bulan, dengan 45 orang 73,8 anak laki-laki dan 16 26,2 anak perempuan, sedangkan terjatuh merupakan penyebab terbanyak dari
trauma. Berdasarkan nilai SKG, pada penelitian ini diperoleh 45 penderita
76,3 dengan nilai SKG 13 – 15, sedangkan penderita dengan nilai SKG 9 – 12 sebanyak 14 orang 23,7. Hal ini sesuai dengan penelitian
Machamer dkk 2003 yang mendapatkan jumlah penderita trauma kapitis terbanyak pada kelompok SKG 13 – 15 56,0.
Computed tomography scan merupakan pemeriksaan yang mendasar dalam mengevaluasi penderita trauma kapitis. Cushman dkk,
2001. Berdasarkan
gambaran Head CT-Scan, maka sampel yang paling
banyak memiliki gambaran Head CT-Scan normal sebanyak 31 orang 52,5, diikuti 9 orang 15,3 dengan mild focal injury, 10 orang
16,9 dengan medium focal injury, 2 orang 3,4 dengan mildmoderate diffuse injury, 5 orang 8,5 dengan massive focal injury,
dan 2 orang 3,4 dengan massive diffuse injury.
IV.2.2. Hubungan antara variabel demografi dengan outcome
Pada penelitian Murray dkk 2007, ras dan tingkat pendidikan memiliki nilai prediktif moderate setelah faktor lain disetarakan. Pasien
kulit hitam cenderung memiliki outcome jelek dibanding kelompok ras yang lain dan pendidikan yang tinggi memiliki outcome yang lebih baik
dibanding pendidikan rendah. Pada penelitian ini tidak ada kesan adanya
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
hubungan antara jenis kelamin dan GOS, dengan atau tanpa penyetaraan.
Dari penelitian ini diperoleh diantara beberapa suku bangsa, maka nilai rerata skor NRS paling tinggi pada suku Aceh 42,50 ± 9,67, yang
berarti neurobehavior outcome paling berat dialami oleh penderita trauma kapitis suku Aceh. Sedangkan gangguan neurobehavioral paling ringan
ditandai dengan rendahnya nilai rata-rata skor NRS adalah suku Melayu 39,50 ± 11,48. Tetapi tidak dijumpai perbedaan yang signifikan dalam
skor NRS diantara suku bangsa. Sama halnya dengan GOS, outcome baik dan jelek paling banyak dijumpai pada kelompok suku Batak. Tetapi
hubungan antara suku bangsa dan GOS juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa suku
bangsa bukan prediktor yang kuat untuk outcome. Tingkat pendidikan turut mempengaruhi outcome baik fungsional
maupun perubahan neurobehavior. Hal tersebut terlihat pada studi ini, dimana pada penelitian ini diperoleh gangguan neurobehavior paling berat
yang ditandai dengan paling tingginya skor NRS terdapat pada kelompok penderita dengan tingkat pendidikan terendah yaitu buta huruf tidak
sekolah 70,00 ± 00,00. Sedangkan perubahan neurobehavior paling ringan dialami penderita pada kelompok tingkat pendidikan SMP 38,36 ±
13,71, ditandai dengan lebih rendahnya nilai rerata skor NRS. Namun perbedaan rerata nilai skor NRS ini tidak signifikan. Sementara pada
GOS, outcome baik terbanyak dimiliki oleh kelompok tingkat pendidikan SMA dan outcome jelek paling sedikit dimiliki oleh kelompok penderita
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
dengan tingkat pendidikan akademi, perguruan tinggi dan buta huruf tidak sekolah. Namun perbedaan outcome ini pun juga tidak signifikan.
Banyak penelitian menyatakan perkiraan outcome sudah dapat diketahui dalam 3 hari masa perawatan paska trauma Musridharta,
2006. Lewin dkk 1996 adalah salah satu yang menemukan bahwa umur merupakan merupakan prediktor terbaik dari kapasitas kognitif pasien
sampai 24 jam cit Kraus and McArthur, 1996. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brown dkk 2005 yang menyebutkan bahwa umur
merupakan salah satu prediktif untuk disabilitas dini dan memprediksi aktifitas produktifitas pada satu tahun.
