Dampak Transfer Fiskal Terhadap Belanja Modal Dan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia : Analisis Data Provinsi

(1)

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA

MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA :

ANALISIS DATA PROVINSI

NOR QOMARIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dampak Transfer Fiskal Terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Nor Qomariyah NIM H453130251


(4)

RINGKASAN

NOR QOMARIYAH. Dampak Transfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi. (SUHARNO sebagai Ketua, D.S PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi diindikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan merupkan permasalahan mendasar dalam pembangunan yang saat ini tengah melanda bangsa Indonesia dan negara berkembang pada umumnya.

Kondisi kemiskinan di Indonesia pada era desentralisasi fiskal mengalami penurunan dari 16.66 persen pada tahun 2004 menjadi 11.47 persen pada tahun 2013. Akan tetapi jumlahnya masih cukup tinggi, bahkan dapat dibilang masih jauh dari target yang ditentukan dalam RPJMN yaitu 8.0 hingga 10 persen, lebih-lebih terhadap target MDGs dimana pada tahun 2015 kemiskinan di Indonesia di targetkan turun menjadi 7.5 persen. Tidak tercapainya target kemiskinan di Indonesia dikarenakan laju penurunan kemiskinan samakin melambat, ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin besar diduga menjadi penyebab melambatnya laju penurunan kemiskinan tersebut. Kemiskinan sekaligus ketimpangan dapat diturunkan melalui pertumbuhan pro poor, yaitu pertumbuhan yang berpihak kepada mayoritas penduduk miskin, dengan pertumbuhan pro poor maka terjadi perbaikan pendapatan masyarakat miskin melalui penggunaan tenaga kerja yang intensif. Pertumbuhan pro poor akan tercipta jika pemerintah memperioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastrkur. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu dana transfer fiskal pada era desentralisasi yang tujuannya untuk mendanai sarana prasaran khusus daerah yang menjadi prioritas nasional termasuk untuk mendanai sektor infrastruktur dan pertanian. Peningkatan DAK akan berdampak langsung terhadap pembanguna ekonomi daerah maupun nasional.

Tujuan studi ini untuk (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah pada era desentralisasi fiskal, (2) Menganalisis dampak transfer fiskal berupa DAK bidang infrastruktur dan pertanian terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan). Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 19 propinsi di Indonesia pada tahun 2009-2013. Data yang terkumpul diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu data provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Model diestimasi menggunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Simulasi historis dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan dari skenario peningkatan DAK infrastruktur jalan dan irigasi masing-masing 150 persen, peningkatan DAK bidang pertanian 75 persen, dan peningkatan belanja modal 40 persen.


(5)

Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, DAK bidang infrastruktur berpengaruh positif terhadap belanja modal, selanjutnya belanja modal berpengaruh positif terhadap output baik di sektor pertanian maupun non pertanian, output sektoral tersebut berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral, sedangkan kemiskinan dipengaruhi secara positif oleh variabel indeks gini yang mencerminkan ketimpangan dan di pengaruhi secara negatif oleh variabel upah. Hasil simulasi baik di daerah PDRB sektor pertanian tinggi maupun rendah menunjukkan, (1) pada simulasi 1 dan 2 yaitu peningkatan DAK infrastruktur jalan dan irigasi baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah dapat meningkatkan kapasitas fiskal dan belanja modal, menurunkan jumlah penyerapan tenaga kerja pertanian, menurunkan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan, ketimpangan menurun di daerah pertanian tinggi namun di daerah pertanian rendah tidak mengalami perubahan, (2) simulasi 3 yaitu peningkatan DAK bidang pertanian menurunkan besarnya dana perimbangan, meningkatkan belanja modal, menurunkan penyerapan tenaga kerja pertanian pada daerah pertanian rendah, namun penyerapan tenaga kerja di daerah pertanian tinggi tidak mengalami perubahan, selain itu juga menurunkan share PDRB sektor pertanian, menurunkan indeks gini (hanya di daerah pertanian tinggi) dan menurunkan jumlah penduduk miskin, (3) sedangkan simulasi 4, yaitu peningkatan belanja modal menurunkan DAK bidang infrastruktur (jalan, irigasi, dan lainnya), berdampak langsung terhadap peningkatkan kinerja perekonomian suatu daerah melalui kenaikan output sektoral dalam hal ini sektor pertanian dan non pertanian. Upah sektor pertanian di daerah pertanian tinggi dan tenaga kerja pertanian di daerah pertanian rendah menurun, share PDRB sektor pertanian pada kedua klasifikasi daerah menurun tetapi secara totalnya mengalami peningkatan. Sedangkan dampaknya terhadap jumlah penduduk miskin secara total baik di daerah pertanian tinggi maupun di daerah pertanian rendah sama-sama mengalami penurunan.

Kata kunci : Dana Alokasi Khusus, Kemiskinan, Ketimpangan, Pertumbuhan Ekonomi Sektoral, Transfer Fiskal


(6)

SUMMARY

NOR QOMARIYAH. The Impact of Transfer Fiscal on Capital Expenditure and Economic Development in Indonesia. Supervised by SUHARNO and D.S PRIYARSONO.

National economic development goal is to improve the welfare of society and to create equitable distribution of income (Todaro and Smith, 2006). In other words, the success of economic development is indicated by the reduction of poverty and income inequality. Poverty is fundamental problem in the economic development of Indonesia and other developing countries in general.

Poverty in Indonesia on fiscal decentralization era has been decline from 16.66 percent in 2004 into 11.47 percent in 2013. But the poverty rate are still high, it can be said that is still far from the targets RPJMN is 8.0 to 10 percent, and MDGs target on 2015 is 7.5 percent. Not achieving the target of poverty in Indonesia because the decline of poverty the slower, its is caused by income inequality grow to larger. The poverty and inequality of income can be reduced through pro-poor growth, ie growth that support the economic of poor community majority, with a pro-poor growth, the improvement of incomes of the poor through the use of labor intensive. Pro-poor growth will be created if the government prioritize the development to the agricultural sector and infrastructure. Special Allocation Fund (DAK) is a transfer of funds in the fiscal decentralization era with aims to fund local development which become special priority of nation including to fund the infrastructure and agriculture sectors. Increased of DAK will directly impact to economy development of regional and national.

The objectives of this study are to : (1) analyze the factors affected fiscal, economic growth, income inequality and poverty in Indonesian provinces both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GDRP is high or low on the fiscal decentralization era, (2) analyze the impact of transfer fiscal on capital spending and development economic (economic growth, income inequality and poverty). This study used the simultaneous equation models with Two Stage Least Square (2SLS) methode. It used panel data 19 provinces in Indonesia on 2009-2013. The provinces where classified into two groups, based on the contribution of agriculture sector to the respective regional economy, ie provinces in the areas where the contribution of the agricultural sector to GDRP is high and low. Historical simulations conducted to determine the impact of a change of scenario increase DAK infrastructure of road and irrigation respectively 150 percent, increasing DAK of agriculture 75 percent and increasing capital spending 40 percent.

The results of the study showed that DAK infrastructure positive effect on capital expenditure, then the capital spending has positive effect on the output both sectoral of agriculture and non-agriculture, then the sectoral outputs has positive effect on the sectoral employment, the wage has negative while the income inequality has positive effect on number of poverty. The simulation results both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP was high or low:, (1) the simulation 1 and 2 increase of DAK road and irrigation infrastructure can increased fiscal capacity and capital spending, decreased the agriculture employment, but reduced rural and urban poverty both in the areas


(7)

where the contribution of the agricultural sector to GRDP is high or low, (2) the simulation 3 increase of DAK agriculture can decreased equalization funds from central government, increased capital spending, decreased agricultural employment both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is either high or low, while also can decrease the share of the GDRP of agriculture, decreased the gini index (only in the area the high agricultural sector) and reduce rural and urban poverty both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP was high or low, and (3) the result of simulation 4 increase capital spending, can decrease variables of fiscal that DAK infrastructure (roads, irrigation, and others), can increase outputs sectoral are GRDP of agriculture and non-agriculture, and then can decrease the wage in the high agriculture area and employment of agriculture in the low agriculture area, but can reduce rural and urban poverty in total both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is high or low

Keywords: Specific Allocation Fund, Poverty, Inequality, economic growth, Transfer Fiscal.


