bagian dari hasil rampasan perang kepada mereka. Ketika sahabat bertanya, Rasul bersabda; ‘kalau saya dikira tidak adil, maka siapa lagi yang adil itu?”.
Entah beberapa lama kemudian, semua orang yang tadinya menerima pemberian Nabi SAW. dan yang masih ‘ragu’ dengan kenabian Muhammad,
mereka datang dengan membawa sejumlah warga atau sukunya menyatakan Islam dihadapan Nabi SAW. Maka sahabat-sahabat yang semula bertanya-
tanya, menjadi lebih mengerti tentang sikap Rasul terhadap orang-orang yang disebut ‘muallaf’ itu.
57
Dikalangan Islam, bukan hanya sekedar mereka yang baru pindah ke Islam, tetapi jika mereka sudah mulai ragu dengan kepercayaan
yang telah dimiliki, sementara ada tanda-tanda keinginan mereka ke Islam, mereka pun sudah bisa dikategorikan pada ‘muallaf’. Mereka yang demikian
itu adalah orang-orang yang tengah menanti ‘hidayah’ sampai kepada ‘taufiq’ dari Allah SAW.
2. Kedudukan Muallaf Dalam Islam
Berdasarkan pengertian muallaf yang telah dijelaskan di atas bahwa muallaf adalah orang yang hatinya dijinakkan agar cenderung kepada Islam
dan orang yang baru mengetahui dan belum memahami ajaran Islam. Oleh karena itu, mereka berada pada posisi yang membutuhkan pembinaan,
bimbingan seputar agama Islam. Pada masa Nabi SAW para muallaf tersebut diposisikan sebagai penerima
zakat untuk menjamin kelestarian mereka kepada Islam dengan terus
57
Abujamin Rohman, Ensiklopedi Lintas Agama, Jakarta: PT. Intermasa, h. 429
memberikan pembinaan dan pengajaran tentang agama Islam. Alasan Nabi SAW. memberikan zakat kepada mereka adalah menyatukan hati mereka pada
Islam. Oleh karena itu mereka dinamakan al-Muallafah Qulubuhum.
58
Pada masa pemerintahan Abu Bakar para muallaf tersebut masih menerima zakat
seperti yang dicontohkan Nabi SAW. Hampir semua sahabat Nabi saw adalah muallaf. Mungkin dari golongan
assabiqunal awwalun, hanya sedikit saja yang tidak muallaf, sebab mereka masuk Islam dari sebelum dewasa, misal Imam Ali kw, Sayyidah Fathimah
r.a., Zaid bin Haritsah r.a, Ummul Mukminin Aisyah r.a. Namun, catatan sejarah tidak menyebut mereka sebagai muallaf. Bahkan hanya sebagian kecil
saja orang dari generasi sahabat yang disebut muallaf. Dalam konteks sejarah, maka dapat dilihat bahwa yang disebut muallaf itu
biasanya para tawanan perang yang setelah bebas mereka tidak punya komunitas lagi, lalu masuk Islam. Atau tawanan yang memilih membebaskan
dirinya dengan masuk Islam. Atau orang yang karena kabilahnya kalah perang, lalu terpaksa masuk Islam. Termasuk orang-orang Makkah yang
masuk Islam karena pemerintah kotanya menyerah tanpa syarat kepada Rasul saw. Golongan terakhir ini secara khusus dalam sejarah disebut thulaqa,
orang-orang yang dibebaskan dari pembalasan bala tentara Muhammad demikian orang-orang Mekkah menyebut pasukan kaum Muslim asal
mereka masuk Islam atau berlindung di rumah Abu Sufyan.
58
Syarif Hade Masyah, Hikmah di Balik Hukum Islam, Jakarta: Mustaqim, 2002, h. 306-307
Untuk melunakkan hati pada muallaf itulah maka kepada mereka diberikan zakat atau bagian dari rampasan perang, untuk membeli hati
mereka, agar lebih terikat kepada Islam. Pembagian inilah yang konon sempat menyulut kecemburuan sebagian sahabat Anshar, namun akhirnya mereka
dapat menerimanya dengan penjelasan Rasulullah saw, Apakah kalian masih iri bila mereka membawa harta ke rumahnya, sedangkan kalian membawa
Rasulullah ke rumah kalian? Bisa dibilang, tidak satupun dari sahabat-sahabat Muhajirin yang disebut
muallaf. Demikian juga kaum Anshar, sepertinya juga tidak disebut muallaf.
