Analisis pemilihan alternatif skenario pola kemitraan pada pemberdayaan masyarakat miskin di Kota Depok

(1)

MASYARAKAT MISKIN DI KOTA DEPOK

Oleh

DEVAN NARARRYA PRAMESWARA

H24076029

PROGRAM SARJANA MANAJEMEN PENYELENGGARAAN KHUSUS

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Kemitraan Pada Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Kota Depok di bawah bimbingan Jono M Munandar

Kemiskinan merupakan problem sosial yang hingga saat ini belum dapat terpecahkan. Angka kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan set Menurut BPS (2008), jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemis Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jika kemiskinan pada Maret 2005 sebesar 35,1 juta (15,97%). Meskipun ang menurun pada tahun 2008 menjadi 34,96 juta (15,42%), banyak pihak me kemiskinan akan meningkat kembali. Tingginya angka kemiskinan m permasalahan-permasalahan sosial. Pemerintah memang telah melakukan berbagai program. Program-program tersebut ada yang secara resmi dikelola pemerint, tetapi program tersebut hany bersifat janga pendek. Tujuan dari pene m enganalisis karkteristik kemiskinan di Kota Depok dan menentukan strategi kelembagaan pada masyarakat miskin di Kota Depok.

Data primer diperoleh dengan cara observasi lapang atau pengama langsung di lapangan, antara lain: pelaksanaan kegiatan mulai dari pe kegiatan sampai dengan evaluasi hasil kegiatan, wawancara kepada par dianggap mampu memberikan jawaban tehadap penelitian secara relevan. Data sekunder diperoleh dengan cara tidak langsung yang berfungsi sebagai penunjang Metode yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara.

Metode AHP merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan, memungkinkan untuk dipecahkannya proses evaluasi menjadi beberapa t beberapa faktor yang mempengaruhinya dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai karakteristik masyarakat miskin di Kota depok bahwa; Angka kemiskinan di Depok mencapai 124.706 jiwa (Bapeda Depok, Jumlah penduduk miskin ini tersebar di enam kecamatan, yaitu di Kecamatan Sawangan

terdapat 21.235 jiwa dari 5.173 KK, Kecamatan Limo 9.851 jiwa (2.455 K Beji 11.044 jiwa (2.595 KK), Kecamatan Pancoran Mas sebanyak 28.232 jiw Kecamatan Cimanggis 30.702 jiwa (7.576 KK), dan Kecamatan Sukmajaya 23.642 jiwa (5.148 KK). Hal ini berbarengan dengan hal pendidikan, kerena pendidika dengan kemiskinan, hampir (70%) di keenam kecamatan masyarakat tida pekerjaan atau pengangguran padahal masyarakat miskin di keenam kecamsebut tergolong usia produktif (15 thn 65 thn ) serta mereka tergolong unskilled (tidak terlatih) dan belummemiliki keterampilan yang cukup.

Penentuan Strategi kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat m Pemerintah kota Depok merekomendasikan hal-hal penting yang terkait dengan fakt aktor, tujuan, dan skenario alternatif terbaik. Faktor utama yang mendukung pola kemitraan sesuai dengan prioritas adalah modal, jaringan/akses usa motivasi usaha dan keterampilan. Prioritas aktor yang mendukung sukesnya pola kemitraan adalah lembaga pendamping, Lembaga Keuangan Mikro, Pe tinggi/lembaga penelitian, Mitra inti atau pengusaha, pemerintah kota plasma. Tujuan utama dalam pola kemitraan sesuai prioritas adalah rangi pengangguran, meningkatkan pendapatan, pemerataan pendapatan serta m pertumbuhan ekonomi lokal. Skenario yang dimunculkan sesuai prior Pendampingan/mediasi usaha, penguatan modal usaha, penguatan kerjas


(3)

pendamping, pemerintah kota/ dinas, Mitra plasma, Lembaga keuangan dan Mit Depok yang telah melakukan kajian bersama. 2. Lembaga yang terlibat dapat memberikan

kontribusi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. 3. diusulkan penelitian ini dapat dilanjutkan agar dapat diuji tingkat keberhasilannya. Terutama untuk merinci pola-pola


(4)

MASYARAKAT MISKIN DI KOTA DEPOK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Program Sarjana

Manajemen

Penyelenggaraan Khusus

Departemen Manajemen

Fakult

as Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DEVAN NARARRYA PRAMESWARA

H240760

29

PROGRAM SARJANA

MANAJEMEN

PENYELENGGARAAN KHUSUS

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Nama : Devan Nararrya Prameswara

NIM : H 24076029

Menyetujui : Pembimbing

(Dr.Ir. Jono M. Munandar, M.Sc) NIP 19610123 1986 01 1 002

Mengetahui:

Ketua Departermen

(Dr.Ir. Jono M. Munandar, M.Sc) NIP 19610123 1986 01 1 002


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Illahi Robbi atas limpahan rahmat dan hidayahnya, sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis Pemilihan Alternatif Skenario Pola Kemitraan Pada Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Kota Depok” ini dapat terselesaikan. Skripsi ini sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Sarjana Penyelenggaraan Khusus Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis selama tiga bulan di Kota Depok. Penulis tertarik dengan tingkat kemiskinan di Kota Depok dengan tingginya angka kemiskinan yang mencapai 124.706 jiwa yang tersebar di enam Kecamatan. Penelitian tentang Kemiskinan di kota Depok difokuskan kepada analisisis alternatif skenario pola kemitraan pada pemberdayaan masyarakat miskin di kota depok

Skripsi ini semoga bermanfaat serta berguna untuk pihak yang berkepentingan dan menunjang kegiatan-kegiatan yang serupa. Demikian yang dapat diberikan. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan penulis sangat berharap adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan Skripsi ini.

Bogor, Juni 2010


(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... iii

KATA PENGAN TAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 5

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Teori Kemitraan ... 6

2.1.1 Tujuan Kemitraan... 6

2.1.2 Pola Kemitraan ... 9

2.2. Kemiskinan... 11

2.2.1 Jenis Kemiskinan ... 12

2.2.2 Penyebab Kemiskinan ... 13

2.2.3 Penanggulangan Kemiskinan... 16

2.2.4 Pemberdayaan Masyarakat Miskin ... 17

2.3. Focus Group Discussion... 18

2.4. AHP (Analitycal Hierarchy Process) ... 20

2.5. Penelitian Terdahulu ... 22

III. METODELOGI PENELITIAN ... 24

3.1. Kerangka Pemikiran... 24

3.2. Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data... 28

3.3. Jenis data Dan Sumber Data ... 28

3.3.1 Data Primer ... 28

3.3.2 Data Sekunder... 28

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 28

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Gambaran Umum ... 35

4.1.1 Terbentuknya Kota Depok... 36

4.1.2 Visi Misi Kota Depok ... 37

4.2. Karakteristik Kemiskinan di Depok per Kecamatan ... 38

4.3. Hierarki Pola Kemitraan Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Kota Depok ... 50


(8)

viii

4.4. Implikasi Manajerial ... 62

KESIMPULAN... 70

1. KESIMPULAN... 70

2. SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(9)

ix

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Nilai skala banding berpasangan ... 30

2. Nilai random index (RI) ... 32

3. Hasil pembobotan faktor ... 55

4. Tingkat prioritas dalam aktor ... 58

5. Prioritas tujuan dalam pola kemitraan ... 60

6. Prioritas tujuan dalam pola kemitraan ... 62


(10)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Struktur dan hasil pembobotan AHP ... 74 2. Kuesioner ... 75 3. Hasil pengolahan AHP ... 86


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Struktur dan hasil pembobotan AHP...74 2. Kuesioner...75 3. Hasil pengolahan AHP...86


(12)

1.1 Latar Belakang

Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi d apat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka - angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 mengenai perbandingan antara tingkat kemiskinan di kota dan tingkat kemiskinan di desa dimulai dari tahun 2000-2008.


(13)

Gambar 1. Grafik kemiskinan antara kota dan desa tahun 2000-2008.

Kemiskinan merupakan problem sosial yang hingga saa t ini belum dapat terpecahkan. Tingginya angka kemiskinan mendorong permasalahan-permasalahan sosial lain, seperti: kian sulitnya masyarakat memperoleh pekerjaan yang layak, rendahnya tingkat pendidikan yang dapat diraih, meningkatnya angka kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antarmasyarakat, dan makin rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan, menurut BPS (2008), jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005 sebesar 35,1 juta (15,97%). Meskipun angka ini sempat menurun pada tahun 2008 menjadi 34,96 juta (15,42%), banyak pihak memperkirakan kemiskinan akan meningkat kembali.

Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah. Program-program tersebut secara resmi dikelola pemerinta h pusat, seperti IDT (Inpres desa tertinggal) yang dilanjutkan dengan bermacam- macam program pemberdayaan masyarakat seperti : PPK (Program Pemberdayaan Kelurahan), P2MPD (Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), KPEL (Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal), PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) sedangkan program pengelolaan yang dikelola oleh


(14)

Pemerintah Daerah berupa PPMK, GERDU-TASKIN. Akan tetapi pelaksanaan berbagai program tersebut tidak disertai dengan koordinasi yang memadai lintas stakeholder sehingga sering terjadi tumpang tindih antar program, sedangkan sifat dari program-program tersebut hanya bersifat jangka pendek. Skema program yang sangat beragam di suatu lokasi seringkali justru membingungkan masyarakat dan mendorong terjadinya konflik horizantal antar masyarakat maupun konflik antar masyarakat dan aparat pemerintah desa. Hal ini berakibat banyaknya anggaran dan program/proyek penanggulangan kemiskinan belum mamp u mengurangi kemiskinan secara signifikan.

Pada umumnya berbagai program tersebut mengadopsi penuh strategi penanggulangan kemiskinan yang telah berhasil di wilayah lain atau bahkan di negara lain tanpa disertai dengan adaptasi atau penyesuaian dengan karakteristik dan kearifan lokal. Kebanyakan program-program ini tidak memiliki keberlanjutan karena masyarakat tidak merasa memiliki bahkan merasa asing dengan polanya. Sangat jarang ditemui program yang mengadaptasi kearifan lokal sebagai strategi penanggulangan kemiskinan. Masyarakat merasa hanya menjadi obyek dari program/proyek dengan skema yang dipaksakan dari luar. Program-program tersebut meskipun seringkali mengklaim bersifat partisipatif, namun dalam kenyataannya masyarakat hanya dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tahapan akhir program (partisipasi semu). Maka dari itu diperlukan sebuah skenario/strategi yang tepat terhadap karakteristik dan kearifan lokal sehingga dapat diterima dan dijalankan dengan baik oleh masyarakat. Program tersebut tidak akan dinilai sebagai sesuatu yang dipaksakan dari luar namun memiliki akar yang kuat dalam tradisi atau budaya. Dengan partisipasi yang tinggi, masyarakat akan mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap program yang menjadi modal utama bagi jaminan keberlanjutannya di masa yang akan datang.

Penelitian ini akan menggunakan studi kasus Kota Depok. Sebagai salah satu daerah penyangga ibu kota, Kota Depok memiliki arti strategis. Namun demikian, hingga saat ini kota Depok masih memiliki persoalan berat dengan tingginya angka kemiskinan yang mencapai 124.706 jiwa (Bapeda Depok, 2006). Kemiskinan di Kota Depok tersebar di enam kecamatan yaitu; kecamatan Sawangan, kecamatan Limo, kecamatan Beji, kecamatan Pancoran Mas,


(15)

kecamatan Sukmajaya dan kecamatan Cimanggis yang dapat dilihat di Gambar 1 jumlah penduduk miskin dan kepala keluarga miskin di Kota Depok.

21.235 9.851 11.044 28.232 23.642 30.702 5.173 2.455 2.595 6.479 5.148 7.576 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 Kecamatan Sawangan Kecamatan Limo Kecamatan Beji Kecamatan Pancoran Mas Kecamatan Sukmajaya Kecamatan Cimanggis

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Kepala Keluarga (KK)

Gambar 2. Jumlah penduduk miskin dan kepala keluarga miskin di kota Depok

PDRB Kota Depok sebesar Rp. 8,97 triliun (BPS Kota Depok, 2006) sebenarnya Pemerintah Kota Depok memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun demikian, program penanggulangan kemiskinan yang ada dinilai kurang optimal dalam mengatasi kemiskinan karena tidak dilakukan secara terpadu. Masing- masing instansi masih melaksanakan berbagai program secara terpisah. Dibutuhkan strategi secara terpadu dalam kerangka kemitraan penanggulangan kemiskinan yang adaptif terhadap kearifan lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berik ut: 1. Bagaimana karakteristik kemiskinan di Kota Depok?

2. Bagaimana penentuan strategi kelembagaan untuk kemitraan Usaha Kecil Menengah (UKM) masyarakat miskin di Kota Depok?

1.3. Tujuan

1. Mengidentifikasi karakteristik kemiskinan di Kota Depok.

2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan pada UKM masyarakat miskin di Kota Depok.


(16)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat digunakan oleh para pemerintah Kota Depok khususnya dalam menentukan kebijakan ataupun alternatif- alternatif dalam pengentasan kemiskinan di Kota Depok dengan menggunakan program kemitraan, selain itu penelitian ini dapat dijadikan referensi maupun data dan informasi bagi penelitian sejenis yang meneliti permasalahan pemberdayaan masyarakat miskin dengan pola kemitraan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan pada kajian mengenai kelembagaan dalam penanggulangan kemiskinan, karena kajian kemiskinan dari aspek kelembagaan masih sangat sedikit dan memerlukan elaborasi yang lebih luas dan spesifik dalam rangka pengentasan kemiskinan di Kota Depok.


(17)

2.1. Teori Kemitraan

Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. Tohar (2007) mengatakan kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kacil termasuk koperasi dengan usaha manengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling mengguntungkan. Kemitraan pada esensinya dikenal dengan istilah gotong royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2003), kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu, untuk membangun sebuah kemitraan, harus didasarkan pada hal- hal berikut :

a) Kesamaan perhatian (common interest) atau kepentingan, b) Saling mempercayai dan saling menghormati

c) Tujuan yang jelas dan terukur

d) Kesediaan untuk berkorban baik, waktu, tenaga, maupun sumber daya yang lain.

2.1.1 Tujuan Ke mitraan

Julius (2003) menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperk uat dan saling memerlukan yaitu:


(18)

1. Kerjasama Usaha

Konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah de ngan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.

2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil

Kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama ya ng saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya. Pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.

3. Pembinaan dan Pengembangan

Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan di dalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.

4. Prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat dan Saling Menguntungkan Prinsip-prinsip kemitraan dapat dijelaskan lebih lanjut, sebagai berikut: a. Prinsip Saling Memerlukan

Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya.


(19)

Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra.

b. Prinsip Saling Memperkuat

Kedua belah pihak sebelum memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih o leh masing- masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikiaan terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan masing- masing pihak yang bermitra. Dengan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat didasarkan pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna sebagai tanggung jawab moral, hal ini disebabkan karena bagaimana pengusaha besar atau menengah mampu untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu (berdaya) mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh didalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga oleh masingmasing pihak yang bermitra yaitu harus memahami bahwa mereka memiliki perbedaan, menyadari keterbatasan masing- masing, baik yang berkaitan dengan manajemen, penguasaan Ilmu Pengetahuan maupun penguasaan sumber daya, baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia (SDM), dengan demikian mereka harus mampu untuk saling isi mengisi serta melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada.


(20)

c. Prinsip Saling Menguntungkan

Maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership” kesadaran dan saling menguntungkan. Pada kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing- masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing- masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya.

2.1.2Pola Kemitraan

Merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan adalah sebagai berikut :

1. Pola inti plasma

Pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai plasma. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningktan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Kerjasma inti plasma akan diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau usaha menengah yang mempunyai


(21)

tanggungjawab sosial untuk membina dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. Perusahaan Mitra membina Kelompok Mitra dalam hal:

a. Penyediaan dan penyiapan lahan usaha

b. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi. c. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi

d. Bantuan lain seperti efesiensi dan produktifitas usaha. 2. Pola Sub Kontrak

Penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya. produktivitas dan kesempatan kerja baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.

3. Pola Dagang Umum

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kec il memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

4. Pola Keagenan

Penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Pada pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau usaha besar memberikan


(22)

keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya.

5. Pola Waralaba

Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan diser tai bantuan bimbingan manajemen. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian, maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan atau menjadi penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.