(8)

.

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA

MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA :

ANALISIS DATA PROVINSI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(10)

(11)

(12)

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaatas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judulpenelitian ini adalah DampakTransfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Ir Suharno, M Adev selaku ketua komisi pembimbing, dan Prof Dr Ir D.S Priyarsono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam perjalanan penyusunan tesis.

2. Dr Ir Wiwiek Rindayanti, Msi selaku penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis. 3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Pertanian dan seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB atas perhatian dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang di dapatkan oleh penulis dapat diamalkan dengan baik. Selanjutnya juga kepada Kepala Tata Usaha program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staff atas pelayanan akademik dan kemahasiswaan. 4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

5. Seluruh anggota keluarga penulis, terutama kedua orang tua tercinta Bapak Sudin dan Ibu Arsina, Adik tersayang Mahmud atas doa dan kasih yang tulus yang selalu tercurahkan kepada penulis.

6. Bapak Saefudin dan Bapak Sumedi dari Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) atas diskusi dan sharing pengalamannya sehingga menjadi pelajaran berharga bagi penulis selama proses penyelsaian tesis.

7. Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti perkuliahan hingga terselesaikannya tesis ini.

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini.

Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2016


(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 10 Desentralisasi Fiskal 10

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi : Ketimpangan dan Kemiskinan 13

Investasi Publik,Pertumbuhan Ekonomi,dan Pengentasan Kemiskinan 14

Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan, dan Kemiskinan 15

3 KERANGKA TEORI 18 Desentralisasi Fiskal 18

Pengeluaran Pemerintah 21

Konsep Infrastruktur 22

Pertumbuhan Ekonomi 23

Teori Pertumbuhan Solow 24

Teori Pertumbuhan Endogen 26

Konsep Kemiskina 28

Konsep Ketimpangan Pendapatan 29

Kerangka Pemikiran 31

Hipotesis Penelitian 32

4 METODE PENELITIAN 34 Jenis dan Sumber Data 34

Metode Analisis 35

5 GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL, BELANJA MODAL, DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH 45

Profil Kinerja Fiskal 46

Pengeluaran Daerah 53

Kinerja Perekonomian 55

Tenaga Kerja dan Upah Sektoral 56


(15)

6 HASIL ESTIMASI MODEL 61

Blok Kinerja Fiskal Daerah 63

Penerimaan Daerah 63

Blok Kinerja Perekonomian Output Sektoral 67

Blok Indeks Gini dan Kemiskinan 73

7 DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH 76 Validasi Model Transfer fiskal, Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi Daerah 76

Simulasi Historis Tahun 2009-2013 78

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 86

Simpulan 86

Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 89 LAMPIRAN 93


(16)

DAFTAR TABEL

1 Kelompok provinsi dengan proporsi pdrb sektoral pertanian tinggi dan rendah, serta rata-rata proporsi pdrb sektor pertanian tahun 2009-2013 45 2 Rata-rata per tahun pendapatan pemerintah daerah selama 2009-2013 46 3 Rata-rata per tahun kontribusi unsur pendapatan daerah 2009-2013 48 4 Rata-rata per tahun kontribusi dana perimbangan daerah tahun

2009-2013 49

5 Rata-rata per tahun kontribusi dana alokasi khusus 2009-2013 50 6 Rata-rata per tahun kontribusi dak bidang infrastruktur 2009-2013 52 7 Rata-rata per tahun nilai dan kontribusi unsur-unsur pengeluaran

pemerintah daerah selama 2009-2013 53

8 Rata-rata per tahun kontribusi belanja langsung tahun 2009-2013 54 9 Rata-rata per tahun total pdrb dan share pdrb sektor pertanian dan

non pertanian 2009-2013 55

10 Rata-rata per tahun total tenaga kerja dan proporsi sektor pertanian

dan non pertanian 2009-2013 56

11 Rata-rata proporsi upah sektor pertanian dan non pertanian di daerah 57 12 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran

penduduk pedesaan, dan indeks gini tahun 2009-2013 58 13 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran

penduduk pedesaan, dan indeks gini tahun 2009-2013 59 14 Keragaan umum model transfer fiskal, perekonomian, ketimpangan,

dan kemiskinan daerah tahun 2009-2013 61

15 Hasil uji multikolinieritas 62

16 Hasil estimasi dan elastisitas variabel dana dak bidang infrastruktur

jalan, irigasi, dan lain-lain 64

17 Hasil estimasi variabel pendapatan asli daerah (PAD) 65 18 Hasil estimasi dan elastisitas variabel belanja modal 66 19 Hasil estimasi variabel pdrb sektor pertanian dan non pertanian 68 20 Hasil estimasi dan elastisitas variabel penyerapan tenaga kerja

sektoral 71

21 Hasil estimasi dan elastisitas variabel upah sektoral 72 22 Hasil estimasi dan elastisitas variabel indeks gini 73 23 Hasil estimasi dan elastisitas variabel jumlah penduduk miskin di

pedesaan dan perkotaan 75

24 Hasil validasi model perekonomian dan kemiskinan provinsi di indonesia pada daerah pdrb sektor pertanian tinggi tahun 2009-2013 77 25 Hasil validasi model kinerja perekonomian provinsi di indonesia pada

daerah pdrb sektor pertanian rendah tahun 2003-2011 78 26 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur

jalan terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan

dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 79

27 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur irigasi terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan


(17)

28 Peningkatan dana alokasi khusus bidang pertanian (DAKPER) terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan, dan

kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 82

29 Dampak peningkatan belanja modal terhadap perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 84


(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat kemiskinan desa-kota tahun 2009-2013 di Indonesia 2 2 Tingkat kemiskinan sektoral pada tahun 2013 di beberapa provinsi di

Indonesia 3

3 Jumlah penduduk miskin dan tingkat penurunan kemiskinan dari

tahun 2004-2014 6

4 Model pertumbuhan solow : output dan investasi 25

5 The poverty-growth-inequality triangle 30

6 Kurva lorenz 31

7 Alur kerangka pemikiran 33

8 Tahapan penyusunan model 36

9 Diagram keterkaitan antar variabel dalam model fiskal, perekonomian,

dan kemiskinan di daerah 44

10 Rata-rata pendapatan pemerintah daerah pdrb sektor pertanian tinggi

dan rendah tahun 2009-2013 47

11 Rata-rata kapasitas fiskal daerah pdrb sktor pertanian tinggi dan

rendah tahun 2009-2013 48

12 Rata-rata DAK bidang infrastruktur per tahun selama tahun

2009-2013 51

13 Rata-rata DAK infrastruktur bidang pertanian per tahun selama tahun


(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan pembangunan ekonomi ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi di indikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan bertujuan untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional terutama menyangkut kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas layanan pemerintah terhadap masyarakat. Oleh karena itu evaluausi terkait efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan perlu untuk dilakukan.

Kemiskinan merupkan permasalahan mendasar dalam pembangunan, yang saat ini tengah melanda bangsa Indonesia dan negara berkembang pada umumnya. Data jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 11.47 persen atau sekitar 28.55 juta jiwa (BPS, 2013), walaupun telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun jumlah tersebut masih cukup tinggi, bahkan dapat dibilang masih jauh dari target yang ditentukan dalam RPJMN yaitu 8.0 hingga 10 persen, lebih-lebih terhadap target MDGs dimana pada tahun 2015 kemiskinan di Indonesia di targetkan turun menjadi 7.5 persen. Namun kedua target tersebut tidak pernah tercapaidi karenakan beberapa hal, di antaranya pada beberapa tahun terakhir ini penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia bergerak dengan lambat, bahkan pada tahun 2012 dan 2013 kurang dari 1.0 point persen yaitu masing-masing hanya turun 0.5 dan 0.6 poin persen. Kedua periode tersebut merupakan penurunan paling kecil selama satu dekade. Melambatnyatingkat penurunan kemiskinan tersebut diduga karena adanya ketimpangan pendapatan yang semakin besar. Hal ini dibuktikan dari angka indeks gini ratio pada tahun 2013 mencapai 0.413, angka ini merupakan angka terbesar dari sebelumnya 0.37 pada tahun 2006 dan 0.35 pada tahun 1996.

