The Effect of Paraquat, Difenoconazole Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) to CO2 and CH4 Emission, and phenolic Acids in Peat Soil

(1)

B UJI BUTYLPHE DAN C I PEMBER ENYLMETH

CH4 SERTA F

IN

RIAN PARA HYL CARBA A PERUBA FENOLAT D INDRI HA SEKOLAH NSTITUT P AQUAT, DIF AMATE (BP AHAN KON DI TANAH APSARI FIT H PASCASA PERTANIA BOGOR 2013 FENOCONA PMC) TER NSENTRASI H GAMBUT TRIYANI ARJANA AN BOGOR NAZOLE DA RHADAP EM I ASAM-AS R AN

MISI CO2 SAM


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Uji Pemberian Paraquat, Difenoconazole, dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) terhadap Emisi CO2 dan CH4, serta Perubahan Konsentrasi Asam-asam Fenolat di Tanah Gambut” adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Indri Hapsari Fitriyani A15100041


(4)

ABSTRACT

INDRI HAPSARI FITRIYANI. The Effect of Paraquat, Difenoconazole Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) to CO2 and CH4 Emission, and phenolic Acids in Peat Soil supervised by SYAIFUL ANWAR, ARIEF HARTONO and DYAH TJAHYANDARI.

Pesticides are widely used in agriculture land, including agricultural land with peat soil. The Study concerning pesticide and CO2 emission has not been done in Indonesia. The objectives of this study were to analyze the effect of paraquat, difenoconazole, butylphenylmethyl carbamate (BPMC) on CO2 and CH4 emission and concentration of phenolic acids in peat soil. The study was conducted at the Laboratory of Soil Chemistry and Fertility, Department of Soil Science and Land Resource, IPB. Soil Sample was collected in District of Pulang Pisau, Central Kalimantan. Peat soil was treated with paraquat, difenoconazole dan butylphenylmethyl carbamate (BPMC) and incubated for 24, 48, 96, 120 and 168 hours. The results showed that the application of pesticides at the recommendation rates increased CO2 emission compared to that of control. Concentration of total phenolic acid of all treatments decreased sharply compared to that of initial data where the concentration of total phenolic acids of treated ones were lower than those of control except BPMC. The results suggested that CO2 emission were from Carbon of degraded phenolic acid and pesticides. The application of pesticides with recommendation rate decreased CH4 emission compared to that of control.

Key words: CO2 emission, phenolic acids, butylphenylmethyl carbamate (BPMC),


(5)

RINGKASAN

INDRI HAPSARI FITRIYANI. Uji Pemberian Paraquat, Difenoconazole dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) terhadap Emisi CO2 dan CH4, serta Perubahan Konsentrasi Asam-asam Fenolat di Tanah Gambut”. Dibimbing oleh SYAIFUL ANWAR, ARIEF HARTONO dan DYAH TJAHYANDARI.

Pestisida banyak digunakan di lahan pertanian, termasuk di lahan pertanian bertanah gambut. Penelitian mengenai emisi CO2 pada lahan gambut yang telah diberi pestisida belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis emisi CO2, CH4 dan konsentrasi asam fenolat pada tanah gambut yang diberikan pestisida.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan tanah, Faperta, IPB sejak bulan Juni-Desember 2012. Contoh tanah gambut diambil dari Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Contoh tanah tersebut diberikan pestisida dengan bahan aktif paraquat, difenoconazole dan butylphenylmethyl carbamate (BPMC) yang diikubasi selama 24, 48, 96, 120 dan 168 jam.

Penelitian ini menunjukkan pemberian pestisida sesuai dosis yang direkomendasikan (dosis anjuran) telah meningkatkan emisi CO2 dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi total asam fenolat semua perlakuan menurun tajam setelah akhir masa inkubasi dibandingkan data awal konsentrasi asam fenolat. Konsentrasi total asam fenolat yang diperlakukan pestisida lebih rendah dibandingkan dengan kontrol kecuali perlakuan BPMC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa emisi CO2 berasal dari oksidasi (degradasi dan respirasi) karbon dari asam-asam fenolat dan bahan aktif pestisida. Emisi CO2 tidak disertai dengan perubahan pH tanah. Pemberian pestisida sesuai dosis anjuran dapat menurunkan emisi CH4.

Kata Kunci : Emisi CO2, asam fenolat, butylphenylmethyl carbamate (BPMC),


(6)

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber sebenarnya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

UJI PEMBERIAN PARAQUAT, DIFENOCONAZOLE DAN

BUTYLPHENYLMETHYL CARBAMATE (BPMC) TERHADAP EMISI CO2 DAN CH4, SERTA PERUBAHAN KONSENTRASI ASAM-ASAM

FENOLAT DI TANAH GAMBUT

INDRI HAPSARI FITRIYANI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(9)

(10)

Judul Penelitian

Nama Mahasiswa

Uji Pemberian Paraquat, Dijenoconazole, Dan

Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) Terhadap

Emisi CO2 dan CH4, serta Perubahan Konsentrasi Asam-Asam Feno]at Di Tanah Gambut

Indri Hapsari Fitriyani

Nomor Pokok A15100041

Distujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Ketua

jwョセ@

Dr. If. Arief Hartono, M.Sc.Agr. Of. If. Dyah Ti:::dai s,

mNゥ|セ@

Anggota Anggota

Disetujui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Tanah

AUG

Dr. lr, Atang Sutandi, M.Sc.


(11)

Judul Penelitian : Uji Pemberian Paraquat, Difenoconazole Dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) Terhadap Emisi CO2 dan CH4, serta Perubahan Konsentrasi Asam-Asam Fenolat Di Tanah Gambut

Nama Mahasiswa : Indri Hapsari Fitriyani

Nomor Pokok : A15100041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Dyah Tjahyandari S, M.Appl.Sc Anggota

Disetujui Oleh

Ketua Program Studi Ilmu Tanah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 12 Juni 2013 Tanggal Lulus:


(12)

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini berjudul “Uji Pemberian Paraquat, Difenoconazole, dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) terhadap Emisi CO2 dan CH4, serta Perubahan Konsentrasi Asam-asam Fenolat di Tanah Gambut” dilaksanakan sejak Juni 2012- Januari 2013.

Rasa hormat, ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc.Agr. dan Dr. Ir. Dyah Tjahyandari S, M.appl selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, saran serta nasehat selama ini. Terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc dan Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Sc selaku Dosen Penguji luar komisi yang telah bersedia meluangkan waktu dan perhatiannya untuk mengoreksi dan memberikan saran terhadap tesis ini. Serta ucapakan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr dan Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr atas semua saran dan nasehat selama penelitian ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada DIPA Balai Penelitian Tanah Rawa, Propinsi Kalimanatan Selatan, Kementrian Pertanian tahun 2012 dan DIPA IPB (Penelitian Unggulan Strategis Nasional) tahun 2013 yang telah mendanai penelitian ini. Kemudian penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu pengumpulan data yaitu Maulia Aries Susanti, SP. M.Sc, Yuli Herdiani, SP, Setiari Marwanto, SP, MSi, Ir. Eman Sulaeman, Meiyu Susanto, SP, Staf Laboratorium Pestisida dan Residu Tanaman, Ciomas-Bogor, Staf Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, DITSL-IPB. Saya dedikasikan gelar Magister sains saya kepada kedua orang tua saya Indra Sumardi (ayah) dan Hetty Haryati AR (ibu), serta kakakku Hendra Khaerizal, Amd, SP yang senatiasa memberikan do’a restu, dukungan moril dan materil dan perhatiaannya kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013 Indri Hapsari Fitriyani


(14)

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1987 sebagai anak kedua dari pasangan Indra Sumardi dan Hetty Haryati AR. Penulis menempuh studi sarjana di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan dan Minor Ekonomi Lingkungan di Institut Pertanian Bogor mulai tahun 2005 dan lulus tahun 2009. Setelah lulus program sarjana, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Program Studi Ilmu Tanah tahun 2010. Bagian tesis ini sedang diajukan ke Jurnal Tanah dan Iklim, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor dengan No Akreditasi 471/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 dengan judul ”Uji pemberian Paraquat, Difenoconazole, dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) terhadap emisi CO2 dan perubahan konsentrasi asam-asam fenolat di tanah gambut”.


(16)

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan Penelitian ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tanah Gambut ... 3

2.1.1. Pengertian dan Pembentukan Tanah Gambut ... 3

2.1.2. Sifat Kimia Lahan Gambut ... 3

2.1.3. Asam-Asam Fenolat dalam Tanah Gambut ... 6

2.2.Fungsi Lingkungan dari Lahan Gambut ... 8

2.2.1. Gas Tumah Kaca... ... 8

2.2.2. Simpanan Carbon, Respirasi Mikroorganisme, Emisi CO2 dan CH4 di Lahan Gambut ... 9

2.3.Pestisida ... 11

2.3.1. Penjerapan dan Interaksi Pestisida dalam Tanah ... 13

3 BAHAN DAN METODE 3.1.Waktu dan Tempat ... 16

3.2.Bahan dan Alat ... 16

3.3.Metode Penelitian ... 16

3.3.1. Metode Inkubasi Tanah ... 16

3.3.2. Pengamatan Emisi CO2 dan CH4 ... 18

3.3.3. Pengamatan Fluks CO2 ... 19

3.3.4. Pengamatan Asam Fenolat ... 21

3.3.5. Data Pendukung ... 21

3.3.6. Analisis Data ... 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Sifat Fisik dan Kimia Gambut, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah 22 4.2.Konsentrasi Asam Fenolat Awal ... 22

4.3.Emisi CO2 Setelah Inkubasi Mengunakan Metode Titrasi ... 23

4.4.Fluks CO2 Setelah Inkubasi Mengunakan IRGA ... 26

4.5.Emisi CH4 Setelah Inkubasi Mengunakan GC ... 27

4.6.Analisis Konsentrasi Asam Fenolat Setelah Inkubasi ... 28

4.7.Keterkaitan Respirasi CO2 dengan Asam-Asam Fenolat ... 30

4.8.Pengukuran pH pada Tanah Gambut yang Di Inkubasi ... 31

5 KESIMPULAN 5.1.Kesimpulan ... 32

5.2.Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1.Gas rumah kaca, sumber dan kontribusinya terhadap peningkatan

efek rumah kaca ... 9

4.1. Analisis kimia dan fisik dari bahan gambut dari lokasi studi ... 22

4.2.Analisis awal asam-asam fenolat tanah gambut... 23

4.3.Persamaan first order kinetic pada setiap perlakuan ... 23

4.4.Emisi CO2 perhari ... 26

4.5.Fluks CO2 setelah pemberian pestisida[IRGA]. ... 27

4.6.Analisis konsentrasi asam-asam fenolat... 29


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1.Skema degradasi lignin (Stevenson, 1978) ... . 7

2.2.Rumus kimia asam-asam fenolat yang banyak ditemukan di Jambi dan Kalimantan selatan ... 8

2.3.Rumus bangun (1) BPMC, (2) difenoconazole dan (3) paraquat ... 14

3.1.Peta lokasi pengambilan sampel ... 17

3.2.Ilustrasi bejana inkubasi ... 18

3.3.Pengukuran gas CO2 dengan IRGA (Infrared Gas Analysis) ... 20

4.1.Emisi CO2 terhadap waktu pada setiap pemberian pestisida, metode titrasi 25 4.2.Emisi CH4 setelah masa inkubasi ... 28


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perhitungan konsetrasi CO2 metode titrasi ... 39

2. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari pertama ... 40

3. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari kedua ... 41

4. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari keempat ... 42

5. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari kelima ... 43

6. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari ketujuh ... 44

7. Perhitungan fluks CO2 setelah masa inkubasi ... 45

8. Perhitungan konversi mg CO2 pada konsentrasi asam-asam fenolat .... 46

9. Perhitungan konversi mg CO2 pestisida yang diberikan ... 46 .


(21)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan lahan marginal merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi permasalahan ketahanan pangan nasional (food security). Salah satu lahan marginal dengan potensi besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian adalah lahan gambut. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP 2008) melaporkan luas lahan gambut Indonesia berkisar 18 juta hektar, tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua, dimana sekitar 33 persen diantaranya layak digunakan sebagai lahan pertanian.

