BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan teori terbentuknya negara
1
, sesungguhnya negara terbentuk dari sekelompok individu yang saling berinteraksi satu sama lain hingga
membentuk keluarga, berlanjut hingga membentuk masyarakat dan suku-suku. Sampai disini manusia membentuk persekutuan-persekutuan tersebut masih
didorong oleh kebutuhan alamiah. Namun manusia tidak berhenti sebatas kebutuhan alamiah semata akan tetapi terus berlanjut menyentuh kepentingan
yang mengakibatkan persekutuan-persekutuan tersebut membentuk suatu entitas masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya dengan membentuk
negara. Dengan kata lain negara dibentuk tidak hanya memenuhi kebutuhan semata tetapi juga untuk memenuhi kepentingan-kepentingan manusia.
2
Negara adalah lanjutan dari keinginan manusia yang hendak bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan
hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada sesuatu organisasi negara yang
1
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 14 Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat
obyektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang tugas negara adalah menciptakan hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin, atau para penguasa yang dipilih
secara saksama oleh rakyat. Disinilah tersimpul pikiran Demokratis daripada Socrates. Ia selalu menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu menaati
undang-undang.
2
Fitra Waluyandi, Mengapa Manusia membentuk negara?, dikutip dari http:guru-
ppkn.blogspot.com201410mengapa-manusia-membentuk-negara.html , diakses pada tanggal 12
Maret 2015, pukul 14.08 WIB
akanmelindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.
3
Dikaitkan dengan hukum internasional, definisi negara dikemukakan lebih lengkap oleh Henry C. Black. Ia
mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya,
mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.
4
Hal ini tidak jauh berbeda dengan unsur suatu negara yang tercantum dalam Pasal 1 Montevideo Pan
American Convention on Rights and Duties of States of 1933. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
5
a. a permanent population;
“The State as a person of international law should possess the following qualifications:
b. a defined territory;
c. a government; and
d. a capacity to enter into relation with other States.”
Pada unsur keempat ini, Oppenheim-Lautherpacht menggunakan kalimat “pemerintah harus berdaulat” sovereign.
6
3
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: Armico, 2002, hlm. 27
4
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 2
5
Montevideo Pan American Convention on Rights and Duties of States of 1933. Konvensi Montevideo ini disahkan pada konverensi Internasional negara-negara Amerika di kota
Montevideo yang ke-7 pada 26 Desember 1933. Lima belas negara Amerika Latin yang menghadiri konvensi ini dan Amerika Serikat juga adalah peserta konvensi ini. Konvensi ini, dan
terutama pasal 1 nya, telah diterima dan dianggap sebagai unsur-unsur yang umum sebagai prasyarat adanya suatu negara menurut Hukum Internasional.
6
Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan tertinggi yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kebebasan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.
Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara.Bila
dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas
wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.Di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki
kekuasaan demikian.
7
Unsur inilah yang paling penting dari segi hukum internasional.Ciri ini pula yang membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-
anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota
masyarakat internasional yang mandiri.
8
7
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm 16
8
loc.cit, Huala Adolf
Sama halnya seperti manusia, negara tidak dapat berdiri sendiri untuk mencapai tujuannya, dia membutuhkan negara lain yang dapat membantunya
untuk memenuhi kebutuhan negaranya tersebut. Seiring perkembangan globalisasi internasional, membuat semakin berkembang pula kepentingan suatu negara
terhadap negara lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hal ini dirasakan masyarakat internasional dewasa ini bukan saja karena meningkatnya kepentingan
negara-negara di dunia dalam segala bidang, tetapi juga untuk menciptakan suasana yang lebih aman dan damai dalam lingkungan pergaulan
internasional.Kepentingan tersebut terdiri dari bermacam-macam bidang, seperti contohnya dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan lain
sebagainya.
Saling membutuhkan antara negara-negara di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus-
menerus antara negara-negara, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian.Karena kebutuhan antar negara-
negara timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.
9
Oleh karena kepentingan tersebut menyangkut kepentingan banyak negara, maka perlu diatur melalui hukum internasional agar kepentingan masing-masing
negara dapat terjamin. Hukum internasional sebagaimana yang dimaksud diatas, dapat diimplementasikan dalam bentuk suatu perjanjian internasional, dimana
suatu negara dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian internasional itu sendiri dengan negara lain atau bahkan dengan suatu organisasi internasional.
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah seperti yang tercantum pada Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang berbunyi:
10
9
op.cit, Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, hlm. 13
“treaty, means an international agreement concluded between States in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”
10
Bung Pokrol, Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan Perjanjian Internasional?, dikutip dari
http:www.hukumonline.comklinikdetailcl4268konvensi-wina-1969-induk-pengaturan- perjanjian-internasional
?, diakses pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 18.06 WIB. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Vienna Convention 1969 mengatur mengenai Perjanjian
Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980.
Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt
servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969, Perjanjian Internasional antar Negara
diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan- keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional sekarang sudah tidak
ada lagi maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional sebagai perwujudan dari opinio juris.
Perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi perjanjian internasional tertulis dan perjanjian internasional tidak tertulis.
11
Perjanjian internasional tertulis adalah setiap perjanjian internasional yang dituangkan dalam instrumen-instrumen
pembentuk perjanjian yang tertulis dan formal.Maksudnya adalah perjanjian ini dituangkan dalam suatu instrumen tertulis yang pembentukannya memiliki
prosedur atau aturan tertentu berdasarkan hukum internasional, sehingga instrumen tertulis itu menjadi instrumen otentik. Instrumen-instrumen tertulis ini,
sebagai contoh, antara lain: konvensi convention, protokol protocol, persetujuan agreement, statuta statute, deklarasi declaration, dan sebagainya.
Sedangkan, perjanjian internasional tidak tertulis dapat diartikan sebagai setiap perjanjian internasional yang dibuat melalui instrumen-instrumen tidak
tertulis.Instrumen tidak tertulis dapat berupa ucapan lisan, tindakan tertentu dari negara atau subjek hukum internasional lainnya dan tulisan yang pembentukannya
tidak melalui atau membutuhkan prosedur tertentu.
12
Sebagai subjek hukum internasional penuh, setiap negara memiliki kemampuan membentuk perjanjian internasional.Hal ini berbeda dengan
organisasi internasional, karena tidak semua organisasi internasional mempunyai kemampuan tersebut. Perbedaan ini terlihat apabila Pasal 6 Vienna Convention
1969, yang menentukan:
13
Every State possesses capacity to conclude treaties, dibandingkan dengan Pasal 6 Vienna Convention 1986, yang berbunyi:
14
11
F. A. Whisnu Situni, Indentifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989, hlm. 32
12
op. cit, Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, hlm. 33
13
ibid., hlm. 34
14
Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986
The
capacity of an international organization to conclude treaties is governed by the rules of that organization.
Suatu organisasi internasional dibentuk dan didirikan melalui suatu konferensi internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang
merupakan anggaran dasarnya yang biasa disebut piagam, covenan, atau statuta, atau dengan istilah yang lebih umum disebut juga dengan konstitusi dari
organisasi internasional.Atas dasar piagam atau konstitusinya itulah suatu organisasi internasional didirikan.Di dalam piagamnya itu ditentukan tentang
asas-asas dan tujuan dari organisasi internasional maupun organ-organ serta mekanisme bekerjanya.
15
Meskipun anggota-anggotanya adalah negara-negara, tetapi kedudukan organisasi internasional itu tidaklah diatas negara, melainkan sejajar atau sederajat
dengan negara-negara.Justru karena kedudukannya yang sederajat dengan negara- negara itulah, maka organisasi internasional dapat mengadakan dan terlibat dalam
hubungan-hubungan internasional, seperti halnya negara dan subyek hukum internasional lainnya. Atau seperti dikemukakan G. I. Tunkin: “international
organizations are not situated above international relations, but are within the system of these relations”.
16
Hak, kekuasaan, dan kewenangan suatu organisasi internasional dalam mengadakan hubungan-hubungan internasional atau menjadi pihak dalam suatu
perjanjian internasional, terbatas pada bidang dan ruang lingkup kegiatannya atau apa yang menjadi maksud dan tujuan dari organisasi internasional itu
15
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag:1, Bandung: CV. Mandar Maju, 2002, hlm. 22
16
ibid
sendiri.
17
Misalnya ASEAN Association of Southeast Asian Nations sebagai salah satu organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara.ASEAN
yang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 pada hakikatnya merupakan organisasi regional yang tertutup closed regional organization karena
keanggotaannya tidak terbuka untuk kelompok negara-negara lainnya.Keanggotaan ASEAN hanya negara-negara yang termasuk di dalam
kawasan Asia Tenggara.
