Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

(1)

SKRIPSI

EFEKTIVITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK

LAYAK HUNI OLEH DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KABUPATEN NIAS BARAT

OLEH:

NONIVILI JULIANTI GULO 110902015

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat pertolongan, hikmat, dan kasihNya senantiasa yang melindungi, menyertai, menguatkan, memimpin dan membimbing penulis sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat.”

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu serta mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.SP selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing,membantu, meluangkan waktu, tenaga, dan kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si selaku Dosen Penanggung Jawab Jurnal. 5. Seluruh Dosen dan pegawai Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial USU

yang telah memberikan bimbingan dan membantu dalam mengurus administrasi selama perkuliahan.


(3)

7. Teristimewa kepada kedua orangtua yang sangat saya banggakan dan saya cintai, Papa (F.Gulo) dan Mama (S.Gulo) penulis sangat bersyukur bisa memiliki orangtua terbaik yang senantiasa mengajarkan untuk semakin dekat kepada Tuhan, membimbing, menguatkan, memotivasi, kesabaran yang sungguh luar biasa, mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara moril dan materi. Terimakasih ya Papa dan Mama. Aku sangat mencintai kalian. Terimakasih untuk kasih sayang kalian yang tidak pernah bisa penulis balaskan. Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita dan penulis tetap bisa memberikan yang terbaik.

8. Kakak, abang, dan adek terbaik yang saya miliki, Kak Ina Dean, Abang Ama Awa, Kak Haga, Bang Yanto, Kak Nibe, dan Adekku Litas. Terimakasih untuk semua dukungan yang diberikan kepada penulis. Aku sayang kalian. 9. Keluarga kecilku Devon Theos (K’Rina, Tika, Agus, Neysa, dan Ria).

Terimakasih sudah menjadi kakak dan adek terbaik bagiku selama perkuliahan ini. Aku bersyukur Tuhan boleh mempertemukan aku dengan kalian. KasihNya senantiasa bersama kita senantiasa.

10. Adek-adekku Rossy, Margareth, Afrianty, dan Eni. Kakak sayang kalian. 11. Abang JP. Zega, terimakasih selalu ada dan selalu sabar mendukung,

membimbing, dan menguatkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

12. Teman-teman di Waikiki Kak Rukun, Kak Lois, Bang Fendi, Arta, dan Indra. Terimakasih untuk semangat dan dukungannya.

13. Teman-teman Kessos Stambuk 2011 yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu. Sukses buat kita semuanya.


(4)

Terima kasih atas semua dukungan dan bantuan serta semangat yang penulis terima selama penyelesaian skripsi ini dan sepanjang perkuliahan yang boleh dijalani. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak guna menyempurnakan skripsi ini agar menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Medan,Mei2015


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Nonivili Julianti Gulo NIM : 110902015

ABSTRAK

Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

Program-program pemberdayaan masyarakat miskin yang dibuat oleh pemerintah didasarkan pada kebutuhan yang paling utama atau kebutuhan primer dari masyarakat itu sendiri. Rumah merupakan kebutuhan primer dan memiliki fungsi yang multidimensional. Kelayakan suatu rumah akan sangat menentukan bagaimana individu menjalankan fungsi sosialnya setiap hari. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah menyelenggarakan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan rumah yang layak huni bagi keluarga miskin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat.

Penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarakan mengenai efektivitas pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Nias Barat. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 50 orang yang mendapat bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Nias Barat tahun 2014. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program tersebut adalah pemahaman program, ketepatan sasaran, ketepatan waktu, tercapainya tujuan, dan perubahan nyata. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunaka Skala Likert.


(6)

0,71. Ketepatan sasaran sebanyak 0,66. Ketepatan waktu sebanyak 0,63. Tercapainya tujuan sebanyak 0,38. Perubahan nyata dilihat dari kondisi kondisi rumah responden yang menjadi layak huni.


(7)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : Nonivili Julianti Gulo NIM : 110902015

ABSTRACT

The Effectiveness of Poor People Empowerment Through Social Rehabilitation Program Houses Not Livable By Social Services and Labor Nias Barat Regency

Programs of community development made by the government based on the needs of the ultimate or primary needs of the community itself. The house is a primary need and have a multidimensional function. The feasibility of a home will determine how individual run social functions every day. Under these conditions, the government organized a Social Rehabilitation Program Houses Not Livable which aims to provide a service of decent housing for poor families. This study aims to determine the effectiveness of Poor People Empowerment Through Social Rehabilitation Program Houses Not Livable By Social Services and Labor Nias Barat Regency.

This research is classified as descriptive type that aims to illustrate the effectiveness of the implementation of the Social Rehabilitation program Houses Not Livable Nias Barat Regency. Total population in this study as many as 50 persons were assisted by the Social Rehabilitation Houses Not Livable West Nias in 2014. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics. Indicators used to measure the effectiveness of the program is the understanding of the program, targeting accuracy, timeliness, achievement of goals, and real change. To determine the level of effectiveness of the program, the measurement data is done to make use Likert Scale.