Tanah gambut di Indonesia umumnya terbentuk dari kayu-kayuan yang mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah gambut yang berada di daerah beriklim sedang (Stevenson 1994). Dekomposisi tanah gambut yang kaya akan lignin dalam keadaan anaerob menghasilkan asam-asam fenolat. Beberapa jenis asam-asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam syringat (Tsutsuki dan Kondo 1995). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Stevenson 1994). Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh menghambat perkembangan akar tanaman dan penyediaan hara di dalam tanah. Penelitian yang dilakukan Prasetyo (1996); Salampak (1999) menujukkan bahwa rendahnya produktifitas tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam-asam organik yang tinggi, sehingga bersifat racun bagi tanaman, terutama asam-asam fenolat. Menurut Tadano et al. (1992) berdasarkan tingkat toksisitasnya asam ferulat mempunyai efek toksik paling tinggi, kemudian diikuti oleh asam p-kumarat, asam vanilat, asam siringat dan asam p-hydroxybenzoat.

Selain masalah asam fenolat yang menghambat perkembangan tanaman, emisi karbon dari lahan gambut juga menjadi permasalahan lingkungan. Barchia (2002) melaporkan bahwa emisi karbon dari lahan gambut yang disawahkan di Kalimantan Tengah sebesar 4 ton CO2 ha-1 tahun-1. Selanjutnya Sass (1996)


(22)

2

melaporkan bahwa emisi CH4 tertinggi dihasilkan oleh pertanaman padi di lahan gambut yaitu sebesar 44,8 gram CH4 m-2. Hal ini berhubungan dengan tingginya konsentrasi dari golongan karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3). Golongan karboksil dan metoksil tersebut dapat terdegradasi secara sempurna menjadi CO2 dan H2

Pestisida di tanah gambut banyak digunakan petani karena meningkatnya hama penggangu. Hal ini disebabkan pestisida dapat dengan mudah, cepat dan ekonomis untuk mengendalikan hama dan tumbuhan penggangu. Pestisida yang paling banyak digunakan adalah dari jenis herbisida. Herbisida yang biasa digunakan adalah dari golongan bipiridilium dengan bahan aktif paraquat (Susilawati et al. 2005). Penelitian mengenai emisi CO

O melalui peristiwa oksidasi reduksi dalam suasana aerobik (Van der Gon dan Neue 1995).

2 pada lahan gambut yang telah diberi pestisida belum banyak dilakukan di Indonesia. Salah satu penelitian oleh Bartha et al. (1967) menunjukkan pemberian fungisida golongan karbamat pada konsentrasi tinggi 250 mgL-1 ditanah pasir berlempung, New Jersey menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 setelah hari ke-10 masa inkubasi. Penelitian Sahid dan Kasim (1994) di Selangor, Malaysia menyatakan pemberian herbisida alachlor dan metolachlor pada konsentrasi 20 dan 150 mg L-1 dapat meningkatkan konsentrasi CO2 hingga masa inkubasi 25 hari, hal ini disebabkan oleh respirasi mikroba. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian pestisida dengan dosis yang umum diaplikasikan oleh petani di lahan pertanian (dosis lapang).

1.2. Tujuan Penelitian

1) Menganalisis emisi CO2 dan CH4

2) Menganalisis perubahan konsentrasi asam fenolat pada tanah gambut yang diberikan pestisida.

pada tanah gambut yang diberikan pestisida


(23)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Gambut

2.1.1. Pengertian dan Pembentukan Tanah Gambut

Tanah gambut merupakan tanah yang dicirikan oleh kandungan organik yang tinggi dan berupa sisa-sisa jaringan tumbuhan. Hardjowigeno (1998) mengemukakan terdapat dua hal utama yang menjadi dasar definisi tanah organik yaitu kandungan bahan organik minimum dan ketebalan minimum. Kedua syarat tersebut digunakan untuk membedakan tanah organik dengan tanah mineral. Menurut Polak (1975) menyatakan tanah organik merupakan tanah yang memiliki kadar bahan organik lebih besar dari 60 persen. Soil Survey Staf (1998) menyatakan tanah organik adalah (1) tanah yang memiliki kadar bahan organik lebih dari 20 persen dengan sekurang-kurangnnya tergenang 30 hari (kumulatif). (2) Jenuh air selama 30 hari atau lebih pertahun (kumulatif) dan mengandung C-organik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar 18 persen atau lebih (setara dengan 30 persen bahan organik atau lebih) bila: (a) fraksi tanah mineral mengandung liat 60 persen atau lebih atau (b) 12 persen atau lebih (setara 20 persen atau lebih) bila fraksi tanah mineral tanpa liat atau (c) 12 persen ditambah (persen liat dikali 0,1) bila fraksi tanah mineral mengandung kurang dari 60 persen liat. Lynn et al. (1974) mengklasifikasikan tanah histosol dengan ketebalan minimum 80 cm atau lebih tanpa memperlihatkan luas hamparan.

Pembentukan gambut di Indonesia terutama di Sumatra dan Kalimantan dimulai sejak periode holosen yang dianalisis dengan terbentuknya rawa-rawa sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi karena mencairnya es di kutub yang terjadi sekitar 4200 sampai 6800 tahun yang lalu (Morley 1981; Sabiham 1988). Pada periode sebelum holosen yaitu periode pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan laut saat ini. Kenaikan permukaan laut pada masa holosen menyebabkan dataran di sekitar pantai menjadi tergenang dan membentuk rawa-rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, kemudian mengalami proses dekomposisi secara lambat, sehingga terakumulasi bahan organik (Polak 1975).


(24)

4

Gambut terbagi dua jenis berdasarkan asal terbentuknya yaitu topogen dan ombrogen. Gambut topogen adalah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang dipengaruhi oleh air sungai/ air laut yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut ini relatif kurang dalam, yaitu sekitar 4 meter. Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut jenis ini relatif tebal hingga 20 meter (Hardjowigeno 1996).

Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu (Andriesse 1988). Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi dapat digambarkan sebagai berikut (Najiyati et al. 2005):

(1) Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;

(2) Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat reaksi tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus;

(3) Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme.

2.1.2. Sifat Kimia Lahan Gambut

Kualitas gambut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jenis asal terbentuknya gambut, jenis tumbuhan pembentuk gambut dan lingkungan pembentukan gambut. Andriesse (1988) mengemukakan bahwa kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam tergantung pada berbagai faktor, seperti


(25)

5

ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi, komposisi penyusun gambut dan tanah mineral yang berada di bagian bawah lapisan tanah gambut.

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5 persen fraksi anorganik dan sisanya fraksi organik yaitu lebih dari 95 persen. Fraksi organik terdiri senyawa-senyawa humat (sekitar 10-20%) dan senyawa-senyawa non humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein, dan lain-lain. Senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat dan humin (Tan 1993; Stevenson 1994). Sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi (pH 3-5) dan umumnya mengandung kurang dari 5 persen fraksi anorganik (Driessen 1978). Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60 persen dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11 persen.

Umumnya tanah gambut di Indonesia, memiliki rentan pH 3-5 sehingga bereaksi masam hingga sangat masam (Isrnunadji dan Soepardi, 1984). Selain itu, tanah gambut juga memiliki karakteristik miskin basa-basa seperti Ca, Na, K dan Mg. Nilai pH yang rendah menurut Polak (1975) disebabkan oleh asam organik yang merupakan hasil perombakan bahan organik. Disamping itu adanya komplek koloid dari gambut (gugus fungsional seperti asam fenolat, aldehida fenolat dan asam karboksilat) yang banyak mengandung ion hidrogen rnenyebabkan pH tanah gambut lebih rendah dari tanah mineral (Brady 1990). Secara alami, tanah gambut yang memiliki bermacam-macam asam organik menyebabkan toksisitas pada tanaman.


(26)

6

2.1.3. Asam-asam Fenolat dalam Tanah Gambut

Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan beberapa senyawa dan gas, diantaranya gas metan, hidrogen sulfida, etilen, asam asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam organik lainnya seperti asam-asam fenol. Sebagian besar dari asam-asam-asam-asam ini bersifat racun atau toksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Wang et al. 1967; Driessen 1978; Stevenson 1994; Tsutsuki dan Kondo 1995; Prasetyo 1996).

Komposisi bahan organik berkaitan erat dengan jenis asam-asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi. Stevenson (1994) mengemukakan bahwa dari proses degradasi lignin oleh mikroorganisme dapat dihasilkan asam-asam fenolat dan aldehida fenolat. Dalam keadaan oksidatif mikroorganisme dapat mendegradasi asam-asam fenolat menjadi karbon dioksida (CO2), selain itu proses degradasi lain juga dapat menyebabkan asam-asam fenolat berubah bentuk menjadi lebih sederhana hingga terbentuk quinon kemudian terpecah menjadi asam humik dan fulvik (Gambar 2.1). Beberapa jenis asam fenolat yang rnerupakan hasil dari proses disintegrasi lignin adalah asam p-kumarat, asam p -hidroksibenzoat, asam fenilasetat, asam klorogenat, asam o-hidroksifenilasetat, asam 4-fenilbutarat, asam p-hidroksifenil-propionat, asam 3,4-dihdroksifenil-propionat, asam vanilat, asam ferulat, asam salisilat, asam galat, asam sinapat, asam gentisat, asam kafeat, asam prokatekuat dan asam syringat (Stevenson 1994). Berdasarkan penelitian Anwar et al (2004), mengoksidasikan tanah gambut tropis dengan CuO (Cupric Oxide) dapat menghasilkan senyawa-senyawa seperti vanillic acid, acetovanillon, vanillin, syringic acid, acetosyringone, syringaldehyde, ferulic acid and p-coumaric acid, p-hydroxybenzoic acid, p -hydroxyacetophenone, and p-hydroxy-benzaldehyde. Berdasarkan gugus fungsionalnya senyawa tersebut masuk kedalam asam fenolat, keton fenolat, aldehide fenolat dan asam cinnamic.