Banyak studi telah melaporkan usia muda sebagai faktor resiko yang penting untuk outcome jelek. Misalnya, Levy dkk telah menemukan
bahwa mortalitas setelah trauma kapitis menurun sejalan peningkatan umur. Sebaliknya, Bruce dkk yang meneliti outcome anak-anak setelah
trauma kapitis berat, melaporkan prognosis yang lebih baik pada anak- anak usia muda dengan persentase yang tinggi cit Abraham dkk, 2000.
Pada penelitian ini, salah satu outcome dinilai dengan pemeriksaan GOS. Pada GOS dapat dlihat bahwa peningkatan umur akan
berdampak kepada hasil outcome yang lebih jelek terutama di atas usia 55 tahun, tapi perbedaan ini tidak bermakna.
Menurut penelitian Machamer dkk 2003, yang melakukan studi untuk mengetahui outcome neurobehavioral terhadap penderita violent
dan non-violent trauma kapitis melaporkan bahwa prediktor yang
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
mempengaruhi outcome neurobehavioral adalah nilai SKG, rendahnya tingkat pendidikan, usia tua serta jenis kelamin laki-laki.
Berdasarkan umur, maka penderita dengan usia 50 tahun mengalami outcome neurobehavior yang lebih berat ditandai dengan skor
NRS yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita usia 50 tahun. Pada penelitian ini yang menggunakan cut-off point yang berbeda
menunjukkan perbedaan nilai rerata skor NRS antara usia penderita tidak berbeda bermakna.
Masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh umur terhadap perubahan neurobehavior pada penderita trauma kapitis. Rao
2000 menyebutkan salah satu faktor resiko mayor bagi timbulnya gangguan neuropsikiatri setelah trauma kapitis adalah peningkatan usia.
Goldstein dkk 1999 yang melakukan pemeriksaan neurobehavior pada penderita usia tua yang mengalami trauma kapitis melaporkan
dijumpainya penurunan fungsi kognitif dan mood dari penderita dibandingkan kontrol dan sebelum penderita mengalami trauma. Namun
hal ini bertentangan dengan hasil penelitian McCauley dkk 2001 yang menyebutkan tidak ada pengaruh usia terhadap tingkat keparahan
perubahan neurobehavior. Data penelitian ini tidak memberikan dukungan terhadap adanya
korelasi antara umur dan outcome setelah trauma kapitis ringan-sedang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia bukan merupakan prediktor yang
kuat terhadap outcome trauma kapitis ringan-sedang. Hasil yang sama juga pernah dilaporkan pada penelitian Abraham dkk 2000 dimana tidak
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
ada korelasi statistik antara umur dan morbiditas saat keluar rumah sakit. Kaufman dkk juga menemukan tidak ada perbedaan pada
neurobehavioral outcome orang dewasa dan anak-anak setelah mengalami luka tembak pada kepala cit Abraham dkk, 2000.
