Analisis Pengaruh Investasi terhadap Pengembangan Wilayah di Kota Tebing Tinggi
ANALISIS PENGARUH INVESTASI TERHADAP
PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA TEBING TINGGI
TESIS
oleh
BEZANOLO HAREFA
107003058/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
N
(2)
ANALISIS PENGARUH INVESTASI
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KOTA TEBING TINGGI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Wilayah
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
BEZANOLO HAREFA
107003058/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH INVESTASI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA TEBING TINGGI
Nama Mahasiswa : Bezanolo Harefa Nomor Induk Mahasiswa : 107003058
Program Studi : Perencanaan Wilayah
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof. Erlina, M.Si., Ph.D, Ak. Ketua
) ( Kasyful Mahalli, SE, M.Si
Anggota
)
Ketua Program Studi
( Prof.Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE )
Direktur
( Prof.Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
(4)
Telah diuji pada Tanggal : 25 Juni 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Erlina, M.Si., Ph.D., Ak., Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si
2. Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE 3. Dr. Rijiman, SE, MA
(5)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan tesis yang berjudul :
“Analisis Pengaruh Investasi terhadap Pengembangan Wilayah di Kota Tebing Tinggi”.
Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.
Medan, Juni 2012 Yang membuat pernyataan
(6)
ANALISIS PENGARUH INVESTASI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA TEBING TINGGI
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh investasi yang diperoleh dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Kota Tebing Tinggi yang akan mendorong Pengembangan Wilayah melalui indikator ekonomi makro yakni pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Keberadaan investasi sangat ditentukan oleh daya tarik investasi dan daya saing daerah seperti ketersediaan infrastruktur, tenaga kerja, dan kelembagaan, serta sosial budaya masyarakat yang akan menciptakan efisiensi dan kenyamanan dalam berusaha.
Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series 2000 – 2010 yaitu data jumlah investasi (pembentukan modal tetap bruto), pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Bappeda dan sumber-sumber lainnya seperti jurnal dan hasil penelitian. Data ini kemudian dibuat dalam bentuk data triwulan dengan metode interpolasi linear.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi (pembentukan modal tetap bruto) berperan penting dalam mendorong pengembangan wilayah di Kota Tebing Tinggi. Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menunjukkan bahwa Investasi (PMTB) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita dengan nilai koefisen determinasi (R2) masing-masing 70,4 persen dan 96,4 Persen. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya investasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa investasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita Kota Tebing Tinggi.
Kata Kunci : Investasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan pengembangan wilayah.
(7)
THE ANALYSIS OF INVESTMENT EFFECT ON REGIONAL DEVELOPMENT OF TEBING TINGGI CITY
ABSTRACT
This research aims to analyze the effect of investments of the Gross Fixed Capital Building of Tebing Tinggi City that support the regional development through macro-economic indicator, i.e. the is macro-economic growth rate and income percapita. The investment determined by the investment interest and the local competition of regions such as availability of infrastructure, labor, institution, and social culture of society for the effective and efficient business.
The applied analysis method is Ordinary Least Square (OLS). The analysis use the secondary data such as time series data of 2000 – 2010, i.e. the data of investment (gross fixed capital building), economic growth rate and income percapita Statistical Bureau, Bank of Indonesia, Bappeda another sources such as journal and the results of researches. These data is presented in quartely data by lnear interpolation method.
The results indicates that investment (gross fixed capital building) has an important role in support the regional development in Tebing Tinggi City. Based on the result of estimation, this research indicates that investment has a positive influence to the economic growth and income percapita with the determination coefficient (R2) are 70.4 percent and 96.4 percent, respectively. It means that the increasing of investment will increase the economic growth rate and income percapita. Partially, the results of analysis indicates that investment has a significant influence to the economic growth rate and income percapita in Tebing Tinggi City.
(8)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuniaNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Analisis Pengaruh Investasi Terhadap Pengembangan Wilayah di Kota Tebing Tinggi ”.
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan sehingga sesuai dengan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati dan rasa hormat menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), SP.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg.Sirojuzilam, SE., sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan. 4. Bapak Ir.H.Umar Zunaidi Hasibuan, MM., sebagai Walikota Tebing Tinggi atas bantuan
dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana.
5. Bapak Ir. H. Riadil Akhir Lubis, M.Si., sebagai Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitasi yang diberikan.
6. Bapak H. Marapusuk Siregar, SH., sebagai Kepala Bappeda Kota Tebing Tinggi, atas arahan dan motivasi yang telah diberikan.
7. Ibu Prof.Erlina,SE,M.Si.Ph.D.Ak, sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si., sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, motivasi dan ide-ide brilian dalam proses penyelesaian tesis ini. 8. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE., Bapak Dr. Rujiman, SE, MA., dan Bapak
Dr.H.B. Tarmizi, SE, SU., sebagai Komisi Pembanding yang telah memberikan masukan dan saran-saran konstruktif untuk kesempurnaan tesis ini.
9. Orang tua saya (S. Harefa) yang saya hormati dan muliakan, sekeluarga abang saya Zumeiaro Harefa dan Faozaro Harefa dan yang terkasih Ribka Deliana Zega, A.Md.Keb atas do’a, perhatian dan dorongan yang tetap diberikan selama proses penyelesaian studi. 10. Teman-teman mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Perencanaan
Wilayah Universitas Sumatera Utara, rekan-rekan kerja di Bappeda Kota Tebing Tinggi serta segenap keluarga dan handai tolan lainnya atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan.
(9)
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kesilafan selama ini. Semoga Allah Bapa Yang Maha Pengasih memberikan berkahnya kepada kita. Amin……
Medan, Juni 2012 Penulis,
(10)
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Bezanolo Harefa
2. Tempat/tanggal Lahir : Nias, 19 September 1981
3. Alamat : Jl. Purnawirawan No.15 Tebing Tinggi
4. Agama : Kristen Protestan
5. Jenis Kelamin : Laki-laki
6. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
7. Status : Belum Menikah
8. Pendidikan :
a. SD N.030 Pendalian, Kab. Rokan Hulu-Riau, lulus tahun 1994 b. SMP Bunga Mawar Gunungsitoli, lulus tahun 1997
c. SMA N.1 (Plus) Matauli, Pandan – Tapteng, lulus tahun 2000 d. Fakultas Ekonomi, Jurusan Ekonomi Pembangunan USU Medan,
lulus tahun 2004
e. Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan USU Medan, lulus tahun 2012
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………. i
ABSTRACT………..… ii
KATA PENGANTAR………..…… iii
RIWAYAT HIDUP………...… v
DAFTAR ISI ……… vi
DAFTAR TABEL………. viii
DAFTAR GAMBAR………. ix
DAFTAR LAMPIRAN………...….. x
BAB I PENDAHULUAN ……….... 1
1.1 Latar Belakang ………..…. 1
1.2 Rumusan Masalah ………..… 10
1.3 Tujuan Penelitian ……….……. 10
1.4 Manfaat Penelitian ……….……... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 12
2.1 Pengertian Investasi ……….……. 12
2.1.1. Faktor – faktor yang mempengaruhi investasi ………….…. 14
2.1.2. Teori – teori investasi ……….…... 19
2.1.3. Alokasi investasi regional ………... 21
2.1.4 Pengukuran ICOR dan proyeksi investasi ……… 23
2.1.5 Daya tarik investasi daerah/wilayah ………. 25
2.2 Pengembangan Wilayah ………... 26
2.2.1. Isu utama pengembangan wilayah ……….…. 27
2.2.2. Indikator pembangunan wilayah ……….…. 28
2.2.3. Strategi pengembangan wilayah ……….……. 31
2.3 Pertumbuhan Ekonomi ……….… 34
2.3.1. Teori pertumbuhan ekonomi klasik ……… 37
2.3.2. Teori pertumbuhan ekonomi Schumpeter ……….. 39
2.3.3. Teori pertumbuhan ekonomi Harrold – Dommar …….….. 41
2.3.4. Teori pertumbuhan ekonomi Neo – Klasik ……….… 42
2.4 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……….……. 43
2.4.1. Teori pertumbuhan ekonomi wilayah ………. 44
2.5 Pendapatan Perkapita ……….. 47
2.5.1. Pendapatan perkapita dan penduduk ……….………. 50
2.6 Penelitian Sebelumnya ……… 52
(12)
2.8 Hipotesis Penelitian ………...……….. 55
BAB III METODE PENELITIAN ………...……….. 56
3.1 Ruang Lingkup Penelitian ……… 56
3.2 Jenis dan Sumber Data ………. 56
3.3 Model Analisis ………. 57
3.4 Metode Analisis ………... 58
3.5 Uji Hipotesis ………. 59
3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik………. 59
3.7 Definisi Operasional ……….. 61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..………...……….. 62
4.1 Gambaran Umum Kota Tebing Tinggi………..…… 62
4.1.1 Kondisi Demografi………..…... 63
4.1.2 Kondisi Perekonomian Kota Tebing Tinggi………….…… 65
4.1.2.1 Perkembangan PDRB Kota Tebing Tinggi….…… 65
4.1.2.2. Perkembangan Investasi (pembentukan modal tetap bruto) di Kota Tebing Tinggi ………. 66
4.1.2.3 Perkembangan pendapatan perkapita Kota Tebing Tinggi……….… 71
4.2 Hasil Estimasi dan Pengujian Hipotesis..……….. 72
4.2.1 Pengaruh Investasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Tebing Tinggi ……….………. 72
4.2.1.1 Uji koefisien determinasi (R2 4.2.1.2 Uji signifikansi parameter individual )………. 73
(uji statistik t) ……….. 75
4.2.1.3 Uji asumsi klasik………... 75
4.2.2 Pengaruh investasi terhadap pendapatan perkapita Kota Tebing Tinggi ……….. 78
