikan akan meningkat cepat sejalan dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Keragaan proyeksi konsumsi total gula pasir searah dengan proyeksi konsumsi per capitanya. Proyeksi konsumsi langsung per kapita gula merah menunjukkan penurunan secara konsisten, sedangkan permintaan tidak langsung menunjukkan penurunan di tahun 1998 dan sesudah itu menunjukkan peningkatan. Dalam konteks ini proyeksi total konsumsi gula merah menunjukkan penurunan secara konsisten (Purwanto, 1998).

Penelitian Hafsah (1989) dalam Soekartawi (1991) menunjukkan bahwa usahatani tebu bukan saja memberikan keuntungan kepada petani, tetapi juga berpengaruh nyata dalam perekonomian wilayah. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perusahaan Gula Indonesia (P3GI) juga memberikan gambaran bahwa upaya swasembada gula akan dicapai, walaupun hal tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Upaya untuk melakukan swasembada gula dapat dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi usahatani, memperbaiki sistem penyaluran


(29)

sarana produksi, menerapkan usahatani terpadu, membina sistem kelompok tani dan koperasi dan meningkatkan peran serta petani dalam usahatani tebu.

Pakpahan (1999) menyatakan bahwa industri gula Indonesia dalam kondisi yang memperihatinkan, namun demikian industri gula ini masih memiliki prospek untuk ditingkatkan kinerjanya melalui program peningkatan produktivitas dan efisiensi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Program peningkatan kinerja tersebut diperkirakan memerlukan transisi selama 3 (tiga) tahun. Dalam periode waktu tersebut diperlukan insentif agar beban revitalisasi industri gula ini tidak terlalu berat. Mengingat kunci permasalahan adalah terletak pada produktivitas dan efisiensi, maka upaya revitalisasi perlu difokuskan pada kedua aspek tersebut.

Soekartawi (1991) menyatakan ada beberapa alasan mengapa kita optimis dalam upaya mencapai swasembada gula, antara lain disebabkan adanya peluang meningkatkan produktivitas usahatani tebu, adanya peluang untuk meningkatkan luas areal tanaman tebu, khususnya di lahan kering, adanya peluang untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan efisiensi di pabrik gula dan adanya peluang untuk meningkatkan konsumsi gula per kapita.

Haryanto, dkk., (1991) menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Jawa dilaksanakan pada berbagai tipe lahan sawah, yang semula pada lahan sawah paling subur kemudian berkembang ke lahan sawah yang


(30)

lebih rendah tingkat kesuburannya. Selain usahatani tebu juga dijumpai pada lahan-lahan tegal di kawasan produksi beberapa pabrik gula di Jawa. Bila diasumsikan bahwa perbedaan tipe lahan itu identik dengan tingkat kesuburannya, maka akan dijumpai keragaman tingkat produktivitas antara tipe-tipe lahan tersebut. Berarti akan terdapat keragaman tingkat pendapatan rata-rata per hektar yang diterima petani. Disamping itu juga disebutkan di Jawa dijumpai dua sistem usahatani yaitu, tanam tebu asal bibit selama 18 bulan dan tebu keprasan pertama selama 28 bulan. Berdasarkan sistem ini maka akan terjadi pengorbanan lebih besar pada penggunaan lahan sawah dan lahan tegal untuk bertanam tebu keprasan. Sebenarnya terjadi semacam “Persaingan” antara tebu dan tanaman pangan dalam penggunaan lahan. Tingkat pendapatan rata-rata per hektar tanaman dapat digunakan untuk mengukur daya saing antara alternatif-alternatif penggunaan lahan tersebut.

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Budidaya Tebu

Budidaya tebu adalah upaya menciptakan kondisi fisik lingkungan tanaman tebu, berdasarkan ketersediaan sumberdaya lahan, alat dan tenaga yang memadai agar sesuai dengan kebutuhan pada fase pertumbuhannya, sehingga menghasilkan produksi (gula) seperti yang diharapkan. Dewasa ini budidaya yang efisien adalah pengelolaan


(31)

tanaman tertentu yang diusahakan menyesuaikan dengan lingkungan agroklimat (ketersediaan lahan). Karekteristik agroklimat terdiri dari iklim, kesuburan tanah dan topografi. Budidaya tebu hendaknya menyesuaikan dengan kondisi karakteristik agroklimat di lahan tegalan yang umumnya dijumpai untuk tanaman tebu. Produktifitas tebu ditentukan oleh karakteristik agroklimat yang paling minimum (Prabowo, 2007).

1. Syarat tumbuh

Tanah yang cocok adalah bersifat kering-kering basah, yaitu curah hujan kurang dari 2000 mm per tahun. Tanah tidak terlalu masam, pH diatas 6,4. Ketinggian kurang dari 500 m dpl.

2. Jenis – jenis tebu

Jenis tebu yang sering ditanam dan masuk varietas unggul antar lain: PS 864, PS 862, Kidang Kencana, PSJT 941, BL, dan SS 57. Kenthung.

3. Pembukaan kebun

Sebaiknya pembukaan dan penanaman dimulai dari petak yang paling jauh dari jalan utama atau lori pabrik

Ukuran got standar: got keliling/mujur lebar 60 cm; dalam 70 cm, got malang/palang lebar 50 cm; dalam 60 cm. Buangan tanah got diletakkan di sebelah kiri got. Apabila got diperdalam lagi setelah tanam, maka tanah buangannya diletakkan di sebelah kanan got supaya masih ada jalan mengontrol tanaman.


(32)

Juringan/cemplongan (lubang tanam) baru dapat dibuat setelah got-got malang mencapai kedalaman 60 cm dan tanah galian got-got sudah diratakan. Ukuran standar juringan adalah lebar 50 cm dan dalam 30 cm untuk tanah basah, 25 cm untuk tanah kering. Pembuatan juringan harus dilakukan dua kali, yaitu stek pertama dan stek kedua serta rapi. Jalan kontrol dibuat sepanjang got mujur dengan lebar ±1 m. Setiap 5 bak dibuat jalan kontrol sepanjang got malang dengan lebar ± 80 cm. Pada juring nomor 28, guludan diratakan untuk jalan kontrol (jalan tikus)

4. Turun tanah /Kebruk

Yaitu mengembalikan tanah stek kedua ke dalam juringan untuk membuat kasuran/bantalan/dasar tanah. Tebalnya tergantung keadaan, bila tanahnya masih basah ±10 cm, di musim kemarau terik tebal ±15-20 cm.

5. Persiapan tanam

a. Lakukan seleksi bibit di luar kebun.

b. Bibit stek harus ditanam berhimpitan agar mendapatkan jumlah

anakan semaksimal mungkin. Bibit stek ±70.000 per ha.

c. Sebelum ditanam, permukaan potongan direndam dahulu

dengan POC NASA dosis 2 tutup ± Natural GLIO dosis 5 gr per 10 liter air.

d. Sebelum tanam, juringan harus diari untuk membasahi kasuran,


(33)

6. Cara tanam

a. Bibit Bagal/debbeltop/generasi

b. Tanah kasuran harus diratakan dahulu, kemudian tanah digaris

dengan alat yang runcing dengan kedalaman ±5-10 cm. Bibit dimasukkan ke dalam bekas garisan dengan mata bibit menghadap ke samping. Selanjutnya bibit ditimbun dengan tanah.

c. Bibit Rayungan (bibit yang telah tumbuh di kebun bibit),

d. Jika bermata (tunas) satu, batang bibit terpendam dan tunasnya

menghadap ke samping dan sedikit miring, ± 45 derajat. Jika bibit rayungan bermata dua, batang bibit terpendam dan tunas menghadap ke samping dengan kedalaman ±1 cm.

e. Sebaiknya, bibit bagal (stek) dan rayungan ditanam secara

terpisah di dalam petak-petak tersendiri supaya pertumbuhan tanaman merata.

