Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Dalam periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdah pokok, yaitu kebanyakan
benda-banda wakaf diperuntukan untuk pembangunan fisik, seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan
wakaf belum memberikan distribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.
Kita harus akui bahwa pola pengelolaan dan pemberdayaan wakaf yang selama ini sudah berjalan masih tradisional dan bersifat konsumtif. Hal
tersebut bisa kita ketahui melalui beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut:
4
a. Kepemimpinan
Corak kepemimpinan dalam kenazhiran masih sentralistrik otoriter dan tidak ada sistem kontrol yang memadai.
b. Rekruitmen SDM kenadziran
Banyak nadzir wakaf yang hanya didasarkan pada aspek ketokohan seperti ulama, kiyai, ustadz, dll. Melainkan bukan aspek profesionalisme atau
kemampuan mengelola, sehingga akhirnya banyak benda-benda wakaf yang tidak terurus atau terkelola secara baik.
c. Operasionalisasi pemberdayaan
4
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005, h. 106.
Operasionalisasi pemberdayaan yang digunakan tidak jelas, karena lemahnya Sumber Daya Manusia, visi dan misi pemberdayaan, dukungan
pemerintah yang belum maksimal. d.
Pola pemanfaatan hasil Dalam upaya pemanfaatan hasil wakaf masih banyak yang bersifat
konsumtif, sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. e.
Sistem kontrol dan pertanggungjawaban Sebagai risiko dari pola kepemimpinan yang sentralistik dan lemahnya
operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada lemahnya kontrol, baik yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha maupun keuangan.
f. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung
terbatas pada wakaf benda tidak bergerak. g.
Bantuan dari badan sosial kebanyakan efektif untuk membantu dalam jangka pendek saja, tetapi kurang terprogram untuk jangka panjang Long
term. 2.
Periode semi profesional Pada periode semi profesional, pengelolaan wakaf secara umum sama
dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif meskipun belum maksimal.
Seperti masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainya.
3. Periode profesional
Periode ini adalah sebuah kondisi, dimana wakaf mempunyai kekuatan ekonomi umat mulai diperhatikan, dilirik untuk diberdayakan secara
profesional atau produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek manajemen Sumber Daya Manusia kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk
benda bergerak seperti uang dan surat berharga lainnya bahkan Political Will pemerintah secara penuh dan nyata, salah bentuknya adalah lahirnya undang-
undang wakaf. Berbicara mengenai wakaf tunai uang pada masa sekarang, itu
merupakan aset yang sangat berharga. Hal ini seiring berkembangannya sistem perekonomian dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inovasi baru. Wakaf
ini pertama kali di pelopori oleh seorang pakar ekonomi yang bernama M. A. Mannan. Memang munculnya gagasan wakaf tunai mengejutkan banyak
kalangan, khususnya para ahli dan praktisi ekonomi Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya,
bahwa wakaf itu yang umumnya ada di Indonesia berbentuk benda tidak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Ditilik dari manfaatnya K.H. Didin
Hafidhuddin menjelaskan wakaf uang ini termasuk salah satu wakaf produktif, karena merupakan sesuatu yang bisa diusahakan atau digulirkan untuk kebaikan
dan kemashlahatan umat.
5
5
Budianto, Herman, Sempurnakan Kemulyaan Ramadhan Dengan Berwakaf Tunai, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia, 2006, h. 20.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang di Indonesia mulai diperbolehkan.
6
Selain itu juga pada tanggal 27 Oktober 2004 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang yang terbaru, yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf, yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkaitan dengan perwakafan, khususnya yang berkenaan dengan wakaf
benda yang bergerak. Artinya di sini selain adanya fatwa MUI yang telah disebutkan di atas, bahwa diperbolehkan wakaf tunai yang ada di Indonesia
diperkuat lagi dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Lahirnya undang-undang perwakafan ini berdasarkan atas beberapa
pertimbangan, sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai
tujuan tersebut perlu diusahakan menggalidan mengembangkan potensi yang terdapat dalam Lembaga Keagamaan yang memiliki manfaat ekonomi.
Memang regulasi peraturan perwakafan yang ada di Indonesia sampai saat ini telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, akan tetapi
vakum dan berkembangnya institusi wakaf itu sendiri tergantung kepada nazhirnya pengelola wakaf. Memang sebelum lahirnya Undang-Undang No. 41
6
Ibid., h. 21.
Tahun 2004 tentang wakaf, wacana wakaf masih berkisar pada perwakafan tanah, artinya di sini belum menyentuh pada aspek pemberdayaan ekonomi umat yang
melibatkan banyak pihak. Sehingga perwakafan yang ada di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan, karena kendala formil yang belum mengatur tentang benda
wakaf bergerak yang mempunyai peran sangat sentral dalam pengembangannya. Apalagi diperparah oleh nazhir yang kurang atau tidak profesional dalam
pengelolaan harta benda wakaf. Pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam
pengembangan paradigma baru wakaf di Indonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda
wakaf, maka dalam pengembangan yang baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu
sendiri. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek kemanfaatannya tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem manajemen pengelolaan yang
dilakukan oleh nazhir itu sendiri. Untuk itu sebagai salah satu elemen penting dalam pengelolaan dan
pemberdayaan wakaf tunai, sistemnya harus ditampilkan lebih profesional dan modern, baik dari kelembagaan, pengelolaan operasional, kehumasan, sistem,
keuangan dan lain-lain. Maka dari itu Tabung Wakaf Indonesia TWI merupakan peluncuran baru
Dan akhirnya pada tanggal 14 Juli 2005, Dompet Dhuafa melauncingkan unit
baru yang bernama Tabung Wakaf Indonesia TWI sebagai jawaban dan solusi atas permasalahan wakaf. Diharapkan dari Tabung Wakaf Indonesia dapat
melakukan optimalisasi wakaf serta pelaksanaannya menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf tunai, sehingga wakaf dapat efektif dan
menjadi penggerak ekonomi umat. Meninjau dari pembahasan di atas, penulis merasa tertarik untuk
membahas mengenai Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Tunai yang sedang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia
TWI. Oleh karena itu penulis mengambil skripsi dengan judul ” Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Tunai
Pada Lembaga Tabung Wakaf Indonesia ”.