4.2.2.1 Uji koefisien determinasi (R2 4.2.2.2 Uji signifikansi parameter individual ) .……….. 78
(uji statistik t) ………. 79
4.2.2.3 Uji asumsi klasik………. 79
4.3 Pembahasan……….. 83
4.3.1 Investasi dan pertumbuhan ekonomi……… 83
4.3.2 Investasi dan pendapatan perkapita………. 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….… 91
5.1 Kesimpulan……….….. 91
5.2 Saran………..…… 91
(13)
DAFTAR TABEL
Nomor J u d u l Halaman
1.1. Nilai investasi Kota Tebing Tinggi menurut lapangan usaha
tahun 2005 – 2009……….. 8
1.2 Nilai investasi riil dan PDRB Kota Tebing Tinggi
tahun 2005 – 2009... 9 4.1 Luas wilayah dan persentase terhadap luas Kota Tebing Tinggi
menurut kecamatan ………... 63 4.2 Perkembangan jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk
Kota Tebing Tinggi (Tahun 2000 s/d 2010)... 64 4.3 PDRB Kota Tebing Tinggi atas dasar harga berlaku dan
harga konstan tahun 2000-2010... 65 4.4 Nilai investasi riil (pembentukan modal tetap bruto) dan koefien
ICOR di Kota Tebing Tinggi Tahun 2000 – 2010... 68 4.5 Perkembangan PDRB, investasi, jumlah penduduk dan pendapatan
perkapita Kota Tebing Tinggi tahun 2000-2010... 71 4.6 Hasil estimasi pengaruh investasi (pembentukan modal tetap bruto)
Kota Tebing Tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi (PE)... 73 4.7 Uji Kolmogorov-Sminorv Test ………... 76 4.8 Matriks korelasi Spearman untuk hubungan investasi terhadap
pertumbuhan ekonomi………... 77
4.9 Hasil estimasi pengaruh investasi (pembentukan modal tetap bruto)
terhadap pendapatan perkapita Kota Tebing Tinggi ... 78
4.10Uji One Sample Kolmogorov-Sminorv ……….. 81
4.11 Matriks korelasi Spearman untuk hubungan Investasi terhadap
(14)
DAFTAR GAMBAR
Nomor J u d u l Halaman
2.1 Grafik Hubungan Investasi dengan Suku Bunga ... 18
2.2 Grafik Teori penduduk optimal... 39
2.3 Diagram Konsep Penelitian... 55
4.1 Grafik normal P- P Plot of regression standardized... 75
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Perhitungan Nilai Investasi (PMTB) dalam bentuk data triwulan
dengan metode interpolasi linear (Tahun 2000 – 2010)... 95 2. Perhitungan Angka Pertumbuhan Ekonomi dalam bentuk data
Triwulan dengan metode interpolasi linear (Tahun 2000 – 2010)... 98 3. Perhitungan Nilai Pendapatan Perkapita dalam bentuk data
triwulan dengan metode interpolasi (tahun 2000–2010) ... 101 4. Rekapitulasi Hasil Interpolasi data Investasi, Pertumbuhan
Ekonomi dan Pendapatan Perkapita... 104 5. Data Input Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi melalui program
SPSS versi 17... 106 6. Data Input Investasi dan Pendapatan Perkapita melalui program
SPSS versi 17... 108 7. Pengujian Model Regresi variabel Investasi terhadap
Pertumbuhan Ekonomi... 110 8. Pengujian Model Regresi variabel Investasi terhadap pendapatan
Perkapita ... 114 9. Output SPSS Proyeksi Investasi ... 118
(16)
ANALISIS PENGARUH INVESTASI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA TEBING TINGGI
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh investasi yang diperoleh dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Kota Tebing Tinggi yang akan mendorong Pengembangan Wilayah melalui indikator ekonomi makro yakni pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Keberadaan investasi sangat ditentukan oleh daya tarik investasi dan daya saing daerah seperti ketersediaan infrastruktur, tenaga kerja, dan kelembagaan, serta sosial budaya masyarakat yang akan menciptakan efisiensi dan kenyamanan dalam berusaha.
Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series 2000 – 2010 yaitu data jumlah investasi (pembentukan modal tetap bruto), pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Bappeda dan sumber-sumber lainnya seperti jurnal dan hasil penelitian. Data ini kemudian dibuat dalam bentuk data triwulan dengan metode interpolasi linear.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi (pembentukan modal tetap bruto) berperan penting dalam mendorong pengembangan wilayah di Kota Tebing Tinggi. Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menunjukkan bahwa Investasi (PMTB) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita dengan nilai koefisen determinasi (R2) masing-masing 70,4 persen dan 96,4 Persen. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya investasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa investasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita Kota Tebing Tinggi.
Kata Kunci : Investasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan pengembangan wilayah.
(17)
THE ANALYSIS OF INVESTMENT EFFECT ON REGIONAL DEVELOPMENT OF TEBING TINGGI CITY
ABSTRACT
This research aims to analyze the effect of investments of the Gross Fixed Capital Building of Tebing Tinggi City that support the regional development through macro-economic indicator, i.e. the is macro-economic growth rate and income percapita. The investment determined by the investment interest and the local competition of regions such as availability of infrastructure, labor, institution, and social culture of society for the effective and efficient business.
The applied analysis method is Ordinary Least Square (OLS). The analysis use the secondary data such as time series data of 2000 – 2010, i.e. the data of investment (gross fixed capital building), economic growth rate and income percapita Statistical Bureau, Bank of Indonesia, Bappeda another sources such as journal and the results of researches. These data is presented in quartely data by lnear interpolation method.
The results indicates that investment (gross fixed capital building) has an important role in support the regional development in Tebing Tinggi City. Based on the result of estimation, this research indicates that investment has a positive influence to the economic growth and income percapita with the determination coefficient (R2) are 70.4 percent and 96.4 percent, respectively. It means that the increasing of investment will increase the economic growth rate and income percapita. Partially, the results of analysis indicates that investment has a significant influence to the economic growth rate and income percapita in Tebing Tinggi City.
(18)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dewasa ini kegiatan pembangunan masih menjadi tantangan sekaligus peluang bagi banyak negara di dunia. Negara-negara berkembang yang terus berupaya meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya melalui kegiatan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan yang dilakukan diharapkan mampu menjawab dan mengatasi berbagai permasalahan-permasalahan pokok seperti tingkat kehidupan yang rendah, tingkat produktifitas yang rendah, pertumbuhan populasi serta tanggungan beban yang tinggi.
Menurut Todaro (2000), pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk lebih meningkatkan produktifitas sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu negara baik sumber daya alam, sumber daya manusia, kapital atau modal maupun sumber daya berupa teknologi dengan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Sedangkan Kartasasmita (1994) memberikan pengertian pembangunan yang lebih sederhana yaitu sebagai suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Pada awalnya pembangunan lebih difokuskan pada pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, strategi pertumbuhan ekonomi dalam konsep pembangunan
(19)
tersebut menimbulkan kelompok negara maju dan negara berkembang. Untuk mengejar ketertinggalannya, negara-negara berkembang menerapkan konsep
paradigma pertumbuhan (growth paradigm), dengan ditandai meningkatnya
pertumbuhan pendapatan nasional (Gross National Product) yang didukung kebijakan investasi, transfer teknologi dan perdagangan menuju era industrialisasi.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang terus berupaya memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonominya melalui berbagai kebijakan dan strategi pembangunan yang telah disusun dan dirumuskan dalam suatu Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh serta tanggap terhadap perubahan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan yang menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.
Dalam rangka mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembangunan sebagaimana telah disebutkan diatas, peranan pemerintah mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah desa/kelurahan diharapkan dapat memfasilitasi masyarakat untuk terlibat langsung dalam pembangunan sekaligus merasakan hasil-hasil dari
(20)
pembangunan itu sendiri. Otonomi Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memiliki tujuan untuk mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Otonomi Daerah dinyatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat menjadi lebih bebas untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan bersama. Dengan demikian hakikat dari Otonomi Daerah adalah pelayanan bukan kekuasaan.
Otonomi Daerah juga memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, strategi pembangunan nasional akan lebih mempertimbangkan potensi dan dinamika perkembangan daerah dan wilayah. Pemerintah di daerah diharapkan dapat menciptakan iklim yang menunjang tumbuh kembangnya kegiatan perekonomian daerah yang lebih efisien, mempunyai keuntungan komparatif, berdaya saing dan bermanfaat bagi masyarakat setempat melalui penciptaan lapangan kerja. Namun demikian, menurut Miraza (2010), Pembangunan Daerah tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri berdasarkan kewenangan suatu daerah tetapi harus meliputi berbagai daerah sekitar (hinterland) untuk menciptakan optimalisasi manfaat atas potensi (ekonomi) daerah dan wilayah yang menghasilkan daya saing (ekonomi) yang kuat untuk daerah dan wilayah tersebut. Pembangunan berdasarkan pendekatan wilayah dimaksudkan sebagai suatu rencana dan aktifitas pembangunan yang terkait
(21)
antara satu daerah dengan daerah lainnya sehingga arah pembangunan antar daerah dalam satu wilayah mempunyai irama yang sama dan saling mendukung. Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi terpecahnya potensi ekonomi sebagai akibat dari perubahan struktur pemerintahan.
Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik disamping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya (Sirojuzilam, 2011). Salah satu hal yang terpenting dalam pembangunan dan pengembangan wilayah adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi wilayah. Kuznet (1990) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduk atau masyarakat. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada masa sebelumnya.
Selanjutnya, menurut Setiono (2011), dalam konteks spasial, eksistensi perekonomian suatu wilayah sedikit banyak harus mempertimbangkan kekuatan perekonomian wilayah lain di sekitarnya. Perkembangan ekonomi yang terjadi di
(22)
wilayah sekitar dapat berpengaruh terhadap perekonomian wilayah tertentu, baik berupa spread effect yang positif maupun backwash effect yang negatif. Untuk itu, maka manager pembangunan suatu wilayah harus terus-menerus memantau dan menyusun strategi yang tepat dalam mengantisipasi perkembangan wilayah sekitarnya.
Dengan berdasarkan pada kenyataan bahwa pada suatu daerah terbagi kedalam wilayah-wilayah dan sub-sub wilayah, maka pertumbuhan daerah akan ditentukan oleh faktor-faktor utama yaitu sumber daya alam yang tersedia, ketersediaan modal bagi pengelolaan sumber daya alam, adanya prasarana dan sarana (infrastruktur) yang menunjang seperti transportasi, komunikasi dan lainnya, tersedianya teknologi yang tepat untuk pengelolaan sumber daya alam serta tersedianya kualitas Sumber Daya Manusia untuk pengelolaan teknologi. Akan tetapi, dari banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi, pembentukan modal atau investasi sebagai penentu utama pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 1996). Hal ini didasarkan pada kesanggupan modal untuk menciptakan faktor-faktor lain yang penting artinya dalam pembangunan. Dalam teori Harrod-Domar, pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang maupun sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat (Sukirno, 2007). Sedangkan menurut Nurkse (1996), arti pembentukan modal adalah bahwa masyarakat tidak mempergunakan seluruh aktivitas produktifnya saat ini untuk kebutuhan dan
(23)
keinginan konsumsi, tetapi menggunakan sebagian saja untuk pembuatan barang modal : perkakas dan alat-alat, mesin dan fasilitas angkutan, pabrik dan perlengkapannya - segala macam bentuk modal nyata yang dapat dengan cepat meningkatkan manfaat upaya produktif.
Pembentukan modal atau investasi memiliki efek pengganda yang besar terhadap perekonomian. Selain mampu meningkatkan produksi atau pertumbuhan ekonomi, juga dapat menciptakan kesempatan kerja serta perluasan pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Jhingan (1990), bahwa investasi membuat pembangunan menjadi mungkin, kendati dengan penduduk yang meningkat. Kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan taraf kemakmuran (Sukirno,2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa investasi adalah motor suatu perekonomian yang akan menggerakkan sektor-sektor produktif seperti industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja.
Kota Tebing Tinggi sebagai salah satu daerah otonom di Propinsi Sumatera Utara memiliki potensi untuk menjadi daerah tujuan investasi dalam rangka mempercepat pengembangan wilayahnya, sekaligus diharapkan kedepan daerah ini dapat menjadi pusat pertumbuhan (Growth Center) bagi daerah – daerah sekitar. Hal ini di dukung oleh letaknya yang sangat strategis yakni berada pada jalur segitiga emas yang merupakan titik pertemuan jalur lintas timur, jalur lintas tengah dan jalur lintas selatan Sumatera yang secara tidak langsung telah menghubungkan kota-kota
(24)
utama di Pulau Sumatera yaitu di bagian utara Banda Aceh dan dibagian selatan Kota Padang, Pekan Baru, Jambi, Palembang, Bengkulu, Bandar Lampung. Keberadaan beberapa pelabuhan dan pabrik serta perkebunan disekitar atau disekeliling Kota Tebing Tinggi seperti pelabuhan ikan laut di Kecamatan Pagurawan Kabupaten Serdang Bedagai, pelabuhan ikan laut Bedagai di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, dan peleburan aluminium PT.Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Kecamatan air Putih Kabupaten Batu Bara, serta perkebunan besar (PTPN II, PTPN III, dan Perkebunan Swasta Nasional) semakin memperkuat peran Kota Tebing Tinggi dalam interaksi antar ruang wilayah. Disamping itu, rencana pembangunan jalan tol Medan – Kuala Namu – Tebing Tinggi akan semakin meningkatkan aksesbilitas yang akan mendorong peningkatan aktifitas ekonomi di Daerah ini. Demikian juga dengan rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Kabupaten Simalungun sebagai koridor ekonomi sumatera dalam konsep Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), juga semakin memperkuat posisi Tebing Tinggi dalam interaksi antar ruang wilayah. Kesemuanya ini adalah peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para investor yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pengembangan wilayah Kota Tebing Tinggi.
Jika melihat kondisi riil investasi di Kota Tebing Tinggi dalam 5 (lima) tahun terakhir 2005 - 2009, dapat dikatakan bahwa ada peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2007 sedikit mengalami penurunan sebagai
(25)
dampak dari krisis global yang dihadapi pada saat itu. Namun, pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008 langsung terkoreksi naik sampai tahun 2009. Hal ini dapat di lihat dari tabel berikut:
Tabel 1.1. Nilai investasi Kota Tebing Tinggi menurut lapangan usaha tahun 2005 – 2009 (miliar rupiah)
No Lapangan Usaha
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
1 Pertanian 0.39 0.53 0.52 0.54 0.54
2 Penggalian 0.10 0.11 0.13 0.13 0.13
3 Industri Pengolahan 6.17 7.08 6.26 9.16 8.36
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 4.44 5.72 4.51 4.72 5.06
5 Konstruksi 12.81 16.00 16.00 16.23 16.47
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran 34.78 39.83 37.75 42.24 43.80
7 Pengangkutan dan
Komunikasi 26.43 25.07 26.81 28.07 26.71
8 Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan 37.01 37.73 42.00 38.18 41.40
9 Jasa-jasa 29.08 38.59 36.30 36.26 38.29
Jumlah 151.21 170.66 170.28 175.53 180.76
Sumber : Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kota Tebing Tinggi Tahun 2009
Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa tahun 2005 nilai investasi di Kota Tebing Tinggi sebesar Rp.151.21 Miliar dengan nilai investasi yang paling besar terdapat pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai sebesar 37.01 Miliar atau 23% dari investasi total. Kemudian pada tahun 2006 mengalami peningkatan dengan nilai investasi sebesar Rp.170.66 Miliar dengan pertumbuhan sebesar 19.45% dibandingkan dengan tahun 2005 dengan nilai investasi terbesar pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu Rp. 39.83 Miliar atau 23% dari investasi
(26)
total. Namun, pada tahun 2007, nilai investasi di Kota Tebing Tinggi sedikit terkoreksi turun yaitu hanya sebesar Rp.170.28 Miliar atau turun 0.38% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi pada hampir semua sektor kecuali sektor pengangkutan, komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Dua tahun kemudian yakni tahun 2008 dan 2009, Investasi di Kota Tebing Tinggi kembali meningkat masing-masing sebesar Rp.175.53 Miliar dan Rp. 180.76 dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5.25% dan 5.23%. Selanjutnya, selama tahun 2005 – 2009, investasi di Kota Tebing Tinggi lebih di dominasi oleh investasi di sektor Jasa. Hal ini sesuai dengan struktur perkonomian di daerah perkotaan lebih di dominasi oleh sektor tersier atau jasa.
Selanjutnya, bila melihat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Tebing Tinggi dan pendapatan per kapita masyarakat Kota Tebing Tinggi selama 5 (lima) tahun terakhir (2005 – 2009) juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 1.2. Nilai Investasi Riil dan PDRB Kota Tebing Tinggi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2005 – 2009 (Juta Rupiah)
Tahun Investasi Riil
PDRB (Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000)
Pendapatan Perkapita (Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2000)
2005 151.222,43 876.467,51 6,37
2006 170.684,69 923.204,30 6,69
2007 170.283,31 978.411,33 7,02
2008 175.542,12 1.037.465,11 7,35
2009 180.800,93 1.099.238,84 7,70
(27)
Berdasarkan tabel diatas, selama kurun waktu 2005 – 2009, PDRB Kota Tebing Tinggi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 2005 sebesar Rp.876.467,51 juta menjadi Rp.1.099.238,44 juta atau naik sebesar 79,73%. Demikian juga dengan pendapatan perkapita masyarakat meningkat setiap tahunnya dari Rp.6,37 juta per tahun pada tahun 2005 menjadi 7,7 juta pertahun pada tahun 2009.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian apakah terdapat pengaruh investasi terhadap pengembangan wilayah di Kota Tebing Tinggi yang dapat diukur melalui indikator-indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, permasalahan yang menjadi bahan analisis adalah: 1. Bagaimana pengaruh Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kota Tebing
Tinggi ?
2. Bagaimana pengaruh Investasi terhadap Pendapatan Perkapita di Kota Tebing Tinggi?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita di Kota Tebing Tinggi dalam upaya pengembangan wilayah.
(28)
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang antara lain:
1. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi Pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam upaya peningkatan investasi dalam rangka pembangunan dan pengembangan Daerah Kota Tebing Tinggi;
2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita;
3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda;
(29)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Investasi
Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan. Investasi yang lazim disebut dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal, menurut Sukirno (2002) adalah merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat. Selanjutnya, Boediono (2001) mendefenisikan investasi sebagai pengeluaran oleh sektor produsen (swasta) untuk pembelian barang dan jasa untuk menambah stok yang digunakan atau untuk perluasan pabrik.