7. Waktu tanam

Berkaitan dengan masaknya tebu dengan rendemen tinggi tepat dengan masa giling di pabrik gula. Waktu yang tepat pada bulan Mei, Juni dan Juli.

8. Penyiraman

Penyiraman tidak boleh berlebihan supaya tidak merusak struktur tanah. Setelah satu hari tidak ada hujan, harus segera dilakukan penyiraman.


(34)

9. Penyulaman

a. Sulam sisipan, dikerjakan 5-7 hari setelah tanam, yaitu untuk

tanaman rayungan bermata satu.

b. Sulaman pertama, dikerjakan pada umur 3 minggu dan berdaun

3-4 helai. Bibit dari rayungan bermata dua atau pembibitan.

c. Penyulaman yang berasal dari ros/pucukan tebu dilakukan

ketika tanaman berumur ±1 bulan.

d. Penyulaman ke-2 harus selesai sebelum pembubunan,

bersama-sama dengan pemberian air ke-2 atau rabuk ke-2, yaitu umur 1,5 bulan.

e. Penyulaman ekstra bila perlu, yaitu sebelum bumbun ke-2.

10. Pembubunan

a. Pembumbunan ke-1 dilakukan pada umur 3-4 minggu, yaitu

berdaun 3-4 helai. Pembumbunan dilakukan dengan cara membersihkan rumput-rumputan, membalik guludan dan menghancurkan tanah (jugar) lalu tambahkan tanah ke tanaman sehingga tertimbun tanah.

b. Pembumbunan ke-2 dilakukan jika anakan tebu sudah lengkap

dan cukup besar ±20 cm, sehingga tidak dikuatirkan rusak atau patah sewaktu ditimbun tanah atau ±2 bulan.

c. Pembumbunan ke-3 atau bacar dilakukan pada umur 3 bulan,

semua got harus diperdalam; got mujur sedalam 70 cm dan got malang 60 cm.


(35)

11. Garpu Muka Gulud

Penggarpuan harus dikerjakan sampai ke pinggir got, sehingga air dapat mengalir. Biasanya dikerjakan pada bulan Oktober/November ketika tebu mengalami kekeringan.

12. Klentek

Yaitu melepaskan daun kering, harus dilakukan 3 kali, yaitu sebelum gulud akhir, umur 7 bulan dan 4 minggu sebelum tebang.

13. Tebu Roboh

Batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua maupun silang empat. Ros-ros tebu, yang terdiri dari satu deretan tanaman, disatukan dengan rumpun-rumpun dari deretan tanaman di sisinya, sehingga berbentuk menyilang.

14. Pemupukan

a. Sebelum tanam diberi TSP 1 kw/ha.

b. Siramkan pupuk SUPER NASA yang telah dicampur air secara

merata di atas juringan dosis ±1-2 botol/1000 m² dengan cara: Alternatif 1: 1 botol SUPERNASA diencerkan dalam 3 liter air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 50 lt air diberi 200 cc larutan induk tadi untuk menyiram juringan. Alternatif 2: setiap 1 gembor vol 10 lt diberi 1 sendok makan SUPERNASA untuk menyiram 5 - 10 meter juringan.


(36)

c. Saat umur 25 hari setelah tanam berikan pupuk ZA sebanyak 0,5-1 kw/ha. Pemupukan ditaburkan di samping kanan rumpun tebu.

d. Umur 1,5 bulan setelah tanam berikan pupuk ZA sebanyak

0,5-1 kw/ha dan KCl sebanyak 0,5-1-2 kw/ha. Pemupukan ditaburkan di sebelah kiri rumpun tebu.

e. Untuk mendapatkan rendemen dan produksi tebu tinggi,

semprot POC NASA dosis 4-6 tutup dicampur HORMONIK 1-2 tutup per-tangki pada umur 1 dan 3 bulan.

15. Hama dan Penyakit

a. Hama Penggerek Pucuk dan batang

Biasanya menyerang mulai umur 3-5 bulan. Kendalikan dengan musuh alami Tricogramma sp dan lalat Jatiroto, semprot PESTONA/Natural BVR.

b. Hama Tikus

Dikendalikan dengan gropyokan dan musuh alami yaitu: ular, anjing atau burung hantu.

c. Penyakit Fusarium Pokkahbung

Penyebab jamur Gibbrella moniliformis. Tandanya daun klorosis, pelepah daun tidak sempurna dan pertumbuhan terhambat, ruas-ruas bengkok dan sedikit gepeng serta terjadi pembusukan dari daun ke batang. Penyemprotan dengan 2 sendok makan Natural GLIO ±2 sendok makan gula pasir dalam


(37)

tangki semprot 14 atau 17 liter pada daun-daun muda setiap minggu, pengembusan tepung kapur tembaga (1:4:5 )

d. Penyakit Dongkelan

Penyebab jamur Marasnius sacchari, yang bisa mempengaruhi berat dan rendemen tebu. Gejala: tanaman tua sakit tiba-tiba, daun mengering dari luar ke dalam. Pengendalian dengan cara penjemuran dan pengeringan tanah, harus dijaga, sebarkan Natural GLIO sejak awal.

e. Penyakit Nanas

Disebabkan jamur Ceratocytis paradoxa. Menyerang bibit yang telah dipotong. Pada tapak (potongan) pangkas, terdapat warna merah yang bercampur dengan warna hitam dan menyebarkan bau seperti nanas. Bibit tebu direndam dengan POC NASA dan Natural GLIO.

f. Penyakit Blendok

Disebabkan oleh Bakteri Xanthomonas albilincans Mula-mula muncul pada umur 1,5-2 bulan setelah tanam. Daun-daun klorotis akan mengering, biasanya pada pucuk daun dan umumnya daun-daun akan melipat sepanjang garis-garis tadi. Jika daun terserang hebat, seluruh daun bergaris-garis hijau dan putih. Rendam bibit dengan air panas dan POC NASA selama 50 menit kemudian dijemur sinar matahari. Gunakan


(38)

Natural GLIO sejak awal sebelum tanam untuk melokalisir serangan.

16. Rendemen Tebu

Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas ke ruas yang tingkat kemasakannya tergantung pada ruas yang yang bersangkutan. Tebu yang sudah mencapai umur masak, keadaan kadar gula di sepanjang batang seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk dan pangkal batang.

Usahakan agar tebu ditebang saat rendemen pada posisi optimal yaitu sekitar bulan Agustus atau tergantung jenis tebu. Tebu yang berumur 10 bulan akan mengandung saccharose 10%, sedang yang berumur 12 bulan bisa mencapai 13%.

17. Tebu Keprasan

a. Yaitu menumbuhkan kembali bekas tebu yang telah ditebang,

baik bekas tebu giling atau tebu bibitan (KBD).

b. Kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dari kotoran bekas

tebangan yang lalu. Sebelum mengepras, sebaiknya tanah yang terlalu kering di airi dulu. Kepras petak-petak tebu secara berurutan. Setelah dikepras, siramkan SUPER NASA (dosis sama seperti di atas). Lima hari atau seminggu setelah dikepras, tanaman diairi dan dilakukan penggarapan (jugaran) sebagai bumbun ke-1 dan pembersihan rumput - rumput.


