USAHATANI TEBU (SACHARUM OFFICINARUM) ANTARA SISTEM BONGKAR RATOON DENGAN SISTEM RAWAT RATOON DI WILAYAH KECAMATAN PRAMBON.

(1)

DI WILAYAH KECAMATAN PRAMBON

SKRIPSI

Oleh :

M KADAFI PRAWIRO

NPM : 0724010002

Kepada

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

SURABAYA


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian ini, dengan judul “Usahatani Tebu (Sacharum Officinarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon Dengan Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian (S1). Program Studi Agribisnis, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Penulis berharap semoga dalam penyusunan skripsi ini dapat diterima dan memenuhi persyaratan, serta menyadari sepenuhnya akan segala kerendahan hati dan keterlibatan semua pihak, maka penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ir. A. Rachman Waliulu, MS. Selaku Dosen Pembimbing Utama dan Ir. Setyo Parsudi, MP. Selaku Dosen Pembimbing Pendamping atas kepercayaan dan segala bantuan yang telah diberikan berupa pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran. Selain itu dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian. 2. Ir. Indra Tjahaja Amir, MP, selaku Ketua Program Studi Agribisnis.

3. Papa, Mama dan Adikku tercinta yang selalu memberi doa, dorongan dan semangat.

4. Yulianik tercinta yang selalu memberikan motivasi dan semangat dalam melaksanakan penelitian ini.


(3)

5. Nurhadi selaku pembimbing lapang yang telah memberi luang waktu dan tenaga dalam membantu penelitian ini.

6. Rekan-rekan Se-angkatan’07 Jurusan Agribisnis yang telah memberikan dukungan moral dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dengan demikian penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan Skripsi ini.

Semoga apa yang penulis uraikan dalam skripsi ini, dapat berguna bagi pembaca pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Surabaya, Juni 2011


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... . vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2... Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1... Tujuan ... 10

1.3.2... Manfaat Penelitian ... 11

1.3.3... Pembatasan Masalah ... 11

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1...Peneliti an Terdahulu ... 12

2.2...Landas an Teori ... 17


(5)

2.2.1...Sejarah

Pergulaan Di Indonesia ... 17

2.2.2...Produk si dan Konsumsi Gula ... 20

2.2.3...Kebija kan Industri Gula ... 22

2.2.4...Luas Areal Tanam ... 24

2.3. Budidaya Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon .... 28

2.3.1...Budida ya Tebu Sistem Bongkar Ratoon ... 28

2.3.2...Budida ya Tebu Sistem Rawat Ratoon ... 36

2.4. Penentuan Rendemen Tanaman Tebu ... 38

2.5. Daya Saing Tanaman Tebu ... 40

2.6. Konsep Daya Saing Tanaman Tebu ... 41

2.7. Analisis Usahatani Tanaman Tebu ... 43

2.7.1...Biaya Produksi Usahatani Tanaman Tebu... 43

2.7.2...Pengert ian Pendapatan ... 44

2.7.3...Karakt eristik Pendapatan ... 44

2.7.4...Struktu r Pendapatan Usahatani ... 47


(6)

2.7.5...Produk si Dan Produktivitas Tanaman Tebu ... 48 2.7.6...Keung

gulan Komparatif ... 49 2.7.7...Pendap

atan Dan Efisiensi Usahatani Tanaman Tebu... 51

III....KERA NGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1...Kerang ka Pemikiran ... 53 3.2...Hipotes

is ... 55

IV....METO DE PENELITIAN

4.1...Penent uan Lokasi ... 56 4.2...Penent

uan Responden ... 56 4.3...Pengu

mpulan Data ... 57 4.4...Analisi

s Data ... 58 4.5...Definis


(7)

V....HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1...Keadaa n Umum Wilayah Kecamatan Prambon ... 65 5.2...Karakt

eristik Responden Petani Tebu ... 68 5.2.1...Tingkat

Pendidikan... 68 5.2.2...Tingkat

Usia ... 69 5.2.3...Jumlah

Tanggungan Keluarga ... 71 5.3...Budida

ya Tebu Bongkar Ratoon ... 73 5.3.1...Syarat

Pertumbuhan ... 73 5.3.2...Media

Tanam ... 73 5.3.3...Bibit

Tebu ... 73 5.3.4...Kebun

Bibit ... 75 5.3.5...Mengg

arap Tanah ... 75 5.3.6...Cara


(8)

5.3.7...Pemeli haraan Tanaman Tebu ... 81 5.3.8...Membe

rantas Hama dan Penyakit ... 87 5.3.9...Panen

... 88 5.3.10.Pasca Panen ... 90 5.4...Rata –

Rata Biaya, Pendapatan, Dan Produktivitas Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Wilayah

Kecamatan Prambon ... 90

5.5...Efisien si Usahatani Tanaman Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan

Sistem Rawat Ratoon Wilayah Kecamatan Prambon... 98

5.6...Daya Saing Usahatani Tanaman Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan

Sistem Rawat Ratoon Wilayah Kecamatan Prambon... 99

VI....KESI MPULAN DAN SARAN

6.1...Kesimp ulan ... 107 6.2. Saran ...

108 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

 

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Judul

1...Perbed aan Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon ... 55 2...Jumlah

Jenis Tanah Di Wilayah Kecamatan Prambon ... 65 3...Tingkat

Penduduk Kecamatan Prambon Tahun 2010 ... 67 4...Tingkat

Pendidikan Petani Tanaman Tebu Kecamatan Prambon 2010 ... 68 5...Usia

Responden Petani Tanaman Tebu Wilayah Kecamatan Prambon

Tahun 2010 ... 70 6...Jumlah

Tanggungan Keluarga Petani Tanaman Tebu Wilayah Kecamatan


(10)

7...Rata – Rata Biaya Dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Bongkar

Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Per Hektar Di Wilayah Kecamatan

Prambon ... 92 8...Rata –

Rata Produktivitas Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan

Sistem Rawat Ratoon Per Hektar Di Wilayah Kecamatan Prambon ... 94 9...Uji

Beda Rata – Rata Biaya, Pendapatan, Dan Produktivitas Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah

Kecamatan Prambon... 96 10...Tingkat

Pendapatan Dan Biaya Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Per Hektar Dengan Menggunakan Analisis

Regresi Berganda Dan Dummy Variabel... 100  

     

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Judul

1...Kerang ka Pemikiran ... 54 2...Tanam

an Tebu Umur 5 – 6 Bulan ... 74 3...Setek


(11)

4...Tanah Garapan Cara Bajak ... 78 5...Tanah

Garapan Cara Reynoso ... 78 6...Setek

Di Tanamkan Berdiri Condong ... 79 7...Tanam

an Sebelumnya Di Bumbun ... 85 8...Tanam

an Telah Sekali Di Bumbun ... 85 9...Tingkat

Perbedaan Intersep Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan

Sistem Rawat Ratoon... 101

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman Judul


(12)

1. Jumlah Luas Lahan Petani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem

Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon ... 111

2. Tingk

at Rendemen dan Penerimaan Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan

Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon... 112

3. Hasil Pengujian Pendapatan Dan Biaya Usahatani Tebu Sistem

Bongkar Ratoon Dengan Menggunakan “Analisis Regresi Linear

Berganda” Dan SPSS Ver, 12 For Windows... 113

4. Tabel Pendapatan Dan Biaya Total Per Hektar Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Menggunakan “SPSS 12 For Windows” Lampiran 3.... 115

5. Tabel Biaya, Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar... 116

6. Tabel Biaya, Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Rawat Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar... 117

7. Tabel Biaya Dan Penggunaan Bibit, Biaya Garap, Tenaga Kerja, Obat – Obatan, Pupuk, Tebang Angkut Usahatani Tebu Sistem Bongkar

Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar... 118 8. Tabel Biaya Dan Penggunaan Bibit, Biaya Garap, Tenaga Kerja,

Obat – Obatan, Pupuk, Tebang Angkut Usahatani Tebu Sistem Rawat

Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar ... 119 9. Tabel Biaya Irigasi, Sanitasi, Dan Sewa Lahan Usahatani Tebu Sistem


(13)

Kecamatan Prambon... 120

10. Hasil

Pengujian Produktifitas Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem

Rawat Ratoon... 121

11. Hasil

Pengujian Biaya Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat

Ratoon... 122

12. Hasil

Pengujian Pendapatan Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem

Rawat Ratoon... 123

13. Peta Areal

Luasan Lahan Tanaman Tebu Di Wilayah Kecamatan

Prambon ... 124

14. Kuisioner

Responden Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat


(14)

Dosen Pendamping : Ir. Setyo Parsudi, MP.

ABSTRAC

Indonesia merupakan produsen gula pasir dimana gula pasir digolongkan sebagai komoditas strategis, sehingga pemerintah berkewajiban menyediakan dalam jumlah yang cukup pada tingkat harga yang terjangkau di masyarakat. Saat ini produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi konsumsi, baik konsumsi lansung maupun konsumsi tidak lansung. Kekurangan gula untuk mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut masih harus disediakan melalui impor. Sehingga Sektor pertanian merupakan bagian terpenting dari perekonomian Negara Indonesia yang mampu menyumbang devisa. Hal tersebut didukung dengan pembangunan pertanian yang sangat erat kaitannya dalam menunjang terwujudnya sistem ketahanan pangan yang kokoh khususnya peningkatan gula atau tebu.

Tebu (Sacharum Officinarum) adalah tanaman rumput – rumputan yang banyak

mengandung gula pada batangnya. Namun untuk sampai menghasilkan gula, terlebih dahulu tebu hasil panen dari kebun harus segera dikirim ke Pabrik Gula (PG) untuk selanjutnya diolah. Dari pengolahan tebu ini dihasilkan apa yang dikenal sebagai Gula Kristal Putih (GKP) dan tetes sebagai produk utama. Disamping itu proses pengolahan tebu ini juga memproduksi ampas tebu yang kemudian dapat dimamfaatkan sebagai bahan bakar Boiler, media jamur merang, serta pupuk organik (Kompos). Sedangkan blotong yang dihasilkan dari proses pemurnian, dapat dimamfaatkan pula sebagai pupuk organic.

Usahatani tanaman tebu dengan menggunakan sistem bongkar ratoon yang dilihat dari segi tanam menggunakan tebu varietas baru dari hasil persilangan dengan tebu yang sebelumnya, pemeliharaan yang digunakan hampir sama dengan tebu yang lain yaitu dilakukan pemeliharan ulang dari tebu sebelumnya mulai dari pemupukan, penyulaman, pengairan, membunbun, dan memberantas hama penyakit pada tanaman tebu itu sendiri. Panen dilakukan apabila tebu tersebut telah dikatakan sudah tua dengan ciri – ciri berwarna kecoklatan tua dan siap untuk di tebang dan pasca panen dilakukan pengangkutan ke pabrik gula untuk dilakukan penyortiran tebu yang berkwalitas dan tidak berkwalitas. Berdasarkan hasil penelitian usahatani tebu sistem bongkar ratoon mempunyai biaya per hektar sebesar Rp. 19.878.192, (Rp/Ha), penerimaan per hektar sebesar Rp. 34.540.266, (Rp/Ha) dan pendapatan per hektar sebesar Rp. 15.256.068, (Rp/Ha). Sedangkan usahatani tebu sistem rawat ratoon memiliki biaya per hektar sebesar Rp. 15.084.981, (Rp/Ha), penerimaan per hektar sebesar Rp. 27.837.660, (Rp/Ha), dan pendapatan perhektar sebesar Rp. 10.636.277, (Rp/Ha). Sedangkan untuk produktivitas sistem bongkar ratoon hasil tebu 1.203 (Ton/Ha) dan gula 91.4 (Ku/Ha) dan sistem rawat ratoon hasil tebu sebesar tebu 1.124 (Ton/Ha) dan gula 90.5 (Ku/Ha). Dari hasil tersebut terjadi daya saing antara sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon yang dilihat dari segi biaya, penerimaan, pendapatan dan produktivitas.