Investasi dalam ekonomi makro, juga dapat dibedakan atas investasi otonom
(otonomous investment) dan investasi terpengaruh (induced investment). Investasi otonom adalah investasi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan nasional, artinya tinggi rendahnya pendapatan nasional tidak menentukan jumlah investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Jenis investasi ini umumnya dilakukan oleh pemerintah dengan maksud sebagai landasan pertumbuhan ekonomi berikutnya, misalnya investasi untuk pembuatan jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya.
(30)
Sedangkan investasi yang terpengaruh adalah investasi yang dipengaruhi oleh pendapatan nasional, artinya pendapatan nasional yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi tersebut akan memperbesar permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa. Maka keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan ini akan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi.
Kemudian, dalam prakteknya sebagai usaha untuk mencatat nilai penanaman modal yang dilakukan dalam suatu tahun tertentu, yang digolongkan sebagai investasi (pembentukan modal atau penanaman modal) meliputi pengeluaran-pengeluaran yang berikut :
1. Pembelian berbagai jenis barang modal yaitu mesin-mesin dan peralatan produksi lainnya untuk mendirikan berbagai jenis industri dan perusahaan;
2. Pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal, bangunan kantor, bangunan pabrik dan bangunan-bangunan lainnya;
3. Pertambahan nilai stok barang-barang yang belum terjual, bahan mentah dan barang yang masih dalam proses produksi pada akhir tahun penghitungan pendapatan nasional
Jumlah dari ketiga jenis komponen investasi tersebut dinamakan investasi bruto, yaitu meliputi investasi untuk menambah kemampuan berproduksi dalam perekonomian dan mengganti barang modal yang telah didepresiasikan. Apabila investasi bruto dikurangi oleh nilai depresiasi maka akan di peroleh investasi netto.
(31)
2.1.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi
Menurut Jhingan (1996), investasi atau pembentukan modal merupakan jalan keluar utama dari masalah negara terbelakang ataupun berkembang dan kunci utama menuju pembangunan ekonomi. Hal ini sebagaimana juga dipertegas oleh Nurkse (1996) bahwa lingkaran setan kemiskinan di negara terbelakang atau berkembang dapat digunting melalui investasi atau pembentukan modal. Lebih rinci lagi dikatakan oleh Todaro (1981) bahwa persyaratan umum pembangunan ekonomi suatu negara adalah:
1. Akumulasi modal, termasuk akumulasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia;
2. Perkembangan penduduk yang dibarengi dengan pertumbuhan tenaga kerja dan keahliannya;
3. Kemajuan teknologi.
Akan tetapi, bagi negara-negara terbelakang atau berkembang pembentukan modal umumnya masih rendah. Menurut Jhingan (1996), penyebabnya adalah :
1. Pendapatan rendah
Karena pertanian, industri dan sektor lain di Negara berkembang masih terbelakang, output nasional menjadi rendah dan begitu juga pendapatan nasional. Akibatnya, pendapatan perkapita rendah. Pada pihak lain, kecenderungan berkonsumsi sangat tinggi sehingga seluruh pendapatan habis dikonsumsi.
(32)
Akhirnya, menabung menjadi tidak mungkin dan tingkat pembentukan modal tetap rendah.
2. Produktifitas rendah
Karena langkanya buruh yang efisien dan pengetahuan teknologi rendah, sumber alam sering dimanfaatkan secara keliru atau malah tidak dipergunakan, akibatnya menghambat peningkatan pendapatan pemilik sumber alam hingga tidak mampu untuk menabung dan berinvestasi sehingga laju pembentukan modalpun tidak meningkat.
3. Kependudukan
Karena pertumbuhan penduduk sangat tinggi sementara pendapatan perkapita rendah maka akibatnya keseluruhan pendapatan dipergunakan untuk menghidupi tambahan penduduk dan hanya sedikit yang ditabung untuk pembentukan modal. 4. Kekurangan wiraswasta
Karena kecilnya pasar, kurangnya modal, langkanya milik pribadi dan perjanjian memperlambat usaha dan inisiatif untuk berwiraswasta sedangkan dalam kenyataannya kewiraswastaan merupakan faktor penting dalam pembangunan ekonomi;
5. Kekurangan overhead ekonomi
Karena kurangnya sumber tenaga, angkutan, perhubungan, air dan sebagainya telah memperlambat kegiatan usaha yang akhirnya berpengaruh terhadap pembentukan modal
(33)
6. Kekurangan peralatan modal
Di negara berkembang ketersediaan barang modal hanya sekitar 5-6 persen dari pendapatan nasionalnya, sedangkan di negara maju sampai 15-20 persen dari pendapatan nasionalnya. Karena rendahnya modal maka penggatian barang modal menjadi tidak mungkin dan ini mempengaruhi pembentukan modal
7. Ketimpangan distribusi pendapatan
Adanya ketidakmerataan pendapatan di negara berkembang dimana hanya sekitar 3-5 persen berpenghasilan tinggi dan mereka ini berivestasi tidak pada saluran yang produktif menyebabkan pembentukan modal tetap rendah.
8. Pasar sempit
Karena kemampuan untuk menyerap penawaran suatu produk baru, menyebabkan tidak bergairahnya tumbuhnya usaha dan inisiatif masyarakat sehingga upaya pembentukan modal tetap rendah
9. Kekurangan lembaga Keuangan
Karena kurang berkembangnya pasar uang, pasar modal, lembaga kredit dan bank di Negara berkembang menyebabkan pengerahan dana tabungan dalam jumlah yang cukup untuk tujuan investasi menjadi rendah
10.Keterbelakangan ekonomi dan teknologi
Aktifitas ekonomi yang terbatas dan terbengkalai, efisiensi buruh yang rendah, nilai dan struktur sosial yang tradisional serta teknik produksi yang masih kuno telah menghambat pembentukan modal.
(34)
Selanjutnya menurut Sukirno (2011), faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi atau pembentukan modal yang akan dilakukan dalam perekonomian adalah :
1. Tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return)
Investasi yang direncanakan hanya akan dilakukan apabila tingkat keuntungan yang akan diperolehnya adalah lebih besar dari suku bunga yang harus dibayarnya.
Suatu kegiatan investasi dapat dikatakan memperoleh keuntungan apabila nilai sekarang pendapatan di masa depan adalah lebih besar daripada nilai sekarang modal yang diinvestasikan.
Nilai sekarang pendapatan di masa depan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sukirno (2011) yaitu:
NS = �� (�+�)+
��
(�+�)�+ ��
(�+�)�+⋯+ ��
(�+�)� ……….(2.1)
dimana :
NS = nilai sekarang pendapatan yang diperoleh diantara tahun 1 hingga tahun n
�1, �2,…�� = pendapatan netto (keuntungan) yang diperoleh perusahaan antara tahun 1 hingga tahun n
r = suku bunga
Dengan memisalkan nilai sekarang yang diinvestasikan adalah M, penanaman modal tersebut dikatakan menguntungkan apabila NS lebih besar dari M (NS > M).
(35)
Kemampuan perusahaan menentukan tingkat investasi yang diharapkan, sangat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan. Untuk kondisi internal dapat berupa efisiensi, kualitas SDM dan teknologi yang digunakan. Disamping itu, kepemilikan hak monopoli, kedekatan dengan pusat kekuasaan dan penguasaan jalur informasi juga menjadi faktor non-teknis internal perusahaan. Sedangkan kondisi eksternal perusahaan adalah perkiraan kondisi ekonomi tingkat nasional maupun internasional, kondisi sosial politik serta kondisi keamanan negara. Selain itu, kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang akan mempengaruhi permintaan agregat, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan terhadap tingkat pengembalian investasi yang diharapkan.
2. Suku Bunga
Suku bunga merupakan faktor utama yang mempengaruhi investasi. Jika suku bunga tinggi, maka investasi akan berkurang. Hal ini disebabkan karena kenaikan suku bunga terutama dalam hal ini suku bunga pinjaman menyebabkan biaya investasi semakin tinggi sehingga akan mempengaruhi tingkat pengembalian modal atau tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari kegiatan investasi yang dilakukan. Demikian sebaliknya, jika suku bunga rendah akan mendorong lebih banyak investasi karena biaya investasinya rendah sehingga tingkat pengembalian modal atau harapan keuntungan dari kegiatan investasi tersebut akan tinggi.
Untuk mengetahui bagaimana hubungan investasi dengan tingkat suku bunga, secara grafik dapat digambarkan sebagai berikut, (Sukirno, 2011) :
(36)
Sumber : Sukirno (2011)
Gambar 2.1 Grafik Hubungan Investasi dengan Suku Bunga
Pada Gambar 2.1 suku bunga sebesar ro terdapat investasi bernilai Io. Pada suku bunga sebesar r1 investasi meningkat menjadi I1. Demikian juga pada saat suku bunga lebih rendah lagi yaitu sebesar r2 maka investasi semakin tinggi menjadi I2.
3. Kemajuan Teknologi
Adanya penemuan-penemuan teknologi baru oleh para pengusaha untuk dikembangkan dalam kegiatan produksi atau manajemen memacu dilakukannya pembaruan-pembaruan atau inovasi dengan melakukan pembelian barang-barang modal baru dan adakalanya juga harus mendirikan bangunan-bangunan pabrik/industri yang baru. Dengan demikian, makin banyak pembaruan-pembaruan yang dilakukan, makin tinggi investasi yang akan dicapai.