6. Bentuk-Bentuk Lain

Selain daripada pola-pola seperti yang telah disebutkan di atas, seiring dengan semakin berkembangnya lalu lintas usaha (bisnis) d imungkinkan pula dalam perjalanannya nanti adanya timbul bentuk pola-pola lain yang mungkin saat ini atau pada saat yang mendatang akan atau sudah berkembang tetapi belum dibakukan. Bentuk-bentuk lain nantinya dapat diharapkan bermanfaat seperti pola-pola lainnya.

2.2. Kemiskinan

Secara etimologis, kemiskinan berasal dari kata ”miskin” yang artinya

tidak berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik, mendefinisikan kemiskinan dari perspektif kebutuhan dasar. Kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non- makanan yang disebut garis kemiskinan (povertyline) atau batas kemiskinan (povertytresshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan secara 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non- makanan yang terdiri dari


(23)

perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Nurhadi, 2007).

2.2.1 Jenis Kemiskinan

Ellis dalam Nurhadi (2007) kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial psikologis. Kemudian Tadjuddin

dalam Nurhadi, (2007) menyatakan kemiskinan dapat dibagi menjadi tiga jenis dengan variasi yang berbeda, yaitu: kemiskinan ekonomi, kemiskinan sosial, dan kemiskinan politik. Dari kedua pendapat ini, maka kemiskinan memiliki 3 aspek, yaitu: (1) ekonomi, (2) politik (3) sosial-psikologis.

a. Kemiskinan ekonomi

Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam hal ini tidak hanya menyangkut masalah financial saja, tetapi juga meliputi semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan. Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut.

b. Kemiskinan politik

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan. Kekuatan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunanakan resources. Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu: (1) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (2) bagaimana orang turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, (3) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

c. Kemiskinan sosial-psikologis

Secara sosial-psikologis, kemiskinan menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan


(24)

peningkatan produktifitas. Dimensi ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal.

2.2.1 Penyebab Ke miskinan

Menurut World Bank dalam Nurhadi (2007) dijelaskan bahwa penyebab kemiskinan adalah strategi pembangunan yang terlalu menitikberatkan dan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Kenyataan menunjukkan bahwa proses pembangunan sebagian besar Negara berkembang kurang menyentuh 40 persen dari lapisan terbawah jumlah penduduknya. Strategi pertumbuhan yang dianut telah mengakibatkan trickle-up dan bukannya trickle-down, sehingga proses pembangunan terus memperbesar kesenjangan antara golongan miskin dan kaya. Sedangkan menurut. Frank dalam Nurhadi, 2007 salah satu penyebab kemiskinan adalah pola hubungan ekonomi-politik antar bangsa yang timpang, yang selanjutnya dikenal sebagai Teori Ketergantungan (Dependence Theory). Pola hubungan antara Negara berkembang dan negara maju berada dalam posisi yang timpang dimana negara-negara berkembang berada pada posisi tergantung pada negaranegara maju, dan hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi kepentingan negara berkembang. Cambers dalam Munandar, et.al, (2009) menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar berupa makanan, pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

Perangkap kemiskinan tersebut terdiri dari: a. Kemiskinan (property propper)

Merupakan faktor yang paling menentukan dibandingkan faktor- faktor lainnya. Kemiskinan menyebabkan kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannya menghasilkan ukuran tubuh yang lebih kecil; kekurangan gizi menyebabkan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan penyakit menjadi rendah, padahal tidak ada uang untuk berobat ke klinik atau dokter; orangpun menjadi tersisih, karena tidak mampu membiayai sekolah, membeli pesawat radio atau sepeda, menyediakan ongkos untuk mencari kerja, atau bertempat tinggal di dekat pusat keramaian dan di pinggir jalan besar; orang menjadi rentan terhadap


(25)

keadaan darurat atau kebutuhan mendesak karena tidak mempunyai kekayaan; dan menjadi tidak berdaya karena kehilangan kesejahteraan dan mempunyai kedudukan yang rendah; orang miskin tidak mempunyai suara.

b. Kelemahan fisik (physical weakness)

Suatu rumah tangga mendorong orang ke arah kemiskinan melalui beberapa cara: tingkat produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah, tidak mampu menggarap lahan yang luas, atau bekerja lebih lama, melalui upah yang rendah bagi kaum wanita atau orang-orang yang lemah, serta kelemahan karena sakit. Tubuh yang lemah juga seringkali membuat orang menjadi tersisih karena tidak bisa mengikuti pertemuan-pertemuan untuk mengikuti informasi dan pengetahuan baru yang bermanfaat, terutama bagi kaum wanita yang berkewajiban mengurus anak-anak.

c. Isolasi atau keterasingan (isolation)

Isolasi disebabkan karena orang tidak dapat mengakses pendidikan, tempat tinggal yang jauh terpencil, atau berada di luar jangkauan komunikasi. Isolasi akan semakin menopang kemiskinan, karena pelayanan dan bantuan dari pemerintah tidak akan dapat menjangkau mereka; orang yang buta huruf tentu saja akan terjauh dari informasi yang memiliki nilai ekonomi dan yang sebenarnya mereka perlukan.

d. Kerentanan atau kerawanan (vulnerability to contingencies)

Kerentanan adalah salah satu mata rantai yang paling banyak mempunyai jalinan. Faktor ini berkaitan erat dengan kemiskinan karena orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan; berkaitan dengan kelemahan jasmani untuk menangani keadaan darurat. Waktu dan tenaga mereka ditukar dengan uang untuk mengatasi goncangan mendadak yang dialami. Mereka terkadang menjadi amat bergantung dengan majikannya ataupun dengan orang yang dijadikan gantungan hidupnya.

e. Ketidakberdayaan (powerlessnes)

Ketidakberdayaan mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak berdaya seringkali tidak mempunyai akses terhadap bantuan pemerintah, setidak-tidaknya terhalang untuk memperoleh bantuan hukum serta membatasi kemampuannya


(26)

untuk menuntut upah yang layak ataupun menolak suku bunga yang tinggi. Orang miskin selalu menempatkan dirinya pada pihak yang dirugikan dalam setiap transaksi jual beli, dan mereka hampir tidak memiliki pengaruh apaapa dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, misalnya keputusan tentang bantuan-bantuan yang seharusnya untuk mereka sendiri.

Jazairy dalam Nurhadi (2007) mengemukakan bahwa ada sepuluh faktor yang berpengaruh terhadap proses kemiskinan, yaitu :

1. Policy induced process, merupakan suatu proses kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dimana kebijakan tersebut tidak bersifat pro-poor, tidak berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. Banyak contoh kebijakan di bidang pertanian, sumberdaya air, sumberdaya alam dan lain- lain lebih banyak berpihak pada kepentingan pengusaha/swasta mengakibatkan kemiskinan masyarakat setempat.

2. Dualism, yaitu adanya dualisme sistem perekonomian, antara perekonomian modern dan tradisional dimana masyarakat pedesaan yang miskin dan bercorak ekonomi tradisional tidak mampu menyesuaikan dengan perkembangan sistem perekonomian modern. Kasus para petani yang kalah dengan agro- industri dapat menjadi contoh untuk dualisme ini di perkotaan, para pedagang sektor informal harus tersingkir oleh perkembangan pasar modern (mall dan supermarket) merupakan contoh lain dari dualism ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan.

3. Population growth, pertumbuhan penduduk yang cepat tanpa disertai dengan peningkatan sumberdaya mengakibatkan proses pemiskinan. Di pedesaan misalnya, makin bertambahnya jumlah penduduk tanpa disertai penamba han lahan pertanian mengakibatkan para petani kekurangan lahan sehingga hasil garapannya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

4. Resources management and the environtment, manajemen sumberdaya dan

lingkungan yang buruk juga akan mengakibatkan kimiskinan. Eksploitasi sumberdaya hutan, penggalian tambang dengan tidak melihat keberlanjutan eksistensi mengakibatkan masyarakat tidak mampu lagi menompang hidupnya dari hutan/tambang yang ada sehingga mereka menjadi miskin.


(27)

5. Natural cycles and process, siklus dan proses alamiah. Di pedesaan kekeringan atau banjir menjadi salah satu sebab timbulnya kelaparan dan kemiskinan pada penduduk. Kemarau panjang menjadikan tanaman puso, sebaliknya banjir yang datang tiba-tiba juga dapat mengakibatkan gagal panen.

