Temuan lain HASIL DAN PEMBAHASAN

commit to user ketrampilan dengan waktu 10 menit. Infeksi termasuk dalam siklus OSCE tersebut. Tentunya yang diujikan tidak semua jenis infeksi tetapi dipilih 1 atau 2 jenis sesuai dengan kesepakatan pembimbing berapa yang akan diujikan”. b. Penilaian aspek kognitif dilakukan dengan soal tertulis berbentuk pilihan ganda. Nilai batas lulus 70. Narasumber 7 juga menjelaskan mengenai ujian tulis. “Evaluasi skills lab ada dua, evaluasi tulis dan evaluasi ketrampilan. Evaluasi tulis dengan ujian materi biasanya bersifat dasar teorinya. Mahasiswa harus tahu kenapa infeksi dilakukan di bahu, misalnya. Tidak hanya asal menyuntik. Mahasiswa harus tahu alasannya, dasar teori, dan tahu teknisnya. Nilai akhir dibobot, ujian tulis 20, ketrampilan 80”. c. Jika tidak lulus ujian praktek maupun teori, mahasiswa diberi kesempatan mengikuti ujian remidi satu kali. Narasumber 8 menjelaskan : “Kalau misalnya mahasiswa belum lulus ujian tulis, tetap diberi kesempatan remidi satu kali, termasuk uji OSCE juga ada remidi satu kali”. d. Diakhir pembelajaran, kompetensi mahasiswa dapat melakukan ketrampilan infeksi bisa tercapai. Hal ini bisa terlihat dari hasil studi dokumen tentang nilai dalam Kartu Hasil Studi KHS semester tigadimana pada ketrampilan infeksi semua mahasiswa bisa lulus dengan nilai A dan B.

C. Temuan lain

Dalam pembelajaran skills lab di AKPER Bahrul Ulum ini peneliti juga mendapatkan data mengenai hal-hal yang bisa menghambat kelancaran pelaksanaan pembelajaran. Kendala yang dihadapi yaitu : commit to user 1. Perencanaan pembelajaran skills lab : a. Manekin sudah berkurang fungsinya. Diantaranya manekin infeksi IC Intra Cutan sudah bocor sehingga tidak bisa membentuk gelembung. Untuk menilai keberhasilan infeksi IC, manekin tempat infeksi harus timbul gelembung. Narasumber 4 mengungkapkan pernyataan sebagai berikut : “Saya mau mengomentari tentang manekin. Misalnya manekin intra cutan sudah tidak bisa membentuk gelembung, jadi tidak bisa dipakai maksimal. Padahal manekin harganya mahal. Saya takut dituduh merusakkan manekin padahal sebenarnya tidak dirusakkan. Jadi petugas skills lab harus mengecek alatnya”. Narasumber 1 juga menambahkan bahwa saat melakukan infeksi intra cuton, cairan obat yang sudah masuk ke dalam manekin seharusnya membentuk gelembung tetapi cairan keluar lagi karena manekin sudah berlubang. “Kalau pengalaman saya saat infeksi intra cutan seharusnya manekin membentuk gelembung tetapi cairan obat malah keluar dari manekin, kemudian pembimbing memberitahu bahwa tindakan yang saya lakukan sudah benar. Saya juga menjelaskan bahwa saya sudah melakukan tindakan dengan benar tetapi manekinnya berlubang-lubang”. b. Jarum suntik sudah bengkok dan jumlahnya kurang. Hal ini menyulitkan mahasiswa ketika melaksanakan praktek. Narasumber 2 mengatakan : “Dalam praktek infeksi, alat suntiknya sudah pernah digunakan, mungkin sisa tahun kemarin. Ketika akan memulai praktek, jarum suntiknya sudah bengkok”. Narasumber 6 juga mengungkapkan hal serupa : “Alat suntiknya hanya dua, sudah pernah digunakan. Kami menginginkan ketika praktek, alat suntiknya baru. Alat suntik kan harganya murah”. commit to user c. Sediaan obat dalam bentuk ampul kurang jumlahnya sehingga mahasiwa tidak bisa praktek mengambil obat dari ampul. Agar dapat mengambil obat dari ampul, maka leher