Sistematika Penulisan Skripsi Hasil

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat menambah serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang kedudukan hukum anak luar kawin sebagai ahli waris dan berapa bagian warisan yang didapat anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 menurut Hukum Islam. Memberikan sumbangan pemikiran dalam memecahkan permasalahan yang ada hubungannnya dengan bagian waris anak luar kawin.

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terbagi atas empat bab yang masing-masing terdiri beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan sustansi penelitiannya. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: Bab 1 : Pendahuluan Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab 2 : Tinjauan Pustaka Bab kedua ini membahas mengenai Kerangka Teoritis dan Kerangka Berfikir. Kerangka teoritis yang mendasari penulisan ini adalah tinjauan tentang perkawinan, tinjauan tentang anak luar kawin, tinjauan tentang warisan dan tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010. Bab 3 : Metode Penelitian Bab ketiga ini membahas tentang jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber penelitian, teknik analisis data. Bab 4 : Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini merupakan suatu hasil dari penelitian yang dilakukan peneliti mengenai bagian waris anak luar kawin sebagai ahli waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Bab 5 : Penutup Bab ini sebagai bagian aKompilasi Hukum Islamr dari penulisan penelitian mengenai simpulan dan saran sebagai suatu masukan maupun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama penelitian Daftar Pustaka Lampiran BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Perkawinan

2.1.1 Pengertian Perkawinan

Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan perkawinan di langsungkan sebagai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah tentram, cinta dan kasih sayang hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Selain dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian dan istilah pernikahan juga terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dimana Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan pernikahan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan Verbindtenis Hadikusumo, 1990 : 7. Tidak dinamakan perkawinan apabila yang terkait dalam perjanjian itu 2 dua orang pria saja ataupun 2 dua orang wanita saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian juga tidak merupakan pernikahan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan Prodjodikoro, 1974 : 7 . Perkawinan sendiri merupakan salah satu perintah agama khusunya dalam agama Islam dimana perkawinan harus segera dilaksanakaan oleh orang yang sudah mampu untuk melaksanaakan perkawinan. Hal ini sebagai suatu bentuk pengendalian diri dan menjauhakan kita dari maksiat dan perbuataan-perbuatan zina.

2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakaan mempunyai syarat dan rukun masing yang harus dipenuhi ataupun dilaksanakaan guna menjadi sahnya suatu perkawinan. Karena kita berada dalam Negara Hukum yang tidak lepas pula dari unsur agama yang sangat kental. Maka keberadaan hukum di dalam agama masing-masing juga ikut serta dalam peraturan nasional. Termasuk dalam peraturan perkawinan dalam Hukum Islam, antara lain mengenai syarat dan rukun perkawinan.

2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dikatakan disini syarat materiil perkawinan secara umum diambil dari aturan-aturan agama yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia mayoritas agama yang dianut Indonesia ialah Agama Islam tentunya peraturan yang ada dalam Agama Islam memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materiil perkawinan dalam Hukum Nasional Indonesia seperti adanya aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil perkawinan baik itu syarat materil yang telah mendapat penegasan dalam undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan tersebut dapat dilakukan pencegahan perkawinan atau dibatalkan jika telah terlaksana. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 selain menentukan dan mengatur syarat materil perkawinan, juga mengatur syarat formil sebagai syarat yang ditentukan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tersebut sebagai bentuk perlindungan yang diberikan Negara untuk ketertiban perkawinan bagi wargannya. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil perkawinan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan hanya memenuhi rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu. Penguraian Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 apabila dicermati memiliki pengertian yang ambigu. Pertama, dilihat pada Pasal 2 ayat 1 disebutkan perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti bahwa perkawinan antar orang-orang yang beragam Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaiman tersebut dianut oleh agamanya Hasan dan Sumitro, 1997 : 116. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat 1 di dalam Hukum Perkawinan Islam pencatatan perkawinan bukanlah rukun perkawinan. Agama Islam mengkatagorikan rukun perkawinan yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai sebagaimana telah di taqnin dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Sehingga dalam hal ini fungsi sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya sesuai Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Mazhab syafi’I menyebutkan bahwa perkawinan sah menurut Islam dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana adanya ijab qabul dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan Mazhab maliki memberikan pendapat bahwa perkawinan harus terlaksana dengan adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan adanya mahar dengan dilakukannya ijab qabul dan harus dihadiri oleh wali nikah karena tanpa wali perkawinannya tidak sah. Kaitanya tentang sahnya perkawinan sesuai Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam sebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan dapat diuraikan menurut Islam dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Untuk ketentuan harus adanya pencatatan, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1 diterangkan bahwa untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan tidak membuat perkawinan tersebut menjadi batal atau tidak sah, hanya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, yang mana kekuatan hukum itu kan menjadi pelindung atas akibat-akibat hukum yang mungkin terjadi atas perkawinan tersebut. Perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah PPN dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama hal ini sesuai Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pengajuan itsbat nikah terbatas pada hal-hal tertentu sesuai tertuang dalam Pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu dalam Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi syarat pernikahan sebagai berikut :

2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan

Syarat umum suatu pernikahan dikatakan sah apabila perkawinan dilakukan dengan tidak menentang larangan perkawinan yang berbeda agama. Dalam ketentuan Q. II ayat 221, kecuali S. Al Ma’adah ayat 5 yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, dan tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa’ ayat 22, ayat 23,dan ayat 24.

2.1.2.1.2 Syarat Khusus Perkawinan

Syarat Khusus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Dimana setiap calon pengantin tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil, baligh, sehat jasmani dan rohani 2. Harus ada wali nikah Mazhab Syafi’i 3. Harus membayar mahar mas kawin, dari laki-laki kepada perempuan 4. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil 5. Adanya ijab dan qobul.

2.1.2.2 Rukun Perkawinan

Rukun pernikahan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut Hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat pernikahan dilangsungkan. Murtiningdyah, 2005: 31 Hal ini dapat diartikan apabila syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada rukun- rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun pernikahan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Pelaksanaan pernikahan harus ada:

2.1.2.2.1 Calon Suami dan Istri

Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan hal paling penting sebagai para pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Para calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain : 1. Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna. Pasal 15 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan sebagai berikut untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang-Undang Perkawinan Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani maupun rohani, artinya para mempelai harus dapat mempertanggungjawabkan apa itu perkawinan yang dilaksanakaan. 2. Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak. Pasal 16 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah tangga benar-benar dengan senang hati dan bahagia sehingga dapat melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya secara proposional Rofiq 2003:74 Persetujuan yang dimaksud dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat tetapi juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas sesuai dengan Pasal 16 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, riwayat dari ibnu Abbas ra “janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai,gadis itu diam Riwayat Muslim” Sebagai bukti adanya persetujuan antara kedua mempelai, Pegawai Pencatat menanyakan kepada mereka sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum Islam .

2.1.2.2.2 Wali Nikah

Wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini disampaikan Mazhab Maliki tentang harus adanya wali, karena wali nikah dalam hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan nikah, sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni, berbunyi “ Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula menikahkan perempuan akan dirinya sendiri ” dan yang diriwayat HR Ahmad, berbunyi “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil.” Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam melangsungkan pekawinan juga lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yang di dalamnya disebutkan bahwa “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Kedudukannya yang sangat penting dan menentukan ini maka tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah. Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “bahwa yang bertindak sebagai wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil dan baligh”.

2.1.2.2.3 Dua Orang Saksi

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad nikah, karena setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi hal ini sesuai Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan. Dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis keturunan yang lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri. Al-Daruqutny meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan adanya wali, dan siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa hakimlah walinya wanita yang tidak punya wali.” Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab qabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya ijab qabul diucapkan. Dua orang saksi hendaknya laki-laki, tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya berjumlah 4 orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu dilihat dari makna anak kalimat dari Surah 2 Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri menunggu tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari aKompilasi Hukum Islamrat. Dan suami- suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka para suami menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan hal ini sesuai dengan Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam. Tujuan lain adanya saksi dalam suatu perkawinan sebagai antisipasi yang mungkin akan terjadi dalam kelangsungan suatu perkawinan nantinya dimana saksi-saksi perkawinan itu bisa menjadi saksi guna menerangkan perkawinan tersebut.