(27)

7

LIGNIN Terserang oleh

mikroorganisme

Selulosa dan substrat non-lignin Aldehid fenolat dan

asam fenolat terdegradasi

oleh mikrorganisme

terdegradasi oleh Polifenolat mikroorganisme

dan teroksidasi menjadi

CO2 dan H2

Quinon O

Senyawa Senyawa

amino amino

Asam humat ` Asam fulvat

Gambar 2.1. Skema degradasi lignin (Stevenson 1994)

Berdasarkan penelitian dari Sabiham (2010), di daerah Jambi dan Kalimantan Tengah, urutan konsentrasi asam-asam fenolat adalah sebagai berikut asam ferulat

≈ asam sinapat > p-kumarat > p-hydroxybenzoat > asam vanilat > asam siringat. Asam-asam tersebut dapat dikatagorikan sebagai sumber C yang terdegradasi yang mengandung banyak gugus karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3).


(28)

8

Gambar 2.2. Rumus kimia asam-asam fenolat yang banyak ditemukan di tanah gambut Jambi dan Kalimantan Selatan (Stevenson 1994)

Selain bersifat toksik, asam-asam itu juga dikategorikan sebagai sumber utama pelepasan karbon. Hal ini berhubungan dengan dapat terdegradasinya golongan karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3) menjadi CO2 dan CH4 melalui peristiwa oksidasi reduksi. CO2 juga dapat terlepas ketika grup metoksil (-CH3) berubah menjadi –OH pada saat formasi phenol-OH melalui proses dimetilisasi, hidroksilasi dan oksidasi, sedangkan metana (CH4

2.2. Fungsi Lingkungan Tanah Gambut

) diproduksi oleh bakteri metanogenik dalam kondisi anaerobik (Van der Gon dan Neue 1995).

2.2.1.Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca (GRK) adalah istilah kolektif untuk gas-gas yang memiliki efek rumah kaca, seperti klorofluorokarbon (CFC), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3) dan uap air (H2

Kontribusi relatif terhadap efek rumah kaca masing-masing gas tersebut di atas disajikan pada Tabel 2.1. Seperti terlihat pada tabel tersebut, metana berkontribusi 15-20 persen terhadap efek rumah kaca, dan oleh karena itu pengaruh ini tidak dapat diabaikan. Sumber-sumber metana mencakup lahan O). Beberapa gas tersebut memiliki efek rumah kaca lebih besar daripada gas lainnya. Sebagai contoh, metana memiliki efek 20-30 kali lebih besar dibanding dengan karbon dioksida, dan CFC diperkirakan memiliki efek rumah kaca 1000 kali lebih kuat dibanding dengan karbon dioksida (Porteous 1992).

Ket:

(1) asam ferulat; (2) asam sinapat; (3) asam p-kumarat; (4) asam vanilat; (5) asam siringat; (6) p-hydroxybenzoat


(29)

9

persawahan, peternakan sapi, industri minyak dan gas, serta tempat-tempat pembuangan sampah (TPA). Karena besarnya efek rumah kaca gas metana, usaha-usaha penanggulangannya seharusnya diarahkan kepada pengendalian sumber-sumber emisi metana tersebut (Suprihatin et al. 2002).

Pada tanah gambut, Gas rumah kaca dilepaskan (diemisikan) dalam bentuk CO2, CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut, CO2 merupakan GRK terpenting karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertaniandan pemukiman. Emisi CH4 cukup besar pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau jenuh air. Bila gambut didrainase maka emisi CO2 menjadi dominan dan emisi CH4 menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al. 2011).

Tabel 2.1. Gas rumah kaca, sumber dan kontribusinya terhadap peningkatan efek rumah kaca

Senyawa Sumber Kontribusi Relatif

terhadap Efek Gas Rumah Kaca (%) Hanks (1996) Porteous (1992) CO Pembakaran bahan bakar

fosil, penebangan hutan

2 60 50

CH Sapi, dekomposisi sampah (landfill), lahan persawahan

4 15 20

NOx Industri, pupuk 5 5

(mencakup uap air) CFC AC, refrigerator, busa

aerosol

12 15

O Konversi polutan otomobil oleh sinar matahari

3 8 10

Sumber: Suprihatin et al. (2002)

2.2.2.Simpanan Karbon, Respirasi Mikroorganisme, Emisi CO2 dan CH4 Tanah gambut menyimpan C yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Setiap satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180 sampai 600 mg karbon, sedangkan setiap satu gram tanah mineral hanya mengandung 5 sampai 80 mg karbon. Di daerah tropika, karbon yang disimpan olah tanah dan di Lahan Gambut


(30)

10

tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).

Dalam kondisi alami simpanan karbon pada lahan gambut relatif stabil. Ketebalan gambut bertambah dengan kecepatan sampai 3 mm tahun-1 (Parish et al. 2007). Namun jika kondisi alami tersebut terganggu, maka akan terjadi percepatan proses pelapukan (dekomposisi), sehingga karbon yang tersimpan di dalam lahan gambut akan teremisi membentuk gas rumah kaca (GRK) terutama gas CO2, sebagai dampak dari dilakukannya proses drainase yang selalu menyertai proses penggunaan lahan gambut. Berdasarkan data yang dikeluarkan BAPPENAS (2009), diperkirakan rata-rata emisi tahunan dari lahan gambut di Indonesia tahun 2000-2006 sekitar 903 juta ton CO2, termasuk emisi yang mungkin terjadi dari kebakaran gambut. Padahal dalam keadaan hutan alam, lahan gambut mengeluarkan emisi 20-40 t CO2 ha-1 tahun-1

Masing-masing komponen cadangan karbon (carbon stock) tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya dapat mempercepat emisi CO

(Rieley et al. 2008). Emisi dari hutan gambut berasal dari proses respirasi akar tanaman (autotrophic respiration) dan aktivitas mikrorganisme tanah.

2 dari tanah gambut. Cara pengelolaan lahan pertanian pada lahan gambut, seperti pembakaran, pembuatan drainase, dan pemupukan mempengaruhi tingkat emisi CO2

Respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktifitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi telah mempunyai korelasi yang baik dengan parameter lain yang berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme tanah

Pembakaran/kebakaran lahan gambut dapat menurunkan cadangan karbon di dalam jaringan tanaman dan didalam gambut yang berarti meningkatkan emisi dari kedua sumber tersebut. Pemupukan dapat meningkatkan emisi disebabkan meningkatnya aktivitas mikroba. Sebaliknya, pada lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat memperlambat emisi (Agus et al 2011).


(31)

11

seperti bahan organik tanah, transformasi N, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisrne.

Penetapan respirasi tanah didasarkan pada penetapan : (1) jumlah CO2 yang dihasilkan, dan (2) jumlah O2

Respirasi tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya kehidupan mikrobia yang melakukan aktifitas hidup dan berkembang biak dalam suatu masa tanah. Mikrobia dalam setiap aktifitasnya membutuhkan O

yang digunakan oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan peubah kesuburan tanah yang berkaitan dengan aktifitas mikroba seperti: (1) Kandungan bahan organik; (2) Transformasi N atau P; (3) Hasil antara; (4) pH; dan (5) Rata-rata jumlah mikroorganisme (Anas 1989).

2 atau mengeluarkan CO2 yang dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi tanah. Laju respirasi maksimum terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikrobia dalam tanah, karena banyaknya populasi mikrobia mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan mikrobia. Oleh karena itu, pengukuran respirasi tanah lebih mencerminkan aktifitas metabolik mikrobia dari pada jumlah, tipe, atau perkembangan mikrobia tanah.1

Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH4. Kandungan bahan aktif dalam herbisida tersebut diduga menghambat aktivitas bakteri metanogen namun mekanisme penghambatannya belum diketahui secara jelas.Selain herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan (HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4

2.3. Pestisida

, penggunaannya harus sesuai dengan anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan pencemaran lingkungan (Kartikawati et al 2011).

Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Yang dimaksud hama di sini adalah sangat luas, yaitu serangga, tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit

1

Ragil. 2009. http://cahtanah.blogspot.com/2009_02_16_archive.html. [Diakses pada 8 Mei 2013].


(32)

12

tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (bentuknya seperti cacing dengan ukuran mikroskopis), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan. Pestisida berdasarkan jenis sasarannya digolongkan menjadi

(Djojosumarto 2008).

Menurut SK Menteri Pertanian RI No 434.1/kpts/TP.270/7/2001 (Kementerian Pertanian 2012), pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

a. memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;

b. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan c. memberantas atau mencegah hama air.

d. memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik.

e. memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Berdasarkan sifat dan cara kerja pestisida terbagi atas 2 kelompok besar yaitu racun sistemik dan racun kontak. Racun sistemik artinya dapat diserap melalui sistemorganisme misalnya akar atau daun kemudian diserap kedalam jaringan tanaman yang bersentuhan atau dimakan hama sehingga menghasilkan peracunan pada hama. Racun kontak artinya langsung dapat menyerap melalui kulit pada saat pemberian insektisida atau dapat pula serangga target kemudian kena sisa insektisida (residu) beberapa waktu setelah penyemprotan.

Pestisida dikelompokkan ke dalam kelas, golongan, atau kelompok kimia berdasarkan persamaaan struktur dasar rumus kimianya. Umumnya, bahan aktif pestisida yang tergabung dalam kelompok kimia yang sama memiliki kemiripan sifat kimiawi. Insektisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi dalam jaringan lemak hewan. Salah satu nama insektisida golongan karbamat adalah fenobukarb, yang di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC (buthylphenylmethyl carbamate). BPMC merupakan insektisisda non sistemik (racun kontak) dan digunakan untuk


(33)

13

mengendalikan wereng, thrips dan bubuk pada beberapa tanaman, termasuk padi. Selain itu juga dapat mengendalikan ulat buah dan aphids pada kapas.

