BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah sebagai salah satu unsur utama bagi kesejahteraan rakyat. Memang kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat berteduh,
disamping sandang dan pangan merupakan salah satu hal yang dirasakan setiap orang. Dalam masyarakat yang adil dan makmur, sudah saatnya rakyat memiliki
tempat tinggal yang layak. Rumah bagi rakyat juga penting dalam iklim pembangunan Negara, seperti yang sudah diterapkan oleh MPRS
1
dan GBHN
2
Pemilikan rumah oleh masyarakat dapat terdiri dari berbagai cara, diantaranya pemberian subsidi rumah oleh pemerintah bagi pegawai negeri
khususnya, dan secara umumnya adalah melalui peralihan hak dan atau jual khususnya, dan secara umumnya adalah melalui hak dan atau jual beli. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya semua masyarakat adalah konsumen perumahan, dimana sudah sewajarnya untuk dilindungi oleh peraturan
Pada masa sekarang ini, pertumbuhan sektor perumahan di tanah air terbilang sangat pesat pertumbuhannya didorong oleh meningkatnya permintaan
masyarakat akan perumahan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
1
Sudargo Gautama. 1984. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Perumahan dan Peraturan Sewa-Menyewa. Alumni. Bandung. h.2. “Dalam Ketetapan MPRS no.IIMPRS1960
tanggal 3 desember 1960 dijelaskan mengenai kebutuhan akan perumahan dan program kerja yang harus dilaksanakan.”
2
AP. Parlindungan. 1997. Komentar atas Perumahan dan Pemukiman dan Undang- Undang Rumah Susun. Mandar Maju. Bandung. h. 200, “Dalam GBHN, diterapkan bahwa
pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan upaya untuk memnuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada
pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja serta mengerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.”
1
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan jual beli rumah, untuk menghindari kerugian yang dapat dialami oleh setiap konsumen.
Adalah suatu realita dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian, peranan konsumen cukup penting, tetapi ironisnya sebagai salah satu perilaku
ekonomi, dalam hal perlindungan hukum, posisi konsumen sangat lemah. Salah satu bukti adalah keberadaan perjanjian baku dalam praktek perdagangan sehari-
hari. Perjanjian standar baku sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno.
Plato 423-347 SM misalnya, oernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihah oleh penjual, tanpa memperhatikan
perbedaan mutu makanan tersebut”. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen penjual tidak lagi sekedar masalah
harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih mendetail. Selain itu, barang- barang yang diatur dengan perjanjian standar juga makin bertambah. Di
Indonesia, perjanjian standar merambah ke pasar property dengan cara-cara yang secara yuridis masih controversial, misalnya dalam hal satuan rumah susun,
diperbolehkan melakukan pembelian secara inden dalam bentuk perjanjian standar. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan
kepraktisan bagi para pihak yang bersangkutan.
3
3
Shidarta. 2000. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN INDONESIA. Grasindo,
Jakarta., h.119.
Universitas Sumatera Utara
Secara sederhana, perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
4
1 Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatiif
lebih kuat dari konsumen ; 2
Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian ; 3
Dibuat dalam bentuk tertulis dan missal 4
Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.
Sebagai perjanjian standar, biasanya perjanjian jual beli tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen perumahan karena dibuat
secara sepihak oleh developer. Faktor subjektifitas atau kepentingan developer lebih dominan dimasukan dalam perjanjian standar perumahan, kependudukan
konsumen dan developer tidak seimbang. Posisi developer yang dominan ini membuka peluang untuk cenderung menyalahgunakan kedudukannya.
Salah satu bukti ketidakseimbangan kedudukan antara developer dengan konsumen dapat dilihat jika tejadi pengaduan pelanggaran hak-hak individual dan
pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan. Dari jenis pengaduan konsumen perumahan yang sampai pada YLKI,
secara umum ada dua yakni :
Pertama, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya
pelangaran hak-hak individual konsumen perumahan. seperti mutu bangunan dibawah standar, ukuran surat tanah tidak sesuai dan lain-lain.
4
Sudaryatmo. 1999. HUKUM DAN ADVOKASI KONSUMEN. Citra Aditya Bakti,
Bandung., h.93.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelangaran hak-hak
kolektif konsumen perumahan, seperti tidak dibangunnya fasilitas sosialumum. Sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaiminformasi dalam iklan,
brosur, dan pameran perumahan.
5
a. Bagi perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman guna
memperlancar perolehan dana murah dan kepastian pasar. Pada saat sekarang ini terlihat telah berkembang kebiasaan pemasaran
property khususnya satuan rumah, sebelum rumah-rumah yang dipasarkan tersebut selesai dibangun, bahkan tidak jarang terjadi pada saat masih
direncanakan. Hal tersebut diatas ditempuh berdasarkan pertimbangan ekonomi yaitu :
b. Bagi pembeli atau konsumen agar harga jual rumah lebih rendah karena calon
pembeli membayar sebagian dimuka. Langkah-langkah yang ditempuh perusahaan pembangunan perumahan
dan pemukiman dan konsumen tersebut diatas menimbulkan adanya jual beli secara pesan lebih dahulu, sehingga menyababkan adanya perjanjian jual beli
pendahuluan Preliminary purchase, yang selanjutnya dituangkan dalam akta perikatan jual beli satuan rumah.
Dalam pengadaan perjanjian pengikatan jual beli rumah, yakni perjanjian yang diadakan oleh developer dan konsumen sebelum akta jual beli dan serah
terima bangunan dilaksanakan,pemerintah telah melakukan pengawasan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Preumahan Rakyat No. 09 Tahun 1995
5
Ibid, h.43.
Universitas Sumatera Utara
tentang Pedoman Pengikat Jual Beli Rumah, untuk melindungi konsumen. Namun, surat Keputusan tersebut dikeluarkan sebelum adanya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, dan sampai sekarang belum ada peraturan yang direvisi mengingat lahirnya undang-undang
perlindungan konsumen ini. Maka penulis menganggap penting pembahasan mengenai Hukum
Perlindungan Konsumen melalui berbagai peraturan yang terkandung didalamnya mencoba mengatasi masalah-masalah yang dialami konsumen dengan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen.
B. Permasalahan