Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman

Barita Raja Nasution : Struktur Dan Komposisi Pohon Dan Belta Di Zona Pegunungan Atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo, 2010.

4.5. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman

Untuk mengetahui keanekaragaman dan keseragaan pada lokasi I, II, III, dan IV telah dilakukan analisis data dan didapat hasilnya. Menurut Indriyanto 2006, mengatakan bahwa keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan oranisasi biologinya. Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman jenis juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas kominutas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi jenis yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Nilai indeks keseragaman didapat dengan membandingkan nilai H’ dengan hasil dari Ln jumlah genusjenis yang terdapat pada suatu lokasi. Pada vegetasi Pohon Gambar 4.21 indeks keseragaman pada lokasi I sebesar 0,817, pada lokasi II 0,734, pada lokasi III 0,758, dan pada lokasi IV 0,852. Sedangkan pada vegetasi belta Gambar 4.22 nilai indeks keseragaman E pada lokasi I bernilai 0,852, pada lokasi II 0,852, pada lokasi III 0,822, dan pada lokasi IV 0,983. Jika diperhatikan nilai E pada lokasi IV yaitu ketinggian tertinggi dpl memiliki nilai tertinggi yaitu 0,852 pada vegetasi pohon dan 0,983 pada vegetasi belta. Krebs 1985 menyatakan bahwa keseragaman rendah apabila 0E0,5 dan keseragaman tinggi apabila 0,5E1. Tabel 4.21 Indeks Keanekaragaman H’ dan Keseragaman E Pohon pada Lokasi Penelitian Lokasi H E I 2.779 0.817 II 2.568 0.734 III 2.102 0.758 IV 2.552 0.852 Dari Tabel 4.21 dapat dilihat bahwa pada lokasi I didapat nilai indeks keanekaragaman pohon H’ sebesar 2,779 yang berarti keanekaragaman sedang, pada lokasi II sebesar 2,568 yang juga berarti keanekaragaman sedang, pada lokasi III 2,102 yang juga berarti sedang, dan pada lokasi IV senilai 2,552 yang juga berarti Barita Raja Nasution : Struktur Dan Komposisi Pohon Dan Belta Di Zona Pegunungan Atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo, 2010. sedang. Mason 1980 menyatakan bahwa jika nilai indeks keanekaragaman lebih kecil dari satu berarti keanekaragaman jenis rendah, jika di antara 1 – 3 berarti keanekaragaman jenis sedang, dan jika lebih besar dari tiga berarti keanekaragaman jenis tinggi. Berikut ini merupakan gambar grafik nilai indeks keanekaragaman H’ dan indeks keseragaman E vegetasi pohon pada tiap lokasi penelitian. Gambar 23. Nilai Indkeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Pohon pada Tiap Lokasi Penelitian Dari Gambar 4.23 dapat dilihat bahwa nilai H’ dan vegetasi pohon berlawanan, dimana jika H’ meningkat maka E menurun. Dapat diperhatikan bahwa nilai H’ dari lokasi I menurun ke lokasi II begitu juga dari lokasi II ke lokasi III, akan tetapi dari lokasi III ke lokasi IV meningkat walau pun nilai H’ pada lokasi IV tetap lebih kecil dari lokasi II. Hal ini bisa dijelaskan dari kondisi lingkungan pada lokasi III merupakan cadas dan berarti lebih ekstrim dibandingkan lokasi lain. Sehingga hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan pada lokasi III ini. Berikut ini disajikan data indeks keanekaragaman H’ dan indeks keseragaman E vegetasi belta pada keempat lokasi penelitian. Tabel 4.22 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Belta pada Empat Lokasi Penelitian Lokasi H E I 3.12 0.852 II 3.10 0.852 III 2.54 0.822 IV 2.31 0.983 Dari Tabel 4.22 di atas dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman H’ vegetasi belta pada lokasi I bernilai 3,12, pada lokasi II 3,10, pada lokasi III 2,54, dan Barita Raja Nasution : Struktur Dan Komposisi Pohon Dan Belta Di Zona Pegunungan Atas Gunung Sinabung Kabupaten Karo, 2010. pada lokasi IV 2,31. Dari nilai-nilai H’ pada keempat lokasi penelitian ini dapat dilihat bahwa nilai dari lokasi I ke lokasi IV mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi I yang berada pada ketinggian paling rendah yaitu 1900 – 2000 m dpl memiliki nilai H’ tertinggi dan berarti memiliki keanekaragaman tertinggi. Menyusul urutan kedua pada lokasi II, kemudian lokasi III, dan keanekaragaman terendah pada lokasi IV. Hal ini dipengaruhi bertambah ekstrimnya kondisi topografi dan fisik-kimia lingkungan pada area penelitian seiring dengan bertambahnya ketinggian. Berikut ini merupakan gambar grafik indeks keanekaragaman H’ dan indeks keseragaman E vegetasi belta pada keempat lokasi penelitian. Gambar 4.24 Indeks Keanekaraman H’ dan Keseragaman E Belta pada Tiap Lokasi Penelitian Dari Gambar 4.24 dapat diperhatikan bahwa indeks keanekaragaman vegetasi belta menurun dari lokasi I ke II, II ke III, dan III ke IV. Hal ini membuktikan bahwa keanekaragaman menurun seiiring bertambahnya ketinggian tempat dari permukaan laut.

4.6 Indeks Similaritas