Difenoconazol termasuk dalam golongan fungisida yang bersprektum cukup luas terutama untuk mengendalikan berbagai jenis cendawan dari kelas ascomycetes, basidiomycetes, dan deutromycetes. Difenoconazol bersifat sistemik dan diserap lewat daun. Fungisida ini digunakan untuk pengendalian secara kompleks penyakit pada tanaman buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian termasuk padi.

Paraquat merupakan golongan herbisida non selektif termasuk dalam golongan garam bipiridilium. Jika ada cahaya matahari, herbisida ini bekerja dengan sangat cepat akan memengaruhi fotosintesis dengan terbentuknya superoksida yang akan menghancurkan membran sel dan sitoplasma (Djojosumarto 2008).

2.3.1. Penjerapan Pestisida dan Interaksinya dalam Tanah

Tingginya intensitas aplikasi dan jumlah pestisida yang digunakan menimbulkan kekhawatiran akan bahaya pencemaran yang berasal dari residu pestisida yang tertinggal di lingkungan, khususnya dalam tanah dan air. Residu herbisida dalam tanah dan air dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta dapat mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya pada musim berikutnya. Perilaku pestisida selama di tanah dapat dikelompokkan menjadi dua proses, yaitu proses perpindahan massa dan proses peruraian. Proses perpindahan massa terdiri atas perpindahan massa antar fase (fase air dengan fase udara, fase air dengan fase tanah, fase tanah dengan fase udara, dan fase masing-masing dengan makhluk hidup). Fase tanah dapat mengakumulasi pestisida sampai konsentrasi tinggi karena tanah mempunyai daya jerap yang tinggi. Sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik, hal ini disebabkan oleh adanya bahan tambahan (solvent, diluents, suspention agent, emulsifier, buffer, surfactant, sticker, plant penetration, thickener, defoaming agent, dan safener) pada pestisida. Peruraian pestisida di fase padatan tanah lebih dominan daripada di fase larutan tanah karena padatan tanah mengandung berbagai senyawa yang berfungsi sebagai katalis dan merupakan tempat mikroorganisme tumbuh (Rahayuningsih 2009).


(34)

14 r

Gambar 2.3. Rumus bangun (1) BPMC, (2) difenoconazole dan (3) paraquat Tanah gambut banyak mengandung asam alifatik dan aromatik. Gambut menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap adsorbsi pestisida paraquat dan memiliki sifat elektrostatis saat bahan organik berinteraksi dengan bahan pestisida tersebut. Dalam kondisi asam muatan pada bahan organik tanah gambut ditentukan oleh ionisasi gugus karboksilat yang akan mendukung terhadap adsorpsi pestisida kationik. Paraquat, dengan kation bipirilidium merupakan pestisida yang dapat teradsorpsi baik pada permukaan tanah, dengan mengganti kation anorganik atau oleh mekanisme interaksiionik dengan muatan negatif pada permukaan tanah, di mana efek elektrostatik menjadi faktor penentu (Arce et al. 2011).

Menurut Hui et al. (2003), serapan pestisida oleh bahan organik dan mineral liat dipengaruhi oleh jenis mineral, rasio substansi humik/mineral,

(2) (1)


(35)

15

ketersediaan kation dapat ditukar serta koefisien serapan pestisida itu sendiri. Adsorpsi pestisida kationik seperti paraquat yang bermuatan positif melalui protonisasi. Keberadaan muatan negatif sangat berpengaruh terhadap adsorpsi herbisida tersebut. Dalam hal ini KTK tanah sangat berpengaruh terhadap adsorpsi herbisida paraquat. Semakin tinggi luas permukaan adsorben maka semakin tinggi kemungkinan adsorpsi,molekul herbisida paraquat yang berada dalam larutan tanah (Muktamar et al. 2006).

Interaksi bahan organik dan pestisida telah banyak dibicarakan, menurut Steverson (1994) menjelaskan interaksi dilakukan berdasarkan adsorpsi permukaan tapak jerapan. Mekanisme adsorpsi didasarkan atas tapak permukaan bahan organiK dan pestisidanya. Mekanisme yang sering terjadi antara interaksi Vander Wals, ikatan hidropobik, ikatan hidrogen, transfer muatan, pertukaran ion.

Menurut Schnitzer dan Khan (1978), terdapat interaksi pestisida dengan bahan aktif paraquat didalam lahan gambut. Hal ini dapat diketahui dengan menambahkan konsentrasi paraquat dapat meningkatkan jumlah absorpsi dari bahan organik. Selain itu, jenis pestisida organik dapat diklasifikasikan ionic dikarenakan memiliki sifat-sifat yang hampir sama.


(36)

16

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dan Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Lokasi Pengambilan contoh tanah adalah di lahan gambut Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 3.1). Contoh tanah diambil dengan kedalaman tanah sekitar 0-20 cm dari atas permukaan tanah.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan tanah gambut dari Kalimantan Tengah, dan bahan pestisida. Pestisida yang digunakan adalah herbisida dengan bahan aktif paraquat, fungisida dengan bahan aktif difenoconazol dan insektisida dengan bahan aktif butylphenylmethyl Carbamate (BMPC). Dosis pestisida yang diberikan sesuai dengan dosis anjuran yaitu 3 liter ha-1 untuk paraquat, dan 1 liter ha-1 untuk difenoconazole dan BPMC. Perlakuan pestisida diberikan sebanyak 20 ml yang setara dengan dosis bahan aktif/ kg tanah gambut adalah paraquat 1,89 mg kg-1, difenoconazole 1,72 mg kg-1, BPMC 1,65 mg kg-1

Alat yang digunakan adalah HPLC (high-performance liquid

chromatography), Infrared Gas Analizer (IRGA LI-820), Gas Cromatografi dan

bejana inkubasi. .

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Metode Inkubasi Tanah

Penelitian ini mengambil tanah gambut dari Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Kedalaman tanah yang diambil adalah sekitar 0-20 cm. Bahan pestisida yang digunakan adalah herbisida dengan bahan aktif paraquat, fungisida dengan bahan aktif difenoconazole dan insektisida dengan bahan aktif butylphenylmethyl Carbamate (BMPC).


(37)

17


(38)

18

Pemberian dosis pestisida yang diberikan sesuai dengan dosis anjuran dilapang yaitu 3 liter ha-1 larutan murni Gramokson dengan bahan aktif paraquat, dan 1 liter ha-1 larutan murni Triazol dengan bahan aktif difenoconazole dan Bassa dengan bahan aktif BPMC. Perlakuan pestisida diberikan sebanyak 20 ml yang setara dengan dosis bahan aktif tiap kg tanah gambut adalah paraquat 1,89 mg kg -1

, difenoconazole 1,72 mg kg-1, BPMC 1,65 mg kg-1

Tahapan-tahapan dalam penelitian adalah (1) memasukan tanah gambut ke dalam tabung inkubasi,bobot tanah yang diinkubasi sebanyak 264 gram (kadar air 316%); (2) pemberian pestisida; (3) penempatan tabung berisi larutan NaOH untuk menangkap CO

. Bejana inkubasi yang digunakan adalahparalon PVC dengan ukuran diameter 4 inci.

2, dimana konsentrasi larutan NaOH yang digunakan adalah 0,95 mol L-1 sebanyak 10ml. Konsentrasi larutan NaOH telah distandarisasi dengan asam oksalat; dan (4) menutup tabung dengan plastic warp serta karet, hal ini dilakukan untuk mencegah adanya udara yang masuk dari luar. Waktu inkubasi adalah 24, 48, 96, 120 dan 168 jam. Penetapan waktu inkubasi ditentukan berdasarkan Degradation Time (DT50) pestisida yang lamanya 2 minggu (EPA 1998) (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Ilustrasi bejana inkubasi tertutup 3.3.2. Pengamatan Emisi CO2 dan CH

Pengukuran emisi CO

4

2 dilakukan dengan mengadopsi metode respirasi mikroorganisme yaitu mengunakan metode titrasi asam-basa. Setelah masa inkubasi selesai (inkubasi tertutup), larutan NaOH didekantasi ke erlenmeyer kemudian diberikan pewarna Phenol Petalin (PP) dan dititrasi dengan HCl hingga berwarna pink. Setelah itu diberikan pewarna Metil merah (MM) dan dititrasi HCl


(39)

19

kembali hingga berwarna jingga. Sebelum digunakan, konsentrasi HCl distandarisasi dengan menggunakan Natrium Borat. Setelah dititrasi dengan HCl kemudian dihitung konsentasi CO2

2NaOH + CO

(Anas 1989). Berikut ini adalah reaksi kimia yang terjadi :

2  Na2CO3 + H2

reaksi perubahan warna merah menjadi tidak berwarna (indikator pp):

O………... (1)

Na2CO3 + HCl  NaCl + NaHCO3

perubahan warna kuning menjadi jingga (indikator MM):

………... (2)

NaHCO3 + HCl  NaCl + H2O + CO2

Laju produksi dan emisi CH

……….(3)

4 akan diukur dengan peralatan gas kromatografi. Sampel gas diambil setelah waktu inkubasi bersama-sama pengukuran untuk sampel CO2 (metode titrasi). Sampel gas dari dalam bejana inkubasi diambil dengan jarum suntik (Syringe) yang dipasang pada posisi tegak. Pengambilan gas diulang dengan interval waktu 0, 10, dan 20 menit. Selanjutnya sampel gas diukur dengan mempergunakan kromatografi gas (GC). Penetapan dilakukan pada suhu kolom 60ºC, suhu injektor 1000C, suhu detektor 1000C, kecepatan aliran gas 47 ml menit-1

3.3.3. Pengamatan Fluks CO

, gas pembawa adalah Helium. Prosedur pengukuran gas di laboratorium menggunakan sampel gas yang telah didapat dari setelah masa inkubasi kemudian diinjeksikan ke dalam mesin analisis GC dengan menggunakan syringe (alat suntik) khusus dengan volume 10 μl. Data yang ditampilkan di alat tersebut berupa peak area. Penghitungan konsentrasi standar sebagai deret standar yaitu peak area dikalikan dengan kurva standar.

Pengukuran fluks CO 2

2 pada tanah gambut yang diperlakukan herbisida, fungisida, dan insektisida dilakukan dengan menggunakan IRGA (Infrared gas Analysis) tipe LI-802. Inkubasi dilakukan dengan pemberian ketiga pestisida pada benjana inkubasi kemudian diinkubasi terbuka selama 24, 48, 98, 120 dan 168


(40)

20

jam dan diakhiri dengan pengukuran fluks CO2. Pada saat pengukuran, bejana ditutup dengan penutup bejana sehingga gas dapat dialirkan ke dalam IRGA (Gambar 3.4). Gas dari sungkup tertutup (closed chamber) dialirkan ke IRGA dengan menggunakan sebuah pompa dan konsentrasi CO2 langsung dibaca oleh IRGA setiap detik selama kurang lebih 2,5 menit. Hubungan linear antara waktu pengamatan dengan konsentrasi gas CO2 digunakan untuk menghitung fluks CO2

yang keluar ke permukaan tanah (Agus et al. 2011).