2.1.2.2.4 Akad Nikah Ijab Qabul

Akad nikah ijab qabul adalah pernyataan sepakat dan pihak calon suami dan pihak istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul. Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi menjadi istrinya yang sah. Memperhatikan ketentuan Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam, tidak membenarkan pelaksanaan ijab qabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi. Ketika calon mempelai berhalangan, Kompilasi Hukum Islam memilih alternatif dengan seorang kuasa.

2.2. Tinjauan tentang Anak Luar Kawin

2.2.1 Pengertian Anak Luar Kawin

Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan afstamming ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah wettige en on wettige kinderen. Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga diberi nama anak luar kawin natuurlijke kinderen atau diterjemahkan “anak- anak alam” Kie, 2000 : 18. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. Abdul Manan, 2008: 80 Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat 1 di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 43 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974tersebut hanya menerangkan tentang hak keperdataan dari anak luar kawin dan tidak menyebutkana bahwa anak luar kawin ini ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah atau anak yang dihasilkan dibenihkan diluar perkawinan yang sah. Kompilasi Hukum Islam juga hanya menyebutkan tentang nasab dari anak luar kawin seperti yang tertera dalam Pasal 100 yang menyebutkan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya ” Beberapa ulama berpendapat mengenai anak luar kawin, Syafi`iy dan Malik berpendapat “bahwa anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya, juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah tersebut”. Ali bin Abi Thalib menyebutkan “masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15” http:www.muslimat-nu.or.idindex.php Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, dapat dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut syara’. Ulama telah sepakat bahwa seorang tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan itu adalah enam bulan. Hal ini dapat diartikan jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. Ishaq, 2008 : 88

2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin

Keberadaan anak luar kawin menjadi fenomena tersendiri saat ini, karena keberadaan anak tersebut semakin banyak terjadi. Tidak bisa dipungkiri kelak ini akan menjadi masalah yang sangat besar apabila pemerintah maupun masyarakat sendiri tidak segera mengatasinya. Kemajuan gaya hiduplah yang membuat anak luar kawin menjadi berkembang. Gaya hidup kita yang selalu mengarah kebarat-baratan membuat pola hidup yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi sesuai norma – norma hukum dan agama yang ada. Para muda-mudi yang melakukan seks bebas tanpa peduli pada akibat yang timbul atas perbuatanya tersebut. Kelak yang dirugikan dengan adanya seks bebas adalah perempuan dan apabila seks bebas itu menimbulkan anak maka anak tersebut akan merasa dirugikan atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian anak tersebut akan merasa binggung dengan kedudukannya kelak. Sebagai penduduk Indonesia yang menganut norma-norma pancasila tentunya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, namun karena penduduk Indonesia mayoritas memeluk Agama Islam tentunya norma-norma dan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Islam tidak bisa diabaikan karena tanpa dipungkiri ini sangat berdampak besar dalam menjalankan norma- norma yang ada agar sesuai dengan kaidah yang baik. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menggolongkan kedudukan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang diterangkan “Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut Abdurahman, 1995 : 137. Kedudukan anak luar kawin menjadi sangat ironis ketika kesalahan atas adanya anak luar kawin hanya ditunjukan pada sang ibu. Karena bagaimanapun lahirnya seorang anak tidak hanya berperan pada sang ibu, seorang ayah sangat berperan dalam hal ini. Sehingga anak luar kawin ialah anak yang dihasilkan dari hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. Manan, 2008: 80 Anak luar kawin sering kali mendapat pandangan buruk dan cacian dari masyarakat dengan sebutan anak haram. Kondisi inilah yang memeberikan sebuah ketidakadilan bagi seorang anak, disamping itu seorang anak seolah- olah ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Hal ini tidak sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “setiap anak dilahirkan dalam ke adaan fitrah sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa dosa”. Kedudukan anak luar kawin baik di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam berkedudukan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, ia tetap menjadi mahram haram dinikahi oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui perkawinan. Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34.” Kekuasaan orang tua terhadap anak erat kaitanya dengan bagaimana kedudukan anak tersebut atas orang tuanya. Kekuasaan orang tua ini kelak yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak luar kawin hanya terbatas pada ibu dan keluarga ibunya saja. Anak luar kawin yang diingkari keberadaanya oleh ayah biologisnya, dengan kekuasaan sang ibu juga dapat membuktikan bahwa asal usul si anak dengan akta kelahiran seperti yang tercantum dalam Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam “1 Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.2 Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat 1 tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. 3 Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat 2, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.” Proses pengingkaran anak luar kawin yang dilakukan ayah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan seperti yang terdapat Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam “1 Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. 2 Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.” Ayah biologis dapat mengakui anak luar kawin sebagai anaknya sehingga mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak luar kawin atas persetujuan sang ibu. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 menyebutkan anak luar kawin ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya Guna kepengurusan pengakuan anak luar kawin pemerintah menunjuk Kantor Catatan Sipil sebagai instansi pemerintah yang berwenang, sesuai dengan tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil. Adapun yang dimaksud dengan Catatan Sipil adalah suatu catatan yang menyangkut kedudukan hukum seseorang. Bahwa untuk dapat dijadikan dasar kepastian hukum seseorang maka data atau catatan peristiwa penting seseorang, seperti : perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian, pengakuan anak dan pengesahan anak, perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil adalah suatu lembaga resmi pemerintah yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan percatatan sipil, Kantor Catatan Sipil yang sengaja diadakan oleh pemerintah dan bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang.

2.2.3 Status Anak Luar Kawin

Mengenai status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V:357. Pemerintah melalui Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa status anak luar kawin hanya berhubungan dengan sang ibu namun tidak dipungkiri keberadaan sang ayah biologis apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lain. Setelah uraian mengenai pengertian serta kedudukan anak luar kawin diatas, didapatkan beberapa kesimpulan tentang anak luar kawin, dimana Aniisatul Murtasyidah menyebutkan bahwa anak luar kawin tergolong atas 2 dua yaitu Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah dan Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah . Murtasyidah 2012:20 . 1. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah. Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah M. Ali Hasan, 1997 : 81. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi : “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy duduk berlutut. Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki bapak Jalaluddin al-Mahalli, al- Qulyuby wa Umarah, , Juz III : 31. 2. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah. Status anak diluar kawin dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Terhadap anak zina tentunya tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Dalam hal mewarisi anak zina tidak dapat mewarisi harta warisan suami dari sang ibu, anak tersebut hanya dapat mewarisi dari sang ayah karena ini berhubungan nasab dengan sang ayah kandungnya. Apabila anak luar kawin itu perempuan maka bapak biologisnya tidak mempunyai hak untuk menjadi wali diperkawinannya. Amir Syarifuddin, 2002 : 195. Namun berdasarkan pembahasaan yang sebelumnya telah dibahas tentang anak luar kawin, penulis juga merasa perlu adanya satu golongan tentang anak luar kawin yaitu 1. Anak yang dibuahi dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan dalam Pegawai Pencatat Nikah atau biasanya disebut Nikah Sirri. Karena dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974maupun Kompilasi Hukum Islam mengisyaratkan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar terjamin ketertiban perkawinan dan agar mendapatkan perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut. Namun dalam peratauran tidak dijelaskan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN merupakan perkawinan yang tidak sah. Sehingga disini pencatatan nikah hanya sebagai syarat administratif yang hendaknya harus dilaksanakan. Dalam Islam tidak mengenal Nikah Sirri, karena setiap perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah norma agama Islam. Apabila perkawinan yang dilakukan itu sah menrut agama tentunya anak yang lahir dalam perkawinan itu sah. Sehingga ukewajiban orang tua kepada anak hendaknya terpenuhi dengan sendirinya. Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 : “Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara sempurna, bagi yang menginginkan untuk menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang memiliki anak ayah wajib untuk menafkahi isteri mereka dan memberikan pakaian secara baik Q.S. Al-Baqarah ayat [233]” Didasarkan Indonesia merupakan negara hukum dengan begitu banyak agama dan norma-norma yang ada tentunya akan merasa sulit apabila terjadi perbedaan dalam suatu hal, oleh karena itunya dikeluarkanlah undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum maka anak yang timbul atas perkawinan tersebut juga tidak mendapatkan kekuatan hukum dari kedua orang tuanya. Kekuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Karena tidak berkekuatan hukum maka hak dan kewajiban orang tua dan anak yang semestinya timbul menjadi hilang. Pasal 43 Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menjelaskan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai keperdatan dengan ibunya. Hak dan kewajiban yang harusnya ada antara orang tua dan anak terbatas pada anak dan ibunya saja.