(39)

c. Lakukan penyemprotan POC NASA dan HORMONIK pada umur 1,2 dan 3 bulan dengan dosis seperti di atas. Pemeliharaan selanjutnya sama dengan tanam tebu pertama.

2.2.2. Perkembangan Industri Gula Di Indonesia

Industri gula dari waktu ke waktu selalu menghadapi berbagai masalah, sehigga produksinya belum mampu mengimbangi besarnya permintaan masyarakat. Meningkatnya konsumsi gula dari tahun ke tahun disebabkan oleh pertambahan penduduk, meningkatnya pendapatan penduduk dan bertambahnya industri yang memerlukan bahan baku berupa gula. Penggunaan gula pasir pada industri yang memerlukan bahan baku dari gula mengalami kenaikan sebesar 51% dalam selang waktu enam tahun (antara tahun 1979-1985). Untuk memenuhi gula bagi kebutuhan masyarakat, selama ini negara kita mengimpornya dari negara lain. Cara terbaik dalam mengatasi hal tersebut adalah memantapkan produksi gula dalam negeri. Dampak positif yang ditimbulkan dalam rangka usaha peningkatan produksi adalah menghemat devisa negara akibat berkurangnya suplai gula luar negeri, terbuka kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan diharapkan terjadi perbaikan struktur perekonomian wilayah setempat (Anonim, 2001).

Sebelum tahun 1975, keikut sertaan petani dalam pengadaan tebu terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu, sebagian besar bahan baku tebu berasal dari tebu sendiri


(40)

(TS) dan tebu pabrik gula. Sebagian kecil saja yang berasal dari tebu rakyat (TR). Hal ini disebabkan karena produktivitas TR sangat rendah dibanding TS. Produktivitas TR/TS antara tahun 1960-1969 adalah 0,61 dan antara tahun 1970-1975 adalah 0,67. Untuk memenuhi kapasitas giling pabrik, TS yang semakin kecil menggunakan hak guna usaha (HGU), juga menyewa lahan petani di sekitarnya untuk ditanami tebu. Pada tanah sewa inilah sebagian besar dari TS ditanam. Namun, dari tahun ke tahun ternyata semakin sulit mendapatkan sewa tanah. Penyebabnya, setiap tahun petani selalu menaikkan harga sewa tanah agar nilainya sebanding dengan hasil jika ditanami komoditas lain, seperti padi, tembakau atau bawang merah. Karena harga gula ditetapkan pemerintah, maka pabrik gula tidak dapat mengimbanginya. Akibatnya, hubungan antara petani dan pihak pabrik gula (+Pemda) menjadi tegang. Agar sistem pemakaian lahan beralih dari sistem sewa ke non sewa, meningkatkan produksi gula dalam negeri dan memperbaiki pendapatan petani,maka pada tanggal 22 April 1975 dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1975 (Inpres 9/1975) mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pengertian intensifikasi adalah usaha peningkatan produktivitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi tepat guna, penggunaan lahan kering, perairan dan areal pasang surut serta pemanfaatan segala sarana produksi sepertii air, benih unggul, pupuk dan pestisida. Inpres ini menempatkan petani sebagai produsen tebu utama yaitu petani menanam tebu sendiri di atas lahan sendiri pula. Pabrik gula bertindak sebagai


(41)

pimpinan kerja sekaligus menjadi pengolahnya. Adanya program TRI menimbulkan dua macam petani tebu, yaitu petani peserta dan bukan peserta program TRI. Kelompok petani bukan peserta TRI lebih dikenal dengan istilah Tebu Rakyat Bebas (TRB) atau tebu rakyat tradisional yaitu petani yang menggunakan modal dan tenaga sendiri. Di Jawa, kelompok ini banyak terdapat di daerah-daerah Jombang, Madiun, Kediri dan Malang (Jawa Timur); Kudus, Pati dan Jepara (Jawa Tengah); dan Majalengka (Jawa Barat). Program TRI dikelola dalam wadah koordinasi Bimas yang melibatkan lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD dan pabrik gula. Ternyata program TRI tidak mencapai sasaran yang secara mantap yaitu tidak terjadinya peningkatan produktivitas, melainkan bertambah luasnya lahan yang dipakai untuk mengusahakan tebu. Masalah yang timbul dalam pelaksanaan program TRI tersebut mulai dari penyediaan lahan, biaya usahatani, penerapan teknis budidaya, tenaga kerja, sampai pada masalah panen dan pascapanennya (Sugiyarta, 1997).

2.2.3. Perkembangan Tanaman Tebu Di Indonesia

Permasalahan dari industri gula adalah produksinya belum mampu mengimbangi besarnya permintaan masyarakat. Meningkatnya konsumsi gula dari tahun ke tahun disebabkan oleh pertambahan penduduk, meningkatnya pendapatan penduduk dan bertambahnya industri yang memerlukan bahan baku berupa gula. Penggunaan gula pasir pada


(42)

sebesar 51% dalam selang waktu enam tahun (antara tahun 1979-1985). Untuk memenuhi gula bagi kebutuhan masyarakat, selama ini negara kita mengimpornya dari negara lain. Cara terbaik dalam mengatasi hal tersebut adalah memantapkan produksi gula dalam negeri. Dampak positif yang ditimbulkan dalam rangka usaha peningkatan produksi adalah menghemat devisa negara akibat berkurangnya suplai gula luar negeri, terbuka kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan diharapkan terjadi perbaikan struktur perekonomian wilayah setempat (Anonim, 2001).

Sebelum tahun 1975, keikut sertaan petani dalam pengadaan tebu terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu, sebagian besar bahan baku tebu berasal dari tebu sendiri (TS) dan tebu pabrik gula. Sebagian kecil saja yang berasal dari tebu rakyat (TR). Hal ini disebabkan karena produktivitas TR sangat rendah dibanding TS. Produktivitas TR/TS antara tahun 1960-1969 adalah 0,61 dan antara tahun 1970-1975 adalah 0,67. Untuk memenuhi kapasitas giling pabrik, TS yang semakin kecil menggunakan hak guna usaha (HGU), juga menyewa lahan petani di sekitarnya untuk ditanami tebu. Pada tanah sewa inilah sebagian besar dari TS ditanam.

Namun, dari tahun ke tahun ternyata semakin sulit mendapatkan sewa tanah. Penyebabnya, setiap tahu petani selalu menaikkan harga sewa tanah agar nilainya sebanding dengan hasil jika ditanami komoditas lain, seperti padi, tembakau atau bawang merah. Karena harga gula ditetapkan pemerintah, maka pabrik gula tidak dapat mengimbanginya.


(43)

Akibatnya, hubungan antara petani dan pihak pabrik gula (+Pemda) menjadi tegang. Agar sistem pemakaian lahan beralih dari sistem sewa ke non sewa, meningkatkan produksi gula dalam negeri dan memperbaiki pendapatan petani,maka pada tanggal 22 April 1975 dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1975 (Inpres 9/1975) mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

Pengertian intensifikasi adalah usaha peningkatan produktivitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi tepat guna, penggunaan lahan kering, perairan dan areal pasang surut serta pemanfaatan segala sarana produksi sepertii air, benih unggul, pupuk dan pestisida. Inpres ini menempatkan petani sebagai produsen tebu utama yaitu petani menanam tebu sendiri di atas lahan sendiri pula. Pabrik gula bertindak sebagai pimpinan kerja sekaligus menjadi pengolahnya. Adanya program TRI menimbulkan dua macam petani tebu, yaitu petani peserta dan bukan peserta program TRI. Kelompok petani bukan peserta TRI lebih dikenal dengan istilah Tebu Rakyat Bebas (TRB) atau tebu rakyat tradisional yaitu petani yang menggunakan modal dan tenaga sendiri. Di Jawa, kelompok ini banyak terdapat di daerah-daerah Jombang, Madiun, Kediri dan Malang (Jawa Timur); Kudus, Pati dan Jepara (Jawa Tengah); dan Majalengka (Jawa Barat). Program TRI dikelola dalam wadah koordinasi Bimas yang melibatkan lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD dan pabrik gula. Ternyata program TRI tidak mencapai sasaran yang secara mantap yaitu tidak terjadinya peningkatan produktivitas, melainkan bertambah luasnya lahan yang dipakai untuk mengusahakan tebu.