Kondisi yang demikian menjadi tantangan bagi pembangunan saat ini dan kedepannya, karena dapat berdampak sangat buruk terhadap perekonomian dan pembangunan nasional, yaitu berupa instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut, maka pada akhirnya akan mengganggu keamanan, stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada (Muslianti, 2011). Menurut de Janvry dan Sadoulet (2010), pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan (cash transfer) dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin seperti bantuan atau subsidi pemerintah yang dilakukan dalam berbagai bentuk mislanya RASKIN (beras untuk rumahtangga miskin), JAMKESMAS (jaminan kesehatan masyarakat), BLT (Bantuan Langsung Tunai)dan sebagainya dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat, akan tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran. Selain itu cara ini juga


(20)

kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan pada pertumbuhan pro-poor akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan penduduk miskin melalui pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.

Menurut Whitfield (2008), pertumbuhan pro-poor adalah pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada mayoritas penduduk miskin yaitu masyarakat yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian (terlihat pada gambar 1 dan 2). Perbaikan pendapatan pada sektor pertanian dan penggunaan tenaga kerja yang intensif akan berdampak langsung terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Berdasarkan data BPS (2013) dari 28.55 juta orang miskin di Indonesia, 17.92 juta orang (63%) hidup dan tinggal di pedesaan dengan pertanian sebagai sumber pendapatan utamanya (Siregar dan Wahyuniarti, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil-hasil pembangunan di Indonesia lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian yang mendominasi struktur ekonomi perkotaan. Sementara itu, pengentasan kemiskinan di Indonesia akan terwujud jika diprioritaskan pada pembangunan pertanian di kawasan pedesaan (Sumedi, 2013 dan Lisna, 2014).Berdasarkan beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa pembangunan sektor pertanian mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan baik di pedesaan maupun secara total (Ravallion, 2002; Yudhoyono, 2004; Budiyanto, 2014; Lisna, 2014). Menurut Lisna (2014), untuk mencapai pertumbuhan pro-poor hanya di capai melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur sebagaimana yang di rekomendasikan Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009).

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 1. Tingkat kemiskinan desa- kota 2009- 2013 di Indonesia

0 10 20 30 40 50 60 70

2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

T

IN

G

KA

T

KE

MIS

KIN

A

N

TAHUN


(21)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 2. Tingkat kemiskinan sektoral pada tahun 2013 di beberapa Provinsi di Indonesia

Dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama sektor paertanian, maka teori ekonomi pada umumnya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menekankan pentingnya akumulasi terhadap barang modal. Menurut Solow (1950), pertumbuhan ekonomi tergantung pada penyediaan faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Sedangkan menurut teori Harrod-Domar, investasi terhadap capital stock (barang modal) memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi baik di negara maju maupun negara berkembang.

Infrastruktur dapat digolongkan sebagai barang modal atau capital stock.Infrastruktur menjadi faktor penggerak pertumbuhan ekonomi dan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (BAPPENAS, 2003). Hasil penelitian Yanuar (2006) menunjukkan bahwa infrastruktur secara parsial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Infrastruktur pertanian seperti jalan dan jembatan akan meningkatkan akses petani dalam pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses menuju tempat kegiatan ekonominya. Sehingga dapat memicu terciptanya efisiensi biaya produksi yang nantinya akan menjadikan harga jual produk yang kompetitif. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Fan (2002) di India, dimana ditemukan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur pertanian seperti pengeluaran untuk R & D, irigasi, infrastruktur pedesaan (termasuk jalan dan listrik), pendidikan dan pembangunan pedesaan telah berkontribusi terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian dan sebagian besar juga berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan.

Munnel (1992), menyatakan bahwa untuk mempercepat stimulus ekonomi, investasi publik pada infrastruktur memberikan efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang selanjutnya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap penurunan kemiskinan (Siregar dan Wahyuniarti, 2007).Oleh

0 20 40 60 80 100


(22)

karena itu dibutuhkan investasi infrastruktur yang cukup besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap daerah, melihat infrastruktur ini termasuk barang publik yang manfaatnya tidak hanya di nikmati atau di rasakan secara pribadi saja maka pengadaannya harus dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pembangunan yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberlakukan sejak tahun 2001 melalui pengalihan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerahyang diikuti dengan adanya transfer fiskal, pada dasarnya bertujuan untuk efisiensi penyediaan pelayanan sektor publik di daerah terutama infrastrukturagar dicapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa pemerintah daerah memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap kondisi masyarakat dan potensi daerahnya, dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan layanan publik yang lebih baik (Bjornestad, 2009).

Salah satu bentuk komitmen pemerintah pusat dalam kebijakan desentralisasi fiskal adalah mengalokasikan anggaran transfer fiskal dalam APBN. Menurut World Bank (2008) pada dasarnya jenis-jenis transfer fiskal dapat dikelompokkan kedalam dua kategori besar yakni dana transfer yang bersifat block grant dan specific grant. Block grant adalah dana trasnsfer fiskal ditujukan untuk mengatasi ketidakseimbangan horizontal (horizontal imbalance) antar pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah, yang dikenal dengan DAU (Dana Alokasi Umum). Specific grantadalah dana transfer fiskal di tujukan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, yang dikenal sebagai DAK (Dana Alokasi Khusus). Secara rinci sistem transfer fiskal tersebut memiliki beberapa tujuan utama, diantaranya (1) mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalances) diantara berbagai tingkat pemerintahan yang ada melalui DAU; (2) menyeimbangkan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam hal ’service delivery’ melalui DAU; (3) mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional melalui DAK; (4) mendorong pencapaian standar pelayanan minimum melalui DAK (Sidik, 2004).

DAK sebagai salah satu bentuk pendanaan desentraslisasi fiskal di alokasikan pada dasarnya untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah yang menjadi prioritas nasional untuk menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antar sektor. DAK dapat dijadikan kompensasi atas kekurangan pembiayaan pembangunan fisik dan pelayanan masyarakat di daerah. Selain itu DAK juga digunakan sebagai sumber pendanaan dalam membiayai pengadaan infrastruktur pekerjaan umum selain dana yang berasal dari APBN. Walaupun jumlah DAK sangat kecil dibandingkan DAU namun DAK berkontribusi signifikan terhadap pembangunan daerah karena menjadi komponen dari belanja modal (BAPPENAS, 2011; Sumedi, 2013). Menurut lembaga penelitian SMERU (Syaikhu dkk, 2008) bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal.

Sementara DAUsudah terjadi penyimpangan dari fungsi dan tujuan awalnya, berdasarkan hasil studi empiris sebelumnya antara lain yang di lakukan oleh Afrizawati (2012) dan Kuncoro (2004) menemukan bahwa DAU menimbulkan fenomena flaypaper effect di beberapa daerah di Indonesia, yaitu


(23)

kondisi dimana pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membaiyai sebagian besar belanja daerahnya. Sementara belanja daerah tersebut di alokasikan pada sektor-sektor yang tidak berdampak besar terhadap pertumbuhan pro-poor. Sedangkan bagidaerah-daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, DAU hanya terpakai untuk membiayai belanja rutin. Menurut hasil temuan World Bank (2007), lebih dari setengah DAU digunakan untuk membiayai belanja pegawai sehingga tidak berdampak terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini mengindikasikan bahwa peran DAU terhadap pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar yang menyebabkan keuangan daerah tergantung pada DAU. Tingginya kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengeluaran daerahnya merupakan penyebab dari adanya fenomena flaypaper effect yang saat ini sudah menjadi sulit untuk diatasi.

Dengan demikian DAK menjadi bagian solusi pendanaan infrastrukturatau belanja modal didaerah melihat pola umum belanja daerah yang menempatkan belanja pegawai dalam porsi yang dominan. DAK dapat dijadikan kompensasi atas kekurangan pembiayaan pembangunan fisik dan pelayanan masyarakat di daerah. Meskipun dalam jumlah yang terbatas (hanya sekitar 7%) dibandingkan DAU (70%) dan DBH (23%) dari total dana perimbangan, namun DAK berkontribusi signifikan terhadap pembangunan daerah. Atas dasar inilah maka penulis terdorong untuk mengkaji dampak transfer fiskal yang dikhususukan pada DAK terhadap pembangunan ekonomi daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.