6. The marginal of women, marginalisasi perempuan pada sector publik

mengakibatkan kemiskinan terutama kemiskinan kaum perempuan. Standar gaji perempuan yang lebih rendah dari lakilaki menjadikan perempuan dalam kondisi kemiskinan.

7. Culture and ethnic factor, adanya faktor kultural dan etnik yang tidak kondusif, misalnya perasaan nrimo, pasrah, atau alon-alon waton kelakon, terkadang menimbulkan halangan upaya pengentasan kemiskinan.

8. Exploitative intermediation, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya perantara antara orang miskin dan pemerintah untuk menyampaikan aspirasi. Sebaliknya orang miskin kadang justru diekploitasi untuk perantara mencapai kekuasaan. Fenomena politik akhir-akhir ini misalnya, banyak calon legislatif, calon

kepala daerah yang justru ”menjual kemiskinan”.

9. Internal political fragmentation and civil strife, yaitu akibat dari kekacauan politik dan pertentangan sipil, yang berdampak pada memburuknya kemiskinan. Masyarakat tidak dapat bekerja dengan layak karena dicekam suasana konflik. Kasus konflik Poso, Aceh, papua, misalnya, mengakibatkan masyarakat kadang menghentikan aktifitas perekonomian.

10.International process, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh dorongan kekuatan pasar dan non-pasar. Masyarakat golongan lemah tidak mampu mengakses pasar internasional karena adanya ketergantungan terhadap negara-negara maju.

2.2.3 Penanggulangan Ke miskinan

Nurhadi (2007), menjelaskan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu: pendekatan peningkatan pendapatan dan pendekatan pengurangan beban. Kedua pendekatan tersebut ditopang oleh empat pilar utama, yaitu:

1. Penciptaan kesempatan yaitu perluasan kesempatan kerja dimaksudkan sebagai menciptakan suasana dan lingkungan ekonomi makro, pemerintahan, dan


(28)

pelayanan publik yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi sehingga mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja dan mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.

2. Pemberdayaan masyarakat yaitu pemberdayaan masyarakat mengandung maksud bahwa melalui peningkatan kualitas sumber adaya manusia, pemantapan organisasi dan kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya sehingga mampu untuk mendiri dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin.

3. Peningkatan kemampuan yaitu peningkatan kemampuan/ human capital dimaksudkan sebagai peningkatan kemampuan dasar mesyarakat miskin baik individual/ kelembagaan untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan ketrampilan usaha, permodalan, prasarana, teknologi serta informasi pasar dan mampu mengadaptasi terhadap perkembangan lingkungannya (ekonomi dan sosial). Perlindungan sosial yaitu perlindungan sosial memiliki makna memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat yang rentan (vulnerable), misalnya pengemis, lansia, anak-anak terlantar, yatim piatu, penderita cacat, korban bencana alam, korban konflik sosial, serta mereka yang terkena dampak krisis ekonomi

2.2.4 Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Menurut Sumodiningrat (1999), pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang mencakup :

1. Berkurangnya jumlah penduduk miskin

2. Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya.


(29)

4. Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi sosial dengan kelompok lain.

5. Meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai dengan peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.

2.3. Focus Group Discussion (FGD)

FGD merupakan diskusi yang berbasis pada wawancara untuk menghasilkan data kualitatif dan mengekplorasi masalah- masalah yang spesifik. Teknik ini dimaksudkan untuk memperoleh data dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi pada permasalahan tertentu. Metode ini digunakan dengan tujuan menghindari pemaknaan yang salah dari peneliti terhadap masalah yang diteliti. FGD digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna- makna inter-subyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh dorongan subyektivitas peneliti. FGD mirip dengan jenis interview secara kelompok dimana tersusun dari beberapa responden yang menghasilkan data dan secara relatif memiliki tahapantahapan. Penekanan FGD lebih pada pemahaman terhadap konteks permasalahan yang dilakukan melalui proses diskusi. FGD dapat digunakan sebagai metode tersendiri atau dikombinasikan dengan metode lain. FGD tidak diharapkan untuk menghadirkan suatu skenario pengujian hipotesis secara formal. (http://www.enolsatoe.org/content/view/15/33/ 28 April 2010)

FGD menurut Irwanto (2006) sebuah metode penelitian sebagai berikut: 1. FGD adalah kelompok diskusi bukan wawancara atau obrolan. Ciri khas

metode FGD yang tidak dimiliki oleh metode riset kualita tif lainnya (wawancara mendalam atau observasi) adalah interaksi! Hidup mati sebuah FGD terletak pada ciri ini. Tanpa interaksi sebuah FGD berubah wujud menjadi kelompok wawancara terfokus (FGI-Focus Group Interview). Hal ini terjadi apabila moderator cenderung selalu mengkonfirmasi setiap topik satu per satu kepada seluruh peserta FGD. Semua peserta FGD secara bergilir diminta responnya untuk setiap topik, sehingga tidak terjadi dinamika kelompok. Komunikasi hanya berlangsung antara moderator dengan informan


(30)

A, informan A ke moderator, lalu moderator ke informan B, informan B ke moderator, dst yang seharusnya terjadi adalah moderator lebih banyak “diam”

dan peserta FGD lebih banyak omong alias “cerewet”. Kondisi idealnya,

Informan A merespon topik yang dilemparkan moderator, disambar oleh informan B, disanggah oleh informan C, diklarifikasi oleh informan A, didukung oleh informan D, disanggah oleh informan E, dan akhirnya ditengahi oleh moderator kembali. Diskusi seperti itu sangat interaktif, hidup, dinamis!

2. FGD adalah group bukan individu. Prinsip ini masih terkait dengan prinsip sebelumnya. Agar terjadi dinamika kelompok, moderator harus memandang para peserta FGD sebagai suatu group, bukan orang per orang. Selalu

melemparkan topik ke “tengah” bukan melulu tembak langsung ke peserta

FGD.

3. FGD adalah diskusi terfokus bukan diskusi bebas. Prinsip ini melengkapi prinsip pertama di atas. Diingatkan bahwa jangan hanya mengejar interaksi dan dinamika kelompok, kalau hanya mengejar hal tersebut diskusi bisa berjalan ngawur. Selama diskusi berlangsung moderator harus fokus pada tujuan diskusi, sehingga moderator akan selalu berusaha mengembalikan

diskusi ke “jalan yang benar”. Moderator memang dituntut untuk mencairkan

suasana (ice breaking) agar diskusi tidak berlangsung kaku, namun kadang-kadang proses ice breaking ini kelamaan, moderator ikut larut dalam

“keceriaan” kelompok, ber ha-ha-hi- hi, dan baru tersadar ketika masih banyak hal yang belum tergali, sementara para peserta sudah mulai kehilangan

“energi”.

Tujuan FGD menurut Irwanto (2006) adalah masalah yang diteliti tidak dapat dipahami dengan metode survei atau wawancara, untuk memperoleh data kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relative singkat dan metode ini sangat cocok bagi permasalahan yang sangat lokal dan spesifik. FGD dalam ilmu sosial dan perencanaan perkotaan, FGD memungkinkan orang untuk belajar di alam pengaturan yang lebih dari satu-ke-satu wawancara. Dalam kombinasi dengan pengamatan peserta, FGD dapat digunakan untuk mendapatkan akses ke berbagai kelompok sosial dan budaya, memilih situs untuk belajar, sampel dari situs


(31)

tersebut, dan meningkatkan masalah tak terduga untuk eksplorasi. FGD memiliki ide yang mudah dimengerti dan hasil yang terpercaya. FGD yang rendah dalam biaya, satu dapat memperoleh hasil yang relatif cepat, dan mereka dapat meningkatkan ukuran sampel laporan dengan berbicara dengan beberapa orang sekaligus

Ada beberapa jenis FGD, yakni:

1. Two-way focus group (FGD dua arah) - satu kelompok disaksikan kelompok lain dan membahas diamati interaksi dan kesimpulan.

2. Dual moderator focus group (Dual moderator fokus grup) - moderator memastikan satu sesi berlangsung lancar, sementara yang lain memastikan bahwa semua topik yang dibahas.

3. Dueling moderator focus group - dua moderator berada pada sisi yang berlawanan saat berdiskusi.

4. Respondent moderator focus group - satu atau lebih dari responden diminta untuk bertindak sebagai moderator sementara.

5. Client participant focus groups - satu atau lebih perwakilan klien berpartisipasi dalam diskusi, baik tertutup ataupun terbuka.