(44)

Masalah yang timbul dalam pelaksanaan program TRI tersebut mulai dari penyediaan lahan, biaya usahatani, penerapan teknis budidaya, tenaga kerja, sampai pada masalah panen dan pascapanennya (Sugiyarta, 1997).

2.2.4. Potensi Tebu di Indonesia dan Jawa Timur

Pandangan global tentang tebu sebagai komoditas yang elastis terhadap perubahan pendapatan. Semakin besar pendapatan maka semakin besar konsumsi gula per kapita. Namun perlu diingat bahwa peningkatan konsumsi per kapita tersebut mempunyai batas tertentu. Pada saat ini, konsumsi per kapita dunia telah berkembang pesat. Perkembangan konsumsi terjadi terutama pada negara berkembang untuk konsumsi langsung dan negara industri untuk konsumsi tidak langsung. Pada tahun 2001 dominasi konsumsi gula oleh negara berkembang sekitar 70% dimana sebagian besar konsumsinya bersifat langsung, sedangkan negara maju hanya mengkonsumsi 30% dengan kecenderungan konsumsi gula langsung dan pengembangan secara tidak langsung (P3GI, 2004).

Secara nasional, proporsi pengusahaan tebu antara Jawa dan Luar Jawa relatif tetap, dengan luasan sekitar 340 ribu Ha. Dari jumlah tersebut sekitar 60% areal tebu berada di Jawa, terutama di Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan penghasil tebu sebagai bahan baku gula yang sebagian besar bahkan hampir seluruhnya dihasilkan oleh petani. Ada


(45)

beberapa instrumen penting dari bagian strategi-strategi kunci pengembangan tebu. Instrumen tersebut antara lain:

1. Pengembangan pasar dan sistem pemasaran yang pada prinsipnya

diletakkan pada perlindungan terhadap petani tebu, dengan suatu mekanisme perlindungan harga yang lebih adil dan transparan. Dengan demikian petani dapat memperoleh imbalan hasil usaha tani tebunya secara lebih adil.

2. Pengembangan produk dalam industri berbasis tebu pada dasarnya

harus ditempatkan dalam kerangka strategis industri yang lebih luas dan lebih komprehensif. Sudut pandang yang dapat dilakukan dalam konteks ini adalah melihat pengembangan produk dari bahan baku tebu tidak hanya terbatas pada produk-produk gula semata. Dengan demikian perubahan struktur dan kultur industri pergulaan perlu diarahkan sebagai landasan untuk mengatasi krisis industri pergulaan Indonesia.

3. Pengembangan investasi dari industri berbahan baku tebu pada

dasarnya disusun dan dirancang agar dapat mengembangkan terciptanya iklim aglomerasi ekonomi yaitu berkembangnya industri-industri berbasis tebu dalam suatu wilayah sebagai akibat kedekatannya secara spasial dengan investasi industri gula yang akan ditanamkan.

4. Pengembangan kebun tebu di Jawa Timur harus dilandasi keyakinan


(46)

industri hilirnya, sehingga akan meningkatkan kemampuan petani memperbaiki efisiensi teknis kebun tebunya sebagai akibat meningkatnya produksi dan produktivitasnya, dan mampu mengembangkan wilayah ke arah aglomerasi ekonomi dalam bentuk Kawasan Industri Perkebunan (KIMBUN).

5. Peningkatan efisiensi industri pengolahan yang telah ada sangat

diperlukan agar perbaikan-perbaikan pada tingkat on–farm dapat berlanjut sehingga tercapai peningkatan produksi gula. Dalam hal pengembangan industri pengolahan ini diperlukan langkah-langkah penyehatan pabrik gula yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi teknis maupun ekonomis pada proses pengolahan tebu menjadi gula melalui perbaikan manajemen industri gula, perbaikan efisiensi pengolahan gula, pengembangan produk dan pengelolaan lingkungan untuk mencegah pencemaran.

6. Pengembangan sarana dan prasarana pendukung dalam

peningkatan industri berbahan baku tebu di Jawa Timur pada dasarnya dikaitkan dengan mendorong keperluan publik dalam pelaksanaan good farming practices ( GFP ), good manufacturing practices ( GMP ), good handling practices ( GHP ) dan good marketing practices ( GMP ) dalam keseluruhan rantai industri berbahan baku tebu.

7. Pemberdayaan petani tebu melalui community development. Elemen


(47)

institutional building yang mampu mengembangkan social capital, untuk meningkatkan bargaining position petani tebu. Kelembagaan ditingkat petani yang telah ada di Jawa Timur diantaranya adalah Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR).

8. Integrasi industri berbahan baku tebu bermuara pada rekonstruksi

ulang manajemen industri secara menyeluruh, mengingat petani tebu merupakan subyek terbesar dalam memasok dan mengembangkan produk-produk berbahan baku tebu. Untuk itu diperlukan rekonstruksi manajemen melalui:

a. peningkatan daya saing adaptasi dan daya inovasi pabrik gula

yang saat ini telah ada dengan menempatkan SDM petani dan masyarakat sebagai social capital dalam mengembangkan institusi industri pengolahan ke depan,

b. penempatan motivasi sebagai instrumen pokok dalam

meningkatkan kreativitas dan daya saing sehingga mampu mengembangkan industri lain bernilai tambah tinggi selain gula,

c. pengembangan kelembagaan (business entity) yang mengarah

pada sinergisme antara petani, lembaga keuangan atau perbankan, lembaga swasta, lembaga penelitian dan pemerintah. Sosok kelembagaan BUMP (Badan Usaha Milik Petani) merupakan pilihan yang harus diimplementasikan di Jawa Timur bagi pengembangan industri berbahan baku tebu.


(48)

2.2.5. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional

Sistem dan usaha agribisnis gula di Indonesia telah berlangsung ratusan tahun dan dirancang berdasarkan kepentingan pemerintah kolonial. Usaha pergulaan mendapat proteksi kuat dari pemerintah, didukung harga buruh dan sewa lahan yang murah. Pada masa ini, Indonesia mengalami masa gemilang sebagai salah satu negara utama penghasil gula dengan jumlah produksi hampir 3 juta ton dan sebagian besar untuk diekspor.

Pada tahun 1970-an terjadi krisis gula dunia yang puncaknya terjadi tahun 1973-1974. Harga gula dunia mencapai 70 cent/kg. Sementara itu upaya peningkatan produksi mengalami hambatan terutama penyediaan lahan yang dapat disewa oleh pabrik gula untuk menanam tebu semakin sulit karena sewa tanah dipandang petani terlalu rendah.

Situasi seperti ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diatur melalui Inpres No. 9/1975. Melalui kebijakan ini, produksi gula nasional naik 3% per tahun yang didukung perluasan areal 12,2% per tahun.