Rumusan Masalah

Sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal pemerintah daerah mempunyai kewenangan mengelola daerahnya serta menggali potensinya untuk meningkatkan penerimaan daerah. Ketersediaan anggaran yang terbatas, pemerintah daerah diharapkan mampu mengalokasikannya pada sektor-sektor yang tepat, dan membelanjakan pada bidang-bidang yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat, sehingga dapat berdampak terhadap tumbuhnya kegiatan ekonomi yang kemudian dapat meningkatakan pendapatan masyarakat.Berdasarkan data BPS dan KEMENKEU(2013) pada masa desentralisasi fiskal, laju pertumbuhan ekonomi nasional meningkat secara berfluktuasi dari 4.77 persen pada tahun 2009 menjadi 6.35 persen pada tahun 2011 dan mengalami penurunan menjadi 5.9 persen pada tahun 2013.Sementara itu,kemiskinan mengalami penurunan dari 32.53 (14.15%) pada tahun 2009 menjadi 28.55 (11.47%) pada tahun 2013 seperti yang terlihat pada gambar 3.Gambar tersebut menjelalskan bahwa selama sepuluh tahun terakhir (2004-2014) kemiskinan di Indonesia memilikitrend yang terus menurun, akan tetapi semakin lama laju penurunan kemiskinan semakin melambat serta belum pernah mencapai target yang sudah ditentukan sebagaimana yang tercantum di dalam visi pembangunan nasional.


(24)

Namunsemakin besarnya GDP Indonesia justru membuat kesenjangan pendapatan antara penduduk semakin tinggi. Salah satu indikator yang biasa dipakai untuk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk suatu negara adalah gini ratio. Pada tahun 2009 gini ratio Indonesia sebesar 0.35 dan melonjak menjadi 0.41 pada tahun 2011 dan bertahan hingga tahun 2014.Menurut Todaro dan Smith (2006) angka tersebut sudah tidak lagi mencerminkan distribusi pendapatan masyarakat yang relatif tidak merata.

Sumber : Badan Pusat statistik

Gambar 3. Jumlah penduduk miskin dan tingkat penurunan kemiskinan selama tahun 2004-2014

Selain itu, data fiskal menunjukkan bahwa setelah di terapkan kebijakan desentralisasi fiskal, pengeluaran daerah untuk keperluan belanja rutin cenderung mengalami peningkatan yang sangat besar, sebaliknya share pengeluaran pembangunan di dalam keseluruhan pengeluaran kabupaten/kota cenderung mengecil. Disamping itu dalam penetapan jumlah maupun struktur alokasi pengeluaran belanja pada masing-masing sektor pembangunan, sebagian pemerintah daerah tidak melakukan kajian mendalam tentang dampaknya terhadap perekonomian. Alokasi pengeluaran belanja pada tiap-tiap sektor pembangunan lebih didasarkan pada pemerataan pada masing-masing sektor atau kepentingan politik pejabat-pejabat daerah (Rindayati, 2009 danBudiyanto, 2014).

Pada era desentralisasi fiskal rata-rata proporsi belanja infrastruktur terhadap belanaja negara dalam APBN selama tahun 2009-2013 hanya sebesar 9.1 persen. Sementara rata-rataproporsi alokasi belanja modal kementerian pertanian terhadap belanja negara selama tahun 2009-2013 hanya sebesar 0.08 persen (Kementerian Keuangan dan kemeterian pertanian, 2013). Hal ini menunjukkan bahwamasih rendahnya alokasi anggaran untuk pendanaan sektor infrastruktur dan juga sektor pertanian. Padahal kedua sektor tersebut merupakan faktor penggerak pertumbuhan ekonomi pro poor yang efektif dalam pengentasan kemiskinan. Selain itu terkait dengan pengelolaan transfer fiskal oleh pemerintah daerah terdapat indikasi bahwa dana transfer tersebut lebih banyak dialokasikan untuk sektor non-pertanian, terlihat dari peningkatan PDRB dan jumlah tenaga kerja pada sektor non pertanian yang lebih besar dibandingkan di sektor pertanian,


(25)

keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non pertanian diduga menjadi penyebab lambatnnya penurunan tingkat kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal. Dengan demikiandapat dikatakan bahwa transfer fiskal di Indonesia justru memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan (Nanga, 2006).

Fakta di lapang juga menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur terutama di sektor pertanian mengalami kondisi under investment(BPS dan World Bank, 2006) sekaligus miss investment(Darsono, 2008). Pada era desentralisasi, kondisi infrastruktur pertanian sebagian besar (70%) semakin buruk terutama jalan pedesaan dan jaringan irigasi. Saat ini sebanyak 55 persen (2.7 juta Ha) daerah Irigasi yang menjadi tanggung jawab Provinsi dan Kabupaten/Kota periode 2009-2013 dalam kondisi rusak (kementerian PU, 2014 dan BAPPENAS, 2013). Alokasi belanja modal untuk pembangunan dan perawatan irigasi pada tahun 2011 hanya sekitar Rp 3 trilun, Sehingga sektor pertanian yang perannya sangat penting menjadi terbelakang dan mengalami pertumbuhan yang lambat. Dalam periode 2005-2009 rata-rata produktivitas sektor pertanian mencapai sekitar Rp.6.7 juta per tenaga kerja dan naik menjadi sekitar Rp. 7.9 juta per tenaga kerja dalam kurun waktu 2010-2013. Meskipun mengalami kenaikan produktivitas, namun dibandingkan dengan sektor lain, produktivitas sektor pertanian relatif masih tertinggal (BAPPENAS, 2013)

Di sisi lain, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana alokasi khusus untuk membiayai sarana prasarana di daerah,yang di antaranya berupa DAK bidang infrastruktur dan bidang pertanian yang bertujuan untuk membiayai sarana dan prasaran fisik pada sektor pertanian dan infrastruktur (jalan, irigasi dan sanitasi dan air minum)yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Alokasi DAK ini merupakan salah satu upaya pemerintah pusat mendorong daerah dalam memepertahankan kinerja bidang infrastruktur dan bidang pertanian di daerah. Akan tetapi jumlah DAK tersebut dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mempunyai porsi yang sangat kecil, pada tahun 2005 proporsi alokasi DAK terhadap total APBN masih di bawah 1.0 persen. Sementara proporsi DAU terhadap total belanja APBN sebesar hampir 22 persen.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang mendasari penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah?

2. Bagaimana dampak transfer fiskal berupa danaalokasi khusus bidang infrastruktur dan pertanianterhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan)?


(26)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak alokasi dana infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan sektoral sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah.

2. Menganalisis dampak transfer fiskal berupa DAK bidang infrastruktur dan pertanian terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan)

Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai dampak transfer fiskal (DAK) terhadap pembangunan perekonomian daerah di Indonesia diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam studi ini. Manfaat tersebut antara lain:

1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan terkait pengalokasian transfer fiskal terutama DAK dalam rangka untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam pengentasan kemiskinan

2. Sebagai referensi pembanding atau studi pustaka bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan dampak transfer fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, ketimpangan dan kemiskinan.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian ini mencoba menggali lebih detail terkait dengan dampak transfer fiskal yang di khususkan untuk mendanai sarana prasaran fisik di daerah yang dikenal dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap pembangunan ekonomi daerah, yang di rinci pada sektor utama perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan. Walaupun angkanya sangat kecil yaitu hanya mempunyai proporsi tujuh persen dari total dana perimbangan dan dibawah satu persen dari total APBN (pada tahun 2005), namun DAK mempunyia dampak yang sangat signifikan terhadap pembangunan. Hal ini didasarkan bahwa peran transfer fiskal dari pemerintah pusat yang berupa DAK ini mempunyai tujuan salah satunyauntuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum atau ketersediaan infrastruktur dasar di setiap daerah. Selain itu dana yang digunakan untuk membiayai infrastruktur pekerjaan umum di daerah selain berasal dari APBN juga berasal dari DAK. Oleh karena data belanja infrastruktur dari pemerintah pusat yang digunakan untuk memenuhi permodelan dalam penelitian ini adalah data DAK, yaitu berupa alokasi dana dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota yang tujuannya untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai sarana dan prasarana fisik di daearah. Selain menggunakan DAK bidang infrastruktur, penelitian ini juga secara menggunakan DAK bidang pertanian yang secara khusus untuk melihat dampaknya terhadap sektor pertanian.