6. Mini focus groups - kelompok yang terdiri dari empat atau lima anggota bukan 8 sampai 12.

7. Teleconference focus groups –FGD yang menggunakan jaringan telepon. 8. Online focus groups (FGD online) – menggunakan internet.

(http://luzman-interisti.blogspot.com/2008/12/focus-group-discussion.html 28 April 2010)

2.4. AHP (Analitycal Hie rarchy Process)

Saaty (1991), AHP merupakan suatu proses untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai. Denga n menggunakan AHP, suatu persoalan akan dipecahkan dalam suatu kerangka berfikir terorganisir, sehingga memungkinkan untuk diekspresikan dalam pengambilan keputusan efektif atas persoalan tersebut. Marimin (2004) menyatakan Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat


(32)

dikontruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimulai dengan goal/sasaran, kriteria level pertama, subkriteria, dan alternative.

Keunggulan AHP dalam pengambilan keputusan dapat digambarkan secara grafik, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Serta dalam proses keputusan komplek s dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Beberapa keuntungan yang diperoleh bila menggunakan metode AHP dalam pengambilan keputusan (Marimin, 2004):

1. Kesatuan: Memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti dan tidak terstruktur.

2. Kompleksitas: AHP memadukan pemikiran dedukatif dan pemikiran berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Saling ketergantungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. Penyusunan Hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan pemikiran alami untuk memilah- milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat yang berbeda dan mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. Pengukuran: AHP memberikan suatu skala untuk menetapkan prioritas.

6. Konsistensi: AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas.

7. Sintesis: AHP memberikan kebijakan kepada setiap alternatif.

8. Tawar- menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. Penilaian dan Konsensus: AHP tidak memakssakan konsensus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representif dari berbagaipenilaian yang berbeda.

10.Pengulangan Proses: AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memberbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.


(33)

2.5 Penelitian Terdahulu

Dolles (2010) pada penelitian yang berjudul Analisis Kelembagaan dalam Pengembangan Program untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kota (studi kasus penanggulangan kemiskinan di Kota Depok) dengan alat analisi Interpretative Struktural Modelling. Analisa menunjukkan bahwa Pemda Depok harus segera melakukan tindakan yaitu (1) membangun lembaga pendampingan UKM dan IKM yang mampu membuka peluang kerja, (2) membangun pusat penampungan kerajinan, (3) menjalin kerjasama dengan perusahaan besar agar mau menampung produk masyarakat miskin, (4) mengusahakan pasar untuk produk masyarakat miskin dan menjalin kerjasama dengan outlet pemasaran, (5) mengusahakan ZIS dari lembaga BAZIS yang ada (6) memberikan pelatihan usaha kepada masyarakat miskin (7) optimalisasi pemanfaatan dan perusahaan dan instansi untuk UKM. Indikator untuk menilai tujuan memiliki lima prioritas dalam penanggulangan kemiskinan, diantaranya, (1) hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, (2) tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/Poliklinik, (3) sumber penghasilan kepala rumah tangga (4) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan (5) memiliki tabungan /barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000

Saripudin (2009) pada penelitian berjudul Pengangguran dan Kemiskinan di Pedesaan. Analisa menunjukkan bahwa, fenomena pengangguran yang berkepanjangan menimbulkan kemiskinan, bagi mereka yang miskin akan sangat kesulitan untuk memberikan bekal hidup untuk anggota rumah tangga terutama dalam hal pendidikan formal maupun non formal. O leh karena itu, hubungan pengangguran dan kemiskinan pada rumah tangga pedesaan dinyatakan sebagai hubungan yang saling mempengaruhi, dimana orang yang mengalami pengangguran cenderung miskin dan orang yang miskin cenderung tidak mampu meraih kesempatan kerja yang besar (menganggur).

Hadim (2009) pada penelitian berjudul Kemiskinan Rumah Tangga di Pedesaan (studi kasus Desa Malasari, Kabupaten Bogor). Analisa menunjukkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di Desa Malasari yaitu; strategi yang dilakukan masyarakat berupa program-program lokal oleh LSM yang merupakan program pemberdayaan dan penguatan, pemerintah berupa perlindungan sosial


(34)

dan swasta berupa perlindungan sesaat. Perubahan yang terjadi pada rumah tangga miskin yaitu; rumah tangga terperangkat miskin, rumah tangga jatuh miskin, rumah tangga miskin jadi kaya, rumah tangga kaya stabil. Rumah tangga terperangkap kemiskinan karena ketiadaan akses terhadap lembaga kesehatan, lembaga pendidikan serta lapangan pekaerjaan. Rumah tangga jatuh miskin karena sumber-sumber pendapatan yang hilang. Rumah tangga miskin jadi kaya karena kenaikkan pangkat, membuka warung, membuka lahan pertanian sebagai sampingan.

Husna (2010) pada penelitian berjudul Analisis Kebutuhan Program Kemitraan dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan di Kota Depok dengan alat analisis Interpretative Struktural Modelling. Kebutuhan program kemitraan untuk penanggulangan kemiskinan di Kota Depok sektor yang paling terpengaruh dalam pengembangan pola kemitraan ini adalah pengusaha/UKM, buruh, kaum wanita serta pemuda dan pelajar. Sektor–sektor tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Sementara untuk kebutuhan program untuk penanggulangan kemiskinan adalah membagun sarana dan prasarana industri terkait, membangun sarana dan prasarana perdagangan terkait, membangun sarana dan prasarana jasa terkait, aplikasi tepat guna untuk industry UKM, meningkatkan lingkage produk yang ada dengan pasar (katalisator), menghubungkan UKM dengan lembaga keuangan, mengembangkan kebijakan yang mendukung iklim usaha, membina SDM UKM dan meningkatkan peran wanita. Lembaga terkait dalam penanggulangan kemiskinan di Kota Depok adalah Bappeda, SOPD, perguruan tinggi, penyuluh lapangan, lembaga pendidikan dan keterampilan, perbankan dan lembaga penjaminan keuangan serta lembaga swadaya masyarakat.


(35)

3.1. Kerangka Pe mikiran

Optimis bahwa perekonomian kita masih memiliki potensi besar bila dikembangkan melalui sektor Usaha Mikro Kecil (UMK), tidaklah berlebihan. Krisis sejak awal 1998 membuktikan bahwa kegiatan ekonomi rakyat kecil dalam bentuk UMK, lebih resisten goncangan dibandingkan usaha menengah dan besar. Hal ini terjadi karena UMK mampu mengembangkan sistem ekonomi sendiri yang dikenal dengan perekonomian rakyat. Namun demikian, tidak semua masyarakat mampu menjalankan usaha. Sebagian belajar dan berhasil mengikuti kawan-kawannya dalam mengembangkan usaha di sector UKM. Sebagian lagi lainnya masih tertinggal menjadi masyarakat miskin yang perlu mendapatkan advokasi agar hidup menjadi layak sesuai standar hidup manus ia.

Berbagai program juga telah diluncurkan di kalangan masyarakat miskin ini. Mulai dari bantuan yang langsung hingga program pengadaan alat dan bahan untuk usaha bagi masyarakat miskin. Akan tetapi umumnya masyarakat menjadi kembali miskin ketika program-program ini dihentikan atau selesai aktivitasnya. Hal ini terjadi, karena umumnya program-program tersebut hanya bersifat sporadik dan kurang memikirkan unsur sustainability (kesinambungan), agar kemampuan masyarakat dalam jangka panjang dapat terpadu dengan kondisi ekonomi dan teknologi berkembang. Melihat masalah yang muncul, maka perlu dibangun kajian pola kelembagaan kemitraan yang disusun berdasarkan berbagai aspek, khususnya aspek ekonomi/ manajemen, sosial/budaya, Hukum/Administrasi dan teknologi/inovasi. Aspek ini harus dibangun sekaligus karena memiliki keterkaitan yang erat dan saling menunjang. Secara skematis dapat dilihat pada gambar berikut :


(36)

Gambar 3. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pola kelembagaan

Selain itu kajian harus mampu mendudukkan peran-peran semua

stakeholder yang terlibat dalam menanggulangi kemiskinan di Kota Depok. Tidak mungkin berhasil suatu program, jika unsur-unsur yang tekait tidak terlibat secara langsung untuk turut menanggulangi masalah kemiskinan. Ada banyak unsur yang mestinya terlibat dalam penangan kemiskinan kota ini. Namun demikian paling tidak ada lima komponen yang memang harus turut memikirkan dan mengayomi masyarakat miskin kota. Diagaram berikut merupakan komponen yang diharapkan mampu mengayomi masyarakat miskin tersebut.