Program TRI, walaupun berhasil meningkatkan produksi, tetapi meninggalkan berbagai persoalan yang antara lain adalah penurunan produktivitas dan tingkat rendemen. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem yang dikembangkan pada masa TRI ternyata tidak mampu membuat sistem produksi pergulaan berjalan sebagaimana mestinya.


(49)

Komposisi tanaman tebu yang seharusnya tertata dalam blok-blok pertanaman masak awal, masak tengah, dan masak akhir, yang dibedakan berdasarkan varietas tebu, di lapangan menjadi kacau. Pabrik gula yang pada umumnya bekerjasama dengan satu atau beberapa orang pemasok tebu membuat sistem bertambah kacau. Dengan sistem ini, tidak ada insentif bagi petani tebu untuk meremajakan tanaman ratoonnya yang sudah ditebang (dikepras) lebih dari tiga kali bahkan banyak yang sudah belasan kali, sehingga varietas tebu yang ada merupakan varietas lama yang banyak terserang penyakit. Inilah salah satu penyebab turunnya produktivitas tebu dan hablur.

Memasuki tahun 1990-an, tantangan bagi sistem dan usaha agribisnis gula menjadi berat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah pada tahun 2002 mencanangkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2003-2007 yang didasarkan pada solusi fundamental atas permasalahan yang terjadi dalam sistem dan usaha agribisnis pergulaan.

Sasaran dari program ini sampai tahun 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional yaitu 3 juta ton gula kristal, dengan rendemen rata-rata 8,79% dan hablur rata-rata 7,74 ton/hektar. Modal kerja yang dibutuhkan setiap tahun mencapai Rp. 2,5 trilyun pada tahun 2002 yang akan meningkat menjadi Rp. 3,7 trilyun pada tahun 2007.


(50)

Terdapat tiga subprogram besar yaitu: (a) rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu, melalui penggantian varietas unggul. Tanaman yang sudah di kepras berulang kali (3 sampai 4) kali harus dibongkar dan diganti dengan varietas baru (b) rehabilitasi pabrik gula dari sisi on farm yaitu penyediaan bibit unggul dengan penjenjangannya mulai dari KBP, KBN, KBI dan KBD, dan (c) peningkatan investasi untuk pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan idustri gula baru di Luar Jawa (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).

Secara khusus, Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional diupayakan untuk menciptakan harmonisasi komposisi tanaman tebu rakyat dengan perbandingan tanaman pertama (plant cane) dan tanaman keprasan (ratoon) sebesar 33%: 67%, dimana ratoonnya maksimal 3-4 kali keprasan.

Upaya ini membutuhkan dukungan bibit yang bermutu dan insentif pembongkaran ratoon yang setiap hektarnya membutuhkan pembiayaan yang relatif mahal. Petani jelas tidak mampu membiayai dan pabrik gula tidak mempunyai dana guna membantu petani. Oleh sebab itu, guna membantu petani dan pabrik gula, pemerintah turun tangan membiayai program ini melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan dalam bentuk Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK). Dana PMUK yang diterapkan dengan model guliran ditujukan untuk membantu petani dalam merehabilitasi tanamannya, serta pada waktunya


(51)

memupuk modal usaha dan membangun lembaga usaha milik petani yang lebih kokoh.

Penetapan tata ruang perwilayahan komoditas tebu merupakan sarana strategis yang dibutuhkan oleh Provinsi Jawa Timur untuk mengamankan produktivitas gula sebagai komoditas unggulan di wilayah ini, selain merupakan upaya untuk meningkatkan kepastian usaha maupun investasi di bidang industri ini. Strategi ini diselaraskan dengan misi pembangunan perkebunan berkelanjutan di Jawa Timur yaitu mampu menghasilkan perkebunan tebu yang produktif dan efisien dari pemanfaatan sumberdaya lahan yang terbatas. Pemilihan komoditas unggulan didasarkan pada kesesuaian kemampuan lahan. Oleh karena itu penetapan kebijakan pembangunan perkebunan tebu sesungguhnya memerlukan penjabaran yang didasarkan kepada ketersediaan kapabilitas lahan yang bersifat aktual dan potensial untuk tebu disesuaikan terhadap perencanaan kebutuhannya. Pada Program Akselerasi tersebut pada dasarnya akan mengeliminasi kesenjangan antara produksi gula Nasional dengan kebutuhan domestik sehingga dapat dicapai swasembada , terutama dengan meningkatnya produktivitas tebu yaitu kenaikan rendemen dan produktivitas tebu per hektar (P3GI, 2004).

Secara operasional dana Program Akselerasi (Bongkar Ratoon) diberikan dalam bentuk LS (langsung) dari Pemerintah ke Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) berupa Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK). Penumbuhan kegiatan ekonomi kerakyatan dan peningkatan


(52)

kewirausahaan sehingga kelompok sasaran mempunyai kewenangan dalam pengelolaannya dengan pengawasan dari Pemerintah di Daerah/Kabupaten, Provinsi maupan Pusat (Direktorat Jenderal Perkebunan) Departemen Pertanian.

2.2.6. Bongkar Ratoon

Salah satu kegiatan yang paling penting dari program akselerasi adalah kebun bibit, rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal dengan bongkar ratoon) guna memperbaiki komposisi tanama varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensia / yang diharapkan.

Inti dari program bongkar ratoon sebenarnya bukan terletak pada kegiatan peremajaan tanamannya tetapi lebih pada pembangunan dan penguatan lembaga ekonomi milik petani yaitu Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) dengan dana Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK). Dana yang disalurkan, pada saat panen dikembalikan ke KPTR dengan tingkat bunga yang telah disepakati bersama. Melalui kegiatan ini, pengurus dan petani tebu anggota KPTR dilatih dan didampingi untuk mengelola usaha secara profesional, mandiri, dengan mengembangkan prinsip-prinsip kebersamaan, serta dikembangkan sesuai dengan bakat dan kompetensi masing-masing


(53)

Hal penting lainnya adalah kenyataan bahwa sistem produksi tebu membutuhkan pengorganisasian dan disiplin produksi yang tinggi. Sistem produksi tebu membutuhkan blok pertanaman yang teratur, yang ditanam pada pembagian waktu sedemikian rupa setiap tahun, sehingga dapat dibedakan blok pertanaman untuk varietas masak awal, masak tengah, dan masak akhir, yang berkaitan dengan jadwal tebang. Dari sisi teknis budidaya, lahan pertanian seyogyanya tidak ditanami tebu teru-menerus, tetapi perlu sekali-kali diganti dengan tanaman lain agar tingkat kesuburan tanahnya dapat dipertahankan serta untuk meminimalisasi anacaman hama dan penyakit tertentu.

Karakteristik program akselerasi untuk on-farm adalah pelaksanaan bongkar ratoon dengan penggantian varietas unggul baru baik bina maupun non bina. Dana bongkar ratoon yang dipinjamkan secara bergulir adalah sebesar Rp. 1.950.000,- per hektar yang diperuntukkan: (1) bongkar sebesar Rp. 1.000.000,-, (2) pengairan sederhana sebesar Rp. 200.000,- dan (3) sarana produksi sebesar Rp. 750.000,- (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003). Dana ini sebagai stimulan bagi petani agar bisa menjalankan program, meski biaya tersebut jauh dari kebutuhan petani. Petani bersedia mengikuti program dengan menambah kekurangan biaya tanam dengan swadaya petani.