Disebutkan bahwa pengertian muallaf adalah: orang kafir yang ada harapan masuk Islam
dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah
. Kalau ditinjau dari asal katanya, alafun berarti jinak, muallaf dapat bermakna orang yang dijinakkan, makanya dalam terjemah Al Quran
ayat diatas biasanya muallafatu quluubuhum diartikan muallaf yang
dibujuk hatinya. Namun tidak demikian, pada masa khalifah Umar bin Khatab, beliau
memperlakukan ketetapan penghapusan bagian utama para muallaf karena umat Islam telah kokoh dan kuat. Para muallaf tersebut juga telah
menyalahgunakan pemberian zakat dengan tidak melakukan syariat dan
mengganrungkan kebutuhan hidup dengan zakat sehingga mereka tidak berusaha.
59
Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab, ada dua orang muallaf dengan menemui Umar yaitu Uyainah bin Hisa dan Aqra` bin Habis meminta hak
mereka dengan menunjukkan surat yang telah direkomendasi oleh khalifah Abu Bakar pada masa pemerintahannya. Tetapi Umar merobek surat itu
dengan mengatakan: “Allah sudah memperkuat Islam dan tidak memerlukan kalian. Kalian tetap Islam atau hanya pedang yang ada”. Ini adalah suatu
ijtihad Umar dalam menerapkan dalam suatu nash al-Qur`an yaitu surat at- Taubah ayat 60 yang menunjukkan pembagian zakat kepada muallaf. Umar
melihat pada berlakunya tergantung pada keadaan, kepada siapa harus diberlakukan. Jika keperluan itu sudah tidak ada lagi, ketentuan itu pun tidak
berlaku, inilah jiwa nas tadi”. Dari penjelasan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa muallaf itu
orang yang baru pindah agama dari non Islam menjadi Islam. Karena mereka baru memeluk agama Islam, maka mereka berada pada posisi pihak yang
sangat membutuhkan pembinaan dan bimbingan tentang agama Islam. Agar mereka dapat mengetahui dan memahami agama Islam untuk kemudian
mengamalkan dalam sehari-hari.
59
Haidar Barong, Umar Bin Khatab Dalam Perbincangan, Jakarta: Yayasan Cipta Persada Indonesia, h. 294
55
BAB III GAMBARAN UMUM MASJID AGUNG SUNDA KELAPA
DAN PROGRAM PEMBINAAN MUALLAF
A. Sejarah dan Perkembangan Masjid Agung Sunda Kelapa
Masjid Agung Sunda Kelapa adalah lembaga yang secara yuridis keberadaannya di bawah naungan asset pemerintahan daerah DKI Jakarta,
walikotamadya Jakarta Pusat. Masa kepengurusan Masjid Agung Sunda Kelapa, berlaku selama 5 tahun, yang ditunjuk diangkat dan disyahkan oleh
walikotamadya Jakarta Pusat. Masjid Agung Sunda Kelapa diresmikan pada tanggal 31 Maret 1971 oleh gubernur DKI Jakarta, Jend. KKO Ali Sadikin. Luas
area Masjid Agung Sunda Kelapa mencapai 10000 m. Masjid Agung Sunda Kelapa mempunyai berbagai bidang di antaranya; bidang keagamaan, bidang
sosial, bidang usaha, bidang pendukung operasi, dan kegiatan sosial.
Adapun Manajemen Masjid Agung Sunda Kelapa sebagai berikut:
1. Dewan Kehormatan, seperti:
a. Walikotamadya Jakarta Pusat, b. H. Try Sutrisno,
c. DR. Ing. H. Fauzi Bowo, d. H. Soejana Saleh,