Gambar 4. Keterkaitan kelembagaan dalam menanggulangi kemiskinan

Program pemerintah ataupun LSM sudah banyak yang telah dikembangkan dalam penanganan masyarakat miskin. Diantaranya adalah pengembangan lembaga keuangan mikro ole h Kementrian KUKM yang berasal dari dana pinjaman LN, Laba BUMN, atau dana pribadi; dana bantuan sosial dari Kementrian sosial; pemberdayaan wanita, dll. Namun pemanfaatannya masih belum memadai, karena pengelolaan yang masih tumpang tindih ataupun masih rancu satu sama lain. Oleh karena itu, kajian ini akan difokuskan pada aspek


(37)

kelembagaan sebagai solusi bagi permasalahan yang terkait dengan kerancuan koordinasi antar instansi Pembina masyarakat miskin. Terkait dengan permasalahan di atas, maka perlu disusun kerangka pemikiran penelitian unggulan mengenai pengentasan kemiskinan kota. Penelitian ini akan menggunaan pendekatan kelembagaan dalam mengkaji mulai dari keragaan sistem penyebab kemiskinan hingga penetapan prioritas model/polanya. Efektifitas fungsi lembaga terkait merupakan faktor yang sangat penting guna mengurangi kemisikian masyarakat kota. Keadaan yang sesungguhnya terjadi di lapang dapat dilihat dari keragaannya, khususnya yang terkait dengan sistem kelembagaannya. Dari hasil keragaan ini didapat informasi obyektif tentang kinerja lembaga terkait dalam sistem penyebab kemiskinan kota.

Kota Depok merupakan salah satu Kota di Indonesia yang memiliki luas total 200,9 km2 pada tahun 2003, memiliki jumlah penduduk 1.143.403 jiwa dengan kepadatan rata-rata 5.709 jiwa/km2. Sebagai kota yang tidak memiliki luas areal yang tidak begitu luas, dengan jumlah penduduknya yang padat maka daerah ini akan cenderung mengalami ancaman khususnya dari segi perekonomian. Hal ini dapat terjadi jika masyarakat yang tinggal di Kota Depok, bukan merupakan masyarakat produktif yaitu masyarakat yang memiliki pekerjaan ataupun usaha sehingga mereka dapat memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Depok mencoba membuat suatu langkah dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi salah satu langkah yang dilakukan dalam menghadapi peningkatan angka kemiskinan ialah dengan melakukan program pola kemitraan bagi masyarakat miskin di Depok. Masyarakat yang memiliki penghasilan rendah ataupun tidak bekerja di dorong untuk dapat melakukan usaha sendiri sehingga masyarakat yang tadinya tidak memiliki pengahsilan yang cukup dengan membuka usaha diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya. Suatu pemberdayaan masyarakat yang dijalankan hanya dengan cara memberi bantuan berupa uang saja yang digunakan hanya untuk membeli kebutuhan hidup masyarakat, tidak akan berpengaruh terlalu banyak karena ketika uang tersebut habis maka masyarakat tersebut kembali menjadi miskin, hal yang paling relevan dalam mengentaskan kemiskinan ialah


(38)

masyarakat di dorong maju agar memiliki keinginan dalam berwirausaha sehingga nantinya masyarakat itu sendiri yang mencari uang untuk kehidupannya.

Penentuan strategi pola kemitraan diawali dengan diadakannya analisis terhadapa hal- hal yang berhubungan dengan pola kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat miskin, kemudian dilanjutkan dengan pengidentifikasian faktor-faktor, aktor dan tujuan pola kemitraan hingga pada akhirnya ditentukan alternatif dalam pola kemitraan yang akan dijalankan. Proses pengidentifikasian faktor-faktor dan tujuan promosi sampai dihasilkannya alternative dilakukan dengan menggunakan metode AHP. Banyaknya faktor yang berpengaruh dalam penentuan strategi promosi membuat pengambilan keputusan menjadi sulit untuk dilakukan. Metode AHP merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan, metode ini memungkinkan untuk dipecahkannya proses evaluasi menjadi beberapa tingkat dari beberapa faktor yang mempengaruhinya dalam penelitian ini, hal ini dapat dilihat pada gambar yang disajikan di bawah ini:

Gambar 5. Kerangka pemikiran penelitian

Pemilihan alternatif skenario pola kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat miskin

Visi dan Misi

Pengidentifikasian artibut-artibut dengan metode AHP

Alternatif yang disarankan Tujuan-tujuan yang

ingin dicapai Aktor

yang Terlibat Faktor-faktor

yang berpengaruh

Penyusunan struktur Hierarki

Pembobotan dan penghitungan pendapat

Alternatif prioritas skenario pola kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat miskin


(39)

3.2. Lokasi & Waktu Pengumpulan Data

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kota Depok Provinsi Jawa Barat selama 2 bulan, yaitu dimulai dari bulan Oktober-Desember tahun 2009.

3.3. Jenis Data dan Sumbe r Data 3.3.1Data Prime r

Data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara observasi lapang atau pengamatan secara langsung di lapangan, antara lain: pelaksanaan kegiatan mulai dari penyusunan rencana kegiatan sampai dengan evaluasi hasil kegiatan, wawancara kepada para pakar yang dianggap mampu memberikan jawaban tehadap penelitian secara relevan.

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara tidak langsung yang berfungsi sebagai penunjang data primer. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara.

3.4. Metode Pengumpulan Data

AHP (Analytical Hirarchical Proses), digunakan untuk menganalisis keputusan yang akan dipilih untuk mendapatkan struktur hubungan kemitraan yang terbaik. Survey pakar akan dilakukan terhadap pakar yang mempunyai kompetensi pada aspek kelembagaan dan kemitraan, khususnya yang terkait dengan masalah hubungan sosial (struktur, nilai dan modal sosial), permodalan (penyediaan perkreditan/jasa keuangan lainnya), manajemen sumberdaya manusia (pendampingan) dalam penanggulangan kemiskinan. Data yang diperoleh berupa data primer dari survey pakar. Pakar terdiri dari Bappeda Pemda Depok, Perwakilan Dinas terkait, Akademisi IPB, Tokoh Masyarakat.

Pemilihan responden dalam AHP dilakukan berdasarkan teknik Purposive

Sampling dengan pertimbangan bahwa responden baik individu maupun lembaga

yang dianggap mengerti permasalahan yang terjadi dan mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan atau memberi ma sukan dalam proses penentuan strategi. Dalam penelitian ini responden adalah orang-orang yang dianggap sasaran atau expert yang terkait dengan masalahnya, meliputi:


(40)

a. Masyarakat miskin di lokasi studi yang terdiri dari petani, pedagang, pengolah, pengangguran.

b. Dinas terkait (Koperasi, Perkebunan, Pertanian, Perdagangan, dll) c. Lembaga Keuangan Mikro (KSP/USP, BMT, dll)

d. Pembina (LSM, Penyuluh, agen pendampingan)

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan AHP, yaitu suatu pendekatan yang digunakan berdasarkan masukan yang bertujuan untuk menentukan perencanaan strategi promosi yang dilaksanakan untuk mendapatkan strategi yang tepat dan optimal bagi kemajuan perusahaan. Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan mendapatkan strategi yang tepat dan optimal bagi kemajuan perusahaan. Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor– faktor yang intangible (yang tidak terukur) ke dalam ukuran yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahapan atau langkah - langkah dalam analisis data menurut Saaty (1991) adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari beberapa rujukan untuk memperkaya ide atau berd iskusi dengan para pakar atau orang yang menguasai permasalahan untuk mendapatkan konsep yang relevan dengan permasalahan dan mendefinisikan masalah serta mendapatkan solusi yang diinginkan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan menggunakan AHP dalam kerangka penentuan perencanaan. Pemecahan masalah dan solusi yang diinginkan adalah mendapatkan skenario optimal dari pengembangan strategi promosi, maka untuk menyusun suatu analisis tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu faktor – faktor yang mempengaruhinya. 2. Penyusunan Hirarki

Penyusunan hirarki atau struktur keputusan dilakukan dengan mengelompokkan elemen – elemen sistem alternatif keputusan ke dalam suatu abstraksi sistem hirarki keputusan.