Tingkat produktivitas tebu dan kadar gula di Indonesia sangat rendah, dan cenderung makin menurun disebabkan antara lain oleh karena varietas tebu yang ditanam pada saat ini masih didominasi oleh M


(54)

442-51 (BZ 148) dan F 154 (BZ 132). Kedua varietas tersebut umumnya telah mengalami kemunduran. Salah satu penyebabnya adalah telah terjangkiti penyakit-penyakit sistemik terutama penyakit pembuluh dan kepekaannya terhadap penyakit luka api yang sangat menekan pertumbuhan serta hasil panennya. Tingkat infeksi penyakit pembuluh di pertanaman tebu di Indonesia saat ini sudah mencapai 60-80 %, sedangkan serangan penyakit luka api di daerah-daerah tertentu telah mencapai 40%. Tingkat serangan penyakit–penyakit tersebut dapat menurunkan hasil tebu dan rendemen yang berarti. Sebagai contoh di Brazil dengan menggunakan bibit sehat dapat menyelamatkan kehilangan produksi sampai 30%. Survey yang dilakukan tahun 1998 di afrika Selatan dan sekitarnya menunjukkan bahwa infeksi penyakit pembuluh (RSD) pada tanaman tebu komersial menyebabkan penurunan hasil 15-30% pada lahan-lahan beririgasi dan 20-40% pada lahan tegalan. Tingkat penurunan hasil makin tinggi pada kondisi kering yang nyata (Bailey dan Farlane, 1999). Kondisi ini tentunya juga dialami pada pertanaman tebu di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari produktivitas hasil yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Penyebab lain adalah telah menurunnya potensi hasil tebu dari varietas lama yang disebabkan oleh berbagai sebab, termasuk sebab-sebab fisiologis dan genetis.

Upaya menanggulangi kendala penurunan produktivitas hasil, dipandang perlu untuk membenahi tanaman tebu di lapangan dengan varietas-varietas unggul baru dengan bibit bermutu.


(55)

Pergantian dan penataan varietas unggul sekaligus diupayakan untuk memberantas penyakit-penyakit tebu sistemik, seperti penyakit jaringan pembuluh (ratoon stunting), penyakit luka api (smut), mosaik dan penyakit blendok (leaf Scald). Victoria et.al. (1999) menginformasikan bahwa penggunaan bibit sehat telah menurunkan tingkat infeksi RSD di pertanaman tebu komersial Columbia dari 15,3% tahun 1981 menjadi 0,9% untuk 1998. Tampaknya untuk program penyehatan tanaman memerlukan waktu yang panjang untuk secara nyata dapat memperbaiki produktivitas hasil. Oleh karena itu program penyediaan bibit bermutu dari varietas-varietas unggul yang direkomendasikan adalah akan sangat berarti.

Melalui program Bongkar Ratoon maka perbaikan mutu bibit dan pengunaan varietas tebu unggul dalam rangka peningkatan produksi gula dapat dilakukan. Sumber bibit yang sehat dan murni sejak dari Kebun Bibit Pokok Utama (KBPU) sampai dengan jenjang Kebun Bibit Datar (KBD). P3GI menyelenggarakan penyediaan sumber bibit tingkat Kebun Bibit Pokok Utama, sedangkan PTPN/PT menyelenggarakan KBP ( tersentral), KBN, KBI dan KBD yang dikelola oleh PG-PG di wilayah kerjanya. Pengawasan dan penilaian tingkat mutu bibit di KBP dilaksanakan oleh P3GI, sedangkan KBN, KBI dan KBD oleh Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih (BP2MB) Perkebunan.


(56)

2.2.7. Pembangunan Kebun Bibit

Pembangunan Kebun Bibit, merupakan satu rangkaian kegiatan Bongkar Ratoon. Tanpa persiapan kebun bibit yang baik, kegiatan tidak akan berjalan dengan baik. Pembangunan Kebun Bibit melalui penjenjangan mulai dari KBPU (Kebun Bibit Pokot Utama) dilanjutkan dengan KBP (Kebun Bibit Pokok) pelaksanaan dilakukan oleh Lembaga Peneliti yaitu P3GI (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) yang berlokasi di Pasuruan. Untuk KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk) dan KBD (Kebun Bibit Datar) dilaksanakan oleh Pabrik Gula (PG). Sebagian KBD oleh petani, dengan pembinaan teknis dari Pabrik Gula. Hal ini dilakukan untuk mendekatkan lokasi KTG (Kebun Tebu Giling) dengan sumber bibit dari KBD sekitar kebun. Umur masing masing jenjang pembibitan sekitar 6 bulan, dengan rasio penangkaran masing masing sebagai berikut :

a. Rasio penangkaran KBPU menjadi KBP minimal= 1 : 6 (1 Hektar KBPU menjadi 6 Hektar KBP)

b. Rasio penangkaran KBP menjadi KBN minimal= 1 : 7 (1 Hektar KBP menjadi 7 Hektar KBN)

c. Rasio penangkaran KBN menjadi KBI minimal = 1 : 6

(1 Hektar KBN menjadi 6 Hektar KBI)

d. Rasio penangkaran KBI menjadi KBD minimal = 1 : 7


(57)

e. Rasio penangkaran KBD menjadi KTG minimal= 1 : 8 (1 Hektar KBD menjadi 8 Hektar KTG)

2.2.8. Penguatan Kelembagaan Petani

Penguatan kelembagaan dilakukan mulai dari kelompok kelompok tani di wilayah Pabrik Gula yang anggotanya adalah petani petani tebu, bergabung dalam satu Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Untuk memperkuat Gapoktan dari sisi hukum maka terbentuklah suatu Koperasi yang memiliki Badan Hukum. Karena Koperasi merupakan lembaga perekonomian kerakyatan maka melalui Koperasi ini Pemerintah memberikan Dana Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) berupa Program Bongkar Raton, yang sumber dananya dari APBN. Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) yang ada di daerah disebut dengan Koperasi Primer. Koperasi Primer yang tersebar di Jawa Timur bergabung dalam satu wadah Koperasi Sekunder yang berdomisili di Surabaya. Koperasi Sekunder bernama KUBP (Koperasi Usaha Bersama Pergulaan) Rosan Kencana.

Untuk memperkuat kelembagaan petani, pemerintah melakukan pendampingan dan pembinaan pada Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Pendampingan berupa pelatihan administrasi keuangan dan teknis, outbound guna membangun kebersamaan, studi banding ke provinsi lain dll. Pembinaan dilakukan pada bersama sama dengan Pabrik Gula pada saat persiapan lahan dan petani (CP/CL), penanaman,


(58)

pemeliharaan, tebang angkut, pembayaran oleh PG kepada petani. Penguatan Modal Usaha Kelompok bisa terjadi bila ketiga unsur yaitu Petani, Pemerintah dan Pabrik Gula bersama sama untuk koordinasi setiap kegiatan yang ada.


(59)

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang, permasalahan serta kajian teori yang dikemukakan bahwa produksi menurun akibat kepras yang berulang ulang dilakukan oleh petani, tidak adanya pengaturan penanaman oleh petani (tanam optimal) untuk lahan sawah bulan Mei, Juni, Juli dan untuk lahan tegalan bulan Agustus, September, Oktober, maka yang digambarkan model kerangka pemikiran dari penelitian ini.

Kerangka pemikiran pada penelitian ini diawali oleh adanya Sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang semula ingin menjadikan petani tebu sebagai tuan di atas tanahnya sendiri ternyata mengakibatkan petani tebu semakin enggan meremajakan tanamannya sehingga produktivitas industri gula semakin menurun. Selain itu, sistem yang dikembangkan selama TRI ternyata tidak mampu membuat sistem produksi pergulaan berjalan sebagaimana mestinya. Komposisi tanaman tebu yang seharusnya tertata dalam blok-blok pertanaman masak awal, masak tengah, dan masak akhir yang dibedakan berdasarkan varietas tebu, di lapangan menjadi kacau. Pabrik gula yang umumnya bekerja sama dengan satu atau beberapa orang pemasok tebu membuat sistem bertambah kacau.