The research concluded, the effectiveness of the implementation of the Social Rehabilitation program Houses Not Livable in Nias Barat is effective with Likert Scale score of 0.59. Indicators of understanding of the program as much as 0.71. Targeting accuracy as much as 0.66. Timeliness as much as 0.63. Achievement of objectives as much as 0.38. Real change was apparent from the respondents that the condition of the house becomes livable.


(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstrak ... iv

Abstract ... v

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 9

1.3Tujuan Penelitian ... 9

1.4Manfaat Penelitian ... 9

1.5Sistematika Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Efektivitas ... 12

2.1.1 Pengertian Efektivitas ... 12

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektivitas ... 14

2.1.3 Masalah Dalam Pengukuran Efektivitas ... 16

2.2 Pengertian Program ... 19

2.3 Pemberdayaan Masyarakat ... 20

2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial ... 23

2.4.1 Kebijakan Publik ... 23

2.4.2 Kebijakan Sosial ... 25

2.5 Kemiskinan ... 27

2.6 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni ... 31

2.6.1 Tujuan Program RS-RTLH ... 31

2.6.2 Kriteria Kepala Keluarga Penerima Bantuan RS-RTLH ... 31

2.6.3 Kriteria Sarana dan Prasarana Lingkungan ... 32


(9)

2.6.6 Prosedur Pengusulan Kegiatan ... 35

2.6.7 Pelaksanaan Kegiatan ... 36

2.6.7.1 Prinsip Pelaksanaan ... 36

2.6.7.2 Tahapan Pelaksanaan Bantuan ... 37

2.6.7.3 Pelaporan ... 39

2.6.7.4 Pelaksanaan Program ... 39

2.6.7.5 Peran Pihak-pihak Terkait ... 40

2.6.8 Penyaluran, Pencairan dan Penggunaan Dana ... 43

2.6.8.1 Penyaluran ... 43

2.6.8.2 Penggunaan Dana ... 45

2.6.9 Sanksi ... 46

2.6.10 Landasan Hukum ... 47

2.7 Kesejahteraan Sosial ... 47

2.7.1 Usaha Kesejahteraan Sosial ... 51

2.8 Hasil Penelitian Yang Pernah Dilakukan Tentang Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program RS-RTLH ... 53

2.9 Kerangka Pemikiran ... 56

2.10 Defenisi Konsep dan Operasional ... 58

2.10.1 Defenisi Konsep ... 58

2.10.2 Defenisi Operasional ... 59

BAB III METODE PENELITIAN ... 63

3.1 Tipe Penelitian ... 63

3.2 Lokasi Penelitian ... 64

3.3 Populasi Penelitian ... 64

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 65

3.5 Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 68

4.1 Sejarah Singkat Kabupaten Nias Barat ... 68

4.2 Letak dan Keadaan Geografis ... 71


(10)

4.5.1 Persentase Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 77

4.6 Pendidikan ... 78

4.7 Kesehatan ... 80

4.8 Agama ... 80

4.9 Kemiskinan ... 81

4.10 Profil Pelaksanaan RS-RTLH di Kabupaten Nias Barat Tahun Anggaran 2014... 81

4.10.1 Sumber dana... 83

4.10.2 Prosedur Pengusulan ... 84

4.10.3 Kelompok Penerima Bantuan ... 85

4.10.4 Penyaluran, Pencairan, Dan Penggunaan Dana ... 86

BAB V ANALISIS DATA ... 88

5.1 Karakteristik Responden ... 89

5.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 89

5.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 90

5.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 91

5.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 92

5.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 92

5.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 93

5.1.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 94

5.2 Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program RS-RTLH Di Kabupaten Nias Barat ... 96

5.2.1 Pemahaman Program ... 96

5.2.1.1 Sumber Pengetahuan Program ... 96

5.2.1.2 Tanggapan Responden Atas Informasi Yang Disampaikan ... 98

5.2.1.3 Pemahaman Responden Mengenai Tujuan Program ... 99

5.2.1.4 Pengetahuan Mengenai Syarat Menjadi Penerima Bantuan ... 100

5.2.1.5 Kemudahan Pemenuhan Syarat Menjadi Penerima Bantuan ... 101

5.2.1.6 Pengetahuan Sasaran Program ... 103 5.2.1.7 Sosialisasi Program Dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja


(11)