Pemilihan sektor pertanian menjadi fokus, karena sektor ini memiliki posisi strategis dalam perekonomian dan juga sebagian besar penduduk miskin berada pada sekor pertanian, sehingga penelitian ini dapat dikaitkan langsung terhadap


(27)

pengentasan kemiskinan. Periode data yang digunakan selama 5 tahun mulai tahun 2009 sampai 2013. Digunakannya data tahun 2009 sampai 2013 dikarenkan bahwa kewenangan daerah secara utuh dalam mengelola potensi daerahnya melalui pemungutan kepada masyarakat daerah dimulai setelah adanya undang-undang pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan komponen utama pendapatn asli daerah, yang kemudian dana tersebut digunkan sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan daerah.

Penelitian ini dilakukan pada 19 provinsi yang diklasifikasikan menjadi daerah pertanian tinggi dan daerah pertanian rendah, dimana provinsi-provinsi tersebut mempunyia kapasitas fiskal yang relatif masih rendah. Klasifikasi dilakukan dengan membandingkan share PDRB pertanian di suatu provinsi dengan rata-rata share PDRB pertanian seluruh provinsi periode 2009-2013. Jika share PDRB pertanian lebih besar dari rata-ratashare PDRB pertanian seluruh provinsi maka provinsi tersebut diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian tinggi, sebaliknya jika lebih kecil dari rata-rata seluruh provinsi diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian rendah (Budiyanto, 2014). Selain itu dari beberapa studi sebelumnya salah satunya hasil kajian Lisna (2014) terdapat faktabahwa daerah pertanian tinggi rata-rata kapasitas fiskalnya lebih rendah dibandingkan dengan daerah pertanian tinggi. Sedangkan daerah pertanian tinggi selain mempunyai kapasitas fiskal yang rendah juga sarat dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Atas dasar inilah maka alokasi dana infrastruktur yang berasal dari DAK penting untuk dilihat, karena berdasarkan peraturanyang ada, daerah yang mempunyai kapasitas fiskalrendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi mendapatkan dana DAK yang lebih besar, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga klasifikasi ini dilakukan dengan alasan bahwa ada perbedaan yang cukup besar terkait karakteristik fiskal, perekonomian, dan kemiskinan antara provinsi pertanian tinggi dan provinsi pertanian rendah.

Selain itu ruang lingkup penelitian ini juga melihat dampaknya terhadap kinerja sektoral, dalam hal ini kinerja sektoral dilihat dari sektor pertanian dan non pertanian. Sektor pertanian yang di maksud adalah total nilai produksi dari sub sektor di bawahnya. Sedangkan output non pertanian adalah penjumlahan dari nilai PDRB sektor-sektor perekonomian selain sektor pertanian. Klasifikasi ini digunakan untuk melihat keterkaitan alokasi DAK(bidang infrastruktur dan bidang pertanian) terhadapkinerja perekonomian sektoral. Kinerja perekonomian di dekati dengan kinerja output, penyerapan tenaga kerja, dan upah sektoral. Sedangkan kemiskinan di dekati dengan indeks gini dan jumlah penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan, dimana di asumsikan dalam penelitian inipenduduk miskin pedesaan bekerja di sektor pertanian sedangkan penduduk msikin perkotaan bekerja di sektor non pertanian.


(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Desentralisasi Fiskal

Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada transfer ternyata berhubungan negatif dengan dampaknya terhadap pembangunan (Mello & Barenstrein, 2001 dan Sumedi, 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh sumber pendanaanya. Pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri dibandingkan daripada uang yang diterima dari pusat. Faktor ini menyebabkan pemerintah daerah cenderung lebih boros menggunakan anggaran transfer dibandingkan dengan anggaran yang diperoleh dari pendapatan daerah. Sebelumnya Bradford and Oates (1971), memprediksi bahwa transfer pusat ke daerah adalah identik dengan pendapatan daerah, karena fungsi anggaran adalah identik, sehingga pemerintah daerah seharusnya memiliki propensity to spend yang sama untuk kedua jenis sumber anggaran ini. Namun kenyataanya tidak demikian, propensity to spend anggaran transfer pusat lebih besar dibandingkan dengan anggaran dari sumber daerah sendiri

Meskipun hasil analisis empiris, tidak menunjukkan hasil yang konsisten bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap perekonomian, namun banyak pemerintahan meyakini bahwa desentralisasi ini merupakan strategi yang yang harus ditempuh untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, desentralisasi fiskal memiliki potensi berdampak pada pengurangan kemiskinan, namun proses tersebut tidak berjalan secara serta merta. Bila kemiskinan menjadi target pemerintah, sistem desentralisasi fiskal perlu di arahkan pada pengurangan kemiskinan melalui insentif fiskal. Iimi (2005) juga mengatakan bahwa, hasil berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa masih terdapat kontroversi hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataanya, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks dan meliputi berbagai aspek. Penelitian lain yang mendukung konsep desentralisasi fiskal, misalnya yang dilakukan oleh Huther and Shah (1998), yang melalui korelasi sederhana menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki korelasi positif dengan kualitas pemerintahan yang mendorong pembangunan ekonomi. Penelitian Akai and Sakata (2002) dan Lin and Liu (2000) juga nununjukkan hasil yang sejalan dengan teori, bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Davoodi and Zou (1998) melakukan penelitian untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dengan data berbagai negara pada periode 1970-1989, dan menunjukkan adanya hubungan negatif secara signifikan antara desentralisai fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Hasil yang berlawanan dengan teori ini diduga disebabkan karena ukuran desentralisasi fiskal tidak berhasil menangkap secara utuh dampak kesejahteraan dari modal dan pengeluaran rutin. Kemungkinan lain adalah pemerintah daerah tidak responsif terhadap kewenangan dan tugas yang diemban, dan juga kapasitasnya yang kurang memadahi untuk mengelola desentralisasi yang diberikan. Ezcurra (2010) melakukan penelitian khusus pada negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, untuk menganalisis hubungan antara


(29)

desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi pada 21 negara OECD, pada periode 1990 sampai 2005. Hasil analisis menujukkan adanya hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang dianalisis. Iimi (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan kondisi sebaliknya dari teori. Pertama, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks untuk ditangkap melalui variabel dan data empiris pada tingkat agregat, karena meliputi banyak dimensi, antara lain politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi fiskal juga menyangkut dua sisi, yaitu pengeluaran, terutama dalam rangka penyediaan layanan publik dan pendapatan, yaitu pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah, terutama pajak. Kedua, bahwa pemerintah daerah memiliki permasalahan terkait dengan kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program pembangunan, utamanya terkait dengan kemampuan dan pengalaman sumberdaya manusia. Ketiga, bahwa secara teori, diasumsikan bahwa penduduk secara bebas berpindah antar daerah, karena perbedaan layanan publik, sehinggamenimbulkan persaingan antara pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik yang baik, merupakan asumsi yang tidak masuk akal, karena mobilitas penduduk relatif mahal, dan terdapat ikatan emosional dengan wilayah asal, sehingga pemerintah daerah dapat berperilaku tidak responsif terhadap preferensi masyarakat setempat.

Sedangkan studi-studi empiris terkait dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya dengan fokus yang berbeda. Studi terdahulu yang fokus pada aspek transfer fiskal antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Nanga (2006), Usman (2006) dan Ariyanto (2002).

Sinaga dan Siregar (2003) meneliti dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di beberapa provinsi di Indonesia. Beberapa temuan penting yaitu penerapan desentralisasi fiskal berdampak memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang diindikasikan oleh output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sebagai akibat perbaikan kinerja fiskal berupa meningkatknya pengeluaran pemerintah daerah. Selanjutnya, kinerja perekonomian dan kinerja fiskal daerah yang lebih baik berdampak menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Akan tetapi, penerapan desentralisasi fiskal belum efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah yang diduga karena kurang tepatnya formula dana perimbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang mengindikasikan membaiknya kinerja fiskal daerah dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Hal tersebut dapat saja terjadi karena besarnya meningkatnya sumber penerimaan daerah khususnya dari transfer DAU. Hal ini justru dapat menjadi indikasi bahwa kinerja fiskal daerah karena pemerintah daerah tergantung pada DAU sehingga kurang berupaya meningkatkan PAD.