ampul harus dipatahkan, sehingga jika sudah dipatahkan maka ampul tidak bisa digunakan lagi. Narasumber 1 mengatakan : “Dalam praktek infeksi, mahasiswa seharusnya juga mengambil obat dari vial dan ampul. Kalau kelompok saya hanya mencoba mengambil obat dari vial sedangkan pengambilan obat dari ampul tidak dipraktekkan cara mematahkan leher ampul. Mungkin juga memakan biaya kalau harus mematahkannya. Jadi mahasiswa hanya tahu teorinya saja tetapi tidak bisa praktek”. d. Bagian spesialis dalam pembuatan buku pedoman praktek kurang berperan. Hal ini diungkapkan oleh narasumber 7 : “Dari skills lab mengiginkan yang membuat buku pedoman praktek itu bagian spesialis yang sesuai dengan kompetensinya dengan didampingi dari skills lab, misal ketrampilan injeksi melibatkan bagian bedah, kalau ketrampilan RJP melibatkan bagian anestesi. Tetapi pada kenyataannya yang terlibat aktif dalam pembuatan buku pedoman praktek hanya skills lab”. Bagian skills lab berkeinginan agar pembuatan buku pedoman praktek dilakukan secara bersama antara bagian skills lab dengan spesialis yang terkait. Hal ini bertujuan agar kualitas buku yang dihasilkan semakin baik karena mendapat masukan dari Perawat yang ahli mengenai ketrampilan injeksi. Namun pada kenyataannya bagian skills lab yang berperan lebih aktif. Walaupun demikian, pengelola skills lab telah berhasil menyelesaikan buku pedoman praktek infeksi edisi kedua yang lebih baik dan lengkap. commit to user 2. Pelaksanaan pembelajaran skills lab : a. Ada pembimbing yang tidak mengecek apakah mahasiswa mengumpulkan BRK atau tidak, sehingga tidak mengetahui bahwa ada mahasiswa yang tidak mengumpulkan BRK. Narasumber 1 mengatakan : “Menurut pengalaman, saya pernah tidak membuat BRK. Saya mengumpulkan BRK dari teman-teman, kemudian saya berikan pembimbing kemudian pembimbingnya langsung tanda tangan. Setelah itu BRK dikembalikan ke mahasiswa lagi. Pembimbing tidak menghitung jumlah BRK yang dikumpulkan. Jadi daya tidak membuat BRK tidak mendapat sanksi”. b. Saat kegiatan praktek mandiri, beberapa mahasiswa kurang termotivasi untuk berlatih mandiri. Pada saat kegiatan mandiri mahasiswa tidak didampingi pembimbing, sehingga jika menemui kesulitan dalam melakukan tindakan infeksi, maka mahasiswa tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Hal tersebut membuat mahasiswa patah semangat. Disamping hal tersebut, mahasiswa yang sudah melakukan praktek, kegiatannya hanya menunggu mahasiswa lain menyelesaikan prakteknya. Hal ini diungkapkan oleh Narasumber 4 yang mengatakan : “Kenapa saya tidak suka berlatih mandiri karena terus terang saja ketika saya sedang berlatih dan menemui kesulitan, maka tidak ada yang bisa ditanya. Saya menjadi malas untuk melanjutkan latihan. Disamping itu jika saya sudah selesai melakukan tindakan maka tidak lagi yang dikerjakan”. commit to user Narasumber 1 juga mengungkapkan hal serupa dimana sebagian mahasiswa lebih memilih melakukan kegiatannya sendiri, seperti mengerjakan tugas, mengobrol, daripada melakukan praktek infeksi yang sudah pernah dilihat saat kegiatan terbimbing. “Kelompok saya mengerjakan pekerjaan apa yang lebih menyenangkan daripada hanya mempraktekkan apa yang sudah dilihat. Kelompok saya untuk mandiri jujur tidak efektif masalahnya saat mandiri malah sering membicarakan gossip, mungkin sambil mencoba ketrampilan tetapi