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen gula pasir dimana gula pasir digolongkan sebagai komoditas strategis, sehingga pemerintah berkewajiban menyediakan dalam jumlah yang cukup pada tingkat harga yang terjangkau di masyarakat. Saat ini produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi konsumsi, baik konsumsi lansung maupun konsumsi tidak lansung. Kekurangan gula untuk mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut masih harus disediakan melalui impor. Sebagai gambaran pada tahun 2008 produksi gula nasional mencapai 2,67 ton, sementara kebutuhan gula domestik hampir 4,71 juta ton, sehingga terjadi kekurangan sekitar 2,04 ton dipenuhi melalui imfor. (Rahmat, A, 2000).

Apabila dikaitkan dengan sistem bongkar ratoon, maka dalam hal mendapatkan randemen yang tinggi harus menggunakan sistem yang baik, bahwa dalam peningkatan randemen yang tinggi harus menggunakan beberapa sistem yang terdiri dari keprasan, dan bongkar ratoon dengan kedua sistem tersebut, maka setiap pabrik gula akan mendapatkan hasil yang tinggi tetapi berbeda dan ini dapat menutupi gula imfor di indonesia. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan keberadaan gula merupakan sebagai sala satu sembilan bahan pokok yang keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupan rakyat banyak terhadap kebutuhan sehari - hari, serta memberikan sumbangan kepada kas negara melalui pajak dan cukai. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu untuk


(16)

campur tangan langsung dalam menangani pergulaan di indonesia yaitu meliputi aspek produksi, pemasaran, distribusi dan harga. (Rahmat, A, 2000).

Tebu (Sacharum Officinarum) adalah tanaman rumput – rumputan yang banyak

mengandung gula pada batangnya. Namun untuk sampai menghasilkan gula, terlebih dahulu tebu hasil panen dari kebun harus segera dikirim ke Pabrik Gula (PG) untuk selanjutnya diolah. Dari pengolahan tebu ini dihasilkan apa yang dikenal sebagai Gula Kristal Putih (GKP) dan tetes sebagai produk utama. Disamping itu proses pengolahan tebu ini juga memproduksi ampas tebu yang kemudian dapat dimamfaatkan sebagai bahan bakar Boiler, media jamur merang, serta pupuk organik (Kompos). Sedangkan blotong yang dihasilkan dari proses pemurnian, dapat dimamfaatkan pula sebagai pupuk organic, (Rahmat, A, 2000).

Pada dasarnya, Kelompok Industri Pabrik Gula memiliki sasaran yang bertujuan untuk mendapatkan mutu Produk Gula Kristal Putih (GKP) yang memenuhi Standart Nasional Industri (SNI), rendemen yang tinggi dan biaya pengolahan yang rendah dengan menggunakan proses pengolahan yang optimal, efektif dan efisien. Sedangkan parameter yang dipergunakan untuk menunjukkan mutu gula antara lain : Nilai Remisi Direduksi (NRD), Warna Icumsa (IU), Besar Jenis Butir (BJB), Kadar Air, dan Pol pada suhu 20 C. Sedangkan faktor yang menentukan mutu gula adalah kondisi dan mutu tebu yang akan diolah. Tebu yang terbakar,tebu yang sudah layu atau yang sudah terkena penyakit, serta tebu lasahan, bila diolah dapat dipastikan akan menurunkan perolehan produksi serta mutu gula yang dihasilkan, (Wayan R. Susila dan Bonar M. Sinaga, 2005).


(17)

Laju pertumbuhan produksi gula selama ini masih kecil di bandingkan kenaikan konsumsi. Kenaikan produksi rata – rata hanya 3,58% per tahun, sedangkan kenaikan konsumsi mencapai 4,86% per tahun. Itulah sebabnya saat ini indonesia di samping sebagai produsen gula (Urutan ke 12), juga sebagai pengimpor gula yang cukup besar. Konsumsi gula di indonesia dari tahun ketahun semakin meningkat. Di sebabkan oleh pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta semakin banyak industri memerlukan gula pasir sebagai bahan baku, karena produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi laju permintaan, sehingga indonesia terpaksa mengimpor gula untuk menutupi kelebihan permintaan tersebut dan indonesia rata – rata perusahaan industri terjadi penggunaan biaya yang sangat tinggi, sehingga produk yang ada di Indonesia sendiri sangatlah mahal dibandingkan gula impor. (Wayan R,S. 2004).

Pertumbuhan gula pasir belum dapat mengimbangi konsumsi gula pasir yang terus meningkat, maka impor gula pasir akan naik pula untuk menutupi kelebihan konsumsi tersebut. Jika kenaikan impor gula pasir akan naik pula untuk menutupi kelebihan konsumsi tersebut, jika kenaikan impor gula pasir pada saat harga gula yang dipasar dunia lebih rendah dari harga tetap dalam negeri tidak menjadi masalah, akan tetapi apabila harga gula dipasar luar negeri lebih tinggi dari harga tetap, maka akan membawa dampak bagi pemerintah karena harus mengeluarkan subsidi harga yang jumlahnya tidak dapat diduga. (Wayan R,S. 2004).

Langkah jangka panjang yang dilaksanakannya kebijakan harga yang sesuai secara teoritis swasembada gula masih dapat dilaksanakan. Dengan tingkat harga yang memadai didalam negeri sektor swasta dapat didorong untuk melakukan


(18)

investasi peningkatan produksi gula sejalan dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi akan gula. Kebijakan pemerintah dalam bidang industri gula tidak hanya menyangkut aspek produksi saja, tetapi juga dalam sistem pemasaran, distribusi, perdagangan sampai kepada penentuan harga yang bertujuan untuk menjaga kuantitas penawaran dan menciptakan harga gula yang bertujuan untuk menjaga kuantitas penawaran dan menciptakan harga gula pasir yang layak dan stabil ditingkatkan konsumen. (Wayan R,S. 2004).

Peranan sektor pertanian sekarang dan masa depan masih merupakan sektor andalan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Hampir semua sektor dewasa ini mengalami pertumbuhan negative, akibat krisis ekonomi, sektor pertanian masih mampu menunjukkan pertumbuhan yang positif. Dilain pihak sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat dan masih mampu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja. Hal ini membuktikan bahwa usaha yang berbasisi sumberdaya domestic masih mewujudkan keunggulan dalam menghadapi krisis ekonomio dibandingkan usahatani yang berbasis sumberdaya impor. (Wayan R,S. 2004).

Seiring dengan populasi penduduk yang terus bertambah, pada tahun – tahun mendatang kebutuhan gula dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pada tahun 2010 dengan populasi penduduk sekitar 230 juta jiwa kebutuhan gula indonesia diproyeksikan mencapai 4, 69 juta ton, dimana 2,75 juta ton diantaranya merupakan kebutuhan gula komsumsi lansung masyarakat dan 1,94 juta ton kebutuhan industri. Pada tahun 2014 atau 5 tahun ke depan kebutuhan gula melonjak menjadi 5, 70 juta ton dan pada 2025 diproyeksikan mencapai 8, 30 juta ton.


(19)

Kebutuhan gula yang terus meningkat ini harus segera diantisipasi, (Praditya Tono, 1999).

Upayah untuk meraih swasembada gula relatif berat dan perlu kerja keras, karena produksi gula nasional saat ini baru mencapai 56 % dari kebutuhan. Produksi gula nasional yang rendah terutama disebabkan oleh rendahnya tngkat produktivitas gula. Penurunan produktivitas gula terkait dengan berbagai faktor seperti perubahan kebijakan di bidang gula, inefisiensi pengolahan, pergeseran areal tebu ke lahan tegalan, penerapan baku mutu budidaya yangkurang baik dan khususnya sistem produksi yang terdir dari bongkar ratoon, keprasan dan cempolongan. (Kinnedy, 2001).

Mengantisipasi penurunan produktivitas gula yang terus berlanjut pemerintah menerapkan berbagai regulasi dan kebijakan sperti pemberlakuan tarif bea masuk gula, harga provenue, dana talangan. Program revitalisasi, program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional. Kontribusi jawa timur dalam peningkatan produksi gula nasional relatif sangat besar. Sejak tahun 2000 hingga 2008, sekitar 46 % total produksi gula nasional atau 75% total produksi gula jawa berasal dari jawa timur. Dari sekitar 60 pabrik gula (PG) yang beroperasi di indonesia saat ini, 31 diantaranya berada di jawa timur. (Kinnedy, 2001).

Mendukung peningkatan produksi gula di jawa timur tela dilakukan berbagai kegiatan, baik di sektor on – farm maupun off - farm. Secara garis besar perbaikan sektor on – farm dilakukan penyediaan sarana produksi, bibit unggul, penerapan standart baku budidaya, rehabilitas tanaman melalui bongkar ratoon dan rawat ratoon, precision farming dan lain – lain. Sementara di sektor off – farm dilakukan


(20)

peningkatan kapasitas giling dan rehabilitas pabrik. Selai itu, sejak tahun 2006 dilakukan pula program pabrik gula (PG). Kegiatan perbaikan on – farm yang cukup nyata pengaruhnya di jawa timur adalah bongkar ratoon. Tanaman yang sudah dikepras lebih dari 3 kali di bongkar dan diganti dengan varietas tebu unggul baru. Penggantian ini disertai dengan upaya pemupukan dalam dosis, komposisi dan waktu yang tepat, pengairan dan perawatan lainya sesuai dengan baku tehknis. Dalam rangka menyediakan bibit unggul dilakukan kerjasama dengan para pemulia bibit khususnya dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Bibit ditanam secara berjenjang dengan luasan sesuai kebutuhan dan pelaksanaan pembangunan melibatkan petani (Koperasi) dan PG. (Thoha Mahmud, 2000).

Berbagai upaya bidang on – farm, off – farm dan kelembagaan yang telah diterapkan secara signifikan mampu meningkatkan produksi gula. Akan tetapi, kenaikan produksi tersebut tampaknya lebih banyak disumbangkan oleh pertambahan areal tebu. Pencapean produktivitas tebu dan gula masih belum sesuai dengan target. Sebagai gambaran, target produksi gula nasional tahun 2008 sekitar 2,95 juta ton, namun realisasinya hanya 2, 67 juta ton. Produktivitas gula nasional pada tahun 2008 ditargetkan rata – rata 6, 80 ton/ha, namun realisasinya hanya 6, 17 ton/ha atau sekitar 91%. Rendahnya randemen dalam produksi dan produktivitas gula ini kemudian mendorong pemerintah pada tahun 2009 menyusun rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula Nasional. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula Nasional sebenarnya merupakan bentuk lain Program Akselerasi dan Roadmap Swasembada Gula dengan revisi pada target produksi gula. Target swasembada gula dipisahkan antara swasembada gula konsumsi lansung dengan swasembada gula


(21)

total. Berdasarkan rencana aksi tersebut, swasembada gula konsumsi lansung target tercapai pada tahun 2009 dan swasembada gula total pada tahun 2014. Maka dengan ini perlu dilakukan program sistem bongkar ratoon yang baik dan menggunakan sistem keprasan yang sangat optimal, sehingga mendapatkan hasil yang baik juga dalam peningkatan mutu gula di jawa timur maupun tingkat internasional, (Hafsa, 1989).