S
uku Bunga
Investasi (yang dilakukan) I1 I2
I0
r0
r1 r2
(37)
2.1.2. Teori-teori investasi
Menurut Irawan dan Suparmoko (1992), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan seberapa besar tingkat investasi yang dapat diusahakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara ataupun wilayah, yaitu :
1. Teori Usaha Perlahan-lahan (Gradualist Theory)
Teori ini berpendapat bahwa negara yang terbelakang sebaiknya jangan mengadakan industrialisasi cepat-cepat sebab resiko dan kekeliruan-kekeliruan akan terlalu besar untuk dipikul. Injeksi kapital yang banyak adalah kurang baik sampai perekonomian tersebut mampu menyerapnya. Pemilihan teknik-teknik produksi dan investasi didasarkan pada biaya-biaya relatif daripada faktor-faktor produksi. Harus diusahakan untuk memajukan industri-industri kecil, pembangunan masyarakat desa yang menggunakan kelebihan tenaga buruh. Kegiatan yang membutuhkan kapital yang banyak akan diusahakan bila keuntungan melebihi dari kegiatan yang sifatnya padat karya (labor intensive). 2. Teori Dorongan Besar (Big Push)
Teori ini secara singkat mengatakan bahwa bila hanya ada sedikit-sedikit usaha untuk menaikkan pendapatan, hal ini hanya mendorong pertambahan penduduk saja yang nantinya akan menghambat kenaikan pendapatan perkapita. Oleh karena itu, usaha harus dilaksanakan secara besar-besaran untuk mengatasi perubahan-perubahan penduduk. Implikasinya ialah harus diadakan investasi besar-besaran untuk menghilangkan kemiskinan, memaksimumkan output dengan
(38)
menggunakan teknik yang paling produktif yang kadang-kadang membutuhkan kapital yang besar. Konsentrasi pada investasi yang selanjutnya menghasilkan alat-alat kapital untuk mempertahankan pendapatan dan pertumbuhan output. Konsumsi sebaliknya ditekan, sehingga investasi dapat terus ada. Titik berat pada “economic of scale” yang berupa produksi massa (large scale production) dan tentunya juga membutuhkan kapital yang banyak.
3. Teori Pembangunan Seimbang (Balanced Growth)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Rosenstein-Rodan (1953), yang menitikberatkan bahwa perekonomian itu ada kemungkinan untuk berkembang apabila ada perimbangan yang baik antara berbagai-bagai sektor di dalam perekonomian. Dengan pertumbuhan seimbang (balanced growth) ini diartikan bahwa perkembangan ekonomi tidak akan berhasil bila investasi hanya sebatas pada “titik pertumbuhan” (growing point) tertentu atau sektor-sektor yang sedang berkembang saja, sebab sektor-sektor lain berhubungan erat. Investasi harus disebarkan pada semua sektor sehingga memperluas pasar antara satu sektor dengan sektor lainnya. Makin erat hubungan saling ketergantungan antar berbagai sektor maka pasar akan semakin kuat. Untuk mewujudkan teori ini tentu saja harus didukung oleh investasi yang besar.
4. Teori Pembangunan Tidak Seimbang(Unbalanced Growth)
Teori ini dikemukakan oleh Hirschman (1992) yang pada awalnya mengkritik teori pembangunan seimbang. Menurutnya bahwa masyarakat yang masih rendah
(39)
tingkat pendapatannya tidak dapat merubah sistem perekonomian yang tradisional menjadi sistem yang modern. Disamping itu, kapital yang besar tidak dapat disediakan oleh negara yang masih berkembang. Justru dengan tidak adanya keseimbangan akan mendorong kemajuan ekonomi yang lebih cepat dan biaya-biaya ekspansi dapat diminimumkan. Bila satu sektor masih rendah outputnya maka akan tetap ada permintaan yang banyak di sektor lain dan akan ada suatu keuntungan super normal pada sektor yang rendah outputnya itu.
2.1.3. Alokasi investasi regional
Gambaran perkembangan pembangunan daerah secara makro sektoral tidak lepas dari perkembangan distribusi dan alokasi investasi antar daerah. Hal ini telah diteliti oleh Rahman (1963) yang mengetengahkan suatu masalah optimisasi sederhana yaitu kalau ada dua daerah homogen, bagaimana dana investasi harus dialokasikan diantara dua daerah tersebut sehingga pendapatan nasional pada akhir periode perencanaan mencapai maksimum. Adapun kondisi yang harus dipenuhi : a. Keseimbangan antara tabungan dan investasi
b. Tidak akan terjadi disinvestment
c. Disparitas pendapatan antara kedua daerah tidak melampaui tingkat tertentu (bisa dianggap sebagai batasan politis)
Maka sistem optimasi itu dapat ditulis sebagai berikut, (Azis,1994)
Max. ZT = YTi + YTj ………(2.2) dimana,
(40)
ZT = Pendapatan Nasional
Y = Pendapatan Daerah
i dan j = Nama daerah yang diamati
T = Waktu (tahun)
Menurut Rahman (1963), jika daerah i lebih produktif daripada daerah j maka investasi akan dialokasikan ke daerah i.
Selanjutnya, oleh Intrilligator (1964) juga melakukan penelitian tentang hal tersebut. Dengan menggunakan tujuan atau fungsi objektif yang berbeda, yaitu memaksimumkan konsumsi total perkapita selama periode perencanaan, Intrilligator menyimpulkan bahwa alokasi investasi yang tepat adalah dari daerah yang produktifitasnya tinggi ke daerah yang laju pertumbuhannya cepat.
Penelitian terus berlanjut. Fujita (1994), yang menggunakan pendekatan alokasi investasi antar daerah dengan mempertimbangkan kemungkinan gejala return
to scale. Disimpulkanya bahwa daerah yang berada pada kondisi increasing phase
akan mendapat prioritas alokasi investasi daripada daerah yang berada pada kondisi
decreasing phase.
2.1.4. Pengukuran ICOR dan proyeksi investasi
Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan dengan investasi dapat dikaji melalui konsep Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010), ICOR merupakan konsep paling penting dan sangat berguna bagi perencanaan pembangunan ekonomi di suatu wilayah, terutama dirasakan pada
(41)
saat memeriksa konsistensi antara sasaran pertumbuhan pendapatan regional dengan modal tambahan yang mungkin akan terkumpul dari tabungan domestik yang sedang berjalan. Dalam memperkirakan keperluan finansial pertumbuhan diperlukan adanya perkiraan mengenai volume investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target output tertentu. Dengan demikian, besar kecilnya perkiraan investasi di masa mendatang sangat ditentukan oleh nilai ICOR, karena itu ketepatan dalam mengukur ICOR menjadi salah satu syarat utama yang harus dipenuhi sewaktu perencana pembangunan ingin memperkirakan kebutuhan investasi. Untuk memperkirakan kebutuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi wilayah dimasa mendatang dapat digunakan perhitungan ICOR yang bersifat continous yang biasa disebut dengan MCOR (Marginal Capital Output Ratio), yang dibangun melalui persamaan berikut: (Daryanto dan Hafizrianda, 2010 : 67),
Yt = a + b Iit-n dimana :
+ e ………..(2.3)
Y = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB I = investasi
Oleh karena persamaan ini mengambil bentuk linier, maka MCOR dapat diturunkan menjadi :
kt dimana :
= 1/b………(2.4)
k = MCOR
(42)
maka, ∆It = k . gt
∆I
………(2.5) t
g = perkiraan pertumbuhan ekonomi = tambahan investasi baru
Proyeksi investasi yang memiliki manfaat sebagai dasar dalam perencanaan investasi, alat untuk mendapatkan gambaran besarnya masalah ivestasi yang dihadapi pada masa yang akan datang dan alat dalam penyusunan kebijakan untuk mengatasi masalah investasi, dapat juga dihitung dengan menggunakan asumsi pertumbuhan geometris yaitu, (Daryanto dan Hafizrianda, 2010 : 76), :
It = I0 (1 + r)n dimana :
………(2.6)
It I
= Perkiraan investasi pada tahun t o
r = Laju Pertumbuhan investasi = Investasi pada tahun dasar
n = selisih tahun perkiraan dengan tahun dasar Sedangkan r dapat dihitung dengan rumus :
r = antilog 1/n (log It / Io
2.1.5. Daya tarik investasi daerah/wilayah
) – 1 ………..(2.7)
Persaingan yang semakin tajam menuntut Pemerintah Daerah menyiapkan daerahnya sedemikian rupa sehingga mampu menarik investasi, orang dan industri ke daerah. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investasi tergantung dari kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan
(43)
dengan investasi. Menurut Sirojuzilam (2011) yang juga dipertegas oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2003), bahwa faktor-faktor yang menentukan daya tarik suatu daerah terhadap investasi adalah :
1. Perekonomian Kota, yakni berkaitan dengan keunggulan komparatif dan
kompetitif suatu kota/daerah seperti potensi dan struktur ekonomi;
2. Ketenagakerjaan, yakni berkaitan dengan produktifitas tenaga kerja yang sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan;
3. Sarana dan Prasarana, yakni berkaitan dengan sarana transportasi dan sarana publik lainnya;
4. Sosial Budaya, yakni berkaitan dengan masalah keamanan, kondisi sosial kemasyarakatan dan faktor budaya;
5. Institusi, yakni berkaitan dengan pelayanan, kebijakan, keuangan dan peraturan daerah yang mendukung.
2.2. Pengembangan Wilayah
Menurut Sandy (1982) Pengembangan wilayah adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut serta mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya menurut Hadjisaroso (1994), pengembangan wilayah adalah suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah atau kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat atau memajukan dan memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada.