2.3. Tinjauan tentang Hukum Waris

2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam

Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing. Hukum Kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber pada beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an terutama surat An- Nisa’ 4 ayat 11, 12, 176 dan sunnah Nabi Ali, 2004:313. An-Nisa’ 4 ayat 11 “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” An-Nisa’ 4 ayat 12 Dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan seduah dibayar hutangnya .Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja, maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. An-Nisa’ 4 ayat 176 Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah387. Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama dekat kekerabatannya” Rofiq, 2003: 380 Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal Pewaris kepada para keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan ahli waris.

2.3.2 Syarat-syarat Pewarisan

Terdapat tiga komponen yang sangat pokok dalam melakukan system pewarisan, dimana tanpa adanya tiga komponen tersebut sistem pewarisan tidak dapat terjadi. Tiga Komponen tersebut ialah : 2.3.2.1 Pewaris Pada Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewarisan tidak dapat terlaksana tanpa adanya pewaris. Tidak semua orang dapat dikatkan sebagai pewaris salah satu yang penting ialah seorang dikatakan pewaris apabila sudah meninggal. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

2.3.2.2 Ahli Waris

Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli waris dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi 2 dua yaitu: 1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya hubungan darah 2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya suatu sebab yaitu perkawinan yang sah dan atau karena memerdekakan hamba hamba sahaya Rofiq, 2003: 383. Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Ahli waris Ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya. 2. Ahli waris Ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-farud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain sebagainya. 3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab al- usubah. Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ahli waris terdiri dari beberapa kelompok sebagai berikut : 1. Menurut hubungan darah yakni golongan laki-laki yang terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. 2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Berdasarkan Pasal 174, 181, 182 dan 185 Kompilasi Hukum Islam ,golongan-golongan ahli waris yang telah disebutkan diatas tersebut terdiri atas: 1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki- laki, paman, kakek dan suami. 2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri. 3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan. 4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris sesuai Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap dikarenakan : 1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. 2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

2.3.2.3 Harta Peninggalan

Menurut Pasal 171 huruf d Kompilasi Hukum Islam, harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah tajhiz, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Harta Peninggalan dapat disimpulkan terdiri atas : 1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, dimaksudkan ialah benda tersebut dapat berwujud ataupu tidak dan dapat bergerak mauun tidak bergerak. 2. Hak-hak kebendaan ialah hak yang dapat dimiliki terhadap benda tersebut. 3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalkan hak tetangga. Pada aturan umum dalam Pada Bab 1 butir d dan e Kompilasi Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan menyebutkan: “Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningganya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran uang dan pemberian untuk kerabat.”

2.3.3 Asas-asas Pewarisan

Dalm pembangian waris terdapat beberapa asas-asas yang ikut mendukung keberadaannya yaitu :

2.3.3.1 Asas Ijbari

Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah peralihan harta sesorang yang meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya tanpa menurut kehendak pewaris ataupun ahli waris Muhibbin, 2009:23 . Asas ini mengatur mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam Pasal 187 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa sisa dari pengeluaran yang dimaksud adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Ketentuan asas ini sesuai dengan surat An.Nissa ayat 7 yang menyatakan sebagai berikut : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang ditetapkan”

2.3.3.2 Asas Bilateral

Asas Bilateral ialah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki Suhrawardi K. Lubis, 2004:60

2.3.3.3 Asas Individual

Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang semestinya ia dapatkan tanpa terikat terhadap ahli waris yang lain. Suhrawardi K. Lubis, 2004:60

2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang

Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan yang akan diperlukan dan digunakan. Suhrawardi K. Lubis, 2004:61

2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian

Asas ini menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab ketentuan umum Ali, 2004: 322. Tanpa adanya kematian pembagian warisan tidak akan terjadi, walaupun ketika ia hidup dapat memanfaatkan hartanya utuk dapat dibagikan kepada kerabat yang lain. Namun dalam hukum kewarisan Islam antara wasiat dengan kewarisan diuraikan secara terpisah

2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam

Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris yang meninggal dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan bila ada. Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri janda atau suami duda dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta bersama Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris dapat memperoleh bagian sebagai hibah ketika pewaris masih hidup atau sebagai wasiat wajibah, atau diberi bagian yang tidak boleh lebih dari 13 harta warisan sesuai ketentuan Pasal 194 sd 214 Kompilasi Hukum Islam. Ketika adanya sengketa dalam pembagian waris dapat bersepakat melakukan perdamaian. Pembagian warisannya sesuai dengan tabel yang akan digambarkan sebagai berikut : Tabel 1 Bagian-bagian Warisan Ahli Waris dalam Hukum Islam Lubis 2006:107

2.4. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010

2.4.1 Kedudukan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Judicial Review

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen 1881-1973, pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Gaffar,2009:4 Janedjri M. Gaffar didalam malakahny yang ditulis di Surakarta pada tanggal 17 Oktober 2009 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan separation of powers berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan impeachment Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden danatau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden danatau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannyan. Salah satu wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sesuai yang dijelaksan sebelumnya ialah melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar hal tersebut berdasarkan Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian Undang-undang, diatur dalam Bagian Kesembilan Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003. Undang-undang disini adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan- kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Pengujian suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah Judicial review. Jika undang- undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konsitusi. Melalui kewenangan Judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