Secara nasional upaya peningkatan produksi gula sangat tergantung kepada kinerja industri gula di jawa timur. Target produksi gula setiap tahun di jawa timur hampir selalu tercapai (Satuan Kerja Dinas Perkebunan Propinsi Jawa timur 2004 – 2010) sementara wilayah lainnya di Indonesia jauh di bawah sasaran. Oleh karena itu, fakta ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya dikaitkan dengan keragaan kinerja industri gula di jawa timur secara keseluruhan. Pada saat ini banyak negara sedang berjuang untuk mempertahankan eksistensi industri gulanya melalui dua cara (instrument) yaitu :

a. Intrumen politik yaitu menuntut

perlindungan pemerintah dari persaingan yang tidak sehat dengan industri gula negara lain melalui forum perundingan bilateral.

b. Intrumen teknologi yaitu mengembangkan

teknologi dalam industri gula domestik untuk meningkatkan efisiensi industri gula sehingga mampu bersaing dengan industri gula negara lain khususnya dalam hal program yang digunakan sperti sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon.

Industri gula di Indonesia kedepan menghadapi tantangan yang cukup berat terutama diakibatkan karena :


(22)

1. Persaingan lahan tebu dengan komoditas pertanian lainnya (padi dan palawija). Bahwa suatu perusahaan mencari lahan yang berjenis kelas A artinya bahwa kelas A merupakan tanah yang paling baik di antara tanah jenis lainnya.

2. Persaingan antar pabrik gula yang dilihat

dari segi kualitas dan kuantitas dalam menghasilkan produk.

3. Persaingan peruntukan lahan yang

disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan tata ruang kota (Master Plan Pngembangan Perkebunan Tebu dan Industri berbasis Tebu di Jawa Timur).

Luas areal Jawa Timur berdasarkan batas wilayah adminisrasinya sekitar 42. 426 Kilometer persegi dan sekitar 2,8 juta hektar peruntukan lahannya untuk pertanian dan perkebunan. Dari luas lahan pertanian tersebut, sekitar 140.000 – 150.000 hektar dimamfaatkan untuk lahan perkebunan tebu yang terdiri dari lahan tegalan dan lahan sawah. Untuk mengetahui luas areal tanaman tebu berdasarkan tipe dan pengelolaan lahan di jawa timur pada lima tahun terakhir. Jawa timur industri gula dikelola oleh empat (4) perusahaan yang terdiri dari : PTPN X, PTPN XI, PT. PG RAJAWALI 1 dan PT. KEBUN AGUNG. Luas areal tebu di masing – masing wilayah perusahaan gula begitu dinamis sehingga selalu terjadi pergeseran – pergeseran lokasi kebun. (Hafsa, 1989).

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia adalah negara yang mempunyai areal lahan yang sangat luas sekali, untuk memaksimalkan potensi pertanian dan perkebunan. Sampai sekarang Negara


(23)

Indonesia masih mengimpor gula. Untuk prodiksi gula nasional harusnya mendapat perhatian menilik besarnya potensi yang dimiliki bangsa ini untuk mewujudkan swasembada gula. Tebu sebagai bahan baku pembuat gula masih terbelengkalai dalam pelaksanaanya dalam segi program yang terdiri dari lahan, bibit, saprodi dan yang lebih penting sistem yang digunakan dalam hal peningkat randemen gula.

Kegiatan utama pembongkaran tanaman tebu ratoon dan pembangunan kebun bibit tebu. Di Jawa Timur salah satu dampak dari program ini, banyak dijumpai petani yang melakukan sistem bongkar ratoon tanaman tebu dan diganti dengan bibit tebu yang berkualitas terutama yang dihasilkan oleh P3GI. Program bongkar ratoon menjadi dambaan petani untuk mengganti varietas tanaman tebunya. Varietas yang sedang dikembangkan di Propinsi Jawa Timur yaitu varietas PS 862, PS 863, PS 861, PB 851, PS 851 dan PB 861, sedangkan varietas yang sudah banyak ditanam oleh petani yaitu varietas Triton, PS 80142, BZ 132, PS 801424.

Produktivitas tanaman tebu dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak hanya tipe lahan (sawah atau tegalan) tetapi juga penggunaan sarana produksi dan teknik budidayanya. Pemupukan sebagai salah satu usaha peningkatan kesuburan tanah, pada jumlah dan kombinasi tertentu dapat menaikkan produksi tebu dan gula. Berdasarkan ini,rekomendasi pemberian macam dan jenis pupuk harus didasarkan pada kebutuhan optimum dan terjadinya unsur hara dalam tanah disertai dengan pelaksanaan pemupukan yang efisien yaitu waktu pemberian dan cara pemberian. Kombinasi jenis dan jumlah pupuk yang digunakan berkaitan erat dengan tingkat produktivitas dan rendemen tebu.


(24)

Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan tentang usahatani tebu dengan sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan program sistem

bongkar ratoon pada tanaman tebu di Wilayah Kecamatan Prambon.

2. Bagaimana perbedaan usahatani tebu

sistem bongkar ratoon dengan sistem rawat ratoon, terutama produktivitas (gula dan tebu), randemen dan pendapatan petani di Wilayah Kecamatan Prambon.

3. Apakah usahatani tebu dengan sistem

bongkar ratoon mempunyai ukuran daya saing yang tinggi di bandingkan dengan sistem rawat ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui pelaksanaan budidaya

tanaman tebu sistem bongkar ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon mulai dari tanam, pemeliharaan, Panen dan pasca panen.

2. Menganalisis rata – rata perbedaan biaya,

pendapatan, produktivitas dan efisiensi usahatani tebu antara sistem bongkar ratoon dengan sistem rawat ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon.

3. Menganalisis daya saing usahatani tebu

sistem bongkar ratoon dengan sistem rawat ratoon yang dilaksanakan di Wilayah Kecamatan Prambon.


(25)

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat (Benefit) dari hasil penelitian Usahatani Tebu (Sacharum

Officanarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon Dengan Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon diharafkan :

1. Memberikan media informasi bagi

perusahaan gula dan petani tebu terhadap sistem bongkar ratoon dengan sistem rawat ratoon.

2. Dapat memberikan manfaat kepada

pemerintah daerah maupun pusat dalam mengetahui pentingnya program sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon tebu dalam peningkatan produksi dan pendapatan.

3. Memberikan tambahan wawasan dan

wacana bagi para pemula atau pelaku bisnis pertebuan dan kelembagaan petani baik dari sisi sosial maupun ekonomi.

1.3.3. Pembatasan Masalah

Penelitian ini merupakan studi kasus pada petani tanaman tebu sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon. Pada penelitian ini hanya terbatas dengan ruang lingkup yaitu petani tanaman tebu sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon yang memberikan keunggulan di masing – masing sistem dalam pembudidayaan tanaman tebu sampai dengan pascapanen.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Industri gula nasional memiliki sejarah teramat panjang. Pernah mengalami puncak kejayaan ketika produktivitas berada pada titik tertinggi sehingga menempatkan Indonesia sebagai pengekspor gula terbesar dunia kedua setelah Kuba. Hasil-hasil penelitian dan teknologi yang lahir di Indonesia menjadi kiblat peningkatan daya saing dunia. Salah satu di antaranya adalah varietas tebu rakitan Pasuruan mampu menyelamatkan industri gula dunia dari penyakit sereh. Itu semua terjadi sekitar tahun 1930-an ketika 167 pabrik gula (PG) kala itu mampu menghasilkan 3,0 juta ton gula. (Wayan R,S. 2004).

Kondisi terpuruk juga pernah dialami tatkala produksi gula berada di titik nadir dan hanya mencapai 1,67 juta ton. Dengan impor 1,9 juta ton, praktis pada 1999 Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar dunia setelah Rusia. Masa transisi dari kebijakan pergulaan yang serba komando dan sarat pengaturan ke arah liberalisasi perdagangan dengan tanpa persiapan memadai telah membuat berantakan industri gula dalam negeri. Liberalisasi sendiri dimulai 1998, tepatnya 4 bulan sebelum Presiden Soeharto lengser keprabon melalui pemberian kebebasan bagi petani untuk menanam tebu atau tidak dan dihilangkannya monopoli bulog dalam pemberian atau pendistribusian gula pasir. Konsekuensi logisnya, impor gula dapat dilakukan secara


(27)

bebas oleh siapa pun dengan tanpa barrier to entry, baik yang bersifat tarif maupun non tariff, (Wayan R,S. 2004).

Pada mulanya implementasi liberalisasi disambut dengan antusias. Harga gula dunia yang sangat mahal dan rupiah yang terdepresiasi membuat petani dan kalangan PG sangat menerimanya dengan baik. Ternyata kondisi tersebut, ternyata hanya berlangsung beberapa bulan. Gerusan harga gula dunia yang kembali normal, bahkan cenderung rendah, ditambah apresiasi rupiah menjadikan harga gula lokal terpuruk. Keadaan yang serba kacau diperparah membanjirnya stok oleh aliran gula dunia yang dapat didatangkan siapa saja, kuatnya tekanan petani menimbulkan kegamangan para birokrat. Sejumlah aturan yang bersifat melindungi dan mempromosikan agenda peningkatan daya saing pun digulirkan. Beberapa kebijakan proteksi antara lain berupa pembatasan impor gula secara ketat dengan hanya memberikan lisensi kepada produsen dengan bahan baku sekurang-kurangnya 75% dari tebu rakyat, adanya bea masuk atas gula impor, tersedianya harga dasar (floor price) dan dana talangan untuk gula petani, serta subsidi pupuk dan kredit program, (Simatupang, R, 2006).

Kebijakan promosi yang mencakup penyediaan bantuan langsung bagi petani yang melakukan rehabilitasi tanaman dengan membongkar keprasan lanjut yang diketahui telah mengalami degenerasi dan penurunan produktivitas secara ekstrem kemudian menggantinya dengan bibit baru dari varietas unggul (bongkar ratoon). Keduanya dimaksudkan agar pada saat liberalisasi diterapkan secara menyeluruh, petani dan PG sudah siap. Meski kebijakan tersebut bukanlah obat mujarab yang mampu mengatasi penurunan produksi gula, tetapi secara perlahan telah memberikan hasil-hasil konkret yang dapat menjadi modal dasar bagi program aksi babak


(28)

berikutnya. Sebutlah adanya harga dasar gula, memberi peluang petani terhindar dari dampak fluktuasi harga yang cenderung kurang menguntungkan, (Simatupang, R, 2006).