tidak serius”. c. Petugas piket yang bertugas mengontrol kegiatan mandiri tidak berfungsi. Dalam praktek skills lab terdapat sepuluh ruangan. Petugas piket harus menyiapkan alat dan berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya sambil mengontrol kegiatan mahasiswa. Hal tersebut membuat tugas petugas piket menjadi berat. Narasumber 7 mengatakan : “Awalnya dulu piket hanya berfungsi satu atau dua semester kemudian lama kelamaan tidak berfungsi. Hal ini dikarenakan tugas piket salah satunya berkeliling memantau kegiatan mahasiswa. Piket merasa kesulitan jika harus memantau semua kelompok sendirian. Kalau sudah ada alat pemantau seperti CCTV, piket bisa mengetahui kelompok mana yang tidak serius berlatih”. d. Angkatan 2008 tidak bisa memanfaatkan praktek mandiri secara maksimal karena pada akhir semester pembimbing berkonsentrasi mempersiapkan ujian, membuat soal, skenario dan sebagainya, sedang mahasiswa juga berkonsentrasi mempersiapkan ujian baik ujian tertulis maupun praktek. Petugas skills lab juga sudah mulai menata ruang praktek agar saat pelaksanaan ujian dapat berjalan lancar. Disamping berbagai kegiatan di atas, ruang skills lab juga dipakai untuk kegiatan commit to user lab kebidanan bagi mahasiswa yang akan menempuh pendidikan profesi, sehingga kesempatan mahasiswa untuk mendapatkan ruangan guna berlatih mandiri semakin berkurang. Hal ini diungkapkan oleh narasumber 7 : “Sebenarnya saat ini angkatan 2008 konsep praktek mandiri tetap ada Cuma pelaksanaannya dua minggu sebelum OSCE. Tetapi kenyataannya dosennya sudah mempersiapkan diri untuk OSCE, mahasiswanya juga demikian. Mungkin ada juga sebagian mahasiswa yang minta untuk praktek mandiri tetapi pengelola tidak tahu apakah pegawai skills lab mau melayani atau tidak. Jadi konsepnya tetap ada hanya teknisnya yang dua minggu sebelum ujian tetapi tidak terjadwal tiap mahasiswa. Apalagi ruangan skills lab juga dipakai OSCE paniteraan umum sehingga mungkin bentrok waktunya. Sehingga sekarang mandiri tetap ada diakhir semester tetapi tidak terjadwal”. e. Beberapa mahasiswa belajar pada mahasiswa senior yang mempunyai prosedur tindakan infeksi yang berbeda dengan prosedur yang ditetapkan oleh pengelola skills lab. Hal ini bisa terjadi karena mahasiswa tidak paham dengan suatu prosedur, akhirnya bertanya kepada siapa yang mau menjelaskan tanpa memperhatikan kebenaran prosedur yang dilakukan. Hal ini diungkapkan oleh narasumber 7 : “Jadi sekarang ini ada kegiatan pembimbingan praktek di luar skills lab oleh senior mereka tetapi prosedurnya berbeda dengan check list yang ada di skills lab. Jadi dulu itu waktu ujian saya Tanya kenapa prosedurnya berbeda, mahasiswa menjawab bahwa mereka belajar dari kakak kelas”. 3. Evaluasi pembelajaran skills lab: a. Penguji memberi perlakuan yang berbeda pada mahasiswa saat ujian. Ada penguji yang tidak berbicara sedikitpun, ada pula yang memberi pancingan pada mahasiswa ketika ada bagian prosedur yang terlewatkan. commit to user Narasumber 4 mengatakan : “Pada saat ujian, penguji menanyakan kepada saya apa ada prosedur yang perlu diganti, sehingga mahasiswa bisa memperbaiki prosedur yang terlewatkan. Narasumber 4 mengatakan : “Pada saat ujian, penguji menanyakan kepada saya apa ada prosedur yang perlu diganti, sehingga mahasiswa bisa memperbaiki prosedur yang salah atau terlewatkan”.

D. Pembahasan