Berdasarkan jenis kelamin, setelah dianalisa secara statistik nilai rerata skor NRS pada kelompok laki-laki berbeda bermakna dengan
perempuan p = 0,038. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian McCauley dkk 2001 yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh yang
signifikan dari jenis kelamin terhadap skor NRS-R. Sedangkan pada GOS, pada jenis kelamin tidak didapati perbedaan yang bermakna antara
perempuan dan laki-laki. Hasil ini sesajalan dengan penelitian yang dilakukan Murray dkk 2007. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis
kelamin hanya merupakan prediktor untuk neurobehavioral outcome. Tingkat keparahan trauma kapitis dapat mempengaruhi outcome
baik dari segi disabilitas maupun neurobehavior. Pada studi ini penderita dengan nilai SKG 9 – 12 mengalami perubahan neurobehavior lebih berat
dan outcome lebih jelek. Ditandai dengan lebih tingginya nilai rerata skor NRS 55,00 ± 22,54 dibandingkan dengan nilai rata-rata skor NRS pada
kelompok penderita dengan SKG 13 – 15 37,18 ± 11,75 dan lebih banyaknya sample pada kelompok ini yang beroutcome jelek dibanding
yang baik 10 vs. 4. Berdasarkan analisa statistik dengan menggunakan uji t-independent dijumpai perbedaan signifikan nilai rerata skor NRS
antara subjek dengan nilai SKG 13-15 dengan subjek yang memiliki nilai SKG 9 – 12 p = 0,001. Begitu juga pada GOS, dengan menggunakan uji
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
chi-square dijumpai perbedaan yang signifikan pada GOS p=0,004. Sehingga SKG merupakan prediktor yang kuat terhadap oucome pada
trauma kapitis ringan-sedang. Hal ini sejalan dengan penelitian Gruner dkk 2006 yang
melakukan studi untuk melihat gangguan neurobehavior terhadap 41 penderita cedera kranioserebral, mendapatkan hasil bahwa penderita
dengan trauma kapitis berat SKG 9 secara keseluruhan memperlihatkan tingginya skor dari NRS yang menggambarkan tingginya
tingkat disfungsi neurobehavior. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan
Chiaretti dkk 2001 dan Signorini 1999 dimana SKG merupakan prediktor terhadap GOS. Hal yang sebaliknya malah terjadi pada studi
Naalt dkk 1999 dimana pada pasien trauma kapitis ringan-sedang, outcome ditentukan oleh lamanya PTA r=-0,46 dan bukan SKG r=0,19
saat masuk. Beberapa studi terdahulu telah melaporkan bahwa gambaran
Head CT-Scan merupakan salah satu prediktor penting terhadap outcome penderita trauma kapitis Chiaretti, 2001; Signorini, 1999. Hal ini sejalan
dengan hasil yang didapati pada penelitian ini. Pada studi ini, outcome jelek lebih banyak dialami oleh kelompok
medium focal injury 40,9, sedangkan outcome baik pada kelompok normal 75 dimana analisa statistik dengan chi-square menunjukkan
perbedaan yang signifikan p = 0,000.
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
Gangguan neurobehavior paling berat yang ditandai dengan tingginya nilai rerata skor NRS terdapat pada kelompok dengan gambaran
massive diffuse injury 78,00 ± 25,46 diikuti kelompok mild moderate diffuse67,50 ± 38,89 dan nilai rerata skor NRS yang terendah adalah
kelompok normal 32,97 ± 6,09. Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji one-way Anova menunjukkan dijumpai perbedaan yang
signifikan dalam nilai rerata skor NRS diantara berbagai tingkatan gambaran Head CT-Scan tersebut p = 0,000.
Signorini dkk 1996, melakukan penelitian untuk mengetahui prediktor terhadap survival 372 penderita trauma kapitis, mendapatkan
bahwa salah satu prediktor yang signifikan terhadap survival adalah gambaran Head CT- Scan. Pada studi tersebut, hasil Head CT-Scan
dikelompokkan secara sederhana menjadi 2 kelompok, yaitu adanya hematom perdarahan intraserebral, subdural, atau ekstradural serta
tanpa hematom. Walaupun pembagian ini sangat kasar, tapi kelihatannya lebih efisien dan konsisten diantara berbagai sentra.
Pada penelitian ini, berdasarkan ada tidaknya hematom pada gambaran Head CT-Scan, maka dijumpai pada penderita tanpa
gambaran hematom lebih banyak berada pada outcome baik dibanding pada penderita dengan adanya gambaran hematom. Sedangkan nilai
rerata skor NRS pada penderita dengan adanya gambaran hematom pada Head CT-Scan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita tanpa
gambaran hematom pada Head CT-Scan p= 0,000. Hal ini menunjukkan
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
penderita dengan gambaran hematom pada CT-Scan mengalami outcome lebih jelek dibandingkan penderita tanpa hematom.