Dana talangan memungkinkan petani tetap dapat beraktifitas di kebun meski gula hasil penggilingan tebu belum terjual habis. Aktifitas itu menyangkut peningkatan mutu intensifikasi budi daya dan ekspansi areal. Tidak mengherankan kalau produksi gula nasional khusus dari tebu yang hanya 1,67 juta ton (1999) telah bergerak naik menjadi 2,41 juta ton (2007). Impor gula pun menurun drastis dan secara bertahap industri gula berancang-ancang menuju swasembada. Kebijakan yang by design sudah bagus tersebut tererosi beleid lain yang dibuat pemerintah sendiri, khususnya soal distribusi gula rafinasi. Per definisi gula rafinasi hanya untuk industri makanan dan minuman berskala besar, tetapi dengan memperluas terminologi industri termasuk pula yang dilakukan usaha mikro, kecil dan rumah tangga, rusaklah susu sebelanga, (Anggoro, T, 2008).

Kenyataan empirik menunjukkan, pengolahan makanan dan minuman kelas usaha kecil dan rumah tangga lebih suka menggunakan gula lokal dan gula mangkok (berbahan baku tebu, aren dan kelapa), bukan gula rafinasi. Esensi pendirian dan pembangunan industri gula rafinasi adalah menyediakan bahan baku bagi industri makanan dan minuman skala besar yang karena spesifikasi khususnya untuk sementara belum dapat diproduksi PG tebu. Degradasi aturan terjadi menyusul masuknya gula rafinasi ke industri makanan dan minuman kelas rumah tangga yang kemudian merembes ke pasar gula konsumsi yang selama ini menjadi segmen gula local, (Anggoro, T, 2008).


(29)

Keadaan makin buruk lantaran pemerintah juga memberikan rekomendasi (Departemen Perindustrian) dan menerbitkan izin (Departemen Perdagangan) impor gula rafinasi secara langsung oleh industri makanan dan minuman. Alasan kualitas produk lebih baik dan harga lebih murah menggoda industri makanan dan minuman melakukan tindakan impor. Timbul pertanyaan, kalau produk industri gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor tidak terserap industri makanan dan minuman dengan alasan spesifikasi produk tidak terpenuhi, lantas untuk apa didirikan? Pembangunan pabrik berkapasitas besar dengan keengganan industri makanan dan minuman menyerapnya setidaknya telah menjadikan gula lokal sebagai korban kebijakan yang tidak didasari kondisi objektif di lapangan. Temuan gula rafinasi, baik produk lokal maupun impor, yang diperdagangkan secara bebas di Yogyakarta bulan November 2007, mengindikasikan telah terjadinya perembesan. Fakta lain yang juga terungkap, aliran gula lokal ke luar Jawa mengalami stagnasi, setidaknya dibandingkan dengan kondisi normal akibat pasar telah jenuh gula rafinasi, (Amirudin, H, 2002).

Posisi daya saing industri gula di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara produsen gula yang efisien, seperti Brasil, Australia, Thailand, Afrika Selatan,India, dan Cina. Apabila bersaing dengan negara-negara tersebut, 12 pabrik gula (PG) di Jawa diperkirakansulit bertahan apabila tidak diberlakukan kebijakan proteksi. Bahkan bila dipersaingkan dengan harga gula di pasar dunia, dari 46 PG di Jawa (total kapasitas 128.670 TTH atau 65% dari kapasitas nasional atau kontribusi produksi setara dengan 68% produksi nasional), 37 PG tidak mampu bersaing. Penyebab utama tidak kompetitifnya industri gula di Jawa adalah inefisiensi pada usaha tani dan di pengolahan (PG), (Amirudin, H, 2002).


(30)

Inefisiensi usahatani disebabkan oleh produktivitas lahan yang rendah sebagai akibat penggunaan varietas lama, berkembangnya tanaman tebu keprasan yang berulang-ulang, dan penerapan teknologi yang mengutamakan bobot tebu. Inefisiensi pada usaha tani tebu telah mulai dipecahkan melalui program akselerasi peningkatan produktivitas gula yang difokuskan pada bongkar ratoon dan penggantian varietas yang dimulai tahun 2002. Pada tahun 2004, program tersebut telah menunjukkan keberhasilan berupa kenaikan produksi yang cukup nyata. Namun demikian, pengolahan gula belum ditangani secara signifikan, (Amirudin, H, 2002).

Inefisiensi di tingkat pengolahan mencakup dua hal, yaitu kapasitas dan efisiensi teknis PG yang sangat rendah dibandingkan dengan PG di luar negeri. Pada umumnya PG di luar negeri berkapasitas lebih dari 5.000 TTH, sedangkan kapasitas PG di Jawa umumnya kurang dari 5.000 TTH. Di samping itu, efisiensi teknis PG di Jawa, yang dicerminkan oleh overall recovery (OR), hanya berkisar 59-76%, sedangkan OR untuk PG diluar negeri rata-rata di atas 80%. Upaya peningkatan daya saing industri gula mencakup pula peningkatan efisiensi PG melalui konsolidasi PG agar kapasitas PG mencapai lebih dari 5.000 TTH dengan OR lebih besar 85%. Ada dua langkah yang dapat ditempuh yaitu penggabungan dan atau peningkatan kapasitas PG kecil (di bawah 5.000 TTH), dan rehabilitasi PG untuk meningkatkan OR mencapai 85% atau lebih. Artinya, melalui penanganan efisiensi PG akan dapat diharapkan tambahan produksi gula sekitar 110.000 ton/tahun, (Amirudin, H, 2002).

Pabrik gula yang efisien harus memenuhi standar di atas. Namun pada saat ini sebagian besar PG di Jawa masih berada di bawah norma yang ditetapkan. Peningkatan efisiensi PG akan menurunkan biaya produksi dari Rp3.300/kg menjadi


(31)

Rp2.500/kg, bahkan bisa lebih rendah jika digunakan varietas baru dengan produktivitas tinggi dan efisiensi pada aspek budidaya. Apabila hal ini terwujud maka semua PG di Jawa dapat bertahan meskipun tanpa proteksi. Eksistensi PG di Jawa akan berdampak luas pada perekonomian, seperti penciptaan pekerjaan bagi petani tebu, transportasi, industri hulu, industri hilir, serta menginduksi pendapatan di sekitar PG. Peningkatan efisiensi PG di Jawa juga memberi kontribusi pada upaya mencapai swasembada gula dan ketahanan pangan, (Amirudin, H, 2002).

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Sejarah Pergulaan Di Indonesia

Tanaman tebu (Saccharum Officianarum) telah dikenal dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Tanaman tebu dikenal di Negara India sejak seribu tahun sebelum masehi. Nama latin Saccaharum yang diberikan oleh Linaeus tahun 1753 berasal dari kata karkara dan sakara dalam bahasa sangseketa dan rakit yang berarti kristal gula atau sirup yang berwarna gelap. Sehubungan dengan hal tersebut dan oleh ciri – ciri botaninya, kebanyakan peneliti memperkirakan bahwa daerah asal tanaman tebu adalah India Utara (Saccharum Barberi, Jeswiet), Cina bagian tenggara (Sccharum Sinense, Roxb) atau dari daerah pasifik selatan. Akan tetapi penelitian terakhir menyimpulkan bahwa tanaman tersebut berasal dari pulau irian lalu sejak tiga ribu tahun yang lampau menyebar ke kepulauan Indonesia dan Malaysia, kemudian menyebar pula ke indo Cina dan India. India merupakan negara pertama yang membuat gula yang berasal dari tanaman tebu. (Fahrudin, M, 2003).


(32)

Pertanaman tebu di Indonesia terutama di pulau jawa yang bercorak industri pergulaan dimulai pada masa tanam paksa (Cultuur Steisel), pada tahun1830 oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1840 telah dijumpai tanaman tebu seluas 22.400 hektar dengan jumlah ekspor gula sebesar 63.400 ton. Pada tahun 1870 dikeluarkan undang – undang Agraria (Agrariche Wet) yang diusulkan oleh “Wet Op

Suiker Cultur” untuk menghapus sistem tanam paksa, karena sistem itu telah

menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat (petani) khususnya di pulau jawa, (Fahrudin, M, 2003).

Perusahaan perkebunan tebu di pulau jawa umumnya tidak memiliki lahan sendiri, sehingga dalam penanaman tebu ini selalu berpindah – pindah tempat dari tahun ke tahun sesuai dengan giliran penanaman tanaman tebu yang telah diatur oleh pemerintah. Sebelum perang dunia II gula merupakan sala satu komoditi ekspor terpenting di indonesia. Indonesia tergolong sebagai sala satu sumber gula bagi pasaran dunia internasional. Setelah perang dunia II perusahaan perkebunan tebu di indonesia mengalami kemunduran. Hal iini disebabkan oleh berkurangnya lahan yang dapat digunakan untuk penanaman tebu, karena kebutuhan akan pangan terus meningkat sehingga lahan – lahan sawah lebih diperioritaskanntuk bertanam padi, (Djoehana S dan Husaini A, 1992).

Indonesia telah berubah dari negara eksportir gula pasir dunia menjadi importir, hal ini disebabkan perkembangan produksi yang lambat apabila dibandingkan dengan pertambahan yang cepat dari permintaan dalam negeri sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan kenaikan pendapatan per kapita. Konsumsi gula di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat disebabkan oleh pertambahan


(33)

penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta semakin banyak industri memerlukan gula pasir sebagai bahan baku. Karena produksi dalam negeri tidak mampu mengimbangi laju permintaan, sehingga indonesia terpaksa melakukan imfor gula dalam jumlah yang besar untuk menutupi kekurangan dalam negeri itu sendiri. (Djoehana S dan Husaini A, 1992).

Mengingat harga gula dipasar dunia internasional relatif murah, tetapi pemerintah tetap mencanangkan pemenuhan produksi dalam negeri atas pertimbangan beberapa hal di antaranya mengurangi ketergantungan suplai gula luar negeri, menghemat devisa, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. (Hafsah, 1989). Dalam lima tahun terakhir impor gula yang dilaksanakan pemerintah melalui bulog memang berfluktuasi, tergantung pada kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 1997 impor gula sebesar 452.826.29 Kg, pada tahun 1998 impor gula mengalami penurunan sebesar 244.875.330 Kg, pada tahun 1999 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 738.274.925 Kg, sedangkan pada tahun 2000 dan 2001 jumlah impor gula relatif stabil maisng – masing sebesar 399.082.864 Kg dan 369.382.394 Kg, (Djoehana S dan Husaini A, 1992).

Usaha pemerintah untuk mencapai swasembada gula dengan memanfaatkan semua potensi yang ada secara optimal telah dilakukan, mengingat tercapainya swasembada gula bukan hanya kebutuhan gula nasional yang dapat dipenuhi, tetapi aspek yang lebih penting adalah meningkatkan pendapatan petani. Sumber gula di Indonesia sejak masa lampau adalah cairan bunga (nira) kelapa atau enau, serta cairan batang tebu. Gula merupakan penggerak ekonomi Hindia Belanda yang sangat


(34)

penting. Melimpahnya produksi dengan dukungan birokrasi, ketersediaan lahan kelas wahid, infrastruktur fisik berupa jalan, jembatan, dan irigasi, serta lembaga riset bereputasi internasional telah menempatkan negeri ini sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua di dunia, setelah Kuba. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan sejarah, situasi yang sudah berbalik menjadi negara importir gula. Titik awal kehancuran itu adalah ketika pola sewa lahan petani oleh pabrik gula (PG) dihentikan dan diganti tebu rakyat. Pemisahan antara manajemen penyediaan bahan baku dan pabrikasi secara sistematis membuat produksi tidak maksimal. Disintegrasi vertikal juga terbukti menjadi sumber konflik dengan solusi menyakitkan, apalagi dalam implementasinya belasan institusi yang secara tidak langsung terlibat proses produksi ikut mengatur dengan mekanisme kewenangan yang tidak jelas dan penuh kepentingan, (Djoehana S dan Husaini A, 1992).