Gambar 3.4. Pengukuran gas CO2 dengan IRGA (Infrared Gas Analysis)

Perhitungan fluks CO2

a. Perubahan konsentrasi CO

dilakukan dengan langkah:

2 (dCc/dt) berdasarkan grafik linear pengukuran fluks CO

2 � =��+�

di laboratorium (μmol/mol) atau ppm versus waktu pengukuran (det). Persamaan grafik linear tersebut adalah sbb:

y = konsentrasi CO 2 a = gradien konsentrasi CO

(μmol/mol) atau ppm

2 b = intersep konsentrasi CO

(μmol/mol/det)

2 x = waktu (detik)

(μmol/mol)

b. Menghitung fluks CO �� = �ℎ

�� ���

��


(41)

21

�� = fluks CO

2 (μmol/m 2

P = tekanan atmosfer (berdasarkan rata-rata cellPress pembacaan LI-820) /det)

h = tinggi chamber (cm) R = konstanta gas (8,314 Pa m2/o dCc/dt = perubahan konsentrasi CO

K/mol) 2 dt = waktu pengukuran (detik)

(μmol/mol/det)

3.3.4. Pengamatan Asam Fenolat

Penetapan konsentrasi asam-asam fenolat dilakukan setiap masa inkubasi berakhir. Setelah masa inkubasi, sampel diambil sebanyak 5 gram kemudian diberikan aquades sebanyak 25 ml dan dikocok dengan shaker selama 30 menit. Setelah dikocok kemudian sampel disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 60 menit, dan sekitar 20 ml supernatan disaring mengunakan 0,45µ m milipore filter. Setelah disaring kemudian dianalisis mengunakan HPLC (Angeles 2005). Asam-asam fenolat yang diukur adalah asam ferulat, sinapat, p-kumarat, vanilat, siringat dan p-hidroksibenzoat.

3.3.5. Data Pendukung

Data penunjang hasil penelitian ini meliputi analisis tanah awal dan pengukuran pH tanah. Pengukuran tanah awal dilakukan terhadap sifat kimia tanah (kadar C-organik, N, dan pH), analisis kadar serat, tingkat dekomposisi dan kadar asam fenolat. Pengukuran derajat kemasaman (pH) tanah diukur bersamaan pada sebelum dan sesudah masa inkubasi.

3.3.6. Analisis Data

Data pengukuran emisi CO2 disimulasikan dengan mengunakan persamaan first order kinetic dengan piranti lunak sigmaplot versi 12.3. Untuk melihat keterkaitan antara emisi CO2

f= a*(1-exp

dan konsentrasi asam fenolat dilakukanuji kolerasi. Berikut ini adalah persamaan first order kinetic:

(-b*x) ket:

)

f = Emisi CO2 (mg kg-1 a = Emisi CO

)

2 maksimum (mg kg-1 b = konstanta kecepatan Emisi CO

) 2 (jam-1 x = waktu pengamatan (jam)


(42)

22


(43)

(44)

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut Pulang Pisau, Kalimantan Tengah

Hasil analisis kimia dari tanah gambut Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Analisis kimia dan fisik dari bahan gambut dari lokasi studi

Sifat Kimia Nilai

pH (H2O) 4,69

C-organik (%) 39,45

N-total (%) 1,37

C/N ratio 28,80

Volume serat (%) 46

Warna munsell 10 YR 3/1 (very dark grey)

Tingkat dekomposisi Hemik

Nilai pH pada sampel tanah adalah 4,69. Nilai pH ini lebih tinggi dari hutan gambut alami (pH 3-4). Hal ini disebabkan karena lokasi sampel mulai dibuka untuk pertanian sejak tahun 1980-an, sehingga telah mengalami pencucian asam-asam organik melalui drainase. Nilai C-organik dari hasil analisis awal bahan gambut sebesar 39,5%. Hal ini menegaskan bahwa bahan tanah tersebut termasuktanah gambut. Berdasarkan klasifikasi USDA yang termasuk kedalam tanah histosol adalah tanah yang memiliki kadar bahan organik antara 30-50% (Soepardi 1983). Kadar serat adalah volume serat 46%, warna munsell 10 YR 3/1, dan indeks pirofosfat bernilai 2 sehingga, berdasarkan kriteria untuk tingkat kematangan dekomposisi gambut adalah hemik (Lynn et al. 1974).

4.2. Konsentrasi Asam-Asam Fenolat Awal

Hasil analisis awal asam-asam fenolat sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2, hanya didapatkan asam ferulat, asam sinapat dan asam vanilat. Berdasarkan Tan (1993) asam-asam ini berasal dari lignin (hardwood dan softwood). Asam p -hidroksibenzoat dan p-kumarat tidak terukur, hal ini menegaskan bahwa tanah gambut dilokasi studi tidak berasal dari grass-wood (rumput-rumputan).


(45)

23

Berdasarkan penelitian Driessen (1978) pada tanah gambut ombrogen di Indonesia komposisinya sekitar 64% mengandung lignin yang berasal dari bahan kayu-kayuan.

Tabel 4.2. Analisis awal asam-asam fenolat tanah gambut

Asam Fenolat Konsentrasi (ppm)

Ulangan 1 Ulangan 2

Asam ferulat 9 x 10-3 9 x 10-3

Asam siringat Tu tu

Asam sinapat 83,10 86,40

Asam p-kumarat Tu tu

Asam vanilat 2 x 10-3 2 x 10

Asam p-hidroksibenzoat

-3

Tu tu

Total Asam Fenolat 83,11 86,47

Ket: tu: tidak terukur

4.3. Emisi CO2 Setelah Masa Inkubasi Mengunakan Metode Titrasi

Simulasi emisi CO2 dengan menggunakan persamaaan First Order Kinetic disajikan pada Gambar 4.1. Nilai parameter emisi CO2 maksimum, konstanta kecepatan, dan nilai R2

Tabel 4.3. Persamaan first order kinetic pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4.3.

Perlakuan Persamaan a

(mg kg-1 b

) (jam-1) R P

2

Paraquat f= 200,76(1-exp(-0,0137 *x) 200,76 1,37 x 10-2 0.99 p> 0,001 Difenoconazole f= 196,20(1-exp(-0,0128 *x) 196,20 1,28 x 10-2 0,97 p> 0,001 Bpmc f= 211,01(1-exp(-0,0116*x) 211,01 1,16 x 10-2 0,94 p> 0,001 Tanpa f= 194,46(1-exp(-0,0121*x) 194,46 1,21 x 10-2 0,94 p> 0,001 Pemberian pestisida meningkatkan nilai maksimum emisi CO2 selama 168 jam inkubasi. Perlakuan yang memberikan nilai maksimum emisi CO2 dari tertinggi sampai terendah adalah BMPC (211,01 mg CO2 kg-1) >paraquat (200,76 mgCO2 kg-1) >difenoconazole (196,20 mgCO2 kg-1) > tanpa pestisida (194,46 mg CO2kg-1. Data di atas menunjukkan bahwa pemberian pestisida meningkatkan emisi CO2 dibandingkan dengan tanpa perlakuan pestisida. Meningkatnya emisi CO2 pada perlakuan pestisida mungkin salah satunya disebabkan oleh degradasi pestisida tersebut sehingga C pada pestisida tersebut dioksidasi menjadi CO2. Waktu degradasi (DT50) setiap bahan aktif pestisida bermacam-macam. Djojosumarto (2008) melaporkan bahwa DT50 pada BPMC adalah 7-9 hari,


(46)

24

kemudian paraquat adalah 14 hari dan difenoconazole adalah 53 hari. Waktu degradasi pestisida ini dipengarui oleh bentuk rumus bangunnya, BPMC memiliki rumus bangun yang lebih sederhana menyebabkan BPMC lebih mudah terdegradasi sehingga nilai maksimum CO2 pada gambut yang diberi perlakuan BPMC relatif memiliki nilai emisi CO2 maksimum yang paling tinggi.

Berdasarkan persamaan first order kinetic yang disajikan pada Tabel 4.3, didapatkan konstanta kecepatan emisi CO2 (nilai b) setelah perlakuan pemberian pestisida adalah paraquat (1,37 x 10-2 jam-1) > difenoconazole (1,28 x 10-2 jam-1) > tanpa pestisida (1,21 x 10-2 jam-1 ) > BPMC (1,16 x 10-2 jam-1). Data ini menunjukkan bahwa kecepatan degradasi C dalam senyawa bahan aktif pestisida berbeda-beda. Walaupun gambut yang diberi perlakuan BPMC mempunyai emisi CO2 maksimum tertinggi akan tetapi perlakuan ini memiliki nilai konstanta yang paling kecil. Hal ini mungkin disebabkan diawal degradasi lebih lambat kecepatannya sehingga rata-rata kecepatannya menjadi lebih kecil (Gambar 4.1). Jumlah CO2 yang mungkin dihasilkan dari hasil degradasi bahan aktif paraquat adalah 1,39 mg kg-1 CO2, difenoconazole adalah 1,18 mg kg-1 CO2, dan BPMC adalah 1,16 mg kg-1 CO2. Jumlah CO2 masing-masing bahan aktif tersebut, jika terdegradasi secara keseluruhan masih dibawah nilai emisi CO2 setelah 168 jam inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa sumber karbon yang dihasilkan tidak hanya berasal dari pemberian pestisida, namun dapat juga berasal dari dekomposisi asam-asam fenolat.


(47)

25

Gambar 4.1. Emisi CO2 terhadap waktu pada setiap pemberian pestisida, metode titrasi

Tabel 4.4 menunjukkan emisi CO2 perhari. Emisi menunjukkan menurun dari 24 jam hingga 168 jam inkubasi. Apabila dilihat antara perlakuan terlihat kontrol lebih rendah emisinya dibandingkan dengan perlakuan pestisida, sehingga pemberian pestisida merangsang emisi CO2. Pada perlakuan kontrol, emisi CO2 pada hari pertama (13,39 mg C kg-1 hari-1) memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan emisi pada tanah mineral. Berdasarkan penelitian Arimurti (1997) menyatakan emisi CO2 mengunakan metode titrasi (respirasi tanah) pada tanah mineral di Kalimantan Barat dibeberapa tipe pengunaan lahan menunjukkan 8,80-11,08 mg C kg-1 hari-1. Penelitian Adhayanti (1997) pada tanah mineral Lampung juga menyebutkan emisi CO2 adalah 4,57-8,57 mg C kg-1 hari-1

Waktu Pengamatan [Tanpa Pestisida]

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

e m is i C O2 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

. Sehingga apabila di bandingkan antara tanah gambut dengan tanah mineral emisinya tidak jauh berbeda.