(44)
Pengembangan wilayah juga bermakna sebagai peningkatan aktifitas terhadap unsur-unsur dalam wilayah yang mencakup institusi, ekonomi, sosial dan ekologi dalam upaya meningkatkan tingkat dan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian, menurut Misra (1982) perencanaan dan pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu aspek geografi, aspek ekonomi, teori lokasi dan perencanaan kota. Namun, menurut Budiharsono (2005), keempat pilar di atas belum mencakup aspek-aspek lainnya yang juga memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan wilayah seperti aspek biogeofisik sosial dan lingkungan. Hal ini sedikit bebeda dengan pandangan sebagian besar para ahli ilmu ekonomi regional barat yang lebih menitik beratkan bahwa pembangunan regional mencakup kepada empat aspek utama yakni aspek kelembagaan, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek ekologi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan wilayah pada dasarnya adalah peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik disamping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat baik dalam arti jenis,intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.
2.2.1. Isu utama pengembangan wilayah
Adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis merupakan tatanan sosial yang sering menjadi ciri penting yang membedakan perkembangan wilayah di negara-negara sedang berkembang dengan negara-negara industri maju. Menurut
(45)
Rustiadi (2011), tatanan sosial yang terbagi atas masyarakat tradisional dengan masyarakat yang lebih modern kerap ditemui secara bersama-sama pada suatu wilayah. Tatanan sosial modern merupakan produk interaksi sosial dengan tatanan luar yang diimpor, sedangkan tatanan sosial tradisional merupakan corak khas milik pribumi. Sebagai implikasi berlakunya keadaan di atas, maka muncullah berbagai macam dualisme di dalam tatanan perekonomian negara-negara berkembang yakni dualisme teknologi, finansial dan regional.
Masalah lain yang muncul sebagai akibat adanya berbagai dualisme sosial ekonomi seperti diuraikan di atas adalah adanya lingkaran perangkap kemiskinan pada sektor masyarakat tradisional. Di sektor masyarakat tradisional, banyak sekali sumber daya alam yang belum dikembangkan secara optimal sebagai akibat masih terbelakangnya masyarakat tersebut dan kekurangan modal. Kenyataan ini mengakibatkan tingkat produktifitas di sektor tersebut sangat rendah yang berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang rendah. Pada kondisi tingkat pendapatan yang rendah tersebut selain kemampuan menabung yang rendah juga tingkat demand-nya rendah akibat rendahnya tingkat konsumsi. Karena tingkat
demand yang rendah kurang mendukung terhadap perkembangan ekonomi wilayah
maka rangsangan investasi di wilayah tersebut juga rendah. Akhirnya jumlah modal yang terbentuk di wilayah tersebut masih tetap di bawah yang dibutuhkan untuk memutuskan lingkaran perangkap kemiskinan tersebut.
(46)
Lingkaran perangkap kemiskinan suatu wilayah dapat semakin diperburuk dengan adanya kebocoran modal ke luar wilayah (regional linkages). Kebocoran ini terjadi akibat adanya international and interregional demonstration, yakni sifat masyarakat tertinggal cenderung mencontoh pola konsumsi di kalangan masyarakat modern. Wilayah-wilayah yang telah lebih maju memperkenalkan produk-produk yang mutuna “lebih baik” sehingga wilayah-wilayah masyarakat tradisional mingimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut. Akhirnya sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya dengan membeli produk lokal tetapi justru bocor ke luar wilayah. Dengan demikian, wilayah yang sudah lebih dulu maju dan semakin cepat perkembangan ekonominya, sedangkan wilayah yang terbelakang perkembangannya tetap lamban bahkan cenderung menurun.
2.2.2. Indikator pembangunan wilayah
Keberhasilan suatu pembangunan wilayah dapat dilihat dari beberapa indikator Pembangunan Wilayah berdasarkan basis/pendekatan sebagai berikut, (Rustiadi, 2011):
1. Pendekatan Tujuan pembangunan yang terdiri atas beberapa kelompok yaitu: a) Kelompok produktifitas, efisiensi dan pertumbuhan dengan indikator
operasionalnya antara lain :
1) Pendapatan Wilayah seperti PDRB, PDRB Perkapita dan
(47)
2) Kelayakan Finansial/Ekonomi seperti NPV, BC Ratio, IRR dan BEP
3) Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/Kompetitif seperti IQ, Shift Share Analysis
4) Produksi – produksi utama seperti migas, produksi padi/beras, karet dan kelapa sawit
b) Kelompok Pemerataan, Keberimbangan dan Keadilan dengan indikator operasionalnya antara lain :
1) Distribusi pendapatan seperti : Gini ratio, Struktural (vertikal)
2) Ketenagakerjaan/ Pengangguran, seperti pengangguran terbuka, terselubung dan setengah menganggur
3) Kemiskinan seperti Good-service ratio, persen konsumsi makanan, garis kemiskinan
4) Regional balance seperti Spatial balance, sentral balance, capital balance dan sektor balance
c) Kelompok Keberlanjutan (sustainable) dengan indikator operasionalnya antara lain:
1) Dimensi lingkungan 2) Dimensi ekonomi 3) Dimensi sosial
(48)
2. Pendekatan Sumber Daya yang terdiri atas beberapa kelompok yaitu :
a) Kelompok Sumber Daya Manusia dengan indikator operasionalnya antara lain:
1) Pengetahuan 2) Keterampilan 3) Kompetensi 4) Etos kerja / sosial
5) Pendapatan/produktifitas 6) Kesehatan
7) Indeks Pembangunan Manusia
b) Kelompok Sumber Daya Alam dengan indikator operasionalnya antara lain:
1) Tekanan
2) Dampak
3) Degradasi
c) Kelompok Sumber Daya Buatan/Sarana dan Prasarana dengan indikator operasionalnya antara lain:
1) Skalogram fasilitas pelayanan 2) Aksesbilitas terhadap fasilitas
d) Kelompok Sumber Daya Sosial dengan indikator operasionalnya sebagai berikut:
(49)
1) Regulasi (aturan-aturan adat/budaya) 2) Organisasi sosial (network)
3) Rasa percaya (trust)
3. Pendekatan Proses Pembangunan yang terdiri atas beberapa kelompok yaitu : a) Kelompok input dengan indikator operasionalnya Input dasar seperti
SDA, SDM, Infrastruktur
b) Kelompok Proses/implementasi dengan indikator operasionalnya seperti
input antara, efisensi manajemen, tingkat partisipasi
masyarakat/stakeholder
c) Kelompok Output dengan indikator operasionalnya seperti total volume produksi
d) Kelompok Outcome
e) Kelompok Benefit
f) Kelompok Impact
2.2.3. Strategi pengembangan wilayah
Dalam upaya mempercepat pengembangan suatu wilayah, diperlukan strategi-strategi pembangunan wilayah yang efektif. Strategi pembangunan yang efektif dapat dibagi dalam dua kategori yaitu, (Rustiadi, 2011) :
1. Strategi Demand Side
Strategi Demand Side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat
(50)
setempat melalui kegiatan produksi lokal. Dengan peningkatan barang-barang dan jasa-jasa tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan sektor jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. Sebagai contoh adalah program transmigrasi yang dalam perkembangannya melalui beberapa tahapan. Tahap pertama, penduduk masuk dalam stadia sub-sisten selama satu tahun dimana semua kebutuhan hidup disubsidi oleh pemerintah termasuk penyediaan sarana dan prasarana dasar. Tahap kedua, transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal lahan pekarangan dan diharapkan transmigran dapat berproduksi hingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (subsisten). Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan transmigran akan memasuki tahap ketiga yaitu stadia marketable surplus (hasil taninya telah melebihi kebutuhan keluarganya. Hal ini selanjutnya mengisyaratkan perlunya dikembangkan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan atas barang-barang olahan utama, karena itu diharapkan telah masuk dalam sstadia industri pertanian berskala kecil. Adanya industri hasil pertanian menyebabkan peningkatan permintaan hasil pertanian sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk menjual ke kota. Karena itu, income diharapkan akan meningkat sehingga semakin meningkatkan konsumsi produk-produk non pertanian. Tahap selanjutnya masuk dalam stadia industri non pertanian dalam skala kecil yang akan meningkatkan pendapatan dan permintaan barang kebutuhan sekunder. Terakhir masuk dalam kelas stadia industri umum.
(51)
Konsekuensi dai pendekatan strategi demand side adalah membutuhkan waktu yang lama karena berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan cara berpikir. Sedangkan keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.
2. Strategi Supply side
Strategi Supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumber daya alam lokal. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Selanjutnya ini akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut. Contoh dari strategi ini adalah strategi pengembangan eksploitasi sumber daya alam melalui penambangan, logging (HPH), dan lain-lain.
Keuntungan penggunaan strategi Supply side adalah prosesnya cepat sehingga efek yang ditimbulkannya cepat terlihat. Beberapa permasalahan yang sering muncul dari digunakannya strategi ini adalah timbulnya enclave karena keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keahlian dan kompetensi) penduduk lokal
(52)
sehingga seringkali hanya masyarakat tertentu dengan jumlah yang terbatas atau pendatang dari luar kawasan saja yang menikmatinya. Kemudian, sangat peka terhadap perubahan-perubahan ekonomi di luar (faktor eksternal).