2.2.2. Produksi dan Konsumsi Gula

Memenuhi kebutuhan akan pemanis telah tersedia sejumlah alternatif sumber bahan pemani yang baik alami maupun yang buatan (sintetis). Bahan pemanis alami maupun bahan pemanis buatan telah digunakan secara luas baik untuk keperluan konsumsi rumah tangga maupun bahan baku industri pangan. Luas wilayah dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah, gula merupakan sala satu komoditas strategis, karena kontribusinya bagi perekonomian nasional, perannya dalam ketahanan pangan, banyak investasi dan tenaga kerja, serta luas lahan keterkaitanya dan kedudukan gula dalam industri primer maupun skunder. Ditinjau dari kepentingan nasional indonesia gula merupakan tergolong sebagai sala satu komoditi strategi dalam ketahanan pangan (Food Security), khususnya pada tanaman tebu.


(35)

Karena sebagai sala satu kebutuhan pokok (Food Staple), masyarakat sebagai sumber karbohidrat, banyak menyerap tenaga kerja, serta mendukung industri sekunder sperti industri makanan dan minuman. Namun dari besarnya pangsa pengeluaran rumah tangga untuk belanja gula terhadap pengeluaran, penelitian pada tahun 1986 dan 1995, menunjukkan bahwa pangsanya sangat kecil yakni 2. 15 % untuk rata – rata dalm negeri 1. 95% untuk daerah perkotaan dan 2.27% untuk daerah pedesaan, (Aburazak, 2008).

Produksi dan konsmsi gula di jawa mempunyai kecenderungan yang meningkat, namun kenaikan produksi lebih besar dari kenaikan konsumsi dan fluktuasi yang terjadi pada produksi lebih tinggi dari pada yang terjadi pada konsumsi. Selama 20 tahun terakhir surplus gula sering lebih terjadi dari devisit gula secara signifikan sedangkan produsen berbiaya tinggi tidak menurunkan produksinya dengan cara memproteksi industri gula dengan cara pemberian subsidi produksi, subsidi ekspor maupun pengenaan rintangan masuk, (Aburazak, 2008).

Pelaku industri gula didalam negeri (khususnya Jatim) mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Namun demikian, apabila ditinjau dari segi penguasaan sumber daya atau manajemen produksi. Khususnya industri gula, maka periodesiasi industri gula secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 yakni menyangkut tebu perusahaan dan tebu rakyat. Sifat penguasaan sumber daya yang berbeda tersebut berpengaruh produktivitas lahan dan total produksi gula yang diperoleh (Aburazak, 2008).


(36)

2.2.3. Kebijakan Industri Gula

Gejolak industri gula Nasional selama 3 tahun terakhir diakibatkan oleh perubahan kebijakan pemerintah terhadap tebu dan proteksi dalam negeri. Dengan terpaparnya pasar gula dalam negeri terhadap pasar gula dunia, harga gula yang terjadi dalam negeri akan berkaitan erat dengan program bongkar ratoon pada tanaman tebu, harga gula terjadi dalam negeri berkaitan erat dengan harga gula dipasaran, dengan demikian mengalami fluktuasi harga gula dalam negeri, (Faisal, A, 2000).

Pengembangan gula di indonesia dilaksanakan dalam rangka kebijakan umum untuk mencapai swasembada gula. Pemerataan distribusi stabilitas harga gula diseluruh indonesia. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dapat digolongkan dalam tiga kategori cakupan kebijakan yakni : (1) Kebijakan dalam bidang produksi (2) Kebijakan dalam hal tataniaga gula (3) Kebijakan harga dan (4) sistem atau program bongkar ratoon dalam daya saing dengan sistem lainnya. Dalam bidang produksi, pemerintah mengambil kebijakan ini ditempuh melalui Inpres Nomor : 9 Tahun 1975, yakni program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Tujuan kebijakan ini pada dasarnya mengaitkan aspek produksi gula dengan bahan bakunya (Tebu) dalam rangka menjamin pasokan tebu bagi pabrik gula, yang didukung oleh penyedia sarana produksi bagi petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Akibat dari kebijakan ini areal tebu terus meningkat, sehingga pasokan tebu bagi pabrik gula lebih terjamin. Namun target produktivitas gula dari kebijakan ini tercapai. Kebijakan dalam bidang produksi ini ternyata kurang didukung oleh kebijakan pada tingkat pabrik gula.


(37)

Kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua, menurut biaya pemeliharaan yang tinggi sehingga memungkinkan terjadi inefisiensi, (Faisal, A, 2000).

Inefisiensi terjadi seringkali di alihkan kepetani karena sifatnya monofolinya, yakni melalui ekploitasi mutu maupun waktu tebang yang mengakibatkan rendahnya randemen tebu disebabkan antara lain : (1) konflik yang berkepanjangan antara petani tebu dan pengolahan pabrik gula, (2) peralihan yang sangat cepat dari tebu lahan sawah kelahan kering, (3) pada tahun – tahun terakhir terjadi ekonomi biaya tinggi baik usaha tani tebu, pabrik gula dan distribusi gula kepada konsumen, (4) terjadi ketegaran kebijakan dan perencanaan, (5) terjadi kolusi industri gula (menghambat program tebu rakyat), (Faisal, A, 2000).

Kebijakan tataniaga gula pasir produk dalam negeri, sejak dikeluarkan surat keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/KP/111/1981, tentang tataniaga gula pasir produk dalam negeri, pemerintah melalui bulog bertindak sebagai pembeli tunggal seluruh gula pasir produksi pabrik gula milik swasta maupun negara. Untuk menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir sebagai sala satu kebutuhan pokok masyarakat. Pengadaan tebu setara gula oleh kelompok tani tebu disetorkan kepada pabrik gula oleh KUD yang memperoleh kredit pengadaan dari bank pemerintah. Untuk melindungi kepentingan konsumen maka ditetapkan harga setempat oleh kepala bulog. Sebagai pembeli tunggal, bulog sekaligus menjadi distributor tunggal menjadi beban konsumen dan menyebabkan tingginya harga di perdagangan pengecer. (Faisal, A, 2000).


(38)

2.2.4. Luas Areal Tanam

Luas areal budidaya tanaman tebu secara nasional pada 2009 mengalami peningkatan dibanding sebelumnya, kendati di beberapa wilayah di Pulau Jawa terjadi penyusutan lahan sekitar 10%. Luas lahan tanaman tebu tahun ini sekitar 439.000 hektare atau naik dibanding 2008 seluas 425.000 hektar. Memang di sejumlah daerah di Pulau Jawa ada penyusutan lahan tebu, tapi secara nasional luas lahan tebu justru bertambah. Penambahan areal terjadi di beberapa daerah di luar Jawa," kata Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Manggabarani usai rapat koordinasi teknis pergulaan nasional, (Raehan, S, 2010).

Bertambahnya luas lahan budidaya tebu tersebut,Manggabarani memperkirakan produksi gula pada musim giling 2009 bisa mencapai 2,85 juta ton atau meningkat dibanding produksi 2008 yang sekitar 2,7 juta ton. "Kalau produksi 2,85 juta ton berhasil dicapai, berarti kita sudah mampu swasembada dan memenuhi kebutuhan gula konsumsi nasional. Sejalan dengan pertumbuhan industri gula nasional, sektor perkebunan tebu sebagai pendukung utama industri gula juga tumbuh. Perkebunan tebu di Indonesia terus berkembang, hal ini ditunjukkan dengan luas area perkebunan yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Sampai dengan 2009 luas lahan perkebunan tebu di Indonesia 473 ribu ha atau naik 2,9% dibanding 460 ribu ha pada 2008. Peningkatan ini terjadi karena perluasan areal di beberapa wilayah. Untuk tahun 2008 perluasan areal tidak hanya di luar Jawa tetapi juga dilakukan di Jawa karena masih ada areal yang bisa dikembangkan. Selama ini perkebunan tebu masih lebih banyak terkonsentrasi di pulau Jawa. Namun saat ini sudah mulai dikembangkan ke luar Jawa mulai dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,


(39)

Sulawesi Selatan dan Gorontalo sedangkan di daerah Jawa yaitu, Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur. Sedangkan untuk pengembangan perkebunan tebu di Indonesia, akan dilanjutkan ke Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Riau, Merauke, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, (Raehan, S, 2010).

Meningkatnya areal perkebunan tebu, maka produksi juga meningkat dengan pertumbuhan sekitar 2,8% menjadi 2,85 juta ton pada 2009 dari tahun sebelumnya 2,66 juta ton. Peningkatan produksi tebu tersebut juga didukung oleh harga gula yang terus merangkat naik, sehingga mendorong minat petani menanam tebu. masalah yang dihadapi oleh industri perkebunan tebu adalah masih kurangnya areal perkebunan dalam rangka mendukung program swasembada gula nasional yang ditargetkan pada 2014. Untuk mencapai swasembada gula diperlukan dukungan lahan perkebunan tebu seluas 600 ribu hektar. Sehingga untuk mencapai swasembada gula diperlukan lagi tambahan perluasan lahan perkebunan tebu hingga sekitar 157 ribu hektar lagi. Saat ini telah disiapkan lahan seluas 500 ribu hektar oleh Kementerian Kehutanan yang lokasinya tersebar di beberapa daerah di Indonesia, yang karakteristiknya sesuai untuk lahan tebu, (Raehan, S, 2010).

Jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan gula nasional dari dalam negeri, pemerintah menetapkan akan memperluas areal tanaman tebu hingga 150.000 ha pada 2010 dengan tahap awal seluas 41.705 ha. Untuk areal seluas itu dibutuhkan bibit sebanyak 1,25 miliar mata senilai Rp563 miliar. Perluasan lahan tanaman tebu tersebut difokuskan di Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tenggara, dan Merauke. Lahan yang disediakan adalah lahan terlantar yaitu bukan dengan cara menebang hutan. Pembukaan lahan akan dilakukan di areal budidaya dan


(40)

hutan konversi, sementara anggaran akan dipenuhi dari dana pemerintah dan juga dapat dilakukan oleh investor swasta. Dengan diperluasnya areal perkebunan tebu, maka produksi tebu diharapkan bisa bertambah, sehingga bisa memenuhi kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun untuk kebutuhan industri. Penambahan areal perkebunan tebu itu juga bisa mengurangi impor gula putih, yang selalu terjadi sejak 2004. Impor gula hanya boleh dilakukan jika produksi tidak memenuhi kebutuhan gula nasional. Satu bulan sebelum dan sesudah musim giling atau periode Mei-Januari pemerintah tidak akan melakukan impor gula, karena petani tengah memasuki masa panen untuk produksi gula, (Nurdin, M, 2010).