Waktu Pengamatan [Difenoconazole]

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

e m is i C O2 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

Waktu pengamatan [BPMC]

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

E m is i C O2 40 60 80 100 120 140 160 180 200

waktu pengamatan [paraquat]

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

e m is i C O2 40 60 80 100 120 140 160 180 200


(48)

26

Tabel 4.4. Emisi CO2 perhari.

Perlakuan 24 jam 48 jam 96 jam 120 jam 168 jam mg C kg-1hari-1

Paraquat 25,61 24,44 18,92 11,31 12,22

Difonoconazole 20,95 24,44 18,77 10,89 11,47

BPMC 28,52 20,37 19,21 10,64 12,39

Tanpa 13,39 22,70 18,62 10,64 10,97

4.4. Fluks CO2 Setelah Inkubasi Mengunakan Metode IRGA

Fluks CO2 adalah besarnya laju aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2

Tabel 4.5 menunjukkan pengukuran fluks CO2 setelah pemberian pestisida. Pengukuran fluks CO2 dilakukan pada keadaan inkubasi terbuka. Pengukuran fluks ini memiliki tren yang hampir mirip dengan nilai b (Tabel 4.4) dimana nilai rata-rata fluks yang paling tinggi adalah Paraquat. Pada perlakuan tanpa pemberian pestisida inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,07 g C/m

/jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Pada inkubasi terbuka dilakukan pengukuran fluks CO2 karena pada perlakuan ini tabung inkubasi dibiarkan terbuka sehingga terdapat gas CO2 yang masuk dan keluar, oleh karena itu pada perlakuan ini dapat diukur fluks CO2.

2

/hari, kemudian meningkat pada hari ke-2 dan hari ke4 inkubasi sebesar 0,25 g C/m2/hari dan 0,77 g C/m2/hari. Inkubasi hari ke-5 dan ke-7 mengalami penurunan fluks CO2 yaitu dari 0,13 g C/m2/hari menjadi 0,19 g C/m2

Pada perlakuan paraquat inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,19 g C/m

/hari.

2

/hari, kemudian meningkat terus pada hari ke-2, ke-4 dan ke-5 inkubasi sebesar 0,16 g C/m2/hari, 0,39 g C/m2/hari dan 1,34 g C/m2/hari. Inkubasi hari ke-7 mengalami penurunan fluks CO2 yaitu dari 0,23 g C/m2/hari. Pada perlakuan difenoconazole inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,25 g C/m2/hari, kemudian meningkat pada hari ke-2 sebesar 0,30 g C/m2/hari. Inkubasi hari ke-4 dan ke-5 mengalami penurunan fluks CO2 yaitu dari 0,10 g C/m2/hari menjadi 0,05 g C/m2/hari. Kemudian di hari inkubasi ke-7 meningkat kembali 0,22 g


(49)

27

C/m2/hari. Pada perlakuan BPMC inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,41 g C/m2/hari, kemudian meningkat pada hari ke-2 sebesar 0,52 g C/m2/hari. Inkubasi hari ke-4 dan ke-5 mengalami penurunan fluks CO2 yaitu dari 0,07 g C/m2/hari menjadi 0,03 g C/m2/hari. Kemudian di hari inkubasi ke-7 meningkat kembali 0,29 g C/m2/hari.

Tabel 4.5. Fluks CO2 setelah pemberian pestisida, metode IRGA

Perlakuan (g C/m2/hari)

T-H1 0,07

T-H2 0,25

T-H4 0,77

T-H5 0,13

T-H7 0,19

P-H1 0,19

P-H2 0,16

P-H4 0,39

P-H5 1,34

P-H7 0,23

D-H1 0,25

D-H2 0,30

D-H4 0,10

D-H5 0,05

D-H7 0,22

B-H1 0,41

B-H2 0,52

B-H4 0,07

B-H5 0,03

B-H7 0,29

Ket:

T: Tanpa Pestisida P: Paraquat

D: Difenoconazole B:BPMC

H: Hari pengamatan

4.5. Emisi CH4 Setelah Masa Inkubasi Mengunakan GC

Bentuk emisi Karbon ke atmosfer selain gas CO2, CH4 merupakan salah satu

komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen, kira-kira 80% diproduksi secara biologis oleh grup bakteri anaerobic pada lingkungan yang sangat reduktif (Ehhalt and Schmidt 1978), dengan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40oC (Kirk 2004). Produksi CH4 tidak akan dimulai sebelum oksigen, nitrat, besi (III),


(50)

28

dipengaruhi oleh suhu, kandungan bahan organik, pH, kelembaban dan potensial redoks dalam tanah (Moore dan Dalva 1993).

Gambar 4.2 merupakan pengukuran emisi CH4 selama 7 hari yang menunjukkan tren menurun pada semua perlakuan. Kondisi air yang macak-macak saat inkubasi dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi bakteri metanogen untuk tumbuh, sehingga menyebabkan emisi CH4 muncul. Selain itu, kondisi pH tanah gambut diantara 4,5-5 merupakan salah satu faktor pendukung bakteri metanogen dapat tumbuh. Apabila dibandingan antara perlakuan kontrol dengan pestisida, emisi CH4 yang paling tinggi adalah perlakuan pestisida.

Gambar 4.2. Emisi CH4 selama masa inkubasi

4.6. Analisis Konsentrasi Asam-Asam Fenolat Setelah Inkubasi

Hasil total konsentrasi asam-asam fenolat selama masa inkubasi disajikan pada Tabel 4.6. Konsentrasi total asam-asam fenolat perlakuan menurun tajam dibandingkan dengan data awal. Konsentrasi total asam fenolat yang diperlakukan pestisida lebih rendah dibandingkan dengan kontrol kecuali perlakuan BPMC. Menurunnya konsentrasi asam-asam fenolat menunjukkan bahwa telah terjadi oksidasi C dari asam fenolat.Jenis asam-asam fenolat yang terdeteksi berbeda pada setiap perlakuan.

0 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5

24 48 96 120 168

e m si C H 4 (ppm ) Waktu (jam) BMPC Difenoconazole Paraquat tanpa


(51)

29

Tabel 4.6. Analisis konsentrasi asam-asam fenolat

Perlakuan asam ferulat asam siringat asam sinapat asam p-kumarat asam vanilat

asam p-hidroksi benzoat

Total Asam (mg L-1)

P-H1 1,0 x10-2 tu tu 5,7x10-2 1,6 x10-2 tu 8,3 x10-2

P-H2 4,5 x10-2 tu 4,93 tu 3,3 x10-2 tu 5,01

P-H4 6,5 x10-2 tu 9,85 tu 3,5 x10-2 tu 9,95

P-H5 0.19 tu 10,30 tu 3,6 x10-2 tu 10,53

P-H7 0.29 tu 4,48 tu 1,7 x10-2 tu 4,79

D-H1 tu 2,4 x10-2 21,05 1,5x10-2 tu tu 21,09

D-H2 2,2 x10-2 1,4 x10-2 19,04 1,9x10-2 tu tu 19,09

D-H4 2,2 x10-2 1,4 x10-2 12,76 1,4x10-2 tu tu 12,82

D-H5 0.15 1,3 x10-2 17,69 2,5x10-2 1,4x10-2 tu 17,89

D-H7 0.20 2,9 x10-2 7,84 5,9x10-2 tu tu 8,13

B-H1 4,5x10-2 tu 5,37 1,2x10-2 tu tu 5,43

B-H2 2,2x10-2 1,4x10-2 16,80 1,4x10-2 tu tu 16,85

B-H4 tu tu 16,80 1,8x10-2 tu tu 16,82

B-H5 0,24 0,7x10-2 20,60 1,1x10-2 tu tu 20,87

B-H7 0,19 1,9x10-2 15,90 1,9x10-2 tu tu 16,14

T-H1 0,18 tu 25,53 Tu 9x10-2 tu 25,73

T-H2 3,6x10-2 tu 15,45 Tu 1,2x10-2 tu 15,50

T-H4 4,5x10-2 tu 14,33 Tu 0,7x10-2 tu 14,39

T-H5 4,4x10-2 tu 16,12 4,4x10-2 0,9x10-2 tu 16,22

T-H7 3,9x10-2 tu 12,32 5,4x10-2 1,1x10-2 tu 12,42

Ket: tu= tidak terukur; B= Tanah Gambut+ BMPC; D= Tanah Gambut+ Difenoconazole; P= Tanah Gambut +Paraquat; T= Tanah Gambut tanpa Pestisida

Pada pemberian paraquat, asam fenolat yang terdeteksi adalah asam ferulat, asam sinapat, asam p-kumarat dan asam vanilat. Pada Perlakuan difenoconazole asam fenolat yang terdeteksi adalah asam ferulat,asam siringat, asam p-kumarat dan asam vanilat. Sementara pada perlakuan BPMC asam fenolat yang terdeteksi adalah asam ferulat,asam siringat, asam sinapat dan asam p-kumarat. Pada perlakuan tanpa pestisida asam fenolat yang terdeteksi adalah asam ferulat, asam sinapat, asam p-kumarat dan asam vanilat. Perbedaan ini dipengaruhi oleh proses transformasi asam-asam fenolat menjadi asam fenolat bentuk lain. Perbedaan jenis bahan aktif dari setiap pestisida memicu perbedaan prosestransformasi asam fenolat. Hal ini sejalan dengan analisis konsentrasi asam fenolat awal (Tabel 4.2) yang didapatkan asam ferulat, asam sinapat dan asam vanilat, kemudian setelah diinkubasi (Tabel 4.6) terdeteksi asam fenolat lain sepertiasam siringat dan asam p-kumarat. Berdasarkan Stevenson (1994) proses transformasi asam-asam fenolat berubah menjadi asam fenolat lain dilakukan oleh mikroba, kemudian berubah


(52)

30

menjadi quinon dilakukan oleh enzim phenoloxidase sehingga terdegradasi menjadi senyawa lebih sederhana yaitu asam humik dan fulvik. Penelitian Gupta

et al (1986) menunjukkan degradasi pada asam sinapat dapat dilakukan oleh

Rhodoorula glutinis dan menghasilkan asam siringat, asam 3-0-metil galat, asam galat dan asam 2,6-dimetoki-1,4benzoquinon.