2.3. Pertumbuhan Ekonomi
Persoalan pertumbuhan ekonomi (economic growth)telah mendapat perhatian yang besar, sejak munculnya ilmu ekonomi. Menurut Nanga (2005), pertumbuhan
ekonomi dibutuhkan dan merupakan sumber utama peningkatan standar hidup
(standard of livingi penduduk yang jumlahnya terus meningkat. Kata lain,
kemampuan ekonorni suatu negara untuk meningkatkan standar hidup penduduknya adalah sangat bergantung dan ditentukan oleh laju pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya (long run rate of economic growth). Tetapi menurut Senghaas (1988), yang menentukan bukanlah pertumbuhan itu sendiri melainkan dampak perluasan pertumbuhan dan sejauhmana dapat terbentuk perekonomian yang koheren dengan adanya dorongan pertumbuhan sektoral. Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikanr sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boediono, 1992). Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari beberapa pengertian diatas, dapat dimengerti bahwa pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan
(53)
ekonomi yang memiliki pengertian yaitu pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Artinya, ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu tidak saja diukur dari kenaikan produksi barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun tetapi juga perlu diukur dari perubahan lain yang berlaku dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang menggunakan data berbagai jenis produksi dengan satuan ukurannya yang beragam sangat sukar untuk memberikan gambaran tentang pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Oleh karena itu, ukuran yang digunakan untuk menaksir perubahan output adalah nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam nilai Produksi Domestik Bruto (PDB) yaitu nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara tersebut baik oleh warga negara tersebut maupun warga negara asing dalam satu tahun. Konsep lain yang juga menggambarkan perubahan output adalah Produk Nasional Bruto (PNB) yaitu nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh warga negara dari negara yang pendapatan nasionalnya dihitung. Namun, dalam analisis makro ekonomi, istilah yang sering digunakan adalah pendapatan nasional (national income) mewakili arti Produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto. Nilai Pendapatan Nasional yang digunakan adalah nilai pendapatan nasional riil yang
(54)
dihitung berdasarkan harga konstan (tetap), sebab dengan menggunakan harga konstan pengaruh perubahan harga telah dihilangkan sehingga sekalipun nilai yang muncul adalah nilai uang dari total output barang dan jasa, perubahan nilai pendapatan nasional sekaligus menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode pengamatan.
Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat digunakan rumus sebagai berikut, (Sukirno, 2011) :
�
=
�������−��������������
�
���
%
………..(2.8)dimana :
g = pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dalam persen PN riil1
PN riil
= pendapatan nasional untuk tahun dimana tingkat pertumbuhan ekonominya dihitung
0
Dalam keadaan dimana suatu Negara tidak melakukan penghitungan pendapatan nasional menurut harga konstan/tetap, untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi penghitungannya harus dilakukan dua tahap yaitu pertama, menghitung pendapatan nasional riil dengan mendeflasikan pendapatan nasional pada harga masa ini, dan kedua,menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi.
= Pendapatan nasional pada tahun sebelumnya
Untuk menghitung pendapatan nasional riil dengan mendeflasikan pendapatan nasional pada harga masa kini, dapat digunakan rumus sebagai berikut, (Sukirno, 2011) :
(55)
�������= ������ ���� ……….(2.9) dimana,
PN riiln HI
= pendapatan nasional riil tahun n n
PNn = pendapatan nasional pada tahun n
= indeks harga (pendeflasi pendapatan nasional) tahun n
2.3.1. Teori pertumbuhan ekonomi klasik
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh 4 (empat) faktor yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan. Dari keempat faktor tersebut yang menjadi titik berat perhatian mereka adalah pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari teori masing-masing ahli ekonomi klasik sebagai berikut: (Irawan dan Suparmoko, 1992).
1. Adam Smith
Menurut Adam Smith, untuk berlangsungnya perkembangan ekonomi diperlukan adanya spesialisasi atau pembagian kerja agar produktifitas tenaga kerja bertambah. Kenaikkan produktifitas ini akan menaikkan penghasilan nasional dan selanjutnya memperbesar jumlah penduduk. Penduduk tidak saja merupakan pasar karena pendapatannya naik, tetapi pendapatan yang lebih besar itu juga akan merupakan sumber tabungan yang akhirnya meningkatkan akumulasi modal.
(56)
2. David Ricardo
Menurut Ricardo, dalam masyarakat ekonomi ada tiga golongan masyarakat yaitu golongan kapitalis, golongan buruh dan golongan tuan tanah. Golongan kapitalis adalah golongan yang memimpin produksi dan memegang peranan yang penting karena mereka selalu mencari keuntungan dan menginvestasikan kembali pendapatanya dalam bentuk akumulasi kapital yang mengakibatkan naiknya pendapatan nasional lebih besar lagi. Untuk golongan buruh akan tergantung pada golongan kapitalis dan merupakan golongan terbesar dalam masyarakat. Adapun golongan tuan tanah, mereka hanya menerima sewa dari golongan kapitalis atas areal tanah yang disewakan. Apabila jumlah penduduk bertambah terus dan akumulasi kapital terus-menerus terjadi, maka tanah yang subur menjadi kurang jumlahnya atau semakin langka adanya. Akibatnya berlaku pula hukum hasil yang semakin berkurang.
3. Thomas Robert Malthus
Menurut Malthus, kenaikan jumlah penduduk yang terus-menerus merupakan unsur yang perlu untuk adanya tambahan permintaan. Tetapi kenaikan jumlah penduduk saja tanpa dibarengi dengan kemajuan faktor-faktor atau unsur-unsur perkembangan yang lain sudah tentu tidak akan menaikkan pendapatan dan tidak akan menaikkan permintaan. Agar pertumbuhan ekonomi tercipta diperlukan adanya kenaikan jumlah kapital untuk investasi yang terus-menerus.
(57)
Dari ketiga teori tokoh klasik di atas dapat diketahui bahwa apabila terdapat kekurangan penduduk, produksi marginal adalah lebih tinggi daripada pendapatan perkapita. Maka pertambahan penduduk akan menaikkan pendapatan perkapita. Akan tetapi, apabila penduduk sudah semakin banyak, hukum hasil tambahan yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu produksi marginal akan mulai mengalami penurunan. Oleh karenanya, pendapatan nasional dan pendapatan perkapita menjadi semakin lambat pertumbuhannya. Teori yang menjelaskan adanya hubungan antara pertambahan penduduk dengan pendapatan perkapita tersebut sering juga dikenal dengan teori penduduk optimum.
Secara grafik dapat digambarkan sebagai berikut :
Sumber : (Rahardja, 2001)
Gambar 2.2. Grafik Teori penduduk optimum
Pada Gambar 2.2 di atas,YPK menunjukkan tingkat pendapatan perkapita pada berbagai jumlah penduduk, dan M adalah puncak kurva tersebut. Maka
Y1
Y0
M
N0 N1
YPK
Y’PK
Pen
d
ap
atan
Per
k
ap
ita
(58)
penduduk optimal adalah jumlah penduduk sebanyak N0 dan pendapatan perkapita yang paling maksimum adalah Y0. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, kurva YPK akan terus-menerus bergerak ke atas (misalnya menjadi Y’PK). Perubahan seperti ini menyebabkan dua hal berikut :
1) Penduduk optimum akan bergeser dari N0 ke kanan menjadi N1
2) Pada penduduk optimum N1 pendapatan perkapita lebih tinggi dari Y0 yaitu menjadi Y1
2.3.2. Teori pertumbuhan ekonomi Schumpeter
Menurut Schumpeter (1934), pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh peranan pengusaha yang merupakan golongan yang akan terus-menerus membuat pembaharuan atau inovasi dalam kegiatan ekonomi. Inovasi tersebut meliputi memperkenalkan barang-barang baru, mempertinggi efisiensi cara memproduksi dalam menghasilkan barang, memperluas pasar sesuatu barang ke pasaran-pasaran yang baru, mengembangkan sumber bahan mentah yang baru dan mengadakan perubahan-perubahan dalam organisasi dengan tujuan mempertinggi keefisienan kegiatan perusahaan yang kesemuanya memerlukan investasi baru.
Di dalam mengemukakan teori pertumbuhannya, Schumpeter (1934) memulai analisisnya dengan memisalkan bahwa perekonomian sedang dalam keadaan tidak berkembang. Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Pada waktu keadaan tersebut berlaku, segolongan pengusaha menyadari tentang berbagai kemungkinan untuk mengadakan inovasi yang menguntungkan. Didorong oleh keinginan
(59)
mendapatkan keuntungan dari mengadakan pembaharuan tersebut, mereka akan meminjam modal dan melakukan penanaman modal. Investasi yang baru ini akan meninggikan tingkat kegiatan ekonomi Negara. Maka pendapatan masyarakat akan bertambah dan konsumsi masyarakat menjadi bertambah tinggi. Kenaikan tersebut akan mendorong perusahaan-perusahaan lain untuk menghasilkan lebih banyak barang dan melakukan penanaman modal baru. Maka menurut Schumpeter, investasi dapat dibedakan kepada dua golongan yaitu penanaman modal otonomi dan penanaman modal terpengaruh. Penanaman modal otonomi adalah penanaman modal yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi yang timbul sebagai akibat kegiatan inovasi. Selanjutnya menurut Shumpeter, semakin tinggi tingkat kemajuan sesuatu ekonomi semakin terbatas kemungkinan untuk mengadakan inovasi. Maka pertumbuhan ekonomi akan menjadi bertambah lambat jalannya. Pada akhirnya akan tercapai tingkat “keadaan tidak berkembang atau stationary state”.