Nanga (2006) meneliti dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di perkotaan dan pedesaan di Indonesia dengan pendekatan ekonometrik sistem persamaan simultan menggunakan data panel konsolidasi fiskal kabupaten/kota di 25 provinsi di Indonesia tahun 1999-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikasi kuat transfer fiskal dalam berbagai bentuknya lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari PDRB dan penyerapan tenaga


(30)

kerja di sektor non-pertanian yang meningkat lebih besar dibandingkan sektor pertanian sehingga berdampak memperburuk tingkat kemiskinan pedesaan setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Sebaliknya, tingkat kemiskinan di perkotaan berkurang yang diduga karena kondisi sarana dan prasarana yang lebih baik dibandingkan pedesaan. Selain itu, efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan sangat dipengaruhi ketimpangan pendapatan sehingga kenaikan pendapatan per kapita tidak mampu menurunkan kemiskinan karena pada saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, studi tersebut menyimpulkan bahwa transfer fiskal berdampak memperburuk kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Namun, penelitian tersebut tidak dianalisis secara sektoral sehingga dampaknya pada sektor pertanian hanya diindikasikan oleh perubahan kemiskinan di pedesaan.

Meskipun studi-studi tersebut menunjukkan dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tetapi umumnya dilakukan pada masa awal desentralisasi fiskal dengan membandingkan dampak sebelum dan sesudahnya. Selain itu, studi-studi tersebut umumnya lebih fokus pada transfer fiskal. Hasil-hasil studi tersebut juga tidak memberi satu kesimpulan yang sama terkait tujuan pembangunan ekonomi yaitu perbaikan kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan.

Studi terbaru yang terkait adalah yang dilakukan oleh Sumedi (2013) dan Lisna (2014). Lisna (2013) meneliti tentang dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah pada 23 provinsi di Indonesia selama tahun 2006-2011 menyimpulkan bahwa kinerja fiskal daerah di Indonesia umumnya rendah dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU sedangkan kapasitas fiskal rendah dan berkurang. Pertumbuhan ekonomi daerah terindikasi tidak pro-poor karena meskipun tingkat kemiskinan (headcount index) berkurang tetapi ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian meningkat. Belanja pertanian dan infrastruktur merupakan faktor-faktor penting yang dapat meningkatkan pertumbuhan pro-poor, sehingga bepengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian.

Sumedi (2013) meneliti tentang dampak pengeluaran pemerintahterhadap perekonomian daerah dan kemiskinan dalam kerangka desentralisasi fiskal menggunakan data panel (pool data), dengan unit data tingkat provinsi dan deret waktu tahun 2005-2010. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa struktur penerimaan daerah sebagian besar masih bersumber dari dana perimbangan, sehingga ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat masih tinggi. Pengeluaran pemerintah daerah masih lebih dominan untuk pengeluaran rutin, dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan, faktor potensi penerimaan daerah (PDRB), dana perimbangan dari pusat dan kebutuhan fiskal daerah saling mempengaruhi, dan secara bersama berpengaruh terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Alokasi dana pembangunan atau belanja modal memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, IPM, dan pengurangan kemiskinan. Peningkatan DAK akan lebih mendorong kinerja perekonomian daerah karena peruntukannya yang lebih berorientasi pada program-program pembangunan tertentu, sehingga peningkatkan komponen DAK dalam struktur dana perimbangan dapat lebih mendorong alokasi anggaran pembangunan daerah dibandingkan dengan meningkatkan DAU. Sehingga dari


(31)

hasil penelitian Sumedi ini muncul rekomendasi penelitian lanjutan yaitu perlu dilakukan kajian nasional dengan pemilahan DAK menurut sektor atau peruntukannya, untuk dapat melihat lebih detail pengaruh komponen DAK terhadap perekonomian daerah.

Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi : Ketimpangan dan Kemiskinan

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional meskipun tingkat kemiskinan penduduk terbanyak terdapat pada sektor ini. Pada tahap awal pembangunan, sektor pertanian merupakan segmen terbesar dan menjadi inti perekonomian. Arti penting sektor pertanian juga terletak pada hubungannya dengan produksi pangan, penyedia pangan untuk seluruh penduduk bangsa, bahkan pakar pembangunan ekonomi meyakini bahwa pertanian tetap menjadi penyedia sumber utama bahan pangan, bahan baku industri, penyedia lapangan kerja, kesempatan berusaha, penghasil devisa negara, sumber permintaan bagi produk-produk industri dan jasa dalam negeri (Udoh, 2011). Sektor pertanian jika kinerjanya di optimalkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi seperti pengangguran, inflasi, kemiskinan, pertumbuhan dan pemerataan dan lain-lain.

Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan peran pertumbuhan antar wilayah dan antar sektor pada kemiskinan. Ravallion dan Datt (2002) yang melakukan penelitian empiris di India menemukan: (1) pertumbuhan ekonomi di pedesaan berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (2) pertumbuhan ekonomi di perkotaan hanya berdampak mengurangi kemiskinan di perkotaan; (3) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor primer dan tersier berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (4) pertumbuhan ekonomi sektor pertanian berdampak besar mengurangi kemiskinan; dan (5) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor non-pertanian berdampak mengurangi kemiskinan secara bervariasi dan sangat tergantung pada urbanisasi, disparitas perkotaan-pedesaan, dan hasil-hasil pertanian. Sedangkan studi lainnya menemukan bahwa sektor pertanian mempunyei pengaruh yang lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan baik di pedesaan maupun secara total (Ravallion, 2002 ; Yudhoyono, 2014; Budiyanto, 2014; Lisna, 2014).

Demikian juga, penelitian Eastwood dan Lipton (2001) terhadap data empiris beberapa negara menemukan bahwa perbaikan produktivitas tenaga kerja pertanian lebih mendorong pertumbuhan pro-poor dibandingkan perbaikan sektor non-pertanian. Tetapi, pengaruh perbaikan sektor pertanian di negara-negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi relatif rendah bahkan tidak ada. Penelitian mengenai keterkaitan pertumbuhan antar sektor dan kemiskinan dilakukan oleh Warr (2006) terhadap data empiris di tujuh negara yaitu Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam untuk menganalisis peran tingkat dan komposisi sektoral pertumbuhan ekonomi pada perubahan insiden kemiskinan absolut. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab perubahan kemiskinan yang bervariasi antar negara dan antar waktu pada beberapa dekade terakhir di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil analisis


(32)

statistik dengan membagi sektor ekonomi menjadi sektor pertanian, sektor indsutri, dan sektor jasa-jasa disimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan agregat. Sementara perubahan pertumbuhan sektoral hanya memberi dampak sangat kecil, dimana penurunan kemiskinan sangat terkait dengan pertumbuhan pertanian dan jasa-jasa, tetapi tidak terkait pertumbuhan industri. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa kebijakan substitusi impor untuk mendorong industrialisasi tidak meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin karena tidak memberi kontrbusi cukup untuk memperluas permintaan sumber daya utama yang mereka miliki yaitu tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor).

Penelitian serupa dilakukan Suryahadi, et al. (2009) di Indonesia tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dengan mendekomposisi keduanya ke dalam sektor-sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan sektor jasa-jasa di pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sementara, pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan berpengaruh paling besar pada kemiskinan di hampir semua sektor. Temuan lainnya adalah pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi kemiskinan pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan cara paling efektif untuk mempercepat pengentasan kemiskinan adalah fokus pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Sedangkan Yudhoyono (2004) menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy reformasi. Sedangkan di daerah perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi dan dummy desentralisasi. Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan.

Meskipun studi-studi tersebut dapat menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan tetapi tidak terkait kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan melalui keterkaitan sektoral tersebut. Oleh karena itu, penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terutama setelah dikaitkan dengan adanya desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sektoral melalui efek pertumbuhan pro-poor yang menguntungkan kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu penduduk miskin yang hidup dari pertanian dipandang perlu untuk dilakukan.

