37
2. Syarat-syarat Membuka Lahan
35
1. Syarat pelaku al muhyi Muhyi adalah orang yang melakukan pembukaan lahan yang
menjadi sebab kepemilikan, menurut Jumhur Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak disyaratkan beragama Islam. Hal ini berdasarkan redaksi
hadits yang umum orang yang membuka lahan, dia pemiliknya ; dan juga karena membuka lahan adalah salah satu sebab kepemilikan. Dalam
hal ini muslim dan non-muslim sama.
36
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan si pembuka lahan adalah muslim, seorang dzimmi tidak berhak melakukannya, sekalipun mendapat izin dari
Pemerintah. Sebab membuka lahan berarti menguasainya. Jika seorang dzimmi membuka lahan, maka ia bebas dari kewajiban pajak.
2. Syarat lahan yang hendak dibuka al muhyat a. Bukan lahan yang telah miliki seseorang baik muslim ataupun
dzimmi dan bukan hak perorangan. b. Tidak dimanfaatkan oleh penduduk perkampungan, baik jauh ataupun
dekat. c. Menurut ulama Syafiiyah lahan itu berada di wilayah Islam. Jika
berada di wilayah non-muslim, seorang muslim berhak membukanya
35
AI-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h. 4625-4627
36
Akan tetapi, penulis Al Mughni Wa as Syarh al Kabir mencatat, Imam Malik membatasi ketentuan ini pada wilayah taklukan, tidak pada wilayah islam. Dalam
wilayah islam, seorang dzimmi tidak berhak membuka lahan kosong. Lih. Ibn Qudamah al-Mukadasiy, Al Mughni Wa as Syarh al kabir, h. 150
38
jika pemiliknya tidak mencegahnya. Sedang ulama Jumhur selain Syafi’iyah tidak menysaratkan ketentuan ini, tidak ada beda antara
wilayah Islam ataupun non-muslim.
37
3. Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan a. Menurut Abu Hanifah, harus memperoleh izin dari pemerintah.
Apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu. Menurut ulama Malikiyah jika
lahan itu dekat dengan pemukiman, untuk menggarapnya harus mendapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman
tidak perlu izin dari pemerintah. Sementara ulama Syafiiyah, Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani keduanya pakar
fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi obyek ihya al-mawât
jika ingin digarap oleh seseorang tidak perlu mendapat izin dari pemerintah karena harta seperti itu adalah harta yang boleh
dimiliki oleh setiap orang, namun dianjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.
b. Menurut ulama Hanafiyah, lahan itu sudah harus digarap dalam waktu tiga tahun jika selama tiga tahun lahan itu tidak digarap secara intensif,
37
Di antara argumen yang dapat disebutkan adalah bahwa wilayah non-muslim dapat diperoleh dengan cara penaklukan secara paksa atau perdamaian. Di sinilah
relevansi ghanimah dan fay, seperti dalam ulasan tentang tanah. Ibn Qudamah al- Mukadasiy, Al mughni Wa as Syarh al Kabir, h. 150
39
maka pihak pemerintah berhak mengambil lahan itu, serta memberikannya kepada orang lain.
38
D. Al-Iqta