4.7. Keterkaitan Emisi CO2 dan Konsentrasi Asam-Asam Fenolat

Uji kolerasi Emisi CO2 dan konsentrasi asam-asam fenolat disajikan pada Gambar 4.3. Berdasarkan analisis kolerasi sederhana antara Emisi CO2 dan konsentrasi asam fenolat adalah 0,67. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang cukup kuat antara Emisi CO2 dengan konsentrasi asam-asam fenolat sehingga semakin tinggi Emisi CO2 maka semakin rendah konsentrasi asam fenolat (Sugiyono 2007). Beberapa titik tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya Emisi CO2 ini bisa berasal dari oksidasi C dari asam-asam fenolat.

Pada analisis tanah awal, dimana konsentrasi asam sinapat (Tabel 4.2) sangat tinggi mencapai 86,40 mg L-1, setelah diinkubasi selama 168 jam pada perlakuan tanpa pestisida menurun hingga 12,42mg L-1 (Tabel 5). Pada perlakuan pestisida (paraquat, difenoconazole dan BPMC) juga mengalami penurunan setelah diinkubasi. Berdasarkan Stevenson (1994) proses dekomposisi dan degradasi pada asam fenolat dapat menghasilkan CO2 dan H2O serta asam fenolat dalam bentuk lain. Proses dekomposisi dan degradasi yang terjadipada asam-asam fenolat adalah demetoksilasi. Proses ini adalah terdegradasinya grup metoksil pada cincin benzen dalam suasana aerobik dan menghasilkan reaksi oksidasi CO2. Sehingga dapat disimpulkan emisi CO2 pada setiap perlakuan berasal dari degradasi dan dekomposisi asam fenolat, respirasi mikroorganisme, dan bahan aktif pestisida


(53)

31

Gambar 4.3. Uji kolerasi kumulatif Emisi CO2 dan Konsentrasi asam fenolat

4.8. Pengukuran pH pada Tanah Gambut yang di Inkubasi

Pada Tabel 4.7 menunjukkan pengukuran pH yang memiliki kecenderungan stabil diantara 4,3 sampai 5. Ini menunjukkan, bahwa dengan penambahan pestisida pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Berbeda pada tanah sawah yang diberi herbisida (HA-ACN, (2-amino-3-chloro-1,4-naphthoquinon) 9%), dengan bertambahnya waktu menyebabkan kenaikan pH dan menyebabkan respirasi CO2 menurun (Usui, 2011). Selain itu menurut Bennicelli (2008) pemberian pestisida (glifosat) pada tanah Histosol yang inkubasi selama 42 hari dapat meningkatkan aktifitas enzim dehidrogenase, pH, Eh dan produksi CO2.

Tabel 4.7. Pengukuran pH Tanah Inkubasi Waktu

(Jam) Paraquat Difenoconazole Bpmc

24 4,90 5,05 5,00

48 4,30 4,50 4,80

96 4,40 4,50 4,50

120 4,77 4,65 4,70

168 4,90 4,00 4,80

-20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

- 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00

A k u m u la si e m is i C O 2 m g CO 2 kg -1

Konsetrasi asam-asam fenolat (ppm)


(54)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pemberian pestisida pada dosis anjuran selama 168 jam meningkatkan emisi CO2 [metode titrasi], dan menurunkan emisi CH4. Emisi CO2 tanpa disertai dengan perubahan pH tanah. Pemberian pestisida selama 168 jam menurunkan jumlah asam-asam fenolat di dalam tanah gambut. Emisi CO2 berasal dari oksidasi C asam-asam fenolat dan bahan-bahan aktif pestisida.

5.2. Saran

Penelitian lebih lanjut dan terperinci perlu dikaitkan terhadap pengaruh jangka panjang dan berbagai dinamika sifat kimia dan biologi tanah.


(55)

33

DAFTAR PUSTAKA

Adhayanti Y. 1997. Biomassa karbon mikroorganisme (Cmic) pada berbagai tipe penghunaan lahan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Agus F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon pada Lahan Gambut ; Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta (ID): Indonesian Soil and Water Conservation Society.

Agus F dan IGM Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan

Aspek Lingkungan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah dan World

Agroforestry Centre (ICRAF).

Agus F, K Hairiah dan A Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Petunjuk Praktis. Bogor (ID): WorldAgroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan SumberdayaLahan Pertanian (BBSDLP).

Anas I. 1989. Petunjuk Laboratorium Biologi dalam Praktek Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor (ID): Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Andrriesse JP. 1988. Nature and management of tropical peat soil. Roma (IT):

FAO Soil Bulletin 5:5.

Angeles OR, SE Johnson, and RJ Buresh. 2006. Soil solution sampling for organic acid in rice paddy soil. Soil Sci. Soc. Am J. 70:48-56.

Anwar S, T Kosaki, K Yonebayashi. 2004. Cupric oxide oxidation products of tropical peat soils. Soil Sci. Plant Nutr. 50 (1):35-43.

Arce F, AC Iglesias, R Lopez, D Gondar, Antelo, and JS Fiol. 2011. Interactions BetweenIonic Pesticides and Model Systems For Soil Fractions. In: Pesticides in The Modern World - Risks and Benefits. (Ed) Stoytcheva M. Croatia: InTech. p: 472-488

Arimurty S. 1997. Populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah pada berbagai tipe pengunan lahan [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Bartha R, RP Lanzilotta, and D Pramer. 1967. Stability and effects of some pesticide in soil. In Applied Microbiology. (Ed) The State University, New Jersey (US). p:67-75.


(56)

34

Barchia MF. 2002. Emisi Karbon dan Produktivitas Tanah pada Lahan Gambut yang Diperkaya Bahan Mineral Berkadar Besi Tinggi Pada Sistem Olah Tanah yang berbeda [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Barabas K. 1998. Environmental Health Criteria 198: Diazinon. United Nations Environment Programme. International Labour Organisation,World Health Organization.

[BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Laporan Tahunan, Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Bennicelli RP, A Szafranek-Nakonieczna, A Woliñska, Z Stêpniewska, and M Bogudziñska. 2008. Influence of pesticide (glyphosate) on dehydrogenase activity, pH, Eh and gases production in soil (laboratory conditions). Int. Agrophysics. 23:117-122.

Brady NC. 1990. The nature and properties of soils. 10th Eds. New York (US): Macmillan Publishing Co.

Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka.

Driessen PM. 1978. Peat soil. In: IRRI Soil and rice. (Ed) IRRI. Los Banos (PH): IRRI. p: 763-779

Ehhalt DH, and U Schmidt. 1978. Sources and sinks of atmospheric methane. Pure Appl. Geophys. 116: 452-464.

[EPA] Environmental Protection Agency. 1998. Fate, Transport and transformation test guidelines. OPPTS 835.1220. Sedimen and Soil and Adsortion/Desorption Isotherm. United State Environmental Protection Agency.

Gerstler Z. 1991. Behaviour of organic agrochemicals in irrigated soils. In: Chemistry, Agriculture and the Environment. (Ed) M.L.Richardson. Cambridge (GB): Royal Society of Chemistry. p. 332-369.

Gupta JK, C Jebsen, and H Kneifel. 1986. Sinapic acid Degradation by the Yeast Rhodotoruka glutinis. J. General. Microbiol. 132:2793-2799.


(57)

35

Harrad SJ. 1996. The Environmental Behaviour of Toxic Organic Chemicals. In:

Pollution, Cause, Effects and Control. (Ed) RM Harrison. 3rd Edition.

Cambridge (GB): The Royal Society of Chemistry. p:367-392.

Hardjowigeno S. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hui L, G Sheng, BJ Teppen, CT Johnston, and SA Boyd. 2003. Sorption and desorption of pesticide by clay mineral and humic acid-clay complexes. Soil Sci. Soc. A. J. 67(1): 122-131.

Ismudji M, and G Soepardi. 1984. Peat soil and crop production. In: IRRI Organic Matter and Rice. (Ed) IRRI Los Banos (PH): IRRI. p:288-502. Kartikawati R, HL Susilawati, M Ariani, P Setyanto. 2011. Teknologi Mitigasi

Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah; Pencegahan Gas Rumah Kaca. Sinar Tani: 7. 21-27 September 2011.

Katase T. 1981. Distribution of difftent form of h pydroxybenzoic, vanilic, p-coumaric, and ferulic acid in forest soil. Soil Sci. Plant Nutr. 27(3). 365-371. Kementrian Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan

Beredar. Direktorat Jenderal Sarana Dan Prasarana Pertanian, Direktorat Pupuk Dan Pestisida.

Krik G, 2004. The Biogeochemistry of Submerge Soil. New York (US): John Willey and Sons Inc.

Lynn WC, WE McKinzie and RB Grossman. 1974. Field Laboratory Test for Characterization of Histosol. Soil Sci. Soc. of Am. J. 6: 11-20.

Mario MD. 2002. Peningkatan Produktifitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengam Pemberian Tanah Mineral Padi diperkaya Bahan Berkadar Besi Tinggi [Desertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mario MD, dan S Sabiham. 2002. Penggunaan tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar Fe tinggi sebagai amelioran dalam meningkatkan produksi dan stabilitas gambut. Jurnal Agroteksos 2(1): 35-45.

Mori A, M Hojito, M Shimizu, S Matsuura, T Miyaji and R Hatano. 2008. N2O and CH4 fluxes from a volcanic grassland soil in Nasu, Japan: Comparison between manure plus fertilizer plot and fertilizer-only plot. Soil Sci. Plant Nutr. 54:606–617.


(58)

36

Morley RJ. 1981. Development and vegetation dynamics of lowland ambrogenous peat swamp in Kalimantan Tengah Indonesia. J.Biogeography 8: 383-404 Muktamar Z, T Rahma, dan N Setyowati. 2006. Adsorbsi herbisida paraquat oleh

tanah Dystrandep, Paleudult, dan Psamment pada berbagai konsentrasi NaCl dan MgCl2. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 8.

Miles JRW, Harris CR, Moy P. 1978. Insecticide Residues in Organic Soil of the Holland Marsh, Ontario, Canada, 1972-75. J. Economic entomology 71(1): 97-105

Moore TR And Dalva M. 1993. The influence of temperature and water-table position on carbon dioxide and methane emissions from laboratory columns of peatland soils. J. of Soil Sci. 44: 651–664.

Najiyati S, L Muslihat dan INN Suryadiputra. 2005. PanduanPengelolaan Lahan

Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests

and Peatlands in Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International- Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Parish F, A Sirin, D Charman, H Joosten, T Minayeva, M Silvius, and L Stringer. 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main

Report. Wageningen (NL): Global Environment Centre, Kuala Lumpur and

Wetlands International.

Pedersen HJ, P Kudsk, and A Helweg. 1995. Adsorption and ED50 Values of Five Soils-Applied Herbicides. Pesticide Science 44, 131-136.

Polak B. 1975. Character and Occurence of Peat Deposits in the Malayan Tropics.