18
Sebagaimana ketentuan dalam isi Bangkok Declaration keempat: “… the association is open for participation to all States in the South-
East Asian Region…”
19
1. To accelerate the economic growth, social progress and cultural
development in the region through joint endeavours in the spirit of equality and partnership in order to strengthen the foundation for a
prosperous and peaceful community of South-East Asian Nations; Kewenangan ASEAN dalam mengadakan hubungan-hubungan
internasional pun terbatas pada tujuan pembentukan ASEAN itu sendiri yang tercantum dalam Bangkok Declaration, yaitu:
2. To promote regional peace and stability through abiding respect for
justice and the rule of law in the relationship among countries of the region and adherence to the principles of the United Nations Charter;
3. To promote active collaboration and mutual assistance on matters of
common interest in the economic, social, cultural, technical, scientific and administrative fields;
4. To provide assistance to each other in the form of training and
research facilities in the educational, professional, technical and administrative spheres;
17
ibid., hlm. 23
18
Anggota IKAPI, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, PT Alumni, Bandung, 1997, hlm. 83
19
The ASEAN Declaration Bangkok Declaration, Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan landasan kesepakatan untuk mengadakan kerja sama
regional dalam bidang
ekonomi ,
sosial dan
kebudayaan di Asia Tenggara. Deklarasi ini ditandatangani oleh ketua delegasi dari lima negara
yang terdiri dari Adam Malik
Menteri Luar Negeri Indonesia, Tun Abdul Razak
Wakil Perdana Menteri Malaysia,
Narciso Ramos Menteri Luar Negeri Filipina,
S. Rajaratnam Menteri Luar
Negeri Singapura dan Thanat Khoman
Menteri Luar Negeri Thailand. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan pendirian perhimpunan di kawasan
Asia Tenggara ASEAN
.
5. To collaborate more effectively for the greater utilization of their
agriculture and industries, the expansion of their trade, including the study of the problems of international commodity trade, the
improvement of their transportation and communications facilities and the raising of the living standards of their peoples;
6. To promote South-East Asian studies;
7. To maintain close and beneficial cooperation with existing
international and regional organizations with similar aims and purposes, and explore all avenues for even closer cooperation among
themselves.
20
Disamping itu, untuk diakui statusnya di dalam hukum internasional baik sebagai organisasi internasional maupun organisasi regional, suatu organisasi
memerlukan tiga syarat penting.Pertama, adanya persetujuan internasional. Dalam pembentukan ASEAN, para negara pendirinya, yaitu Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand membentuk ASEAN tanpa perjanjian atau persetujuan yang akan diratifikasi oleh anggotanya melainkan hanya dengan suatu
Deklarasi yang ditandatangani oleh kelima wakil negara tersebut. Dengan demikian, adanya persetujuan internasional dalam arti multilateral adalah tidak
mutlak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Henry G. Scohremen:
“Agreements between States can be expressed in other ways. Their representatives assembled in a conference, may decide to establish a
public international organization without using the form of a treaty and without the usual proviso for subsequent ratification by each of States”
21
Kedua, harus memiliki badan-badan penggerak organisasi atau struktur organsasi. Dalam hal ini, ASEAN telah membentuk badan-badan seperti Sidang
Tahunan Menteri Luar Negeri Annual Meeting of Foreign Ministers yang
20
Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hlm. 145
21
op.cit, Henry G. Scohremen, sebagaimana dikutip oleh Anggota IKAPI, hlm. 84
merupakan badan tertinggi dari ASEAN yang diadakan secara bergiliran di ibukota masing-masing negara anggota, Standing Committee yang melakukan
tugas-tugas ASEAN selama antar Sidang Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN, Ad HocCommittee dan Permanent Committees serta Sekretariat Nasional yang
dibentuk di setiap negara anggota. Ketiga, pembentukannya harus dibawah hukum internasional. Jika dilihat
baik Bangkok Declaration 1997, Kuala Lumpur Declaration 1971, Declaration of ASEAN Concord 1976, Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat
1976 maupun Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia 1976, semuanya adalah merupakan persetujuan-persetujuan internasional antara kelima
negara anggotanya yang mengikat secara hukum internasional. Kembali merujuk pada syarat kedua, dalam pendirian ASEAN diperlukan
suatu badan yang berfungsi sebagai badan administratif yang membantu koordinasi kegiatan ASEAN dan menyediakan jalur komunikasi antara negara-
negara anggota ASEAN dengan berbagai badan dan komite dalam ASEAN, serta antara ASEAN dengan negara-negara lain Mitra Wicara ASEAN maupun
organisasi lainnya.Oleh karena itu pada KTT ke-1 ASEAN di Bali tahun 1976, para Menteri Luar Negeri ASEAN menandatangani Agreement on the
Establishment of the ASEAN Secretariat. Sekretariat ASEAN berfungsi sejak tanggal 7 Juni 1976, dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderal, dan berkedudukan
di Jakarta yang semula bertempat di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia hingga diselesaikannya pembangunan gedung Sekretariat ASEAN di Jakartatahun
1981.
Selanjutnya untuk memperkuat Sekretariat ASEAN, para Menteri Luar Negeri ASEAN mengamandemen Agreement on the Establishment of the ASEAN
Secretariat melalui sebuah protokol di Manila tahun 1992. Protokol tersebut menaikkan status Sekretariat Jenderal sebagai pejabat setingkat Menteri dan
memberikan mandat tambahan untuk memprakarsai, memberikan nasihat, melakukan koordinasi, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ASEAN.
22
B. Perumusan Masalah