Dijumpainya lesi baik pada hemisfer kiri maupun pada hemisfer kanan berperan dalam menimbulkan gejala-gejala psikotik pada penderita
cedera kepala. Kerusakan terhadap area orbital-frontal menimbulkan disinhibition, sedangkan kerusakan pada convexity lobus frontal
menyebabkan dysexecutive symptoms. Kerusakan pada lobus temporal dapat menimbulkan emotional lability dan gangguan memory Rao, 2000.
Lesi pada temporal parietal dapat menyebabkan agitasi, hiperactive state, keterlibatan area paralimbic dapat menyebabkan agitasi, delusi dan
halusinasi Drubach dan Peralta, 1996. Ditinjau dari hubungan letak lesi pada hemisfer yang berbeda
dengan gangguan neurobehavior, studi ini memperlihatkan gangguan neurobehavior paling jelek didapati pada penderita trauma kapitis akut
ringan-sedang dengan lesi pada hemisfer kanan. Sedangkan outcome jelek pada GOS paling banyak pada penderita dengan lesi pada hemisfer
kiri. Kedua outcome ini memperlihatkan hasil yang bertolak belakang. Kedua outcome ini berbeda secara signifikan diantara lokasi lesi pada
hemisfer yang berbeda dengan p=0,000. Selain itu, ditinjau dari hubungan letak lesi dengan timbulnya
gangguan neurobehavior, pada studi ini diperoleh nilai rerata skor rata- rata NRS paling tinggi pada kelompok penderita dengan lesi difus 61,80 ±
24,50 yang menunjukkan tingkat keparahan neurobehavioral yang dialami penderita, diikuti penderita dengan lesi pada lobus frontal 52,50 ±
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
16,80. Nilai rata-rata skor NRS paling rendah terdapat pada kelompok penderita tanpa dijumpainya lesi dari gambaran Head CT-Scan.
Perbedaan nilai rerata skor NRS di tinjau dari lokasi lesi berbeda bermakna berdasarkan uji one-way Anova p = 0,000. Sedangkan
hubugan letak lesi dengan GOS pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang bermakna diantara kelompok dengan tidak ada lesi, lesi
difus, lesi otakkiri dan lesi pada lobus frontal p = 0,000, dimana outcome baik paling banyak dijumpai pada kelompok tidak ada lesi. Namun sampai
saat ini belum ada penelitian yang mendukung hasil ini. Tateno dkk 2003 melaporkan bahwa baik penderita dengan
aggressive behavior maupun non-aggressive setelah trauma kapitis terbanyak memiliki lesi difus pada gambar CT-Scan, sedangkan lesi pada
lobus frontal lebih banyak dijumpai pada kelompok aggressive. Aggressive behavior juga memiliki korelasi dengan lesi otak pada
lokasi spesifik tertentu seperti hipotalamus, area paralimbik, dari lobus temporalis dan prefrontal cortex. Telah diketahui bahwa kerusakan lobus
frontal meliputi ascending serotonin pathways berperan dalam patofisiologi timbulnya depresi serta violent behavior. Manifestasi psikiatrik
dapat terjadi baik akibat lesi fokal yang dapat merubah gross morphology dari otak, ataupun akibat lesi difus yang mempengaruhi fungsi otak,
maupun kombinasi keduanya Drubach dan Peralta, 1996. Lesi fokal seperti kontusio, mass lesions, maupun perdarahan
menimbulkan manifestasi psikiatrik dengan cara mempengaruhi fungsi
Silvia Asrini: Peranan Post Trumatic amnesia PTA Dan Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang, 2008.
USU e-Repository © 2008
psikologikal tertentu dari otak. Tipe gejala psikiatrik yang terjadi ditentukan oleh lokasi dan fungsi regio yang terlibat. Drubach dan Peralta, 1996.
IV.2.3. Durasi PTA sebagai prediktor terhadap outcome