2.4.2 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010

Putusan No.46PUU-VIII2010 ini sebagai hasil dari Judicial review Pasal 2 ayat 2dan Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica Bin H. Mochtar Ibrahim dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap Moerdiono dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, dan dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono. Dasar adanya Judicial review ini ialah pihak dari pemohon merasa hak- hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 telah dirugikan, karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undung Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang tidak sah berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan sebagai anak Moerdiono. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan “ perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” Pada Pasal 2 ayat 2 menyatakan “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 ayat 1 Undang- Undang Perkawinan menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Undang- Undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pasal 28 B ayat 2 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28 D ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Atas permohonan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf b Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 , Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi . Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklusikan dengan anak yang tidak sah. Menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan sperma baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Maka dari itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebutlah sebagai ibunya karena tidak tepat dan tidak adil pula apabila laki-laki yang membuahi sang anak dibebaskan dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 ini mengubah Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, dimana Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Sehingga Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat final and binding. Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali PK. Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi . Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi Soekanto 1981:2. Ilmu pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusuk secara sistematis dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasunya. Pemilihan metode yang tepat dalam melakukan penelitian sangat penting bagi penelitian itu. Obyek yang akan diteliti dapat digali dengan dalam dan apa yang menjadi tujuan dari penelitian itu tersampaikan dan tersalurkan dengan baik. Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Soekanto 2011:14. 3.2 Sifat Penelitian Dilihat dari sifatnya penelitian terbagi atas tiga yaitu , Penelitian eksploratoris, Penelitian dan Penelitian eksplanotaris. Sedangkan sifat penelitian yang digunakan oleh penulis ialah sifat Penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadan dan gejala-gejala lainya terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru. Soekanto 2081:10 Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan meneliti dan menguji apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 membahas mengenai bagian waris anak yang lahir diluar perkawinan, bagaimana kaitanya dengan Hukum Islam dan fiqh Islam terhadapat kedudukan anak luar kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 untuk saling mewarisi. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data terdiri atas dua yaitu data primer dan data skunder Soekanto 1982:52 Data Primer yaitu sumber data utama yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui penelitian Soekanto1982:52. Didalam penelitian penulis, data primer dari penulis ialah wawancara yang dilakukan sebagai bahan pelengkap yaitu wawancara yang dilakukan kepada Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng dan Bapak H. Nurmasyah Hakim Pengadilan Agama Semarang. Data sekunder ialah data kepustakaan yang mencakup dokumen- dokumen resmi, buku-buku, perundang-undangan, putusan dan data yang berhubungan dengan anak luar kawin. Data sekunder atau data yang tertulis yang digunakan dalam penelitian dapat berupa Putusan Mahkamah Konstitusi No 46PUU-VIII2010, Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ,Fiqh Islam,Buku-buku, Dokumen dan literatur yang berkaitan Hukum Waris Islam, Hukum Perkawinan, Anak Luar Kawin di Indonesia. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pengumpulan data terbagi atas pengumpulan data primer dan data skunder. 1. Data Primer Teknik Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara kepada Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng dan Bapak H. Nurmasyah Hakim Pengadilan Agama Semarang. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu Ashshofa, 2004: 95. Dalam penelitian ini jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara yang berencana berpatokan yaitu mewancarai informan yang telah disiapkan sebelumnya, untuk menggali informasi tunggal. 2. Data Skunder Teknik Pengumpulan data skunder dilakukan dengan cara studi kepustakaan menurut Soerjono Soekanto studi kepustakaan adalah studi dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau yang biasa disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini peneliti mencari, membaca, dan mempelajari dari bahan-bahan kepustakaan yang berupa buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan Soekanto, 2010:21. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Dalam studi kepustakaan ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum sekunder. Dalam hal ini peneliti memperoleh data kepustakaan dari buku-buku atau literatur mengenai Hukum Waris Islam dan anak Luar kawin, media tulis, yang pada intinya mengenai pada permasalahan yang diteliti yaitu bagian waris anak luar kawin dalam Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 Peneliti juga menggunakan dokumentasi resmi buku, majalah, jurnal, undang-undang, yurispudensi ataupun kasus-kasus yang berkaitan dengan bagian waris dalam Hukum Islam pada umumnya dan kedudukan anak luar kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010. Selain dengan studi kepustakaan, teknik pengumpulan data skunder juga dilakukan dengan Studi Literatur yang didapat diwebsite. Teknologi informasi ini memungkinkan melakukan pencarian data dan atau informasi dengan menggunakan internet sebagai media alat pengumpulan data yang cepat dan mudah dilakukan. Metode pencarian dapat berupa metode yang sederhana ataupun metode yang canggih sesuai dengan fasilitas yang disediakan oleh alat pencari tertentu. Sarwono, 2006:228. 3.5 Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan data Moleong 2001:103. Penelitian ini berusaha untuk mengerti ataupun memahami gejala yang diteli untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah disinggung diatas. Teknik analisa data yang dipakai oleh penulis ada teknik analisa data kualitatif . Analisa data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengintesiskanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain moleong 2007:248 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Penelitian 4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 PUU-VIII 2010 Anak luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. Abdul Manan, 2008: 80. Pasal 43 ayat 1 dan 2 Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada hanya menyebutkan “1 Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2 Kedudukan anak tersebut ayat 1 di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah” Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini sesuai dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Sebuhungan dengan itu kemudian keluarlah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 dikeluarkan pada tanggal 17 February 2012 berdasarkan permohonan uji materiil Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Aisyah Mochtar alias Machica mochtar. Machica Mochtar mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Akibat kedua pasal tersebut, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pengesahan status hukum bagi anaknya Muhammad Iqbal yang merupakan hasil hubungan dari perkawinan sirri. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 yang bersusunkan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon danatau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, menyebutkan dan mengabulkan permohonan uji materiil Machica mochtar sebagai berikut : Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” Mahkamah Konstitusi berpendapat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut “secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan spermatozoa. Apakah pertemuan itu melalui hubungan seksual, maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Dengan alasan itu, menurut Mahkamah, menjadi tidak adil manakala hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak, dari tanggung jawabnya sebagai bapak dilepaskan dari tanggung jawab begitu saja ”Jurnal Konstitusi Edisi Mei NO 64 2012-3 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 mengundang kontroversi, ada beberap pihak yang menganggap Putusan Mahkamah Konstitusi itu memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak diluar perkawinan resmi. Padahal sebelumnya, sesuai Pasal 43 ayat 1 Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 anak diluar kawin hanya punya hubungan dengan ibu dan keluarga sang ibu. Reaksi yang paling terlihat dari MUI. Sebab keputusan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dibiarkan bisa menimbulkan kegelisahan, kerisauan, bahkan kegoncangan bagi umat Islam. Majelis Ulama Indonesia MUI merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. http:www.mui.or.idindex.php?option=com_contentview=articleid=49 Itemid=53 Drs. Imam Tabroni beliau berpendapat “bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terindikasi memutar balikkan ajaran Islam dan lebih gawat lagi mengubah syariat agama. Padahal dalam Hukum Islam telah secara tegas dijelaskan tentang ketiadaan hubungan keperdataan anak hasil perzinahan dengan lelaki yang menyebab kan kelahirannya” Lensa Kasus Edisi Mei 2012 : 17 MUI menafsirkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tidak ada perbedaan status antara anak diluar kawin dengan anak yang dilahirkan melalui sebuah perkawinan secara resmi. Sebagaimana diberitakan, MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwa No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakukan Terhadapnya. Fatwa itu dikeluarkan pada 10 Maret 201218 Rabiul A Kompilasi Hukum Islam r 1433 H, ditanda tangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat Prof. Dr. H Hasanuddin AF, MA dan sekretaris Dr. HM Asrorun Nian Sholeh, MA. Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menanggapi tentang anak luar kawin yang dituturkan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut : “anak yang lahir diluar kawin dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu ada tiga macam, yang pertama ialah anak diluar kawin resmi atau biasa disebut kawin sirri, yang kedua ialah anak diluar kawin yang kemudian ketika ibunya masih hamil kemudian dikawini oleh ayah si anak biasa disebut kawin wanita hamil dan yang teraKompilasi Hukum Islam r ialah anak diluar kawin yang tidak pernah sama sekali ada perkawinan atau biasa disebut anak zina. Menurut pandangan MUI apabila kategori pertama anak luar kawin itu merupakan anak bapaknya, karena dalam Hukum Islam kawin sirri itu merupakan kawin yang sah sehingga sama dengan anak sah, kemudian yang yang kedua anak lahir ketika ibunya hamil dikawinin oleh suami yang merupakan bapak biologis anaknya juga merupakan anak yang sah dan yang ketiga anak luar kawin yang tidak pernah dikawini tidak bisa disebut anak sah dan merupakan anak luar kawin” wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 13.30 Sedangkan menurut MUI pusat, putusan Mahkamah Konstitusi itu telah melampaui permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tetapi tidak dicatatkan pada KUA Kantor Urusan Agama menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Ketua MUI KH Maruf Amin yang menanggapi bahwa : “Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Dimana, hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. “Akibat nyata putusan Mahkamah Konstitusi , kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris, jelaslah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut.” Ketua Dewan Pimpinan MUI, Maruf Amin mengatakan keputusan Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 ini menggunakan Hukum Agama Islam. “anak dari hasil zina, itu dari segi nasabnya tidak bisa dinisbahkan pada orang tuanya . Fatwa MUI ini justru meneguhkan perlindungan terhadap anak. Salah satunya, dengan mewajibkan lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, fatwa juga melindungi anak dari kerancuan nasab yaitu anak dari dari hasil zina tidak punya hubungan nasab, wali kawin dan waris,.” Jurnal Nasional, 2012:3 Ketua Mahkamah Konstitusi menanggapi pemberitaan mengenai pendapat MUI dengan menegaskan “bahwa vonis Mahkamah Konstitusi itu justru sebagai langkah untuk menghalangi perzinahan. Dengan putusan itu maka orang yang melakukan perzinahan harus bertanggung jawab karena telah diancam hukuman”. http:jatim.tribunnews.com20120328mahfudmdsoalstatusanaklahirluarka win-mui-dan-Mahkamah Konstitusi bedapendapat diunduh 29112 20.13 Mahfud MD menyebutkan ”Kami menyiapkan ancaman hukuman bagi mereka yang tidak bertanggung jawab. Ini justru menghalangi adanya perzinahan,” Universitas Islam Majapahit Mojokerto UNIM Rabu 28 Maret 2012 Mahfud berpendapat MUI menyamakan hubungan keperdataan dengan nazab. Padahal kata dia, dari sisi hukum, keduanya tidak memiliki hubungan berbeda.http:jatim.tribunnews.com20120328mahfudmdsoalstatusanaka hirluarkawin-mui-dan-Mahkamah Konstitusi -beda-pendapat diunduh 29112 20.13. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa orang yang lahir di luar perkawinan itu punya hubungan keperdataan dengan bapaknya. Lalu oleh MUI hubungan keperdataan diartikan hubungan nasab. Lebih jauh Mahfud menjelaskan, hubungan keperdataan yang dimaksud Mahkamah Konstitusi , tidak lantas menyebabkan anak yang lahir dari perzinahan menjadi anak yang punya hubungan nazab. Dengan demikian kata Mahfud, seharusnya MUI tak meributkan keputusan Mahkamah Konstitusi itu. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perkawinan yang sah itu adalah dilakukan menurut agama masing-masing. Sehingga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak mempunyai hubungan nazab, tapi ada hubungan dalam keperdataan saja dengan bapak biologisnya, itu yang harus diketahui. http:jatim.tribunnews.com20120328mahfudmdsoalstatusanaklahirluarka win-mui-dan-Mahkamah Konstitusi bedapendapat diunduh 29112 20.13. Hubungan keperdataan Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menuturkan sebagai berikut : “apabila anak luar kawin mempunyai hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya itu sah-sah saja. Dalam konteks hubungan keperdataan selain hubungan waris ya, seperti biaya pendidikan,biaya hidup dan biaya-biaya yang lain. Jangankan kepada anaknya kepada orang lain yang kita tidak kenal saja kita boleh memberikan hak keperdataan misalakan saya memberikan uang untuk biaya pendidikan kepada orang yang tidak saya kenal itu tidak ada masalahkan dan tidak di halangi. Apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengkaitakan semua anak luar kawin mempunyai hubungan kepedataan anak luar kawin dengan waris yang dalam hal ini nasab tentu tidak biasa. Karena seperti yang sebelumnya saya jelaskan bahwa anak luar kawin ada tiga macam dan ketiga-tiganya boleh mendapatkan hubungan keperdataan namun untuk hubungan nasab hanya anak luar kawin dalam perkawinan sirri dan anak luar kawin yang kemudian ibunya dikawini oleh bapak biologi si anak yang mendapatkanya” wawancara tanggal 13 February 2013 Pukul 13.50 Chatib Rasyid Ketua Pengadilan Tinggi Semarang berpendapat sama dengan Dr Muhyidin M.Ag. Bahwa dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus Machica itu bermuara pada masalah perkawinan yang tidak tercatat. Kedua, pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang sah dalam perspektif bahasa, Undang-undang dan perspektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga, menyangkut kewenangan Pengadilan Agama. Seminar Status Anak Di Luar Kawin dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang Menurut Chatib Rasyid Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga 3 macam status kelahirannya, yaitu “Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;Anak yang lahir di luar perkawinan ;Anak yang lahir tanpa perkawinan anak hasil zina”. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada pasal 2 ayat 2 Tidak bisa luar perkawinan itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan tanpa. Chatib Rasyid Ketua Pengadilan Tinggi Semarang berpendapat dalam Seminar Status Anak Di Luar Kawin dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012. Perdebatan antar Mahkamah Konstitusi dengan MUI terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 menurut Chatib, yang menjadi ialah terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada perdebatan panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi tidak sah secara formil.Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil anak zina. Pendapat mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi berasal dari asal usul dari kata “anak luar kawin”yang terasa kurang tegas dan terang juga di disampaikan oleh Irma Devita Diskusi Hukum online pada tanggal 29 Maret 2012 lalu, bersama dengan bapak Djafar, SH, dan Bapak Dr. H.M. Akil Mochtar S.H.,M.H. salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi . http:irmadevita.com2012pengertiananakluarkawindalamputusanMahkama h Konstitusi diunduh 2 November 2012 pukul 22.48 Irma Devita menyampaikan bahwa Dr. H.M. Akil Mochtar berpendapat mengenai Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan tidak menyangkal ketentuan-ketentuan hukum agama sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syar’i. Apabila pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin bukan merupakan anak yang sah. Menurut Akil, “ Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar kawin dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 1 Tahun l974. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsep wasiyat wajibah . Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa” http:irmadevita.com2012pengertian-anak-luar-kawin- dalam-putusan-Mahkamah Konstitusi diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:47 Ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. Inilah yang memicu timbulnya protes terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Andai kata dalam putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab anak dikembalikan pada hukum agamanya, niscaya tidak menimbulkan kontroversi. http:irmadevita.com2012pengertiananakluarkawindalamputusanMahkama h Konstitusi diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:47 Akil Mochtar menyebutkan dalam pengujian pasal 2 ayat 2 Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi berpendapat “pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai; dan 2 pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang- undangan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah. Hukumonline pada tanggal 29 Maret 2012” Anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar kawin ujur Irma Devita. Chatib Rasyid berpendapat bahwa “putusan Mahkamah Konstitusi tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada yang bertentangan dengan syari’ah”. Sehubungan dengan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil kawin sirri. Klarifikasi yang dilakukan oleh Mahfud M.D menurut Chatib Rasyid itu sudah benar, karena Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010 tanggal 17 Februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang telah kawin dengan Moerdiono sesuai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengabulkan permohonan Machica yang sudah mekawin dengan Moerdiono. Sangat naif bila diterapkan untuk kasus perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Figh yang mengatakan bahwa “Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju” Drs. H Syamsul Anwar.S.H.,M.h ketua pengadilan agama kelas 1a majalengka DRS. Isak Munawar, M.H. Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka . Menyebutkan dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam , adalah : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dapat dikatakan yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah : “1Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.2 Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.3 Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an diingkari oleh suaminya.4 Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang salah sangka, disangka suami ternyata bukan. 5 Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat perkawinan yang diharaMahkamah Konstitusi an seperti mekawin dengan saudara kandung atau saudara sepesusuan.” Hukum Islam anak Subhat yang apabila diakui oleh Bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya. Sedangkan angka 1, 2 dan 3 adalah termasuk dalam kelompok anak zina’. http:badilag.netartikel10609nasabanakdiluarperkawinanpaskaputusanmah kamahkonstitusidrshsyamsulanwarshmhdandrsisakmunawarmh164.hmtlsa= Uei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDAved=0CAkQFjABclient= internaludscs e usg=AFQjCNGwfIcptnaDVIH52Y9kCRMc44Nx-Q diunduh 6 Februari 2013 pukul 22:23 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46PUU-VIII2010, tidak serta merta tidak otomatis berlaku sebagai bukti, “ Sahnya anak “ sekalipun terhadap dari Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai pemohon uji Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terhadap Undang-undang Dasar 1945, maka untuk menetapkan sahnya anak, harus melalui putusan pengadilan yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya. http:badiag.netdataATIKELMAJALAH2MAKNA2520ANAK.pdfsa +Uei+eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDAved=0CA4QFjADclient=internaluds cseusg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94HwuDQ\ Diunduh tanggal 6 Februari 2013 22:24. Dari uraian-uraian mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 menurut Chatib Rasyid dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut “1. Yang dimaksud dengan “ Anak yang lahir di luar perkawinan “ adalah anak yang lahir dari perkawinan menurut agama, tetapi tidak tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku , dalam arti kata : sah secara matriil tetapi tidak sah secara formil. Tidak termasuk anak yang lahir tanpa perkawinan anak zina , karena anak zina sama sekali tidak tersentuh dengan perkawinan.2. Untuk melegalkan “ Anak yang lahir diluar perkawinan “ secara hukum adalah dengan terlebih dahulu melakukan pengesahan isbat kawin di Pengadilan dan dilanjutkan dengan pengesahan anak di Pengadilan yang sama. Dengan telah adanya pengesahan anak dari Pengadilan maka anak yang lahir diluar perkawinan sudah seutuhnya sama dengan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. 3Anak yang lahir tanpa perkawinan anak hasil zina tidak dapat dilegalkan secara hukum, karena disamping tidak ada lembaga pengesahan zina juga perbuatan zina adalah merupakan perbuatan yang melanggar hukum yang tidak layak mendapat legalisasi hukum. http:badiag.netdataATIKELMAJALAH2MAKN A2520ANAK.pdfsa+Uei+eUTUZ6lII7jkgWo9 YCoDAved=0CA4QFjADclient=internaludscse usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94H wuDQ\ Diunduh tanggal 6 Februari 2013 22:24 Kaitanya dengan hubungan Hukum Islam dengan putusan Mahkamah Konsititusi Dr Muhyidin M.Ag sebagai berikut “Hukum Islam dengan Putusan Mahkamah Konstitusi itu berbeda, artinya dua hal yang tidak bisa dihubungkan, apabila putusan Mahkamah Konstitusi itu menjadi pedoman bagi peraturan- peraturan dibawahnya dan diterapkan oleh Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Jadi sebenarnya ada atau tidaknya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap anak luar kawintidak berpengaruh dalam Hukum Islam. Karena didalam Hukum Islam anak luar kawin didalam perkawinan yang sah walaupun tidak dicatatkan kedudukan anaknya sama dengan anak sah. Kecuali anak luar kawin zina,anak zina tidak bisa berubah menjadi anak apapun. Sebenarnyakan dalam kaitanya permohonan Machica Moctar itukan yang dimohonkan adalah dihapusnya pasal pecatatan perkawinan karean Machica Moctar merasa sudah menikah secara sah namun karena adanya pasal pencatatan sehingga kedudukan iqbal yang memang anak sah terganjal.” wawancaranya Rabu 13 February 2013 pukul 14.00 Wib Dr Muhyidin M.Ag juga menjelaskan tentang perkawinan yang tidak dicatatkan seperti halnya perkawinan sirri sebagai berikut : “Nikah sirri itu kan sah menurut hukum sebenarnya, karena sudah sesuai dengan syariat Hukum Islam, MUI juga pernah mengeluarkan Fatwa Nikah Dibawah Tangan yang dihasilkan dalam Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006 Tentang Masail Waqiiyyah Muasyirah dimana disebutkan Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Perkawinan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh hukum Islam namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan Dibawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.” Diantara pro dan kontra putusan Mahkamah Konstitusi kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edara MA SEMA No 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang didalamnya membahas masalah anak luar kawin dan nikah sirri. Didalam bagian Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 SD 05 Mei 2012 . Mahkamah Agung MA memerintahkan seluruh hakim di Indonesia melaksanakan putusan Mahkamah soal hak anak di luar kawin. Namun Mahkamah Agung menegaskan, hak tersebut tidak disebut sebagai waris. Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansur, selain didorong putusan Mahkamah Konstitusi , hal ini didasarkan atas Mazhab Hanafiah. Yaitu anak hasil perzinaan berhak mendapat nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Ridwan Mansur mengatakan saat berbincang dengan detikcom, Senin 422013 pagi “Ini didasarkan pendapat Mazhab Hanafiah, istilahya bukan waris, tetapi menafkahi segala biaya hidup anak sesuai kemampuan ayah biologisnya dan kepatutan” http:news.detik.comread20130204081755216008010maper intahkanhakimlaksanakanputusanMahkamahKonstitusisoalhakanakhasilzina? nd771104bcj diunduh tanggal 8 Februari 2013 pukul 4:44. Pendapat Mahkamah Agung ini telah dituangkan oleh Komisi Bidang Peradilan Agama Mahkamah Agung beberapa waktu lalu. Dalam keputusan ini menyatakan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan perzinaan berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Menurut Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang status anak luar kawin adalah putusan yang progresif. Ridwan Mansur juga mengatakan : “Kesimpulan Komisi Bidang Peradilan Agama MA sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang secara progresif mengubah pandangan masyarakat bahwa anak luar kawin termasuk anak hasil perzinahan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya,” Ada beberapa poin pokok dalam SEMA No 7 tahun 2012 yang tertera dalam uraian khusus Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 SD 05 MEI 2012. http:news.detik.comread20130204144843216059510inikeput usanlengkapma-soal-hak-anak-yang-lahir-diluarperkawinan?nd771104bcj “Anak yang dilahirkan dari hasil zina sebaiknya untuk memenuhi rasa keadilan dan kepentingan anak serta hak azasi anak. Hal ini menerapkan pendapat mazhab Hanafiah, di mana anak hasil zina berhak mendapat nafkah dari pihak ayah biologisnya dan keluarga ayah biolgisnya. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh pejabat yang berwenang, berhak untuk memperoleh nafkah dan wasiat wajibah dari ayahnya tersebut. Anak yang lahir dalam perkawinan sirri dapat mengajukan permohonan pengesahan anak ke pengadilan agama, karena anak mempunyai hak azasi untuk mengetahui dan memperoleh kepastian siapa orang tuanya” Langkah Mahkamah Agung MA mengambil jalan tengah atas kasus ini membuat Majelis Ulama Indonesia MUI awalnya gerah dengan putusan Mahkamah Konstitusi soal kedudukan anak di luar perkawinan menjadi tersenyum. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam saat berbincang dengan detikcom, Senin 422013. Menyampaikan Keputusan Mahkamah Agung ini tidak mengubah struktur nasabgaris keturunan. Ini keputusan yang sangat bagus, MUI khawatir putusan Mahkamah Konstitusi akan menarik anak zina ke dalam garis keturunan. Namun hal ini ternyata tidak masuk dalam Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No 7 tahun 2012 ini. SEMA tersebut sangat sejalan dengan kaidah Islam. Esensi Keputusan MA ini adalah menghukum terhadap lelaki hidung belang dan untuk menjamin hak anak tanpa menetapkan status anak dan waris, jelas Asror. Berbeda dengan SEMA No 7 tahun 2012, Dr. Muhyidin M.Ag kurang sependapat, beliau menyampaikan sebagai berikut : “Nikah Sirri itu tidak bisa diitsbatkan kepengadilan agama dan tidak perlu diitsbatkan. Karena nikah sirri itukan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Apabila dilihat dari hukum isla ya tetap sah, kecuali dilihat dari hukum nasional. Namun terbebas dari hal itu, saya merasa bahwa MA lebih berpihak dengan MUI karena dalam SEMA menjadi tengah-tengah antara Mahkamah Konstitusi dengan MUI. Saya berpendapat SEMA ini membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi, karena Pengadilan Agama berpedoman dengan Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi” Karena Nikah Sirri adalah perkawinan yang sah hanya menurut agama Islam dan belum tercatat dalam hukum negara. Apabila diperlukanya pencatatan nikah, maka harus diajukan istbat nikah terlebih dahulu di Pengadilan Agama kemudian diajukan pengakuan pengesahan anak. Walaupun dalam Islam tidak mengenal adanya pengakuan, namun dengan keluarnya surat edaran dari Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor: W11-A863HK.00.8III2012 tertanggal 19 Maret 2012, yang menyatakan Pengadilan Agama dapat menerima Permohonan tentang Pengesahan Anak, sepanjang memenuhi syarat dan mengacu kepada: “UUD 1945 Pasal 28-B ayat 1, yaitu “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai Hukum Islam, baik tercatat maupun tidak. Jika tidak, bisa melakukan Istbat nikah di Pengadilan Agama. Dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum” Surat Edaran PTA Semarang tersebut terbit karena adanya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 mengenai status anak luar kawin. Sehingga antara Kompilasi Hukum Islam dengan Undang- Undang Perkawinan sangat erat kaitannya. Karenanya anak luar kawin dalam perkawinan sirri mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah maka hak dan kewajiban yang timbulpun sama. Sehingga dapat diartikan bahwa anak luar kawin juga mempunyai bagian waris yang sama dengan anak sah sebagai ahli waris. Namun harus dijukan pengesahan anak terlebih dahulu seperti yang tertuang diuraian sebelumnya. Disimpulakan dalam pembahasan ini bahwa anak luar kawin dalam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 merupakan anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah namun belum dicatatkan seperti yang dianjurkan oleh Undang-Undang Perkawinan. Dalam kaitanya dengan Hukum Islam maka, anak tersebut sama dengan anak yang sah, karena nikah sirri itu merupakan nikah yang sah. Sehingga bagian warisnya sama dengan anak sah pada umumnya. 4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46 PUU-VIII 2010 Permasalah anak luar kawin tidak hanya sampai pada pengertian dan makna anak luar kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 saja, karena dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membahas tentang hak keperdataan anak luar kawin dengan sang ayah biologi tentunya permasalahan selanjutnya bagaimana hak keperdataan seorang anak luar kawin dari sang ayah didapatkannya . Mahfud MD menyatakan, hubungan perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris, dan wali nikah.Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fiqih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fiqih. Padang Express Kamis, 29032012 12:16 WIB Menurut Akil Mochtar anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri, seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan administratif negara. http:irmadevita.com2012perlindungananakluarkawinpascaputusanMahka mah Konstitusi diunduh 29 January 2013 Pukul 15:51 Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya. Anak dalam akta kelahirannya tidak dicantum nama bapaknya sehingga muncul stigma negatif di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa perkawinan sirri merupakan praktek poligami terselubung. Pihak laki-laki, terutama, seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hak- hak anak yang lahir dalam perkawinan tersebut tidak dipenuhi http:irmadevita.com2012perlindungananakluarkawinpascaputusanMahkam ah Konstitusi diunduh 29 January 2013 Pukul 15:51 Irma Devita menjelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akan tetapi Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan itsbat bila tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut. Pengadilan memeriksa asal-usul anak dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi-saksi, tes DNA, pengakuan ayah istilhaq, sumpah ibunya dan alat-alat bukti lain yang sah menurut hukum. Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Umar Shihab, juga menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi itu. Menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutus sengketa anak. “Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 ini menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutus. Kalau tes DNA-nya bilang itu ayahnya, ya dia harus bertanggung jawab, Anak yang lahir di luar nikah kan ada dua kemungkinan, anak diakui oleh ayahnya atau tidak. Kalau ayahnya mengakui maka tidak menjadi masalah. Kalau tidak mengakui akan dibuktikan ke pengadilan.” Selanjutnya, pembuktian di pengadilanlah yang akan menentukan nasib anak apakah benar anaknya atau tidak, yaitu dengan menggunakan sarana ilmu pengetahuan atau teknologi yang tersedia dan diakui secara hukum. Adapun untuk perkawinan sirri, menurut Umar, tidak ada masalah dalam Islam. Sebab, Nikah Sirri diakui secara sah dalam syariat Islam. Seandainya di belakang hari laki-laki mengelak tidak mengakui perkawianan tersebut maka tinggal dibuktikan di pengadilan. Umar juga menegaskan sebagai berikut “Bedanya kalau anak yang lahir di luar perkawinan dia tidak mendapat hak waris. Tapi kalau lahir dalam perkawinan sirri maka secara agama tetap dapat hak waris, nasab, nafkah, biaya pendidikan dan sebagainya” Majalah Konstitusi edisi February 2012 halaman 17 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU-VIII2010 menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum persona in judicio dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum. http:news.detik.comread201202200853281846287103pengakuanhakk eperdataan-anak-luar-kawin diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:58 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HM Nurul Irfan, berpendapat Putusan Mahkamah Konstitusi No.46PUU- VIII2010 tersebut memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak di luar nikah. Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan sebagai warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki mendapat harta dua kali lipat ketimbang anak perempuan. Hal tersebut dikarenakan warisan menurut konsep dasar Hukum Islam memiliki syarat seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut perkawinan. Nasab sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan di dalam Islam melalui perkawinan yang sah. Atau, melalui pengakuan seorang laki-laki bahwa itu anaknya yang diikuti dengan adanya bukti-bukti DNA dan tes darah. Nurul Ifan menyampaikan : Kalau mau disinkronisasi dengan konsep dasar Hukum Islam jangan diberi nama waris. Kalau waris syaratnya harus ada hubungan kekerabatan yang sah. Kalau anak di luar nikah kan tidak sah menurut hukum. Jadi silakan memperoleh haknya tetapi bukan nama waris, misalnya, hibah, sedekah dan lain-lain. A Mukti Arto menyampaikan dalam diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon dalam pengubahan Pasal 43 ayat 1 Undang- Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka kita harus kembali kepada nilai-nilai dasar syariah Islam dan asas-asas umum serta asas-asas hukumnya agar dapat memahami perubahan hukum konkritnya mengenai anak, hubungan darah, dan tanggung jawab ayah. http:badilag.netdataARTIKELDISKUSI20HUKUM.pdf diunduh 6 february 2013 pulul 22:27 A Mukti Arto dalam bahan diskusinya menyebutkan hubungan perdata yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya yang dapat berupa: 1hubungan nasab; 2 hubungan mahram; 3 hubungan hak dan kewajiban; 4 hubungan pewarisan saling mewarisi yang merupakan pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan 5 hubungan wali nikah bagi anak perempuan. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta para ulama memahami keputusan Mahkamah Konstitusi terkait kedudukan anak diluar nikah. Dikatakannya, keputusan itu mengandung pengertian setiap anak yang lahir memiliki hubungan keperdataan kepada kedua orang tua.Saat membuka pengajian Konstitusi di PP Tebuireng Jombang yang dihadiri Katib Aam PBNU KH Malik Madany, dan RAis Syuriyah PBNU KH Masdar F Masudi, Mahfud MD mengatakan “jangan samakan antara hubungan nasab dengan hubungan keperdataan. Kalau hubungan perdata artinya anak memiliki hak kepada orang tuanya” http:www.nu.or.ida,publicm,dinamics,detailids,44id,37360lang,idc,nasionalt,Mah fud+MD++Bedakan+Hubungan+Keperdataan+dengan+Soal+Nasab.phpx : Adanya keputusan Mahkamah Konstitusi, dikatakan Mahfud berarti tidak boleh menelantarkan anak walapun yang dihasilkan di luar nikah. Saat ini diakuinya, memang masih ada kesalahpahaman pengertian, terkait keputusan itu, yaitu anak yang lahir diluar nikah memang tidak memiliki nasab. Disampaikan mantan menteri era presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini, sekarang adalah waktunya segera mengisi hukum-hukum terkait hak keperdataan anak yang lahir diluar nikah. MUI seharusnya segera mengatur hal-hal keperdataan atas anak hasil hubungan diluar nikah. Yang menurut Fiqh Muamalah diperbolehkan. Terkait dengan anak yang berada dalam perkawinan sirri Asrorun Niam menyatakan Tinggal minta penetapan dari pengadilan agama bahwa anak tersebut adalah anak kedua orangtua yang menikah Sirri”. Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. Apabila tidak ada akta kelahiran, maka dapat dimintakan ketetapan hukum itsbat kepada Pengadilan Agama PA. Pengadilan memeriksa asal- usul anak berdasarkan alat-alat bukti yang sah, seperti saksi, tes DNA, pengakuan ayah istilhaq, sumpah ibunya danatau alat bukti lainnya. Apabila telah dapat dibuktikan siapa ayah dari anak tersebut, maka PA memberi keputusan dengan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ayahnya dimaksud. Berdasarkan penetapan pengadilan, Kantor Catatan Sipil KCS mencatat dalam buku akta kelahiran dan kepada yang bersangkutan diberikan kutipannyaApabila tidak terdapat bukti yang cukup untuk menetapkan siapa ayah dari anak tersebut, maka pengadilan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak ibunya saja.A. Mukti Bahan diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon diunduh 6 February 2013 pukul 22:27. Dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama dekat kekerabatannya” Rofiq, 2003: 380 Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal Pewaris kepada para keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan ahli waris. Saling mewarisi terjadi antara pewaris dengan ahli warisnya. Proses saling mewarisi tidak sedemikian rupa terjadi dengan sendirinya, ada beberapa sebab-sebab terjadinya saling waris. Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam diIndonesia menyebutkan bahwa sebab saling mewarisi ialah a Al-Qarabah pertalian darah Al-Qarabah pertalian darah disini diartikan bahwa sebab saling mewarisi berasal dari hubungan pertalian darah, dimana semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah mendapatkan bagianya sesuai dengan dekat jauhnya kekerabatanya. Baik itu laki-laki, perempuan dan anak-anak, bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa. b Al – Musahrah hubungan perkawinan Sebab saling mewarisi Al – Musahrah berasal dari perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum negara yang menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi. c Al – Wala memerdekakan hamba sahaya Al – Wala adalah hubungan kewarisan karena seorang memerdekakan hamba sahnya, atau melalui perjanjian tolong- menolong. Laki-laki disebut mu’tiq dan perempuan disebut mu’tiqah. Bagiannya 16 dari harta warisan pewaris. Kompilasi Hukum Islam pasal 174 menggolongkan ahli waris terdiri atas : a Menurut Hubungan Darah - Golongan Laki-laki terdiri ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. - Golongan Perempuan terdiri ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek b Hubungan Perkawinan, terdiri atas dudu atau janda. Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Ahli waris ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya. 2. Ahli waris ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-farud,seperti anak laki- laki, ayah , paman dan lain sebagainya. 3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab al- usubah. Untuk mengetahui secara lebih detail ahli waris terdiri atas skema sebagai berikut lubis, 2004:78 : Skema Ahli Waris M 6A 7 6 5 7A 8A 3 4 3A 5A 4A 10 11 10 10 1 8 9 14 15 1A 9A 2 2A 10A Keterangan: 1. Nomor dalam kotak adalah nomor ahli waris 2. Nomor Urut 1 sampai dengan 15 sebelah kanan adalah golongan laki-laki 3. Nomor urut 1A sampai 10A sebelah kiriadalah ahi waris perempuan 4. Tanda panah keatas berarti seterusnya keatas, sedangkan tanda panah kebawah berarti seterusnya kebawah. 5. Garis lurus berarti mempunyai hubungan darah. 6. Garis putus-putus berarti hubungan perkawinan. Keterangan Skema : M = Si Mayat meninggal pewaris 1. = Anak laki-laki 2. = Cucu laki-laki dari anak laki-laki. Tanda panah kebawah menunjukan garis keturunan samapai kebawah. Cicit laki- laki, piut laki-laki dst. 3. = Bapak 4. = Kakek. Tanda panah keatas menunjukan seterusnya keatas. Ayahnya kakek, kakeknya kakek jika ada. 5. = Saudara laki-laki kandung si mayat saudara se ayah dan se ibu 6. = Saudara laki-laki seayah saja 7. = Saudara seibu saja 8. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung 9. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 10. = Saudara laki-laki bapak dari bapak yang seibu sekalipun yang terjauh. 11. = Saudara laki-laki bapak 12. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak 13. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak. 14. = Suami apabila yang meninggal seorang perempuan 15. = Laki-laki yang memerdekakan si mayat dari perbudakan 1A. = Anak perempuan Saudara kandung dari 1 2A. = Cucu perempuan dari anak laki-laki 3A. = Ibu 4A. = Nenek Ibu dari Ibu 5A. = Nenek Ibu dari Bapak 6A. = Saudara perempuan yang seibu sebapak kandung 7A. = Saudara perempuan yang sebakap saja 8A. = Saudara perempuan seibu saja 9A. = Istri apabila yang meninggal suami si mayat laki-laki 10A. = Perempuan yang memerdekakan si mayat dari perbudakan. Saling mewarisi tidak akan terlaksana apabila ahli warisnya memiliki penghalang saling mewarisi. Penghalang saling mewarisi terdiri atas : Baidhowi, 2010:41 1. Pembunuhan Sesuai dengan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Berbeda Agama Didalam Pasal 171 huruf c menyatakan Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 3. Perbudakan Budak menjadi penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap melaukan perbuatan hukum. Sebelum menentukan besarnya bagian anak luar kawin sebagai ahli waris maka terlebih dahulu kita mengetahui apakah si anak ini mempunyai penghalang atau apakah anak ini menjadi penghalang bagi ahli waris yang lain. Dalam sistem kewarisan Islam mengenal adanya Hijab atau terhalang memperoleh warisan dipewaris. Hijab dapat dikualifikasikan menjadi 2 yaitu Lubis, 2004: 86 : 1. Hijab Hirman Hijab Hirman yaitu penghalang yang menyebabkan sesorang ahli waris tidak memperoleh sama sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain. Misalkan seorang cucu kan terhijab jika si mayat mempunyai anak. Dari skema diatas anak laki-laki merupakanhijab hirman bagi cucu laki-laki atau perempuan, karena adanya anak laki-laki cucu tidak menerima bagian sama sekali. 2. Hijab Nuqsan Adapun Hijab Nuqsan adalah penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian seorang ahli waris. Mayat Anak Pr Anak lk Anak Pr Cucu lkpr Suami meninggal Istri AL AL AP AP Baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan hijab nuqsan bagi si istri, sebab dengan adanya anak, maka bagian yang diperolehnya menjadi berkurang, yaitu dari 14 bagian menjadi 18 bagian. Dalam bagian ahli waris atas suatu warisan ada yang bagianya sudah ditentukan dan dipertegas didalam Al-Quran seperti dalam skema ahli waris yang diuraikan sebelumnya masih ada lagi kelompok ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, dengan kata lain tidak ditegas kan dalam Al- Quran maupun As-Sunnah. Ahli waris yang demikian disebut dengan Ashabah lubis, 2004:98 Ashabah merupakan ahli waris yang menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dengan keistimewaan ashabah ini ia akan mengambil pengahiban dari harta sisa yang telah dibagikan sebelumnya. Secara umum Ashabah dibagi atas 2 yaitu Ashabah Nasabiyah dan Ashabah Ma’al Ghair. 1. Ashabah Nasabiyah yaitu seorang ahli waris menjadi Ashabah dikarenakan adanya hubungan darah dengan si pewaris. Ashabah Nasabiyah terbagi atas 3 yaitu : a Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan dirinya sendiri maksudnya disebabkan karena kedudukanya. Adapun ahli waris ini ialah seluruh ahli waris yang laki-laki kecuai suami dan saudara laki-laki seibu. b Ashabah bil Ghair, menjadi ashabah disebabkan orang lain. Hal ini terjadi pada ahli waris perempuan dimana sebelumnya dia bukan merupakan ashabah, namun dengan adanya ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya maka ia menjadi ashabah. c Ashabah Ma’al Ghair , menjadi ashabah karena mewarisi bersama orang lain. Yang menjadi ahli waris ini ialah saudara seibu sebapak karena mewarisi bersama anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya. 2. Ashabah Sababiyah yaitu menjadi ashabah dikarenakan adanya sesuatu sebab. Sebab yang dimaksud karena adanya kemerdekaan si mayat dari perbudakan. Setelah mengetahui hal-hal yang ada dalam pewarisan sebelum harta peninggalan dibagikan oleh si pewaris, selanjutnya mengetahui porsi setiap ahli waris dalam pewarisan Islam. Namun sebelum dibagikan harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris yang meninggal dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan bila ada. Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri janda atau suami duda dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan harta yang dipunyai sebelum menikah dan harta bersama harta yang diperoleh setelah perkawinan atau harta gono-gini. Jadi yang menjadi harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah tajhis, pembayaran hutang dan pemberian kerabat Pasal 171 huruf e KHI . Setelah semua urusan dari sipewari telah selesai, barulah harta warisan itu dibagikan sesuai dengan porsi ahli waris masing-masing. Dari tabel dijelaksan tentang porsi setiap ahli waris. Anak luar kawin yang dalam hal ini merupakan anak sah, maka kedudukan waris anak luar kawin sama dengan anak sah. Bila anak tersebut perempuan dan hanya seorang saja maka ia akan mendapatkan bagian ½ dari harta warisan, namun ketika anak perempuan tersebut lebih dari 2 maka ia mendapatkan 23 bagian dan apabila bersama dengan anak laki-laki maka mendapatkan sisa. Apabila anak tersebut ialah anak laki-laki, maka ia akan mendapatkan seluruh harta warisan setelah dibagikan dengan ahli waris lainya.

4.2 Pembahasan