Luas areal perkebunan tebu tahun 2010, diperkirakan akan meningkat menjadi 478.206 ha, atau mengalami peningkatan 4.365 ha. Peningkatan ini dipicu semakin membaiknya harga gula, baik di pasar internasional maupun dalam negeri disamping dalam rangka peningkatan produksi gula nasional, perluasan perkebunan tebu tersebut mendesak dilakukan, berkaitan dengan target swasembada gula yang direncanakan akan terpenuhi pada 2014. Seperti diketahui, produksi gula nasional sudah stagnan karena area luas lahan perkebunan tebu terbatas. Mulai 2010 ini dilakukan perluasan areal perkebunan tebu secara bertahap hingga mencapai seluas 150.000 ha di beberapa wilayah. Perluasan ini diperkirakan akan menyerap investasi sekitar Rp 4,2 triliun. Program perluasan tersebut dimulai pada 2010 mencakup wilayah Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Papua. Peningkatan luas areal tanaman tebu tersebut terutama terjadi di Jawa dan Lampung yang memang hingga saat ini masih menjadi basis pengembangan komoditas tebu, (Nurdin, M, 2010).


(41)

Pemerintah menyiapkan 500.000 hektar untuk perluasan tanaman tebu. Lahan itu diperlukan untuk menambah area tanam tebu dari yang saat ini 422.935 hektar menjadi 766.613 hektar pada tahun 2014. Perluasan untuk perkebunan tebu itu diambil dari lahan yang masuk kawasan hutan produksi, lahan hak guna usaha yang ditelantarkan, atau lahan PT Perhutani dengan penanaman pola tumpang sari. Untuk membiayai pengembangan perkebunan tebu rakyat itu diperlukan investasi sekitar Rp 5 triliun. Dana itu diambil dari kredit perbankan melalui program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi yang mendapatkan subsidi bunga APBN hanya Rp 17 miliar. Sejumlah wilayah yang dinilai cocok untuk tanaman tersebut yakni Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Tanaman tebu hanya cocok untuk wilayah tertentu yang curah hujannya tidak terlalu banyak. Namun demikian, untuk perluasan perkebunan tidak mudah sebab adanya kendala pembebasan tanah. Dengan kondisi tersebut menyebabkan calon investor kesulitan untuk menanamkan investasi, (Nurdin, M, 2010).

Perluasan lahan, diperkirakan meningkatkan kebutuhan pupuk untuk komoditas perkebunan pada tahun 2010 yang diperkirakan 14,5 juta ton atau naik 4-5% dari tahun 2008 sebesar 13,8 juta ton. Sebanyak 1,8 juta ton di antaranya merupakan pupuk bersubsidi dari pemerintah, sisanya diimpor pelaku industri perkebunan. Untuk menekan penggunaan pupuk, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium, Departemen Pertanian mengembangkan teknologi hipernano. Produknya berupa konsulat yang bisa mendominasi unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman tinggi, tetapi kebutuhan pupuknya sedikit. Untuk pengadaan lahan tebu, dibutuhkan investasi sekitar Rp 28 juta per hektar. Anggaran itu belum termasuk pengadaan pabrik pengolahan dan


(42)

infrastruktur pengangkutan. Pembukaan lahan dilakukan di areal budidaya dan hutan konversi. Kebutuhan investasi akan dipenuhi dari dana pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan adanya investasi dari pihak swasta. Saat ini banyak investor yang tertarik menginvestasikan dana untuk perluasan lahan itu. Namun, banyak investasi yang terhambat pembebasan lahan, (Nurdin, M, 2010).

2.3.Budidaya Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon. 2.3.1. Budidaya Tebu Sistem Bongkar Ratoon

a. Persiapan Lahan

Persiapan lahan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tanah tempat tumbuh tanaman tebu, sehingga kondisi fisik dan kimia tanah menjadi media perkembangan perakaran tanaman tebu. Kegiatan tersebut terdiri atas beberapa jenis yang dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan cara yang digunakan. Pada prinsipnya, persiapan lahan untuk tanaman baru dan tanaman bongkaran baru adalah sama tetapi untuk bongkar ratoon kegiatan persiapan lahan tidak dapat dilaksanakan secara intensif. Hal tersebut disebabkan oleh tata letak petak kebun, topografi maupun struktur tanah pada areal yang baru dibuka masih belum sempurna sehingga kegiatan mesin atau peralatan di lapang sering terganggu. Pada areal tersebut masih terdapat sisa – sisa batang atau perakaran yang dapat mengganggu operasional mesin di lapang. (Tommy,2009).

b. Pembajakan

Pembajakan I bertujuan untuk membalik tanah serta memotong sisa – sisa kayu dan vegetasi awal yang masih tertinggal. Peralatan yang digunakan adalah alat berat seperti bulldoser untuk meratakan lahan tanah yang baru. Setelah dilakukan perataan


(43)

tanah barulah diadakan kegiatan pembajakan dimulai dari sisi petak paling kiri, kedalaman olah mencapai 25 – 30 cm dan kapasitas kerja mencapai 8 jam/ha sehingga untuk satu petak kebun (± 1 ha) dibutuhkan waktu 8 jam mesin operasi. Pembajakan dilakukan merata di seluruh areal dengan kedalaman diusahakan lebih dari 30 cm dan arah bajakan menyilang barisan tanaman tebu sekitar 450. Pembajakan II dilaksanakan sekitar tiga minggu setelah pembajakan I dengan arah memotong tegak lurus hasil pembajakan I dan kedalaman olah minimal 25 cm. Peralatan yang digunakan adalah traktor. (Tommy,2009).

b. Penggaruan

Penggaruan bertujuan untuk menghancurkan bongkahan – bongkahan tanah dan meratakan permukaan tanah. Penggaruan dilaksanakan merata pada seluruh areal dengan menggunakan alat traktor. Tujuan penggaruan adalah untuk menghancurkan bongkahan – bongkahan tanah hasil pembajakan, mencacah dan mematikan tunggul maupun tunas tanaman tebu. Penggaruan dilakukan pada seluruh areal bajakan dan menyilang dengan arah bajakan. Traktor yang digunakan adalah traktor 120 HP. (Tommy,2009).

c. Pembuatan Alur Tanam

Pembuatan alur tanam merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tempat bibit tanaman tebu. Alur tanam dibuat menggunakan cangkul atau sejenis alat lainnya, dengan kedalaman lebih dari 30 cm dan jarak dari pusat ke pusat adalah 1,30 meter. Pembuatan alur tanam dilaksanakan setelah pemancangan ajir. Traktor berjalan


(44)

mengikuti arah ajir sehingga alur tanam dapat lurus atau melengkung mengikuti arah. (Tommy,2009).

d. Penanaman

Prinsip persiapan bibit yang ditanam di areal lahan kering sama dengan yang ditanam di sawah. Waktu tanam tebu di lahan kering terdiri dari dua periode, yaitu : Periode I, menjelang musim kemarau mei – agustus, pada daerah – daerah basah dengan 7 bulan basah dan daerah sedang yaitu 5 – 6 bulan basah, atau pada daerah yang memiliki tanah lembab. Namun dapat juga diberikan tambahan air untuk periode ini. Sedangkan periode II, menjelang musim hujan oktober – November, pada daerah sedang dan kering yaitu 3 – 4 bulan basah. Kebutuhan bibit yang akan ditanam adalah 11 mata tumbuh per meter juringan. Selain itu juga, untuk menghindari penyulaman yang membutuhkan biaya besar. Bibit ditanam dengan posisi mata disamping dan disusun secara lurus sesuai dengan aturan petani tanaman tebu. Cara penanaman ini bervariasi menurut kondisi lahan dan ketersediaan bibit, pada umumnya kebutuhan air pada lahan kering tergantung pada turunnya hujan sehingga kemungkinan tunas mati akan besar. Oleh karena itu, tunas yang hidup disebelahnya diharapkan dapat menggantikannya. (Tommy,2009).

Penanaman tebu bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut bibit yang telah diangkut menggunakan keranjang diecer pada guludan, agar mudah dalam mengambilnya, kemudian bibit ditanam merata pada juringan dan ditutup dengan tanah setebal bibit itu sendiri, untuk tanaman pertama pada lahan kering biasanya cenderung anakannya sedikit berkurang dibandingkan tanah sawah (reynoso),


(45)

sehingga jumlah bibit tiap juringan diusahakan lebih bila dibandingkan dengan lahan sawah (± 80 ku). (Tommy,2009).

e. Penyulaman

Penyulaman merupakan kegiatan penanaman untuk menggantikan bibit tebu yang tidak tumbuh, baik pada tanaman baru ataupun tanaman keprasan agar diperoleh populasi tebu yang optimal. Pelaksanaan penyulaman untuk bibit baru dilakukan 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam, sedangkan untuk bibit rayungan dilakukan 2 minggu setelah tanam. Penyulaman dilaksanakan pada baris baru 2 – 3 mata sebanyak dua potong dan diletakkan pada baris tanaman yang telah dilubangi sebelumnya. Apabila penyulaman tersebut gagal, penyulaman ulang harus segera dilaksanakan. (Tommy,2009).

f. Pengendalian Gulma

Lahan kering gulma lebih beragam dan lebih berbahaya. Gulma – gulma dominan yang menjadi pesaing kuat yang berakibat merugikan terdiri atas gulma daun lebar dan merambat, gulma daun sempit dan teki-tekian. Gulma daun lebar dan merambat. Pelaksanaannya, pengendalian gulma dibagi menjadi pengendalian secara kimia, mekanis dan manual. Untuk sistem reynoso, pengendalian lebih dominan dilakukan secara manual. Sementara itu di lahan kering lebih umum pengendalian gulma secara kimia yang dibedakan menjadi tiga yaitu pra tumbuh, awal tumbuh dan setelah tumbuh. Pengendalian gulma pra tumbuh adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma dan tanaman tebu belum tumbuh. Dilaksanakan pada 3 – 5 hari setelah tanam. Awal tumbuh adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma sudah tumbuh dengan 2 – 3 daun dan tanaman tebu sudah berkecambah.


(46)

Sedangkan setelah tanam dilaksanakan pada saat gulma sudah tumbuh dan biasanya dilaksanakan 1 – 2 kali. Untuk pelaksanaannya Dilaksanakan pada saat pengemburan tanah. Pengendalian tersebut dilaksanakan pada saat tanaman berumur 45 hari setelah tanam. Pengendalian gulma secara manual dilaksanakan oleh tenaga kerja dengan mempergunakan peralatan sederhana, dilaksanakan pada saat kondisi tanaman tebu masih dalam stadia peka terhadap herbisida, gulma didominasi oleh gulma merambat, populasi gulma hanya spot – spot, ketersediaan tenaga kerja yang cukup dan herbisida yang tidak tersedia di pasaran. Kapasitas kerja pengendalian gulma berbeda tergantung pada pengendalian gulma yang dilakukan. (Tommy,2009).

g. Pembumbunan dan penggemburan

Pembumbunan bertujuan untuk menutup tanaman dan menguatkan batang, sehingga pertumbuhan anakan dan pertumbuhan batang lebih kokoh. Di lahan sawah pembumbunan dilakukan tiga kali selama umur tanaman. Pelaksanaan pembumbunan dilakukan secara manual atau dengan semi mekanis. Di lahan kering pembumbunan sekaligus dilakukan dengan penggemburan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengendalikan gulma, menggemburkan dan meratakan tanah, memutuskan perakaran tebu khususnya tanaman tebu ratoon dan membantu aerasi pada daerah perakaran. Pengemburan pada tanaman diperlukan peralatan terutama untuk mengendalikan gulma. Penggemburan dilaksanakan pada tanaman berumur 45 hari setelah tanam sebelum pemupukan II dengan kedalaman 20 cm dan hanya dilakukan satu kali dalam satu musim tanam. Untuk tanaman ratoon diperlukan alat yang bisa membantu menggemburkan tanah dan mengendalikan gulma. Dilaksanakan dua kali dalam satu musim tanam. (Tommy,2009).