(41)

3. Komparasi Berpasangan

Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hirarki atas pendapat dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison). Teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan cara membandingkan antara elemen satu dengan elemen lainnya dalam satu tingkat secara berpasangan, sehingga diperoleh nilai kepentingan dari masing – masing elemen.

Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik pada setiap elemen yang dibandingkan dengan hasil wawancara langsung dengan responden. Responden bias seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengetahui permasalahan tersebut. Untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif tersebut digunakan Skala Banding secara Berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty (1991) seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai skala banding berpasangan

Sumber: Saaty, 1991

Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh

yang sama besar terhadap tujuan 3

Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen disbanding elemen lainnya

5

Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian dengan kuat menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting

daripada elemen yang lainnya

Satu elemen yang kuat disokong dan dominant terlihat dalam kenyataan 9

Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi

menguatkan

2,4,6,8 Nilai – nilai diantara dan

pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua komponen diantara dua pilihan

Kebalikan

Jika untuk aktifitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila disbanding dengan i


(42)

1. Matrik Pendapat Individu

Formulasi matrik individu adalah:

C1 C2 …… Cn

C1 I …… a1n

A=(aij)= C2 I/12 …. a2n

…. ….. ….. …. ….. Cn a1n a2n …. 1

C1, C2 ,…., Cn adalah set elemen pada setiap tingkat keputusan dalam hirarki,

kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matrik n x n. Nilai aij merupakan nilai matrik pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.

2. Pengolahan Horisontal

Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemen keputusan pada hirarki keputusan dengan empat tahapan, yaitu :

a) Perkalian baris (z) dengan menggunakan rumus :

m n j

k

aij

VE

zi

(

),

1

 (1)

Dimana: zi = vektor eigen m = junlah responden

n = jumlah elemen yang dibandingkan b) Perhitungan vektor prioritas atau vektor Ciri:

VEi

m I I aij VEi aij VPi m n j m n i j       1 (2)

Dimana eVPi = elemen vektor prioritas ke- i c) Perhitungan nilai Eigen maksimum (λmax) dengan rumus

VA = aij x VP dengan VA = (v aij)

VB = VP VA

dengan VB = (Vbi) dimana VB adalah nilai Eigen

VA = Vektor Antara

λmax = 1

untuk I = 1,2, …,n  n i VBi 1 n


(43)

d) Perhitungan Indeks Konsistensi (CI)

Konsistensi logis menunjukkan intensitas relasi antara pendapat yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu dan saling membenarkan secara logis. Tingkat konsistensi menunjukkan suatu pendapat mempunayi nilai yang sesuai dengan pengelompokkan elemen pada hirarki. Tingkat konsistensi juga menunjukkan tingkat akurasi suatu pendapat terhadap elemen – elemen pada suatu tingkat hirarki. Untuk mengetahui konsistensi (CI) digunakan formulasi sebagai berikut :

CI λmax - n (4) n-1

Dimana λmax = Eigen Value n = jumlah yang dibandingkan

Untuk mengetahui konsistensi secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan dapat diukur dari nilai Ra tio Konsentrasi (CR). Nilai rasio konsistensi adalah perbandingan antara indeks konsistensi (CI) dengan indeks acak ( RI), di mana nilai RI telah ditentukan seperti terlihat pada Tabel 2:

Tabel 2. Nilai Randomindex (RI)

n RI n RI N RI N RI n RI

1 0,00 2 0,00 3 0,52 4 0,89 5 1,11

6 1,25 7 1,35 8 1,40 9 1,45 10 1,49

Sumber : Saaty, 1991

e) Revisi Pendapat

Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai konsistensi ratio (CR) pendapat cukup tinggi (lebih besar dari 0,1), dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari baris – baris (aij) dan perbandingan nilai bobot baris terhadap bobot kolom (wi/wj) dan merevisi pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar, yaitu:

) / (

max

S aij wi wj

n

i j

 


(44)

Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya. f) Matriks Pendapat Gabungan

Matriks pendapat gabungan merupakan matrik baru yang eleme n – elemennya (gij) berasal dari rata – rata geometrik elemen matrik pendapatan individu yang nilai ratio konsistensinya (CR) memenuhi syarat. Tujuan dari penyusunan matrik pendapat gabungan ini adalah untuk membentuk suatu matrik yang mewakili matrik – matrik pendapat individu yang ada. Matrik ini selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta vektor prioritas dari elemen – elemen hierarki yang mewakili semua responden. Matrik pendapat gabungan ini menggunakan formulasi berikut:

…………..………..(6) Dimana m adalah jumlah responden

aij adalah matrik individu g) Pengolahan Vertikal

Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengajuan setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan terhadap sasaran utama. Jika Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke- i pada tingkat ke-j terhadap sasaran utama, maka:

CVij =

S

t i xVWt i

t

CHij( , 1) ( 1) 1

 ………(7)

Untuk i = 1,2,3,…,p

j = 1,2,3,…,r t = 1,2,3,…,s

Keterengan :

CHij (t,i-1) = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j tingkat ke-1 terhadap elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i-1), yang diperoleh dari pengolahan horizontal.

m m

k

k

aij

gij

(

)

1

 


(45)

VW t(i-1) = Nilai peioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i=1) terhadap sasarn utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal.

P = Jumlah tingkat hirarki keputusan

R = Jumlah elemn yang ada pada tingkat ke- i S = Jumlah elemen yang ada pada tingkat kei=1

Kerangka pemikiran hierarki proses pada penelitian ini yang berjudul pemilihan alternatif skenario pola kemitraan pada masyarakat miskin di Kota Depok dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6. Kerangka pemikiran hierarki proses

Fokus (Tujuan Utama)

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 5

Aktor 1 Aktor 2 Aktor 3 Aktor 4 Aktor 5 Aktor 6

Tujuan 1 Tujuan 2 Tujuan 3 Tujuan 4

Alternatif A

Alternatif B

Alternatif C

Alternatif D

Alternatif E

Alternatif F


(46)

4.1. Gambaran Umum

Depok bermula dari sebuah Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor, kemudian pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun pengembang yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan Jasa yang semakin pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan. Pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud) yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa, yaitu : 1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu Desa Depok, Desa

Depok Jaya, Desa Pancoram Mas, Desa Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya Baru.

2. Kecamatan Beji, terdiri dari 5 (lima) Desa, yaitu : Desa Beji, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru, Desa Kukusan.

3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu : Desa Mekarjaya, Desa Sukma Jaya, Desa Sukamaju, Desa Cisalak, Desa Kalibaru, Desa Kalimulya.

Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok berkembang pesat baik dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Khususnya bidang Pemerintahan semua Desa berganti menjadi Kelurahan dan adanya pemekaran Kelurahan , sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (Kecamatan) dan 23 (dua puluh tiga) Kelurahan, yaitu :

1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahjn Rangkapan Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru.

2. Kecamatan Beji terdiri dari (enam) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurah Pondok Cina, Kelurahan Kemirimuka, Kelurahan Kukusan, Kelurahan Tanah Baru.

3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Suka Maju,. Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Abadi Jaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Cisalak, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan


(47)

Kalimulya, Kelurahan Kali Jaya, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Jati Mulya, Kelurahan Tirta Jaya.

4.1.1 Terbentuknya Kota Depok

Semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Kota Administratif Depok diangkat menjadi Kotamadya dengan harapan pelayanan menjadi maksimum. Disis lain Pemerintah Kabupaten Bogor bersama – sama Pemerintah Propinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tesebut, dan mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan Undang – undang nomor 15 tahun 1999 Wilayah Kota Depok meliputi wilayah Administratif Kota Depok, terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan sebagaimana tersebut diatas ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, yaitu :

1. Kecamatan Cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu) Kelurahan dan 12 (dua belas) Desa , yaitu : Kelurahan Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tugu, Desa Mekarsari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Hajarmukti, Desa Sukatani, Desa Sukamaju Baru, Desa Cijajar, Desa Cimpaeun, Desa Leuwinanggung. 2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas) Desa, yaitu : Desa

Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua, Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan Desa Bedahan, Desa Pasir Putih.

3. Kecamatan Limo yang terdiri dari 8 (delapan) Desa, yaitu : Desa Limo, Desa Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati Baru, Desa Krukut, Desa Grogol.