Investasi Publik, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengentasan Kemiskinan Ada banyak sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, namun dalam penelitian ini secara khusus menelaah tentang peranan dana alokasi khusus yang ditujukan untuk membiayai infrastruktur di daerah, dimana infrastruktur tersebut merupakan sumber daya yang efektif untuk meningkatkna pertumbuhan ekonomi. Ada bukti teoritis dan emperis yang sangat kuat tentang hubungan positif antara ketersediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Secara teoritis, dapat dikatakan semua


(33)

kegiatan ekonomi masyarakat modern membutuhkan infrastruktur sebagai prasayarat bagi keberlangsungannya. Dengan demikian secara umum dapat ditunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur berdampak positif terhadap berbagai ukuran kinerja perekonomian.

Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pendekatan yang digunakan untuk mengukur manfaat infrastruktur adalah dengan menggunakan model fungsi produksi, yaitu rumusan hubungan teknis antara output maksimum dengan input-input produksi. Dalam hal ini output nasional (atau regional) di andaikan merupakan fungsi dari modal publik dan faktor-faktor yang berpengaruh lainnya. Infrastruktur memengaruhi pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.

Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan. Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina. Variabel yang digunakan adalah totalfactor productivity, upah, tenaga kerja non pertanian, irigasi publik dan swasta, luas lahan, luas jalan, sanititasi dan lain-lain.

Sari (2011), menganalisis pengaruh program pembangunan infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Berdasarkan hasil estimasi disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur dan penurunan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita serta penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal.

Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan dan Kemiskinan

Lin (2003) mengemukakan hasil studinya yang dilakukan di Cina selama periode 1985-2001, bahwa pertumbuhan ekonomi secara efektif mengurangi kemiskinan. Tetapi pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi juga dapat menciptakan ketidakmerataan pendapatan sehingga menurunkan keefektifan


(34)

upaya untuk mengurangi kemiskinan. Hipotesis kuznets (1995) bahwa pada awal pembangunan ekonomi, setiap kenaikan pendapatan nasional perkapita akan diikuti dengan ketidakmerataan pendapatan. Namun pada akhirnya ketika pendapatan sudah mencapai titik tertentu nilai korelasi mendekatin nol, kemudian menjadi negatif, yakni pembagunan ekonomi selanjutnya mengakibatkan peningkatan pendapatan per kapita yang disertai distribusi pendapatan yang lebih baik.

Secara umum para ekonomi sepakat bahwa pertumbuhan diperlukan untuk mengurangi kemiskinan (Perry, et al, 2006). Manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang cepat menyebar kependuduk pada semua tingkat pendapatan. Fenomena tersebut dikenal dengan trickle down effect, pertumbuhan ekonomi yang tinggi meningkatkan kaspasitas ekonomi sebesar peningkatan pendapatan per kapita dan selanjutnya hal itu mengurangi kemiskinan, ternyata diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan instrumen yang baik untuk mengurangi kemiskinan. Namun berdasarkna fakta dilapang bahwa kemiskinan tidak hanya dapat direduksi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga oleh perbaikan distribisi pendapatan (Bourguinin, 2004). Distribusi pendapatan yang baik membantu penduduk kelompok berpendapatan rendah untuk meningkatkan pendapatannya sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinan.

Ravallion (2006) melakukan studi tentang dampak ketidakmerataan pendapatan terhadap kemiskinan di India dan Cina dalam tahun 1980-2000. Dia memperoleh temuan yang mirip dengan temuan Lin, yakni pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan di dua negara tersebut, dan penurunan ketimpangan juga mengurangi kemiskinan. Lebih lanjut dia juga melaporkan bahwa upaya mengurangi kemiskinan memerlukan kombinasi pertumbuhan ekonomi, kebijakan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor). Selain itu Hidayat dan Patunru (2007) menemukan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia mencipatakan ketidakmerataan pendapatan. Pada tingkat provinsi, tetapi hal itu dapat menurunkan kemiskinan, meskipun demikain fenomena tersebut ternyata tidak efektif menurunkan kemiskinan.

Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian (2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS) dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi kemiskinan.

Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup signifikan mengurangi kemiskinan.


(35)

Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika di sertai dengan penurunan ketimpangan sebaliknya penurunan kemiskinan akan sulit terjadi jika di sertai pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan pendapatan. Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan


(36)

3 KERANGKA TEORI

Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah.

Fritzen (2006) mendefinisikan bahwa desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah. Desentralisasi fiskal juga menentukan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menentukan pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah, secara agregat dan detail. Namun hakekat sebenarnya desentralisasi fiskal bukan sekedar realokasi sumberdaya antar pemerintah pusat dan daerah, namun menyangkut juga perubahan konfigurasi institusi pemerintah, hubungan dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal juga menyangkut pemberdayaan pemerintah daerah dalam manajemen barang publik untuk mendukung pembangunan.

Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan layanan publik karena melalui peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan semakin sesuainya ketersediaan barang publik dengan preferensi lokal. Demikian halnya terjadi peningkatan akuntabilitas, penyederhanaan birokrasi dan menurunnya biaya layanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan pembangunan dapat dicapai.

Penerapan desentralisasi fiskal pada negara berkembang bertujuan untuk mendukung pengentasan kemiskian dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, hal ini memerlukan dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan, dalam mencapai efisiensi alokasi sumberdaya dan penyediaan layanan publik yang lebih baik. Desentralisasi, atau distribusi fungsi administrasi dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu: (1) desentralisasi politik, yaitu transfer kewenangan politik kepada pemerintah daerah, misalnya dalam pemilihan kepala daerah dan perwakilan rakyat, (2) desentralisasi fiskal, yaitu adanya realokasi sumberdaya yang mendukung pemerintah daerah dapat berperan dengan baik, (3) desentralisasi administrasi, yaitu transfer pengambilan keputusan, sumberdaya, dan juga tanggung jawab dalam penyediaan layanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.


(1)

HASIL SIMULASI The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label DIRGS 44 44 36249.0 14903.8 36239.5 8800.2 DIRGS DINFLL 44 44 23277.2 11208.4 26935.1 7292.8 DINFLL MDL 44 44 2287875 1146198 2677463 1161300 MDL PDRBA 44 44 11068432 7082800 11065668 4993772 PDRBA PDRBNA 44 44 30515750 24113157 30512143 25867234 PDRBNA PAD 44 44 1592125 1081330 1619616 996171 PAD TKA 44 44 1.1495 0.6214 1.1489 0.6139 TKA TKNA 44 44 1.2523 0.7864 1.2522 0.8151 TKNA UPHA 44 44 1.0164 0.2665 1.0188 0.0901 UPHA UPHNA 44 44 12.3626 1.7349 12.3222 0.5691 UPHNA GINI 44 44 0.3616 0.0300 0.3615 0.00528 GINI POVD 44 44 0.4411 0.2981 0.4407 0.3041 POVD POVK 44 44 0.1992 0.1920 1.4224 0.1224 POVK PDD 44 44 10992787 5183157 10107010 4992792 PDD DAPER 44 44 7601442 3022759 6688173 2939547 DAPER DAK 44 44 638973 272641 744002 310180 DAK INFR 44 44 164965 70394.8 326770 126344 INFR KAPFIS 44 44 2613052 1416909 1622246 1045480 KAPFIS TPDRB 44 44 41584182 30893442 41577810 30251218 TPDRB BL 44 44 4840751 2590804 5230339 2642537 BL PLD 44 44 10418120 5680404 10807709 5739294 PLD TPOV 44 44 0.6403 0.4273 1.8631 0.3530 TPOV TTK 44 44 2.4017 1.3833 2.4012 1.4061 TTK SPDRBA 44 44 27.9256 5.4477 30.4901 8.9522 SPDRBNA 44 44 72.0744 5.4477 69.5099 8.9522


(2)

Lampiran 11. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2009-2013 Model Kapasitas

Fiskla Fiskal, Perekonomian, Ketipangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian

Rendah dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software

SAS/ETS 9.3

Contoh: Skenario SIM-01 Peningkatan DAK bidang Infrastruktur Jalan (DJLN)

150 persen

The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 26 Endogenous 26 Parameters 74 Equations 26 Number of Statements 26

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SASUSER.GABUNGAN

Solution Summary

Variables Solved 25 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 6.248E-9 Maximum Iterations 12 Total Iterations 113 Average Iterations 3.53125