(60)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Kondisi Pert anam an Tebu (Sist em TRI)

- Perencanaan w ilayah belum t erkoordinasi sem purna sehingga kom posisi t anam an plant cane dan rat oon t idak berim bang

- Variet as beragam , kepras berulang

- Pengelolaan dan pem eliharaan m inim al , produksi gula m enurun. - Wakt u t anam & t ebang t dk opt im al

- Produkt ivit as t ebu, rendemen dan produkt ivit as hablur m enurun

Kebijakan Akselerasi Peningkat an Produksi Gula Nasional

- Fakt or t anam an / on farm (kebun bibit , Rehabilit asi / bongkar rat oon) unt uk peningkat an produksi t ebu

- Fakt or pabrik / off farm (rendem en) unt uk peningkat an produksi gula. - Penguat an M odal Usaha Kelom pok (PM UK).

Program Bongkar Rat oon

- Perbaikan kom posisi Variet as , kualit as agar produksi t ebu m eningkat . - Variet as unggul, budidaya sesuai pet unjuk t eknis agar rendem en dan

produksi gula m eningkat .

- Penguat an kelem bagaan melalui PM UK. - Dukungan dana APBN dalam bent uk PM UK

Keragaan Pabrik Gula di JaTim

PENINGKATAN : Luas areal, Produksi t ebu,produkt ivit as t ebu,rendem en,produksi gula, produkt ivit as gula


(61)

Adanya sistem ini menyebabkan tidak adanya insentif bagi petani tebu untuk meremajakn tanaman ratoonnya yang sudah ditebang (dikepras) lebih dari tiga kali atau bahkan belasan kali, sehingga varietas tebu yang ada merupakan varietas lama yang banyak terserang penyakit. Apalagi ditambah dengan pemeliharaan dan pengelolaan tanah yang minimal. Akibatnya produktivitas tebu, rendemen, dan produktivitas hablur semakin menurun.

Menghadapi kondisi seperti ini, pemerintah kemudian mengeluarkan perbaikan dan koreksi terhadap berbagai kebijakan yang menyangkut pergulaan. Salah satu produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah adanya Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional 2003-2007 yang didasarkan pada solusi fundamental atas permasalahan yang terjadi dalam sistem dan usaha agribisnis pergulaan. Terdapat tiga subprogram besar yang akan dilakukan yaitu: (1) rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu, (2) rehabilitasi pabrik gula, dan (3) peningkatan investasi untuk pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan industri gula baru di luar Jawa.

Salah satu kegiatan yang berkaitan dengan kewenangan Departemen Pertanian di dalam program akselerasi adalah rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal dengan istilah “bongkar ratoon”) guna memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Hal ini penting mengingat gula sebenarnya diproduksi di dalam tanaman tebu, sementara


(62)

pabrik hanya memeras nira tebu untuk diolah menjadi gula kristal. Untuk mendukung program akselerasi tersebut, maka pemerintah menyalurkan dana Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) yang diambil dari APBN guna keperluan membangun kebun bibit dan membongkar tanaman ratoon milik petani serta memperbaiki prasarana pengairan pada perkebunan tebu.

Sasaran dari program akselerasi sampai dengan tahun 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional yaitu 3 juta ton gula kristal, dengan rendemen rata-rata 8,79% dan hablur rata-rata 7,74 ton per hektar. Dari target produksi tersebut, sekitar 40% atau 1,2 juta ton merupakan target produksi di Jawa Timur sebagai provinsi penghasil gula utama di Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa industri gula Jawa Timur sering dianggap sebagai lokomotif penggerak industri gula nasional.

Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional di Jawa Timur mencakup tiga kegiatan yaitu: (1) rehabilitasi tanaman melalui

bongkar ratoon, (2) penguatan kelembagaan, dan (3)

rehabilitasi/peningkatan kinerja pabrik gula dari sisi on farm berupa pembangunan Kebun Bibit. Melalui program akselerasi ini diharapkan produksi dan produktivitas gula meningkat. Namun, pada kenyataannya, program akselerasi baru menyentuh sebagian aspek on-farm, yaitu berupa kegiatan bongkar ratoon yang ditindaklanjuti dengan replanting tanaman tebu varietas unggul dan dukungan berupa pembangunan kebun


(63)

bibit secara berjenjang, serta peningkatan pemberdayaan petani tebu dan koperasi.

Kegiatan bongkar ratoon diprioritaskan pada tanaman tebu di atas keprasan ketiga. Tanaman tebu yang telah dikepras 3 kali kemudian dibongkar dan diganti dengan tanaman tebu baru. Tanaman tebu pengganti merupakan varietas tebu yang bersertifikat dan direkomendasikan oleh P3GI. Penanaman varietas unggul tersebut tentu saja diikuti dengan pengairan dan rasionalisasi pemupukan. Dengan cara demikian diharapkan tanaman tebu memiliki produktivitas yang tinggi. Pada akhirnya produktivitas yang tinggi diharapkan mampu mempengaruhi aruhi produktivitas hablur dan rendemen yang dihasilkan.

3.2. Hipotesis

1. Pelaksanaan Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur sudah

mencapai target.

2. Dampak dari program bongkar ratoon terhadap keragaan Pabrik

Gula di Jawa Timur ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan pada luas areal giling, produksi tebu, produksi gula, rendemen, produktivitas tebu, produktivitas gula


(64)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Lokasi

Obyek yang dipilih Provinsi Jawa Timur, hal ini disebabkan Jawa Timur memberikan kontribusi yang besar terhadap pergulaan Nasional. Sekitar 50 % atau 1,2 juta ton gula konsumsi dari 3 juta ton kebutuhan gula Nasional. Jawa Timur memiliki 31 Pabrik Gula yang dimiliki oleh 4 Perusahaan yaitu PTPN X memiliki 11 Pabrik Gula, PTPN XI memiliki 16 Pabrik Gula, PT. Rajawali Nusantar memiliki 3 Pabrik Gula dan PT. Kebon Agung memiliki 1 Pabrik Gula yang tersebar di 24 Kabupaten/Kota .

4.2. Populasi dan Contoh

Populasi dan contoh ada di 31 Pabrik Gula yang dikelola oleh 4 Perusahaan antara lain PTPN X yang memiliki 11 Pabrik Gula, PTPN XI memiliki 16 Pabrik Gula, PT Rajawali Nusantara memiliki 3 Pabrik Gula dan PT. Kebon Agung memiliki 1 Pabrik Gula, yang ada di 24 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.

4.3. Jenis Data

Data yang diperlukan adalah data sekunder yang berupa data luas areal, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula, produktivitas gula yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur selama kurun waktu 10 tahun (1998 s/d 2007).


(65)

4.4. Pengambilan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pooling data atau penggabungan data data selama 10 tahun (1998 sampai dengan 2007).

Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian ini, maka data-data yang terkumpul dan telah dianalisis akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan dianalisis dengan menggunakan Analisis Deskriptif. Setelah dianalisis diskriptif, dilanjutkan dengan analisis regresesi. Hal ini dilakukan agar bisa diketahui seberapa dominan program bongkar ratoon terhadap luas areal giling, produksi tebu, produktifitas tebu, rendemen, produksi gula dan produktivitas gula.