(47)

h. Klentek

Klentek adalah suatu kegiatan membuang daun tua tebu yang dilakukan secara manual. Tujuan klentek adalah untuk merangsang pertumbuhan batang, memperkeras kulit batang, mencegah tebu roboh, dan mencegah kebakaran. Kegiatan ini umum dilakukan pada sistem reynoso di Wilayah Kecamatan Prambon. Untuk tebu lahan kering tidak dilakukan klentek. Untuk itu dalam salah satu seleksi varietas dicari yang daun keringnya lepas jika terkena angin. Sebagai konsekuensinya tebu lahan kering harus dibakar jika akan ditebang. Hal ini juga menjadi kriteria varietas tebu lahan kering, yaitu tahan bakar. (Tommy,2009).

i. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit pada budidaya tanaman tebu bertujuan untuk mencegah semakin meluasnya serangan hama dan penyakit pada areal perkebunan tebu. Hal ini sangat berkaitan erat dengan salah satu upaya peningkatan produktivitas tebu. Beberapa hama yang umum menyerang antara lain: hama penggerek pucuk tebu, penggerek batang tebu. Penggerek batang tebu gejala bercak – bercak putih bekas gerekan pada daun kulit luar tidak tembus, lorong gerekan pada bagian dalam pelepah, lorong gerekan pada ruas-ruas, titik tumbuh mati sehingga daun muda layu dan mati. Satu batang biasanya lebih dari satu penggerek. Pencegahan, memilih bibit yang bebas penggerek, menanam varietas tahan, menjaga kebersihan kebun, dan pergiliran tanaman. Hama lain yang umumnya ada yaitu: kutu putih, tikus, ulat grayak, tetapi serangannya relatif kecil sekali sehingga pengendaliannya cukup dengan sanitasi kebun. Beberapa wilayah tanaman tebu dalam pengendaliannya masih mengutamakan dengan sanitasi lingkungan, musuh alami, dan menggunakan


(48)

varietas tahan terhadap semua hama, sedangkan penggunaan bahan kimia jarang dilakukan karena tingkat serangannya rata – rata masih dibawah 5%. (Tommy,2009).

j. Pemupukan

Dosis pupuk yang dianjurkan untuk tebu lahan kering tanaman pertama adalah 8 ku ZA, 2 ku SP36 dan 3 ku KCl per hektar dengan aplikasi 2 kali. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanam. Pemupukan 2 dilakukan pada saat tanaman berumur sekitar 1,5 bulan yaitu pada awal musim hujan. Aplikasi pupuk dilakukan dengan mengalurkan ditepi tanaman kemudian ditutup dengan tanah. Pengaplikasian pupuk dengan bantuan traktor tangan sudah dikembangkan terutama untuk pembukaan dan penutupan alur sekaligus pembumbunan. (Tommy,2009).

k. Pemanenan

Panen dilaksanakan pada musim kering yaitu sekitar bulan April sampai Oktober. Hal tersebut berkaitan dengan masalah kemudahan transportasi tebu dari areal ke pabrik serta tingkat kemasakan tebu akan mencapai optimum pada musim kering. Kegiatan pemanenan diawali dengan tahap persiapan yang dilaksanakan sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum panen dimulai. Tahap persiapan meliputi kegiatan estimasi produksi tebu, pembuatan program tebang, penentuan kemasakan tebu, rekrutmen kontraktor dan tenaga tebang, persiapan peralatan tebang dan pengangkutan, serta persiapan sarana dan prasarana tebang. (Tommy,2009).

Menentukan periode kemasakan optimal tebu dan sekaligus untuk memperkirakan waktu yang tepat penebangan tebu, dilaksanakan analisis kemasakan tebu. Pada saat tanaman menginjak umur delapan bulan. Kegiatan tersebut dimulai dengan pengambilan tanaman contoh yang diawali, batang contoh ditentukan


(49)

minimal 15 meter dari tepi dan 30 baris dari barisan pinggir. Tanaman contoh diberi tanda untuk mempermudah pengambilan contoh berikutnya. Setiap kali analisis dibutuhkan 15 – 20 batang atau sebanyak dua rumpun tebu, kemudian dilakukan penghitungan jumlah dan pengukuran tinggi batang, serta penggilingan untuk memperoleh nira tebu. Selanjutnya dilakukan pengukuran persen brix, pol dan purity dari setiap contoh. Data pol yang diperoleh dipetakan pada peta kemasakan tebu yang akan digunakan sebagai informasi untuk lokasi tebu yang sudah layak panen. Prioritas penebangan dilakukan dengan memperhatikan faktor lain selain kemasakan, yaitu jarak kebun dari pabrik, kemudahan transportasi, keamanan tebu, kesehatan tanaman, dan faktor tenaga kerja. (Tommy,2009).

l. Pelaksanaan Tebang

Metode penebangan yaitu tebu hijau. Metode tebu hijau adalah menebang tebu dalam kondisi tanpa ada perlakuan pendahuluan. Tebu di Wilayah Kecamatan Prambon dilakukan metode penebangan tebu hijau. Tebang dilakukan dengan menggunakan sistem tebangan yaitu tebu ikat. Tebu Ikat tebangan ini dilaksanakan secara manual, baik pada saat penebangan maupun pemuatan tebu ke dalam truk. pengangkutan tebu dari areal ke pabrik dilakasanakan mulai jam 5.00 – 22.00 WIB dengan menggunakan truk. Truk yang digunakan terdiri atas truk kecil dengan kapasitas angkut 6 – 8 ton dan truk besar dengan kapasitas angkut 10 – 12 ton. Saat pemuatan tebu ke dalam truk dalam kondisi lahan tidak basah, truk masuk ke areal dan lintasan truk tidak memotong barisan tebu. Perjalanan truk dari areal ke pabrik sesuai dengan rute yang telah ditetapkan. Pembongkaran muatan dilaksanakan


(50)

ditempat penampungan tebu sebelum giling, setelah penimbangan, dengan menggunakan patok beton atau langsung ke meja tebu. (Tommy,2009).

2.3.2. Budidaya Tebu Sistem Rawat Ratoon. a. Tebu Rawat Ratoon

Tebu rawat ratoon yaitu Menumbuhkan kembali bekas tebu yang telah ditebang, baik bekas tebu giling atau tebu bibitan. Kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dari kotoran bekas tebangan yang lalu. Sebelum mengepras sebaiknya tanah yang terlalu kering di airi dulu. Kepras petak petak tebu secara berurutan, setelah dikepras dilakukan pemeliharaan menggunakan herbisida supaya tanaman tebu tetap sehat dan jauh dari hama dan penyakit dan harmonik pada umur 1,2 dan 3 bulan dengan dosis seperti diatas. Pemeliharaan selanjutnya sama dengan tanam tebu pertama. (Anggraeni, P, 2007).

b. Tindakan Perawatan

Untuk tanaman tebu rawat ratoon hampir sama dengan perawatan tanaman baru diantaranya adalah pengendalian gulma, turun tanah, klentek dan pemberian air. Khusus untuk perawatan gulma diintensifkan, karena jumlah tunas keprasan sangat berkurang akibat persaingan gulma yang tumbuh di barisan tebunya. Penyiangan gulma dikerjakan secara manual tiga kali yakni pada umur 1,2 dan 3 bulan setelah tebu ditanam. Penggunaan herbisida sebagai pengganti tenaga penyiang yang mulai sulit diperoleh, tetapi dalam hal ini maka dilakukan penyemprotan campuran – campuran herbisida yang telah ditentukan. (Anggraeni, P, 2007).

Pemberian pupuk tanah pada tanaman tebu lahan kering hanya dilakukan dua kali yaitu sebelum pemupukan kedua pada umur 1 – 1,5 bulan dan pada umur 2,5 – 3


(51)

bulan atau dapat dilakukan sekali pada umur 2 – 3 bulan sebelum tebang. Pemeliharaan drainase terutama diperlukan selama musim hujan untuk menjaga kelancaran pengeluaran air yang berlebih. Pemupukan untuk lahan kering tidak diberikan sekaligus, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan untuk mencegah kehilangan pupuk. Untuk tebu rawat ratoon, disamping pemeliharaan sebagaimana tanaman pertama dilakukan pola pengaturan pembersihan diantara barisan tebu dilakukan untuk mencegah melebarnya rumpun tebu keprasan, agar penebangan dengan mesin tebang tidak mengalami kesulitan. (Anggraeni, P, 2007).

Rawat ratoon biasanya mampu menderita akibat cekaman air. Tetapi penggenangan air dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan kematian perakaran tebu, besarnya gangguan oleh genangan air terhadap pertumbuhan tebu, tergantung pada saat dan lama kondisi anaerob berlangsung. Di Indonesia khususnya dimana banyak tebu keprasan tumbuh dimusim kemarau dan berada di lahan tegalan, pemberian air sampai setengah kapasitas lapangannya akan meningkatkan pertumbuhan tebu keprasan sampai 174 % dari pada kondisi kekurangan air. Berarti hasil panen keprasan dapat ditingkatkan, hanya dengan meningkatkan ketersediaan air samapai kondisi dibawah kebutuhan optimal.(Anggraeni, P, 2007).

c. Pemupukan

Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pertama saat tanaman tebu mulai tumbuh berumur 7 hari dengan dosis 7 gram urea, 8 gram TSP dan 35 gram KCL per tanaman (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCL/ha) dan yang kedua 30 hari setelah pemupukan ke satu dengan 10 gram urea per tanaman atau 200 kg per hektar. Pupuk diletakkan di lubang pupuk (dibuat dengan tugal) sejauh 7 – 10 cm dari bibit


(52)

dan ditimbun tanah. Setelah pemupukan semua petak segera disiram supaya pupuk tidak keluar dari daerah perakaran tebu. Pemupukan dan penyiraman harus selesai dalam satu hari. Agar rendemen tebu tinggi digunakan zat pengatur tumbuh. (Anggraeni, P, 2007).

d. Kriteria Panen

Ciri dan umur panen tergantung dari jenis tebu. Varietas tebu masak optimal 14 bulan, panen dilakukan pada bulan agustus pada saat rendemen (persentase gula tebu) maksimal dicapai. (Anggraeni, P, 2007).

e. Cara Panen

1. Mencangkul tanah di sekitar rumpun tebu

sedalam 20 cm.

2. Pangkal tebu dipotong dengan arit jika tanaman akan ditumbuhkan kembali, batang dipotong dengan menyisahkan 3 buku dari pangkal batang.

3. Mencabut batang tebu sampai ke akarnya jika kebun akan di bongkar, potong akar batang dan 3 buku dari permukaan pangkal batang.

4. Pucuk dibuang.

5. Batang tebu diikat menjadi satu (30 – 50 batang/ikatan) untuk dibawa ke pabrik untuk segera digiling panen dilakukan satu kali di akhir musim tanam.(Anggraeni, P, 2007).