Observations Processed Read 40 Solved 32 Failed 8


(3)

HASIL SIMULASI The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label DIRGS 32 32 44458.7 31597.8 44434.5 27752.0 DIRGS DINFLL 32 32 36999.7 24012.6 41145.2 17305.5 DINFLL MDL 32 32 4050562 2646851 4531723 2790928 MDL PDRBA 32 32 20924313 19880837 20923061 19994500 PDRBA PDRBNA 32 32 1.239E8 1.3677E8 1.2389E8 1.3226E8 PDRBNA PAD 32 32 4785812 4718091 4819859 4381112 PAD TKA 32 32 2.6615 2.4361 2.6612 2.4002 TKA TKNA 32 32 5.5533 5.9425 5.5533 5.8832 TKNA UPHA 32 32 1.0080 0.3358 1.0091 0.1227 UPHA UPHNA 32 32 13.5735 3.7547 13.516 1.2372 UPHNA GINI 32 32 0.3935 0.0315 0.3934 0.00470 GINI POVD 32 32 1.3459 1.2876 1.3457 1.2578 POVD POVK 32 32 0.9162 1.0151 2.3019 0.1661 POVK PDD 32 32 21724236 16413009 19857341 15355241 PDD DAPER 32 32 13154201 9162004 11253258 8197626 DAPER DAK 32 32 1151897 1019054 1287623 1074330 DAK INFR 32 32 211933 148021 411767 294389 INFR KAPFIS 32 32 6798595 5620519 4795974 4250554 KAPFIS TPDRB 32 32 1.4482E8 1.5612E8 1.4482E8 1.5102E8 TPDRB BL 32 32 9267806 6132055 9748967 6284773 BL PLD 32 32 23134929 16548682 23616090 16679151 PLD TPOV 32 32 2.2620 2.2132 3.6476 1.3321 TPOV TTK 32 32 8.2148 8.0964 8.2145 8.0395 TTK SPDRBA 32 32 16.6853 2.6670 19.0542 8.0967 SPDRBNA 32 32 83.3147 2.6670 80.9458 8.0967


(4)

Lampiran 12. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun

2009-2013 Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan

Kemiskinan dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian

Tinggi dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software

SAS/ETS 9.1.3

Variabel

Endogen

Keterangan

Perubahan (%)

Sim1

Sim2

Sim3

Sim4

DJLN

DAK Infra Jalan

150.000

-0.012

-0.011

-1.249

DIRGS

DAK Infra Irigasi

0.000

150.000

0.000

-0.193

DINFLL

DAK Infra lain-lain

-0.430

-0.171

-0.036

-2.075

INFR

DAK Infrastruktur

95.788

32.930

-0.012

-1.133

DAK

Total DAK

27.144

9.332

-0.003

0.373

DAPER

Dana Perimbangan

0.518

0.178

0.000

0.115

PAD

Pendapatan Asli Daerah

4.040

1.495

0.161

17.976

KAPFIS

Kapasitas Fiskal

3.706

1.372

0.148

16.837

PDD

Pendapatan Daerah

1.869

0.654

0.017

2.477

MDL

Modal

16.734

5.759

0.008

40.000

BL

Belanja Langsung

7.909

2.722

0.004

19.075

PLD

Pengeluaran Daerah

3.675

1.265

0.002

9.149

PDRBA

PDRB Pertanian

7.345

2.529

0.004

2.107

PDRBNA

PDRB Non Pertanian

0.280

0.280

0.280

20.470

TPDRB

Total PDRB

8.214

3.340

0.785

59.245

UPHA

Upah Pertanian

0.452

0.157

0.000

-0.098

UPHNA

Upah Non Pertanian

0.007

0.007

0.007

1.948

TKA

Tenaga Kerja Pertanian

-0.092

-0.032

0.000

1.132

TKNA

Tenaga Kerja Non Pertanian

0.356

0.356

0.356

2.496

TTK

Total Tenaga Kerja

0.141

0.170

0.185

1.843

SHPDRBA

share

PDRB Pertanian

4.127

1.069

-0.701

-13.612

SHPDRBNA

share

PDRB Non Pertanian

-1.810

-0.469

0.308

5.971

GINI

Indeks Gini

-5.090

-5.090

-5.090

-5.035

POVD

Jumlah Pdd Miskin Pedesaan

-0.180

-0.062

0.000

1.653


(5)

Lampiran 13. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun

2009-2013 Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan

Kemiskinan dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian

Rendah dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software

SAS/ETS 9.3

Variabel

Keterangan

Perubahan (%)

Endogen

Sim1

Sim2

Sim3

Sim4

DJLN

DAK Infra Jalan

150.000

0.000

-0.010

-0.115

DIRGS

DAK Infra Irigasi

0.000

150.000

0.000

0.000

DINFLL

DAK Infra lain-lain

-0.345

-0.001

-0.037

-2.104

INFR

DAK Infrastruktur

92.247

0.314

-0.013

-0.438

DAK

Total DAK

17.975

0.061

-0.002

-0.085

DAPER

Dana Perimbangan

1.494

0.005

0.000

-0.007

PAD

Pendapatan Asli Daerah

1.237

0.005

0.085

7.422

KAPFIS

Kapasitas Fiskal

0.871

0.003

0.060

5.225

PDD

Pendapatan Daerah

1.176

0.004

0.019

1.636

MDL

Modal

11.700

0.040

0.011

40.000

BL

Belanja Langsung

5.114

0.017

0.005

17.481

PLD

Pengeluaran Daerah

2.049

0.007

0.002

7.003

PDRBA

PDRB Pertanian

4.809

0.016

0.005

1.537

PDRBNA

PDRB Non Pertanian

0.153

0.002

0.153

8.790

TPDRB

Total PDRB

0.822

0.004

0.124

7.734

UPHA

Upah Pertanian

0.565

0.002

0.000

0.178

UPHNA

Upah Non Pertanian

0.165

0.002

0.165

1.835

TKA

Tenaga Kerja Pertanian

-0.049

0.000

0.000

-0.016

TKNA

Tenaga Kerja Non Pertanian

0.176

0.002

0.176

1.079

TTK

Total Tenaga Kerja

0.103

0.001

0.119

0.724

SHPDRBA

share

PDRB Pertanian

0.288

-0.054

-7.597

-16.752

SHPDRBNA

share

PDRB Non Pertanian

-0.068

0.013

1.788

3.943

GINI

Indeks Gini

0.000

0.000

0.000

0.000

POVD

Jumlah Pdd Miskin Pedesaan

-0.073

0.000

0.000

-0.023

POVK

Jumlah Pdd Miskin Perkotaan

-0.210

-0.002

-0.210

-2.323

TPOV

Total Penduduk Miskin

-0.129

-0.001

-0.085

-0.959


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Desa Ketapang Timur, Kecamatan Ketapang, Kabupaten

Sampang, Jawa Timur pada 22 November 1991, sebagai anak pertama dari

pasangan Bapak Sudin dan Ibu Arsina. Pendidikan Sekolah Dasar hingga jenjang

Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Lulus

sekolah dasar di SD Negeri I Ketapang Timur tahun 2003, lulus Madrasah

Tsanawiyah Miftahul Iman tahun 2006 dan SMA Negeri 1 Ketapang

Sampang

tahun 2009. Selanjutnya pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang

pendidikannya di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Trunojoyo Madura (UTM) di Kabupaten Bangkalan, lulus pada tahun 2013.

Selama perkuliahan (S1) penulis aktif di organisasi kemahasiswaan baik intra

maupun ekstra kampus antara lain Himpunan Mahasiswa Agribisnis, BEM

Fakultas Pertanian, BEM Universitas, Paduan Suara, dan Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia. Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen di beberapa mata

kuliah : Statistik, Aplikasi Komputer, Metode Riset Bisnis, Studi Kelayakan

Bisnis, Agribisnis Pangan, dan Kimia Anorganik. Pada tahun 2013 penulis

mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dan diterima

sebagai mahasiswa pascasarjana di program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

(EPN), Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa program pascasarjana dalam

negeri (BPPDN) Dikti. Selama perkuliahan (S2) penulis juga aktif di organisasi

kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) dan

Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (FORUM WACANA

IPB)