4.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Kebijakan Bongkar Ratoon adalah kebijakan dari Pemerintah untuk

membongkar tanaman yang kepras lebih dari 3 kali atau berulang ulang dengan mengganti varietas baru sesuai rekomendasi P3GI, pembangunan kebun bibit berjenjang mulai dari KBP (Kebun Bibit Pokok), KBN (Kebon Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk), KBD (Kebun Bibit Dasar) dan penguatan kelembagaan petani melalui PMUK (Penguatan Modal Usaha Kelompok).

2. Luas areal panen tebu adalah luas areal panen tebu dalam satu

musim tanam, dalam usahatani tebu rakyat yang diukur dengan satuan hektar per tahun.


(1)

faktor produksi yang dibutuhkan oleh petani. Kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas tebu dan rendemen.

3. Sistem kemitraan antara petani dan pabrik gula perlu ditingkatkan

untuk meningkatkan kepercayaan petani tebu terhadap pabrik gula dengan baik. Sistem kemitraan yang baik harus disertai dengan keterbukaan dari semua kegiatan kerjasama yang akan dilakukan dan bersifat saling menguntungkan dari pihak yang bekerjasama dalam hal ini pabrik gula dan petani. Kemitraan dalam hal ini akan dapat dikatakan berhasil apabila :

a. Pabrik gula dapat mendukung proses budidaya tebu dan pendapatan petani tebu antara lain : (1) pemberian kredit usahatani yang sesuai dengan luasan lahan yang diusahakan, (2) penyuluhan teknis pengusahaan tebu untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam mengusahakan tebu, (3) proses tebang angkut yang sesuai dengan prosedur dan dapat membuat petani percaya akan sistem yang berlaku, (4) penentuan rendemen yang tepat dan transparan agar petani merasa tidak tertipu dan terpedaya, (5) pembagian hasil yang seimbang.

b. Petani dapat mendukung proses peningkatan produksi gula antara lain : (1) menyewakan lahannya untuk diusahakan tebu, (2) mengusahakan tebu sesuai dengan ketentuan yang telah


(2)

rendemen yang tinggi dan dapat digiling pada waktu panen optimal, dan (3) menyerahkan hasil panen untuk diproses menjadi gula ke pabrik gula.

4. Upaya efisiensi di tingkat usaha tani dapat dilakukan melalui :

a. Penanaman varietas unggul. Beberapa varietas unggul baru

mempunyai potensi produktivitas lebih tinggi dari varietas yang sudah lama ditanam petani. Varietas unggul tersebut adalah PS 851, PS 861, PS 862, dan PS 863.

b. Percepatan peremajaan tanaman keprasan. Areal tanaman

keprasan secara bertahap harus dikurangi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menginventarisasi tanaman dan periode keprasan sehingga dapat disusun rencana peremajaan tanaman keprasan. Hal ini sejalan dengan program akselerasi pembangunan industri gula yang dilaksanakan oleh pemerintah.

c. Optimasi jadwal tanam dan tebang. Optimasi jadwal tanam dan

tebang tanaman tebu sangat penting untuk meningkatkan efisiensi. Optimasi tersebut dapat diwujudkan dengan membuat rencana tanam dan tebang serta komposisi varietas sehingga tanaman dapat ditebang pada umur yang optimal. Optimasi ini akan mencakup tiga dimensi yaitu optimasi masa tanam, optimasi masa tebang, dan optimasi komposisi varietas.


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Sasaran pelaksanaan program akselerasi peningkatan produktivitas

gula nasional (Bongkar Ratoon) di Jawa Timur dilihat dari tingkat produksi gula sudah mencapai yaitu tercapainya produksi gula sebesar 1,2 juta ton/tahun (tahun 2007 sebesar 1.205.997,40 ton) sedangkan ditinjau dari rata-rata rendemen belum mencapai 8,79% (tahun 2003-2007 sebesar 7,05%).

2. Dampak program Bongkar Ratoon di Jawa Timur ditinjau dari

rata-rata sebelum dan sesudah program pada luas areal giling, produksi tebu, produktivitas tebu, produksi gula, produktivitas gula berdampak positif, sedangkan pada rendemen gula terjadi perkembangan yang tidak stabil.

.

5.2. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan disampaikan saran-saran sebagai berikut:


(4)

sumberdaya manusia dalam pengelolaan kegiatan usahataninya untuk dapatnya memberikan peningkatan produktivitas usaha yang optimal sehingga diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tebu dan rendemen yang dihasilkan.

2. Peningkatan kemampuan modal yang dimiliki petani tebu perlu

ditingkatkan dengen berbagai program pemberdayaan keluarga petani sehingga pemanfaatan faktor produkdi yang dimilikinya dapat optimal

3. Peningkatan penerapan teknologi yang tepat guna serta

pengetahuan petani dalam intensifikasi usahatani tebu perlu dilakukan melalui kemitraan antara pabrik gula dan petani serta dukungan pemerintah sebagai upaya untuk mempertahankan kapasitas pasokan bahan baku tebu.

4. Pengembangan areal pertanaman dan bongkar ratoon tebu

hendaknya dilaksanakan sejalan dengan upaya pengintegrasian aktivitas budidaya (petani tebu) dan aktivitas pengolahan (PG). Dalam program ini diperlukan penyediaan kredit usahatani tebu, khususnya bagi petani kecil/miskin yang menjual tebu secara tebasan. Program ini hendaknya diikuti dengan penguatan kelompok tani, untuk menghindari ketergantungan petani dan PG dengan pedagang (penebas) tebu.

5. Pengembangan areal pertanaman tebu di Jawa diarahkan pada

lahan kering, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan dengan program peningkatan produksi tanaman pangan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Anonymous. 2004. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula: Satu Tahun “Bongkar Ratoon” 2003-2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Damaijati, E. 2007. Metode Riset Agribisnis. Buku Ajar. Program Pascasarjana. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Surabaya.

Darsono, 2008. Metode Riset Agribisnis. Buku Ajar. Program Pascasarjana. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Surabaya

Dewan Gula Indonesia. 2002. Pabrik Gula Indonesia. Laporan Intern. Dewan Gula Nasional. Jakarta.

Ditjenbun, 2003. Pedoman Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional.

Mardianto, S, P. Simatupang, P. Hadi, H. Malian, dan A. Susmiadi. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1: 19-35.

Mohammad Ilyas , 2002. Strategi pengembangan industri gula di Jawa Timur, dengan obyek PG. Tulangan, PG. Watutulis dan PG. Krembung wilayah kabupaten Sidoarjo. Tesis Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Surabaya.

Prabowo, Abror. 2007. Budidaya Tebu.

www.teknis-budidaya.blogspot.com.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia, 2004 Master Plan Pengembangan Perkebunan Tebu dan Industri berbasisk tebu di Jawa Timur.


(6)

Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Susila, W dan Bonar M. Sinaga. 2005. Analisi Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1:29-51.

Susila Wayan R. dan Sinaga Bonar M.. 2005. Pengembangan Industri

Gula Indonesia Yang Kompetitif Pada Situasi Persaingan Yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1)

Susmiadi, 2005. Pengaruh road map dan kebijakan pengembangan industri gula nasional A Jurnal Agro Ekonomi Vol. 24 No. 1:29-52. Susilowati, Erna. 2005. Evaluasi Kinerja Kebijakan Akselerasi

Peningkatan Produktivitas Gula (Studi Kasus di Wilayah PG “Tjoekir” Kab. Jombang MTT. 2003-2004). Tesis. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Surabaya.