39
2.2.5. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional
Sistem dan usaha agribisnis gula di Indonesia telah berlangsung ratusan tahun dan dirancang berdasarkan kepentingan pemerintah
kolonial. Usaha pergulaan mendapat proteksi kuat dari pemerintah, didukung harga buruh dan sewa lahan yang murah. Pada masa ini,
Indonesia mengalami masa gemilang sebagai salah satu negara utama penghasil gula dengan jumlah produksi hampir 3 juta ton dan sebagian
besar untuk diekspor. Pada tahun 1970-an terjadi krisis gula dunia yang puncaknya
terjadi tahun 1973-1974. Harga gula dunia mencapai 70 centkg. Sementara itu upaya peningkatan produksi mengalami hambatan
terutama penyediaan lahan yang dapat disewa oleh pabrik gula untuk menanam tebu semakin sulit karena sewa tanah dipandang petani terlalu
rendah. Situasi seperti ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan
kebijakan berupa program Tebu Rakyat Intensifikasi TRI yang diatur melalui Inpres No. 91975. Melalui kebijakan ini, produksi gula nasional
naik 3 per tahun yang didukung perluasan areal 12,2 per tahun. Program TRI, walaupun berhasil meningkatkan produksi, tetapi
meninggalkan berbagai persoalan yang antara lain adalah penurunan produktivitas dan tingkat rendemen. Secara umum dapat dikatakan bahwa
sistem yang dikembangkan pada masa TRI ternyata tidak mampu membuat sistem produksi pergulaan berjalan sebagaimana mestinya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
40
Komposisi tanaman tebu yang seharusnya tertata dalam blok-blok pertanaman masak awal, masak tengah, dan masak akhir, yang
dibedakan berdasarkan varietas tebu, di lapangan menjadi kacau. Pabrik gula yang pada umumnya bekerjasama dengan satu atau beberapa orang
pemasok tebu membuat sistem bertambah kacau. Dengan sistem ini, tidak ada insentif bagi petani tebu untuk meremajakan tanaman ratoonnya
yang sudah ditebang dikepras lebih dari tiga kali bahkan banyak yang sudah belasan kali, sehingga varietas tebu yang ada merupakan varietas
lama yang banyak terserang penyakit. Inilah salah satu penyebab turunnya produktivitas tebu dan hablur.
Memasuki tahun 1990-an, tantangan bagi sistem dan usaha agribisnis gula menjadi berat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah
pada tahun 2002 mencanangkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2003-2007 yang didasarkan pada solusi
fundamental atas permasalahan yang terjadi dalam sistem dan usaha agribisnis pergulaan.
Sasaran dari program ini sampai tahun 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional yaitu 3 juta ton gula kristal, dengan
rendemen rata-rata 8,79 dan hablur rata-rata 7,74 tonhektar. Modal kerja yang dibutuhkan setiap tahun mencapai Rp. 2,5 trilyun pada tahun
2002 yang akan meningkat menjadi Rp. 3,7 trilyun pada tahun 2007.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
41
Terdapat tiga subprogram besar yaitu: a rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu, melalui penggantian varietas unggul.
Tanaman yang sudah di kepras berulang kali 3 sampai 4 kali harus dibongkar dan diganti dengan varietas baru b rehabilitasi pabrik gula dari
sisi on farm yaitu penyediaan bibit unggul dengan penjenjangannya mulai dari KBP, KBN, KBI dan KBD, dan c peningkatan investasi untuk
pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu PPGT dan idustri gula baru di Luar Jawa Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, 2004. Secara khusus, Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Gula Nasional diupayakan untuk menciptakan harmonisasi komposisi tanaman tebu rakyat dengan perbandingan tanaman pertama plant cane
dan tanaman keprasan ratoon sebesar 33: 67, dimana ratoonnya maksimal 3-4 kali keprasan.
Upaya ini membutuhkan dukungan bibit yang bermutu dan insentif pembongkaran ratoon yang setiap hektarnya membutuhkan pembiayaan
yang relatif mahal. Petani jelas tidak mampu membiayai dan pabrik gula tidak mempunyai dana guna membantu petani. Oleh sebab itu, guna
membantu petani dan pabrik gula, pemerintah turun tangan membiayai program ini melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN yang
disalurkan dalam bentuk Penguatan Modal Usaha Kelompok PMUK. Dana PMUK yang diterapkan dengan model guliran ditujukan untuk
membantu petani dalam merehabilitasi tanamannya, serta pada waktunya
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
42
memupuk modal usaha dan membangun lembaga usaha milik petani yang lebih kokoh.
Penetapan tata ruang perwilayahan komoditas tebu merupakan sarana strategis yang dibutuhkan oleh Provinsi Jawa Timur untuk
mengamankan produktivitas gula sebagai komoditas unggulan di wilayah ini, selain merupakan upaya untuk meningkatkan kepastian usaha
maupun investasi di bidang industri ini. Strategi ini diselaraskan dengan misi pembangunan perkebunan berkelanjutan di Jawa Timur yaitu mampu
menghasilkan perkebunan tebu yang produktif dan efisien dari pemanfaatan sumberdaya lahan yang terbatas. Pemilihan komoditas
unggulan didasarkan pada kesesuaian kemampuan lahan. Oleh karena itu penetapan kebijakan pembangunan perkebunan tebu sesungguhnya
memerlukan penjabaran yang didasarkan kepada ketersediaan kapabilitas lahan yang bersifat aktual dan potensial untuk tebu disesuaikan terhadap
perencanaan kebutuhannya. Pada Program Akselerasi tersebut pada dasarnya akan mengeliminasi kesenjangan antara produksi gula Nasional
dengan kebutuhan domestik sehingga dapat dicapai swasembada , terutama dengan meningkatnya produktivitas tebu yaitu kenaikan
rendemen dan produktivitas tebu per hektar P3GI, 2004. Secara operasional dana Program Akselerasi Bongkar Ratoon
diberikan dalam bentuk LS langsung dari Pemerintah ke Koperasi Petani Tebu Rakyat KPTR berupa Penguatan Modal Usaha Kelompok
PMUK. Penumbuhan kegiatan ekonomi kerakyatan dan peningkatan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
43
kewirausahaan sehingga kelompok sasaran mempunyai kewenangan dalam pengelolaannya dengan pengawasan dari Pemerintah di
DaerahKabupaten, Provinsi maupan Pusat Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
2.2.6. Bongkar Ratoon