2.3.3. Teori pertumbuhan ekonomi Harrold-Dommar
Harrod-Domar (1948) menyatakan bahwa pembentukan modal merupakan faktor utama tercapainya pertumbuhan ekonomi. Adapun dalam analisisnya menerangkan syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth dalam jangka panjang. Harrod-Domar dalam analisisnya menggunakan pemisalan-pemisalan berikut :
1) barang modal telah mencapai kapasitas penuh;
(60)
3) rasio modal-produksi (capital-output ratio) tetap nilainya; 4) perekonomian terdiri dari dua sektor
Dalam analisisnya, Harrod-Domar (1948) menunjukkan bahwa walaupun pada suatu tahun tertentu barang-barang modal sudah mencapai kapasitas penuh, pengeluaran agregat pada tahun tertentu akan menyebabkan kapasitas barang modal menjadi semakin tinggi pada tahun berikutnya. Dengan perkataan lain, investasi yang berlaku dalam tahun tertentu akan menambah kapasitas barang modal untuk mengeluarkan barang dan jasa pada tahun berikutnya.
Tingkat output suatu perekonomian mempunyai hubungan proporsional (konstan) dengan jumlah stok barang modal. Jika tingkat output dinotasikan Y dan stok barang modal dinotasikan K, maka :
Y = α K ………..(2.10)
dimana : α adalah ratio output barang modal (capital-output ratio/COR) yaitu angka
yang menunjukkan berapa jumlah output yang dapat dihasilkan dari stok modal yang tersedia. Jika perekonomian ingin meningkatkan output menjadi
∆Y maka stok barang modal harus di tambah menjadi ∆K. Dengan demikian, persamaannya akan menjadi :
∆Y = α ∆K ……….(2.11)
∆�
∆�
=
�
� ………...(2.12)
(61)
ICOR adalah besarnya tambahan stok barang modal untuk meningkatkan tambahan 1 (satu) unit output yang dapat digunakan untuk menilai kinerja investasi di suatu negara atau daerah yang nilainya selalu bervariasi. Semakin tinggi angka ICOR, semakin tidak efisien kegiatan investasi di negara atau daerah tersebut, demikian sebaliknya.
2.3.4. Teori pertumbuhan ekonomi Neo-Klasik
Teori ini dikembangkan oleh Abramovits dan Solow (2001) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada perkembangan faktor-faktor produksi. Pandangan ini dapat dinyatakan dalam persamaan :
∆Y = f ( ∆K, ∆L, ∆T)……….(2.13)
dimana :
∆Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi
∆K adalah tingkat pertumbuhan modal
∆L adalah tingkat pertumbuhan penduduk
∆T adalah tingkat perkembangan teknologi
Kemudian, dalam penelitiannya Solow (2001) membuat pembuktian secara empiris bahwa faktor terpenting untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi bukanlah pertambahan modal dan pertambahan tenaga kerja. Faktor yang paling penting adalah kemajuan teknologi dan pertambahan kemahiran serta kepakaran tenaga kerja.
2.4. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningkatan volume variabel ekonomi dari suatu sub sistem spasial suatu bangsa atau negara. Disini pertumbuhan
(62)
dimaksudkan sebagai peningkatan suatu keluaran wilayah. Peningkatan ini meliputi baik kapasitas produksi ataupun volume riil produksi. Menurut Tarigan (2004), pertumbuhan ekonomi wilayah juga dapat diartikan sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan ini diukur dalam nilai riil (dinayatakan dalam harga konstan).
Untuk menghitung besarnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (region), menurut Widodo (2006) dapat dirumuskan dengan persamaan matematis berikut :
PDRB riil1 – PDRB riil
g = x 100% ...(2.14)
0
PDRB riil dimana :
0
g = pertumbuhan ekonomi wilayah yang dinyatakan dalam
persen PDRB riil1
PDRB riil
= pendapatan regional riil untuk tahun dimana tingkat pertumbuhan ekonominya dihitung
0 = Pendapatan regional riil pada tahun sebelumnya
2.4.1. Teori pertumbuhan ekonomi wilayah
Pola pertumbuhan ekonomi regional tidaklah sama dengan apa yang lazim ditemukan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini pada dasarnya disebabkan pada analisa pertumbuhan ekonomi regional. Namun demikian, kedua kelompok ilmu ini juga mempunyai ciri yang sama yaitu memberikan tekanan pada unsur waktu yang merupakan faktor penting dalam analisa pertumbuhan ekonomi. Karena teori
(63)
ekonomi regional memberikan juga pada unsur space, maka faktor-faktor yang menjadi perhatian juga berbeda dengan apa yang lazim dibahas pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi nasional faktor-faktor yang sangat diperhatikan adalah modal, lapangan pekerjaan dan kemajuan teknologi yang bisa muncul dalam berbagai bentuk. Sedangkan pada teori pertumbuhan ekonomi regional faktor-faktor yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi, aglomerasi migrasi dan arus lalulintas modal antar wilayah. Lebih lanjut dikatakan oleh Glasson (1977), bahwa pertumbuhan regional ditentukan oleh faktor endogen ataupun exogen yaitu faktor yang terdapat di dalam daerah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah atau kombinasi dari keduanya. Adisasmita (2008) mengatakan bahwa pertumbuhan dari dalam wilayah dilihat dari segi hubungan struktural (keterkaitan antar sektor) dan hubungan fungsional (interaksi antar sub sistem dalam suatu wilayah). Sedangkan pertumbuhan dari luar wilayah yaitu keterkaitan suatu wilayah dengan wilayah lain diluarnya.
Adapun beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, antara lain (sirojuzilam, 2010) :
1. Export Base-Models yang dipelopori oleh North (1955) yang kemudian
dikembangkan oleh Tiebout (1956).
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi pemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah yang bersangkutan yang juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari daerah-daerah lain.
(64)
Pendapatan yang diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan - kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja, keuntungan - keuntungan eksternal dan pertumbuhan ekonomi regional lebih lanjut. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional.
2. Neo-Classic, yang dipelopori oleh Stein (1964) yang kemudian dikembangkan
oleh Roman (1965) dan Siebert (1969).
Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Lebih khusus teori ini menganalis pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional. Dengan kata lain, untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda dengan yang dibutuhkan. Jika lebih banyak modal yang digunakan, maka lebih banyak tenaga kerja yang digunakan.
3. Cummulative Causation Models, yang dipelopori oleh Myrdal (1975) yang
kemudian dikembangkan oleh Kaldor.
Teori ini berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak hanya dapat diserahkan pada kekuatan pasar (market mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk program - program
(65)
pembangunan regional terutama untuk daerah – daerah yang relatif masih terbelakang. Lebih jauh teori ini menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect” dan “Back Wash Effect”.
Spread Effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah
kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk daerah-daerah miskin dengan demikian mendorong pertumbuhannya. Namun Myrdal yakin bahwa dampak
spread effect ini lebih kecil daripada back wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin tersebut terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi.
4. Core Periphery Models, yang dipelopori oleh Friedman (1966).
Teori ini menekankan analisa pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery). Menurut teori ini, gerak langkah pembangunan daerah perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan desa-desa disekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan pedesaan tersebut juga sangat ditentukan oleh arah pembangunan perkotaan. 5. Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dipelopori oleh Francois Perroux
(1)
Correlations
Unstandardized
Residual Investasi (X) Spearman's rho Unstandardized Residual Correlation Coefficient 1.000 -.033
Sig. (2-tailed) . .830
N 44 44
Investasi (X) Correlation Coefficient -.033 1.000
Sig. (2-tailed) .830 .
(2)
Lampiran 8. Pengujian Model Regresi Investasi terhadap Pendapatan Perkapita
Regression
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered
Variables
Removed Method
1 Investasi (X)a . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Pendapatan percapita
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .982a .964 .963 .04980 1.811
a. Predictors: (Constant), Investasi (X) b. Dependent Variable: Pendapatan percapita
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 2.784 1 2.784 1122.674 .000a
Residual .104 42 .002
Total 2.888 43
a. Predictors: (Constant), Investasi (X) b. Dependent Variable: Pendapatan percapita
(3)
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) .046 .047 .969 .338
Investasi (X) .040 .001 .982 33.506 .000
a. Dependent Variable: Pendapatan percapita
Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value .8953 2.0649 1.6073 .25446 44
Residual -.07351 .10585 .00000 .04922 44
Std. Predicted Value -2.798 1.798 .000 1.000 44
Std. Residual -1.476 2.125 .000 .988 44
(4)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 44
Normal Parametersa,,b Mean .0000000
Std. Deviation .04921782
Most Extreme Differences Absolute .142
Positive .142
Negative -.091
Kolmogorov-Smirnov Z .941
Asymp. Sig. (2-tailed) .339
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
(5)
Correlations
Unstandardized
Residual Investasi (X) Spearman's rho Unstandardized Residual Correlation Coefficient 1.000 .028
Sig. (2-tailed) . .859
N 44 44
Investasi (X) Correlation Coefficient .028 1.000
Sig. (2-tailed) .859 .
(6)
Lampiran 9. Output SPSS Proyeksi Investasi
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered
Variables
Removed Method 1 INVESTASI/PMT
Ba
. Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PDRB
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .956a .913 .904 48487.62531
a. Predictors: (Constant), INVESTASI/PMTB
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -210021.882 114953.763 -1.827 .101
INVESTASI/PMTB 6.866 .706 .956 9.731 .000