Sistematika Skripsi Masyarakat Jawa dan Kejawen

12 Etnomedisin dalam penelitian ini merupakan sistem pengobatan atau cara pengobatan yang berlandaskan pada pengetahuan pengobatan lokal yang dilakukan oleh masyarakat tertentu yang biasanya disebut dengan pengobatan sistem medis tradisional dengan praktisi adalah seorang tokoh yang mempunyai kekuatan gaib atau supranatural ataupun tanpa adanya seorang praktisi tertentu. 4. Masyarakat Tanggulangin Secara administrasi masyarakat Desa Tanggulangin merupakan salah satu desa yang berada di daerah Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Desa ini terdiri dari beberapa dusun, yaitu Dusun Ngguyangan, Dusun Wangklu, Dusun Krajan, Dusun Tanggungan, Dusun Mundu, Dusun Dongjero, dan Dusun Tawing. Ketujuh dusun tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa yang bertugas di Dusun Tanggungan sebagai pusat administrasi.

F. Sistematika Skripsi

Tujuan digunakan sistematika skripsi ini adalah untuk memudahkan peneliti dalam menyusun laporan yang sistematis, sehingga diperoleh deskripsi yang jelas dan mendetail mengenai skripsi. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut: Bagian pendahuluan, berisi: balaman judul, halaman pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar, dan daftar lampiran. 13 Bagian inti skripsi berisikan: bab i pendahuluan, bab ii tinjauan pustaka, bab iii metode penelitian, bab iv hasil penelitian dan pembahasan, dan bab v simpulan dan saran. Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan sistematika skripsi. Bab II Tinjauan pustaka yang terdiri atas uraian tentang masyarakat Jawa dan Kejawen; sistem medis tradisional yang terdiri atas pengelompok sistem medis, sistem medis tradisional sebagai sistem medis lokal, dan sistem medis lokal dalam masyarakat Jawa, konsep sehat-sakit dan penyakit serta landasan teori tentang etiologi penyakit pada masyarakat Jawa dan kerangka berpikir. Bab III Metode penelitian, yang meliputi dasar penelitian, uraian lokasi tentang lokasi penelitian, fokus penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data, validitas data, serta analisis data. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisi uraian kondisi geografis, kependudukan, uraian tentang dongke dalam masyarakat Tanggulangin, pemahaman konsep mengenai sehat-sakit dan penyakit, bentuk praktik pengobatan dongke, pandangan masyarakat Tanggulangin terhadap keberadaan pengobatan dongke, serta upaya dongke sebagai praktisi pengobatan sistem medis tradisional etnomedisin pada masyarakat Desa Tanggulangin. Bab V Penutup, yang terdiri dari simpulan dan saran-saran. Pada akhir skripsi berisi daftar pustaka serta lampiran-lampiran yang mendukung dan memberikan arah dalam penelitian. 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Masyarakat Jawa dan Kejawen

Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah “orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialek dalam kehidupan sehari-hari dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur serta mereka yang berasal dari daerah tersebut” Herusatoto, 2003:37. Masyarakat Jawa yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang beretnis Jawa yang masih berkomitmen terhadap kebudayaan Jawa baik yang tinggal di Jawa maupun yang tinggal di luar pulau Jawa. “Batasan masyarakat Jawa ini tidak membedakan orang Jawa dalam varian bagaimana yang dirumuskan oleh Cliffod Geertz yaitu “Priyayi, Santri dan Abangan”, melainkan lebih ditekankan pada komitmen dari masyarakat Jawa terhadap kebudayaan” Damami dalam Fitriyati, 2006:20. Sedangkan menurut Koentjaraningrat 1989 tipikal masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga sub- kebudayaan yang meliputi Abangan tipikal ini menekankan pentingnya aspek- aspek animistik, Santri tipikal ini menekankan pentingnya aspek-aspek Islam, dan Priyayi menekankan aspek-aspek kebudayaan Hindu-Budaha. Sementara menurut Sujamto dalam Daniroh, 2009:12-13 kata kejawen secara etimologis berasal dari kata “Jawi” yang merupakan bentuk halus atau krama dari kata “Jawa”. Seperti halnya kata “Kabupaten” yang berasal dari kata “Bupati” dengan awalan ka dan akhiran an, “kamantren” adalah dari kata “Mantri” dengan awalam ka dan akhiran an. Dalam perkembangannya, istilah Kemantren, Kejawen. Sebutan kejawen sendiri mengandung makna yang 15 terkait dengan religi atau kepercayaan masyarakat Jawa yang dipengaruhi unsur mistisisme dan Islam. Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan Jawa sejak munculnya Islam. Pada masa itu, kehidupan beragama terimbas oleh pemikiran animistis serta apa yang dinamakan doktrin dan praktik Hindu-Budha yang bergabung menjadi satu, yang menawarkan lahan subur bagi magic, mistisisme, pengagungan jiwa-jiwa yang sakti dan sebagainya. Agama Islam mampu mengokohkan diri dengan kuat di kawasan pantai pulau Jawa. Bergerak lebih jauh ke pedalaman, bentuk masyarakat yang lebih lama aristokrat dan hierarkis mampu mempertahankan diri seraya menerima unsur-unsur Islam. Perpaduan ini, melahirkan peradaban Jawa Tengah, yang berpusat di istana-istana raja Surakarta dan Yogyakarta. Peradaban inilah yang secara umum memperoleh sebutan kejawen. Pada zaman kerajaan Mataram, seluruh kerajaan dibagi kedalam tiga lapisan wilayah atau mandala secara konsentris yaitu, Nagara atau Negara, Nagaragung atau Nagarigung dan Mancanegara atau Mancanagari. Berkaitan daerah budaya tersebut, Nagaragung atau Nagaraigung merupakan nama lain dari daerah Kejawen. Dengan kata lain, daerah Kejawen adalah daerah-daerah dimana pengaruh kebudayaan keraton Surakarata dan Yogyakarta masih cukup kental. Itulan sebabnya mengapa daerah-daeah Kejawen juga disebut daerah sub-budaya keraton. Selain itu, Koentjaraningrat mengatakan bahwa Kejawen merupakan “Agama Jawi” atau bentuk agama Islam orang Jawa adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Sedangkan agama Islam Santri tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur Hindu- Budha, tetapi lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya. Tentang bagaimana asal mula lahirnya Jawa Kejawen atau biasa disebut Islam abangan, Nur Syam 2005:5-6 berpendapat bahwa, “Islam di Jawa berkembang melalui pesisir dan terus berkelanjutan ke wilayah pedalaman”. Kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah pesisir pada 16 masa-masa Islam di Jawa menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang tidak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian, yang terjadi adalah sinkretisme dan atau akulturasi budaya, seperti; praktik keyakinan iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan lokal. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Simuh 2003:40, bahwa “suku- suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar religiusitas, dari hukum adat sebagai pranata sosial mereka”. Religi animisme- dinamisme yang menjadi akar budaya asli Indonesia khususnya masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju. Kerangka pikir kejawen, menurut Mulder 2001:138 bahwa “rasionalitas selalu digabungkan dengan intuisi”. Hal ini adalah rasa pikir yang berasal dari kesadaran bahwa selalu ada sesuatu yang noneksplisit dan tak dapat dipahami dengan akal saja. Ia juga menambahkan bahwa hal tersebut menjadi alasan orang Jawa lebih bersifat induktif, menganalisis pengalaman dan peristiwa sambil meraih esensinya rasanya, kebenaran dibalik fenomena secara intuitif

B. Sistem Medis Tradisional Etnomedisin