(53)

Rendemen tanaman tebu adalah merupakan kadar kandungan gula didalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10% artinya bahwa dari 100 kg tebu yang digiling dipabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg. Dalam ini dapat diketahui ada 3 macam jenis rendemen yaitu : a. Rendemen Contoh

Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu telah masak optimal atau belum. Dengan kata lain rendemen contoh adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada, sehingga dapat diketahui kapan saat dilakukan penebangan yang tepat.

b. Rendemen Sementara

Perhitungan ini dilaksanakan untuk menentukan bagi hasil gula, namun sifatnya sementara. Hal ini untuk memenuhi ketentuan, agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya, setelah tebu petani digiling. Sehingga petani tidak menunggu terlalu lama samapai selesai digiling, namun dilakukan pemberitahuan dengan perhitungan sementara. Cara mendapatkan rendemen sementara ini adalah dengan mengambil nira perahan pertama tebu yang digiling untuk danalisis di laboratorium untuk mengetahui berapa besar rendemen sementara tersebut.

c. Rendemen Efektif

Rendemen efektif disebut rendemen nyata atau rendemen terkoreksi. Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan rendemen efektif ini dapat dilaksanakan


(54)

dalam jangka waktu 15 hari atau kata lain 1 periode giling, sehingga apabila pabrik gula memiliki hari giling 170 hari, maka jumlah periode giling adalah170/15 = 12 periode. Hal ini berarti terdapat 12 kali rendemen nyata atau efektif yang bisa diperhitungkan dan di informasikan kepada petani tersebut. (Purwono, 2007).

2.5. Daya Saing Tanaman Tebu

Menurut Tumar Sumihardjo (2008) menyebutkan bahwa: istilah daya saing sama dengan competitiveness atau competitive. Sedangkan istilah keunggulan bersaing

sama dengan competitive advantage. Tumar Sumihardjo (2008), memberikan

penjelasan tentang istilah daya saing ini, yaitu: “Kata daya dalam kalimat daya saing bermakna kekuatan, dan kata saing berarti mencapai lebih dari yang lain, atau beda dengan yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Artinya daya saing dapat bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi tertentu, apabila kita hubungkan dengan daya saing tanaman tebu maka yang dilihat adalah pendapatan atau aspek – aspek lain.

Keunggulan merupakan posisi relatif dari suatu organisasi terhadap organisasi lainnya, baik terhadap satu organisasi, sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri. Dalam perspektif pasar, posisi relatif tersebut pada umumnya berkaitan dengan nilai pelanggan (customer value). Sedangkan dalam perspektif organisasi, posisi relatif tersebut pada umumnya berkaitan dengan kinerja organisasi yang lebih baik atau lebih tinggi. Sementara dalam Peraturan Menteri


(1)

terhadap hasil yang diterima mengakibatkan terjadinya daya saing dalam bentuk tenaga kerja yang dilihat dari segi pendidikan, pengatahuan, dan teknologi.

d. Aspek Waktu

Melakukan usahatani tanaman tebu sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon yang baik, apabila usahatani tanaman tebu tersebut. Melihat aspek waktu, apabila waktu yang digunakan lebih cepat mulai dari pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen, dan pasca panen. Maka usahatani dapat dikatakan sukses, apabila tidak memiliki hambatan dan rintangan dengan menghasilkan pendapatan yang tinggi. Dalam penelitian dilapangan untuk waktu rata – rata 12 bulan sudah melakukan panen, tetapi dalam hal ini banyak usahatani tanaman tebu sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon yang lewat dari waktu tersebut, dengan waktu paling lama 14 bulan. Sehingga banyak yang mengalami kerugian dikarenakan cuaca yang tidak bersahabat dan hama, penyakit yang semakin ganas, sehingga memperlambat pertumbuhan dari tanaman tebu itu sendiri.

Waktu dalam melakukan usahatani tanaman tebu banyak yang terjadi keterlambatan panen pada umumnya, maka perlu manajemen yang baik dalam usahatani tersebut. Sehingga tidak terlalu lama dalam melakukan panen, sebelum panen ada banyak pekerjaan petani itu sendiri yaitu pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, apalagi belum dilakukan pemeliharan seperti menyulam dan pembersihan lahan yang rimbun oleh tanaman pengganggu seperti tanaman gulma. Apabila dikaitkan dengan sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon, maka sistem bongkar ratoon yang memiliki waktu yang cukup lama dibandingkan sistem rawat ratoon. Hambatan pada budidaya tanaman tebu dipengaruhi oleh pertumbuhan


(2)

tanaman tebu itu sendiri seperti dilakukan pemupukan yang rutin dan pemberian dosis yang sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan tujuan dari penelitian tersebut, terhadap Usahatani Tebu

(sacharum officinarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Usahatani tanaman tebu dengan

menggunakan sistem bongkar ratoon yang dilihat dari segi tanam menggunakan tebu varietas baru dari hasil persilangan dengan tebu yang sebelumnya, pemeliharaan yang digunakan hampir sama dengan tebu yang lain yaitu dilakukan pemeliharan ulang dari tebu sebelumnya mulai dari pemupukan, penyulaman, pengairan, membunbun, dan memberantas hama penyakit pada tanaman tebu itu sendiri. Panen dilakukan apabila tebu tersebut telah dikatakan sudah tua dengan ciri – ciri berwarna kecoklatan tua dan siap untuk di tebang dan


(3)

pasca panen dilakukan pengangkutan ke pabrik gula untuk dilakukan penyortiran tebu yang berkwalitas dan tidak berkwalitas.

2. Hasil penelitian usahatani tebu sistem

bongkar ratoon mempunyai biaya per hektar sebesar Rp. 19.878.192, (Rp/Ha),

penerimaan per hektar sebesar Rp. 34.540.266, (Rp/Ha) dan pendapatan per

hektar sebesar Rp. 15.256.068, (Rp/Ha). Sedangkan usahatani tebu sistem rawat

ratoon memiliki biaya per hektar sebesar Rp. 15.084.981, (Rp/Ha), penerimaan

per hektar sebesar Rp. 27.837.660, (Rp/Ha), dan pendapatan perhektar sebesar

Rp. 10.636.277, (Rp/Ha). Sedangkan untuk produktivitas sistem bongkar ratoon

hasil tebu 1.203 (Ton/Ha) dan gula 91.4 (Ku/Ha) dan sistem rawat ratoon hasil tebu sebesar tebu 1.124 (Ton/Ha) dan gula 90.5 (Ku/Ha).

3. Usahatani tebu sistem bongkar ratoon mempunyai daya saing yang lebih tinggi dari sistem rawat ratoon. Daya saing disini merupakan perbedaan antara biaya dan pendapatan yang lebih tinggi antara sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon.

6.2. Saran

1. Adanya daya saing usahatani tanaman tebu

yang dilihat dari segi keunggulan komparatif yang cukup tinggi, pemerintah perlu menjaga kestabilan produksi termasuk segi kwalitas dan harga melalui informasi dan komunikasi, sehingga petani mengetahui perkembangan tentang tebu.


(4)

2. Melakukan usahatani tanaman tebu, petani perlu melakukan perencanaan yang baik dalam menentukan arah dalam mencapai tujuan yaitu keuntungan yang tinggi dengan memperhatikan biaya, penerimaan dan pendapatan. Maka instansi atau lembaga pemerintahan perlu membantu dalam bentuk modal dan penyuluhan terhadap usahatani tebu.

3. Usahatani tanaman tebu yang baik, apabila

usahatani tersebut memberikan kontribusi yang cepat dan memberikan hasil yang tinggi. Sehingga petani dan lembaga perlu melakukan kerjasama usahatani tebu yang dapat memberikan dampak yang positif dengan adanya kerjasama tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aburazak, 2008. Produksi Dan Komsumsi Gula. P3GI. Pasuruan.

Anggoro, T. 2008. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Anggraeni, P, 2007. Budidaya Tanaman Tebu Keprasan. Isntitut Pertanian Bogor. Bogor.

Amirudin, H. 2004. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Ariani Mewa. 2004. Daya Saing Usahatani Tebu Provinsi Jawa Timur. Balitbang Pertanian. Bogor.

Budiono. 1992. Tingkat Pendapatan Usahatani. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI). Jakarta.

Djoehana, S dan Husaini, A. 1992. Tebu Bercocok Tanam dan Pasca Panen. Penerbit CV.Yasaguna. Jakarta.


(5)

Fattakh Muhammad. 2000. Regresi Dummy Variabel. UNDIP. Diponorogo.

Fahrudin, M, 2003. Tentang Tanaman Tebu Dunia. Balitbang Pertanian. Bogor. Faisal, A, 2000. Kebijakan Industri Gula. Penerbit, CV.Abadi Sentosa. Semarang.

Hafsa. 1989. Pola Usaha Tani Tebu dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Nasional. PG3I. Pasuruan.

Hermanto Fadholi, 1991. Ilmu Usahatani. Penerbit. PT. Penebar swadaya. Jakarta. Junaidi. 2010. Cara Penentuan Rendemen Tanaman Tebu. Lembaga Penelitian IPB.

Bogor.

Koestono. Kemampuan Industri Gula Pasir Untuk mencapai Swasembada. Majalah Pangan No. 43 vol. II – April 1991.

Kam, Vernon, 1998, Accounting Theory, Edisi Kedua, terjemahan Suwardjono, BPFE, Yogyakarta.

Kinnedy, P. 2001. Sugar Police. Lousiana State University. Lousiana.

Kusnaedi, A, 2003. Tentang Pendapatan dan Efisiensi. PT. Gramedia. Jakarta.

Lukito Aris, 2007. Diskriptif Tanaman Tebu. Penerbit. Agriculture Site. Nurcahyo, 2008. Perbedaan Keunggulan Kompetitif Dengan Keunggulan

Komparatif. Penerbit, PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nurdin, M, 2010. Luasan Tanah Tanaman Tebu. Penerbit, PT. Gramedia. Jakarta.

Praditya Tono, 1998. Audit Teknologi Langkah Awal Meningkatkan Efisiensi Pabrik Gula. Penerbit. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.

Purwono, 2007. Penentuan Rendemen Tebu. Institut Pertanian Bogor (IPB).Bogor. Rosyidah Ochi, 2010. Budidaya Tanaman Tebu Lahan Kering.

http://blog.beswandjarum.com.

Raehan, S, 2010. Lahan Tanaman Tebu. Penerbit, PT. Gramedia. Jakarta. Rahayu Agus, 2008. Rendemen Tanaman Tebu. P3GI. Pasuruan.


(6)

Sumiharjo Tumar, 2009. Devinisi Daya Saing. P3GI. Pasuruan. Sumiharjo Tumar, 2009. Konsep Daya Saing. P3GI. Pasuruan.

Simatupang, R. 1991. Daya Saing Tanaman Tebu. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Simatupang, R. 2006. Tentang Gula Dunia. PT.Penebar Swadaya. Jakara.

Saptana. 2009. Keunggulan Komparatif. PT. Graha Indonesia. Jakarta. Sugiyono, 2007. Statistik Nonparametrik, Penerbit. CV. Alfabeta. Bandung. Thoha Mahmud. 2000. Daya Saing Agroindustri Gula. Penrbit. UNDIP.

Tommy, 2009. Budidaya Tanaman Tebu. Agrindonesia.Wordpress.com. Wayan R. Susila dan Bonar M. Sinaga, 2005. Pengengembangan Industri Gula

Indonesi. Institut Pertanian Bogor.

Wayan R,S. 2004. Kebangkitan Industri Gula Indonesia. Penerbit. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.