II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perbankan dan Bank Perkreditan Rakyat BPR
2.1.1. Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan usahanya.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Bentuk yang disalurkan kepada masyarakat tersebut adalah berupa kredit.
Tujuan dari pemberian kredit adalah untuk membantu mengatasi kesulitan modal terutama pengusaha kecil sehingga modal usahanya dapat meningkat dan dapat
digunakan untuk mengembangkan usaha. Pada akhirya, pemberian kredit ini dapat meningkatkan laju dan pemerataan pembangunan ekonomi Indonesia. Selain itu,
kredit dapat membuat modal kerja menjadi lebih produktif dan dapat memperluas arus barang dari produsen ke konsumen. Dengan demikian, secara umum peranan
bank dalam masyarakat adalah sebagai penghimpun dana dari masyarakat, penyalur dana dalam bentuk kredit dan dapat memperlancar kegiatan transaksi
perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut menyebabkan semakin
meningkatnya jangkauan luas pelayanan perbankan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya jumlah bank yang memiliki kantor cabang di pedesaan, tumbuh
dan berkembangnya BPR dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Dalam pasal 5 Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1992 menyatakan bahwa secara umum menurut jenisnya, bank terbagi menjadi dua, yaitu Bank Umum dan
Bank Perkreditan Rakyat BPR. Bank Umum mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau dapat memberikan perhatian yang lebih besar
kepada kegiatan tertentu. Lain halnya dengan BPR yang memiliki ruang lingkup terbatas dan sempit jika dibandingkan dengan bank Umum.
Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, Bank Umum adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dimana dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Sifat jasa yang diberikan oleh Bank adalah umum, maksudnya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.
2.1.2. Bank Perkreditan Rakyat BPR
Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang dikenal dengan Pakto 88 membahas mengenai kebijaksanaan deregulasi di bidang moneter, keuangan dan
perbankan Suharto, 1996. Kebijaksanaan ini ditujukan untuk mendukung adanya liberalisasi dalam bidang perbankan. Inti dari kebijakan ini adalah memberikan
kelonggaran kepada bank, baik bank asing maupun bank domestik untuk mendirikan kantor cabang di daerah. Kebijakan Pakto 88 ini turut mendukung bagi
tumbuh dan berkembangnya Bank Perkreditan Rakyat BPR maupun lembaga- lembaga keuangan formal lainnya. Dengan demikian, diharapkan pengusaha-
pengusaha kecil yang ada di daerah dapat merasakan pelayanan perbankan. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Perbankan Nomor 7 Tahun
1992, yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 menyebabkan semakin maraknya pendirian BPR maupun
lembaga keuangan lainnya. BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah dimana dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan demikian, kegiatan BPR jauh lebih
terbatas bila dibandingkan dengan Bank Umum. Keterbatasan ini terkait dengan kegiatan BPR yang tidak dapat menciptakan uang dan tidak dapat memberikan
pinjaman melebihi dana yang dihimpunnya, oleh karenanya BPR tergolong ke dalam bentuk bank sekunder Dendawijaya, 2001.
Dalam kegiatan pendirian BPR maupun lembaga keuangan lainya harus mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendirikan usaha di bidang perbankan yaitu :
1. Adanya susunan organisasi dan kepengurusan
2. Permodalan
3. Kepemilikan
4. Keahlian di bidang perbankan
5. Kelayakan rencana kerja
Selain itu, dijelaskan juga mengenai usaha-usaha yang dapat dilakukan BPR dan kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan. Adapun usaha-usaha BPR yaitu
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa
deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit.
c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai ketetapan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. d.
Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.
Sedangkan kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh BPR yaitu : 1.
Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
2. Melakukan usaha dalam valuta asing.
3. Melakukan usaha perasuransian.
4. Melakukan penyertaan modal.
5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan yang telah ditentukan diatas.
Disamping persyaratan yang harus dipenuhi dalam mendirikan BPR, BPR harus memilih bentuk badan hukum bagi pendiriannya. Bentuk-bentuk badan
hukum BPR, antara lain yaitu : a.
Perusahaan Daerah PD b.
Koperasi c.
Perseroan Terbatas PT d.
Bentuk lain yang ditetapkan pemerintah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992 bahwa kegiatan operasional BPR berada di daerah pedesaan yaitu di wilayah Kabupaten, di luar
ibukota negara, ibukota provinsi, ibukota kotamadya dan ibukota kabupaten. Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa BPR memiliki wilayah usaha yang
terbatas pada lingkungan Kabupaten dan beberapa desa tertentu saja Aliff, 1996. Fungsi didirikannya BPR di wilayah pedesaan adalah untuk menghimpun dana dan
menyalurkannya kembali pada masyarakat pedesaan. Dengan fungsinya tersebut, BPR diharapkan mampu memberikan pelayanan bagi golongan pengusaha kecil.
Sesuai dengan misi yang diemban, industri BPR telah diakui memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia, khususnya dalam melayani jasa keuangan
kepada usaha mikro dan kecil. Hal ini sejalan dengan karakteristik bisnis BPR sebagai community bank yakni dengan lokasi yang dekat dengan segmen
masyarakat yang membutuhkan, prosedur pelayanan kepada nasabah yang sederhana dan mengutamakan pendekatan personal dengan latar belakang kultur
masyarakat setempat, serta fleksibilitas dalam pola dan model pinjaman yang diberikan.
Secara umum dalam dua tahun terakhir industri BPR menunjukkan kinerja yang membaik, tercermin pada beberapa indikator seperti meningkatnya volume
usaha, DPK, kredit yang disalurkan, kredit bermasalah. Volume usaha meningkat dari Rp. 9,1 trilyun, menjadi Rp. 17,3 trilyun, DPK meningkat dari Rp. 6,1 trilyun
menjadi Rp. 11,6 trilyun dan kredit meningkat dari Rp. 6,7 trilyun menjadi Rp. 12,6 trilyun. Perbaikan rasio NPL menurun dari 8,65 pada akhir tahun 2002 menjadi
7,81 pada akhir Maret 2005. Jumlah kantor BPR pada akhir Maret 2005 tercatat
3,154 terdiri dari 2,164 kantor pusat 203 kantor cabang, 787 kantor pelayanan kas, dan diantaranya sebanyak 89 BPR beroperasi berdasarkan prinsip syariah.
Indikator-indikator ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Industri BPR terus membaik dan peran BPR dalam memberikan pelayanan jasa
keuangan kepada masyarakat juga terus meningkat. Media Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Edisi VI September 2005
Dari uraian diatas terlihat bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah di satu sisi dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya BPR. Namun,
di sisi lain justru semakin meningkatkan persaingan antar BPR maupun dengan lembaga keuangan lainnya. Untuk menghadapi fenomena tersebut, BPR perlu
melakukan pendekatan manajemen terpadu dalam merumuskan strategi bagi pengembangannya di masa yang akan datang. Pendekatan ini dimaksudkan agar
BPR dapat bertahan di tengah ketatnya persaingan lembaga perbankan di Indonesia. Dengan demikian, tujuan BPR sebagai lembaga intermediasi bagi masyarakat
pedesaan akan dapat terwujud dan berperan dalam pengembangan sektor agribisnis di Indonesia.
2.1.3. Manfaat Perkreditan