In Proceeding of the Symposium Modern Quaternary Research in

Indonesia. p:71-81

Porteous A. 1992. Dictionary of Environmental Science and Technology. 2nd Ed. New York (US): John Willey and Sonss Ltd.

Prasetyo TB. 1996. Perilaku Asam-asam Organik Meracun pada Tanah Gambut yang diberi Garam Na dan Ca serta beberapa Unsur Mikro dalam Kaitannya Dengan Hasil Padi [Desertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rahayuningsih E. 2009. Analisis Kuantitatif Perilaku Pestisida di Tanah. Jogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.


(59)

37

Rieley JO, Wüst RAJ, Jauhiainen J, Page SE, Ritzema H, Wösten H, Hooijer A, Siegert F, Limin S, Vasander H, and Stahlhut M. 2008. Tropical Peatlands, Carbon stores, Carbon Gas Emissions and Contribution to Climate Change Processes. In Peatlands and Climate Change. (Ed) Strack M. International Peat Society, Jyväskylä (FI). p:148–181.

Sabiham S. 2010. Properties of Indonesian Peat in Relation to the Chemistry of Carbon Emission. Proc.of Int. Workshop on Evaluation and Sustainable

Management of Soil Carbon Sequesteration in Asian Countries. Bogor,

Indonesia Sept. 28-29, 2010. p:205-216.

Sahid I, A Hamzah, and PM Aris. 1992. Effects of paraquat and alachlor on soil microorganisms in peat soil. Universiti Kebangsaan Malaysia. Pertanika J. Trap. Agric. Sci. 15(2):121-125.

Sahid, I., Z. Kasim. 1994. Effects of High Rate of Alachlor and Metolachlor on Microbial Activities in Soil. Pertanika J. Trap. Agric. Sci. 17(1): 43-47. Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut Yang Disawahkan

Dengan Pemberian Ameliorant Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sánchez-Camazano M, E Iglesias-Jiménez, MJ Sánchez-Martín. 1997. City refuse compost and sodium dodecyl sulphate as modifiers of diazinon leaching in soil. Chemosphere 35(12): 3003-3012.

Schnitzer M and SU Khan. 1978. Soil Organic Mattter. New York (US): Elservier Scientific Publishing Company.

Smith KA, Ball T, Conen F, Dobbie KE, Massheder J, Rey A. 2003. Exchange of greenhouse gases between soil and atmosphere: interactions of soil physical factors and biological processes. European J. of Soil Sci. 54: 779–791. Smith SN, AJE Lyon and I Sahid. 1976. The Breakdown of Paraquat and Diquat

by Soil Fungi. New Phytol. 77: 735-740.

Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. (2nd Edition ). New York (US): John Wiley & Sons Inc.


(60)

38

Soil Survey Staf. 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Ed kedua Bahasa Indonesia, 1999. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administasi. Bandung (ID): Alfabeta.

Suprihatin, NS Indrasti, dan M Romli. 2002. Potensi penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengomposan sampah. J. Tek. Ind. Pert. 18(1). p: 53-59

Susilawati, M Sabran, R Massinai, dan Rukayah. 2005. Paket teknologi usaha tani lahan pasang surut di Kalimantan Tengah. Proseding Seminar Hasil Penelitian & Pengkajian Teknologi Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. p:55-63.

Tan KH. 1993. Principles of Soil Chemistry. New York (US): Marcel Dekker Inc. Tadano T, K Yonebayashi, and N Saito. 1992. Effect of phenolic acids on the

growth and occurance of sterility in crop plant. In: Coastal lowland

ecosystems in Southerrn Thailand and Malaysia. (Eds) Kyuma K, P

Vijamsorn, and A Zakaria. Kyoto(JP): Showado-Printing Co.

Thom E, JCG Ottow, G Benckiser. 1998. Degradation of the fungicide difenoconazole in a silt loam soil as affected by pretreatment and organic amendment. Environment Pollution 96(3): 409-414.

Tsutsuki K and R Kondo. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different types of peat profiles in Hokkaido. Japan. Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527.

Usui Y and T Kasubuchi. 2011. Effects of herbicide application on carbon dioxide,dissolved oxygen, pH, and RpH in paddy-field ponded water. Soil Sci. Plant Nutr. 57:1-6.

Van der Gon HACD, and HU Neue. 1995. Influence of Organic Matter Incoporation on the Methane Emission from Wetland Rice Field. Global Biogeochem. Cycles 9:11-22.

Wang TSC, TT Yang, and TT Chang. 1963. Soil phenolic acid as plant growth inhibtitors. Soil Sci. 103:239-246.

Young RN, AMO Mohamed and BP Warkentin. 1992. Principle of Contaminant Transport in Soils. Amsterdam (NL): Elsevier.


(61)

(62)

(63)

39

Lampiran 1. Perhitungan konsetrasi CO2 metode titrasi

perlak uan

h-1 h-2 h-4 h-5 h-7 h-1 h-2 h-4 h-5 h-7

mg CO2/pot (be=44/2) ppm (mg/kg)

P1 2,67 9,28 13,55 13,76 14,62 31,97 111,24 162,38 164,94 175,17 P1 6,72 5,87 11,84 13,76 14,83 80,55 70,32 141,93 164,94 177,73 D1 3,73 7,79 13,12 13,34 13,34 44,75 93,34 157,27 159,83 159,83 D2 3,95 7,36 12,06 13,12 14,19 47,31 88,22 144,48 157,27 170,06 B1 3,73 6,72 12,48 12,91 14,19 44,75 80,55 149,60 154,71 170,06 B2 6,72 5,44 13,34 12,91 15,68 80,55 65,21 159,83 154,71 187,96 Tanpa 2,45 6,94 12,48 12,91 13,12 29,41 83,11 149,60 154,71 157,27


(64)

40

Lampiran 2. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari pertama

Inkubasi H- 1

Perlakuan time (menit) ppm

BPMC 0 3,999

10 4,943

20 4,351

Difenoconazole 0 5,010

10 4,764

20 4,760

Paraquat 0 3,700

10 3,705

20 3,596

Tanpa pestisida 0 4,306

10 4,425


(65)

41

Lampiran 3. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari kedua

Inkubasi H-2

perlakuan time (menit) Ppm

BPMC 0 2,356

10 2,291

20 2,545

BPMC 0 2,029

10 1,995

20 1,675

Difenoconazole 0 2,360

10 2,425

20 2,266

Difenoconazole 0 1,881

10 1,828

20 1,878

Paraquat 0 2,399

10 2,613

20 2,395

Paraquat 0 2,077

10 2,241

20 2,023

Tanpa Pestisda 0 2,720

10 2,831


(66)

42

Lampiran 4. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari keempat

Inkubasi H-4

Perlakuan time (menit) ppm

BPMC 0 1,729

10 1,908

20 1,766

BPMC 0 1,805

10 2,064

20 1,852

Difenoconazole 0 2,335

10 2,047

20 1,833

Difenoconazole 0 1,816

10 1,929

20 2,392

Paraquat 0 1,878

10 2,029

20 1,958

Paraquat 0 2,040

10 2,142

20 2,327

Tanpa Pestisida 0 1,908

10 1,754


(67)

43

Lampiran 5. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari kelima

Inkubasi H-5

Perlakuan time (menit) Ppm

BPMC 0 2,019

10 1,756

20 1,917

BPMC 0 2,019

10 1,756

20 1,917

Difenoconazole 0 1,577

10 1,570

20 1,752

Difenoconazole 0 1,551

10 1,968

20 1,571

Paraquat 0 1,705

10 1,993

20 2,101

Paraquat 0 2,182

10 2,034

20 1,784

Tanpa Pestisida 0 2,727

10 2,779


(68)

44

Lampiran 6. Perhitungan emisi CH4 pada inkubasi hari ketujuh

Inkubasi H-7

Perlakuan time (menit) ppm

BPMC 0 1,989

10 1,735

20 1,745

BPMC 0 1,775

10 2,025

20 1,844

Difenoconazole 0 1,829

10 1,855

20 1,988

Difenoconazole 0 1,881

10 1,828

20 1,878

Paraquat 0 1,819

10 1,701

20 1,867

Paraquat 0 2,154

10 1,541

20 2,063

Tanpa Pestisida 0 2,810

10 2,947


(1)

Lampiran 8. Perhitungan konversi mg CO2 pada konsentrasi asam-asam fenolat

Ket: tu = Tidak terukur

Lampiran 9. Perhitungan konversi mg CO2 pestisida yang diberikan

Perlakuan mg CO2 Rumus bangun DT50

Paraquat 1,83 C12H14Cl2N2 14 hari

Difenoconazole 0,94 C19H17Cl2N303 53 hari

BPMC 1,09 C12H17NO2 7-9 hari

Asam fenolat

Konsentrasi (mg CO2)

Awal BPMC Difenoconazole Paraquat Tanpa Asam ferulat 0,02 0,29 0,23 0,26 0,16 Asam siringat Tu 0,03 0,04 tu tu Asam sinapat 183,19 32,62 33,88 33,25 36,20 Asam

p-kumarat Tu 0,04 0,06 0,05 0,12

Asam vanilat 4,2 x10-3 0,03 0,03 0,02 Asam

p-hidroksibenzoat Tu tu tu tu tu


(2)

47

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1987 sebagai anak kedua dari pasangan Indra Sumardi dan Hetty Haryati AR. Penulis menempuh studi sarjana di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan dan Minor Ekonomi Lingkungan di Institut Pertanian Bogor mulai tahun 2005 dan lulus tahun 2009. Setelah lulus program sarjana, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Program Studi Ilmu Tanah tahun 2010. Bagian tesis ini sedang diajukan ke dalam Jurnal Tanah dan Iklim, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor dengan No Akreditasi 471/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 dengan judul ”Uji pemberian Paraquat, Difenoconazole, dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) terhadap emisi CO2 dan perubahan konsentrasi asam-asam fenolat di tanah gambut”.


(3)

(4)

(5)

(6)

39

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1987 sebagai anak kedua dari pasangan Indra Sumardi dan Hetty Haryati AR. Penulis menempuh studi sarjana di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan dan Minor Ekonomi Lingkungan di Institut Pertanian Bogor mulai tahun 2005 dan lulus tahun 2009. Setelah lulus program sarjana, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Program Studi Ilmu Tanah tahun 2010. Bagian tesis ini sedang diajukan ke dalam Jurnal Tanah dan Iklim, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor dengan No Akreditasi 471/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 dengan judul ”Uji pemberian Paraquat, Difenoconazole, dan Butylphenylmethyl Carbamate (BPMC) terhadap emisi CO2 dan perubahan konsentrasi asam-asam fenolat di tanah gambut”.