4. Dan ditambah 5 (lima) Desa dari Kecamatan Bojong Gede, yaitu : Desa Cipayung, Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya.

Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00” – 6o 28’ 00” Lintang Selatan dan 106o 43’ 00” – 106o 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah, perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 %. Kota


(1)

67

mempromosikan hasil produksi mereka untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas, modal sosial yang baik harus dapat terbentuk agar kerjasama yang baik dapat terlaksanakan.

4. Penguatan Infrastruktur Bisnis, mengindikasikan bahwa kondisi serta lingkungan tertentu potensial atau tidak terhadap suatu bisnis. Infrastruktur bisnis yang baik mempermudah proses produksi dan proses penjualan atau dapat mempermudah dan mempercepat aliean barang dan jasa ke konsumen. Infrastruktur dapat dibangun dari bantuan dan peran serta Pemerintah Kota Depok dalam membangun sarana dan prasarana bagi wilayah yang mendukung iklim usaha yang baik. Pemerintah harus dapat membangun sarana dan prasarana karena selain memudahkan proses bisnis hal ini dapat mengembangkan daerah tersebut. Pembangunan tersebut dapat berupa pembangunan daerah tertentu yang dijadikan pusat UKM, sehingga para konsumen dapat mempermudah pencarian jika mereka ingin mencari barang yang mereka inginkan, selain itu dapat pula dibangun jalan yang baik sehingga mempermudah proses pengiriman barang.

5. Pelatihan, terkadang para pengusaha kecil saat mengelola usaha sebagian besar belum melakukan perhitungan secara terperinci terhadap pengelolaan dari usahanya. Kadang hal ini mengakibatkan harga jual produk lebih rendah daripada biaya produksinya. Untuk memperbaiki hal tersebut perlu diadakan kegiatan pelatihan bagi para pelaku usaha kecil. Hal ini bertujuan dalam rangka meningkatkan kemampuan pengusaha kecil dalam mengelola sumber daya di lingkungan bisnisnya, juga untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para UKM tentang pengetahuan dasar manajemen usaha kecil. Hal ini seperti ini penting dilakukan oleh para pengusaha kecil agar mereka tidak salah dalam menjalankan usaha mereka.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Karakteristik kemiskinan di Depok mencapai 124.706 jiwa (Bapeda Depok, 2006). Jumlah penduduk miskin ini tersebar di enam kecamatan, yaitu:

a.1 Kecamatan Beji terdapat masyarakat miskin 11.044 jiwa dengan 2.595 kepala keluarga, jumlah penduduk miskin terbanyak berada di Kelurahan Kemiri Muka dengan persentase sebanyak 42 persen, hampir 94 persen penduduk miskin di Kecamatan Beji berusia produktif akan tetapi mereka tidak bekerja dan hanya tamatan Sekolah Dasar.

a.2 Kecamatan Cimanggis terdapat masyarakat miskin 30.702 jiwa dengan 7.576 kepala keluarga. Pada kecamatan Cimanggis jumlah penduduk miskin terbanyak terdapat di Kelurahan Tugu dan hampir semua penduduk miskin berusia produktif dan berlatarbelakang pendidikan Sekolah Dasar akan tetapi 93 persen tidak bekerja atau sebagai pengangguran.

a.3 Kecamatan Limo terdapat masyarakat miskin 9.851 jiwa dengan 2.455 kepala keluarga. Penduduk miskin di Kecamatan Limo tersebar di delapan kelurahan. Hampir semua masyarakat miskin tergolong usia produktif, berdasarkan lapangan pekerjaan masyarakat di Kecamatan Limo masih berkerja dengan pekerjaan di bidang transportasi akan tetapi pendidikan terakhir mereka hanya Sekolah Dasar.

a.4 Kecamatan Pancoran Mas terdapat masyarakat misk in 28.232 jiwa dengan 6.479 kepala keluarga. Hampir semua masyarakat miskin tersebar di Kecamatan Pancoran Mas serta 73 persen masyarakat berusia

produktif dengan pendidikan terakhir 62 persen Sekolah

Dasar.Kecamatan Sawangan terdapat masyarakat miskin 21.235 jiwa dengan 5.173 kepala keluarga. Penduduk miskin di Kecamatan Sawangan tersebar di 14 kelurahan, hampir semua masyarakat miskin berusia produktif dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar.

a.5 Kecamatan Sukmajaya terdapat masyarakat miskin 23.642 jiwa dengan 5.148 kepala keluarga. Penduduk miskin di Kecamatan Sukmajaya


(3)

71

tersebar di 11 kelurahan, hampir semua masyarakat miskin berusia produktif 94 persen dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar 60 persen dan sebanyak 88 persen tidak bekerja.

b. Penentuan Strategi kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Pemkot Depok merekomendasikan hal- hal penting yang terkait dengan faktor, aktor, tujuan, dan skenario alternatif terbaik. Adapun faktor utama yang mendukung pola kemitraan sesuai dengan prioritas adalah modal, jaringan/akses usaha, pendidikan, motivasi usaha dan keterampilan. Prioritas

aktor yang mendukung sukesnya pola kemitraan adalah lembaga pendamping, Lembaga Keuangan Mikro, Perguruan tinggi/lembaga penelitian, Mitra inti atau pengusaha, pemerintah kota/dinas dan mitra plasma. Tujuan utama dalam pola kemitraan sesuai prioritas adalah mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan, pemerataan pendapatan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. Skenario yang dimunculkan sesuai prioritas adalah Pendampingan/mediasi usaha, penguatan modal usaha, penguatan kerjasama bisnis, penguatan modal sosial, penguatan infrastruktur bisnis dan pelatihan.

2. Saran

a. Kegiatan ini sebaiknya ditindaklanjuti dengan program aksi bersama dari pihak Perguruan tinggi/ lembaga penelitian, lembaga pendamping, pemerintah kota/ dinas, Mitra plasma, Lembaga keuangan dan Mitra inti di Depok yang telah melakukan kajian bersama.

b. Semua stakeholder dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

c. Diusulkan penelitian ini dapat dilanjutkan agar dapat diuji tingkat keberhasilannya. Terutama untuk merinci pola-pola kemitraan yang tepat per masing- masing klaster dan kondisi sektor usaha UKM.


(4)

ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF SKENARIO

POLA KEMITRAAN PADA PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT MISKIN DI KOTA DEPOK

Oleh

DEVAN NARARRYA PRAMESWARA

H24076029

PROGRAM SARJANA MANAJEMEN PENYELENGGARAAN KHUSUS

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2006. Kota Depok dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik. 2008. Kota Depok dalam Angka 2007.

Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kotamadya Depok. 2006. Kemiskinan Kota Depok dalam Angka. Depok

Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kotamadya Depok. 2008. Kemiskinan Kota Depok dalam Angka. Depok

Dolles, V. 2010. Analisis Kelembagaan dalam Pengembangan Program untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kota (studi kasus penanggulangan kemiskinan di Kota Depok), Departermen Manajemen FEM Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hafsah, M.J. 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Hadim. 2009. Dinamika Kemiskinan Rumah Tangga di Pedesaan (Studi kasus Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Departermen Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor

Husna, A. 2010. Analisis Kebutuhan Program Kemitraan dalam rangka Penanggulangan Kemiskinan di Kota Depok. Departermen Manajemen FEM Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Irwanto. 2006. Focus Group Discussion. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Julius, B. 2003, Transformasi Ekonomi Rakyat, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta

Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria majemuk. PT Grasindo, Jakarta.

Munandar, J M., et.al, 2009. Studi Pola Kemitraan Untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kota (Studi Kasus Penanggulangan Kemiskinan di Kodya Depok). Departemen Manajemen FEM IPB. Bogor

Notoatmodjo, S. 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Nurhadi, 2007. Mengembangkan Jaminan Sosial Mengentaskan Kemiskinan,

cetakan pertama. Media Wacana. Yogyakarta.

Saaty. T.L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Setiono L. Penerjemah. Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) dan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World).Jakarta Saripudin. 2009. Pengangguran dan Kemiskinan di Pedesaan. Departermen Ilmu


(6)

73

Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tohar, M. 2007, Membuka Usaha Kecil, Kanisius. Yogjakarta.

Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

http://www.enolsatoe.org/content/view/15/33/ 28 april 2010

http://luzman- interisti.blogspot.com/2008/12/focus- group-discussion.html 28 April 2010