5.2.2 Ketepatan Sasaran Program... 106

5.2.2.1 Pendataan Sebagai Keluarga Miskin ... 106

5.2.2.2 Ketepatan Menjadi Penerima Bantuan ... 107

5.2.2.3 Kemampuan Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari ... 108

5.2.2.4 Kepemilikan Aset ... 110

5.2.2.5 Bukti Atas Kepemilikan Rumah ... 111

5.2.2.6 Status Kepemilikan Rumah ... 112

5.2.2.7 Kondisi Rumah Sebelum Direhabilitasi ... 113

5.2.2.8 Kondisi Atap Rumah Sebelum Direhabilitasi ... 114

5.2.2.9 Kondisi Lantai Rumah Sebelum Direhabilitasi ... 114

5.2.2.10 Kondisi Dinding Rumah Sebelum Direhabilitasi ... 115

5.2.2.11 Kondisi Fasilitas Kamar Mandi ... 116

5.2.3 Ketepatan Waktu Pelaksanaan ... 118

5.2.3.1 Kesesuaian Jadwal Pelaksanaan Program ... 118

5.2.3.2 Proses Pencairan Dana ... 118

5.2.3.3 Proses Pelaksanaan Rehabilitasi Rumah ... 119

5.2.3.4 Ketepatan Waktu Tukang Bekerja ... 120

5.2.3.5 Jangka Waktu Pelaksanaan Program ... 121

5.2.3.6 Penyerahan Laporan Penyelesaian Pekerjaan Kegiatan Rehabilitasi ... 122

5.2.4 Tercapainya Tujuan ... 123

5.2.4.1 Kesesuaian Rencana Rehabilitasi ... 123

5.2.4.2 Kepuasan Hasil Rehabilitasi ... 124

5.2.4.3 Pengaruh Terhadap Semangat Kerja ... 125

5.2.4.4 Peningkatan Intensitas Berkumpul Keluarga ... 126

5.2.4.5 Kondisi Kesehatan Keluarga ... 128

5.2.4.6 Peningkatan Pendapatan Keluarga ... 129

5.2.4.7 Hubungan Antara Penerima Bantuan ... 130

5.2.4.8 Kecukupan Dana Rehabilitasi ... 131


(12)

5.2.5.2 Kemandirian Keluarga ... 135

5.2.5.3 Keterampilan ... 137

BAB VI PENUTUP ... 140

6.1 Kesimpulan ... 140

6.2 Saran ... 142

Daftar Pustaka ... 143 Lampiran


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Rincian Penggunaan Dana Bantuan RS-RTLH ... 45

Tabel 2.2 Rincian Penggunaan Dana Bantuan Sarling ... 45

Tabel 4.1 Persentase Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 77

Tabel 4.2 Angka Partisipasi Sekolah di Kabupaten Nias Barat ... 78

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 89

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 90

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Agama... 91

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 92

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 94

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Pengetahuan ... 96

Tabel 5.7 Distribusi Tanggapan Responden Atas Informasi Yang Disampaikan ... 98

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pemahaman Tujuan Program ... 99

Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Syarat Menjadi Penerima Bantuan ... 100

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kemudahan Pemenuhan Syarat Menjadi Penerima Bantuan ... 102

Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Sasaran Program ... 103

Tabel 5.12 Distribusi Responden Mengenai Sosialisasi Program dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat ... 104


(14)

Miskin ... 106 Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ketepatan Menjadi

Penerima Bantuan ... 107 Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Pemenuhan

Kebutuhan

Sehari-hari ... 108 Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Aset ... 110 Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Bukti Atas Kepemilikan

Rumah ... 111 Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Rumah Sebelum

Direhabilitasi ... 113 Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Lantai Rumah

Sebelum Direhabilitasi ... 114 Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas Kamar Mandi ... 116 Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Proses Pelaksanaan

Rehabilitasi Rumah ... 119 Tabel 5.22 Distribusi Responden Berdasarkan Jangka Waktu Pelaksanaan

Program ... 121 Tabel 5.23 Distribusi Responden Berdasarkan Penyerahan Laporan

Penyelesaian Pekerjaan Kegiatan Rehabilitasi ... 122 Tabel 5.24 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Rencana


(15)

Tabel 5.25 Distribusi Responden Berdasarkan Kepuasan Hasil Rehabilitasi ... 124

Tabel 5.26 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaruh Terhadap Semangat Kerja ... 125

Tabel 5.27 Distribusi Responden Berdasarkan Peningkatan Intensitas Berkumpul Keluarga ... 126

Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Kesehatan Keluar ... 128

Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdasarkan Peningkatan Pendapatan Keluarga ... 129

Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Antara Penerima Bantuan... 130

Tabel 5.31 Distribusi Responden Berdasarkan Kecukupan Dana Rehabilitasi ... 131

Tabel 5.32 Distribusi Responden Berdasarkan Ketepatan Program RS-RTLH ... 132

Tabel 5.33 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Rumah ... 134

Tabel 5.34 Distribusi Responden Berdasarkan Kemandirian Keluarga... 135


(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Nonivili Julianti Gulo NIM : 110902015

ABSTRAK

Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat

Program-program pemberdayaan masyarakat miskin yang dibuat oleh pemerintah didasarkan pada kebutuhan yang paling utama atau kebutuhan primer dari masyarakat itu sendiri. Rumah merupakan kebutuhan primer dan memiliki fungsi yang multidimensional. Kelayakan suatu rumah akan sangat menentukan bagaimana individu menjalankan fungsi sosialnya setiap hari. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah menyelenggarakan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan rumah yang layak huni bagi keluarga miskin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat.

Penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarakan mengenai efektivitas pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Nias Barat. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 50 orang yang mendapat bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Nias Barat tahun 2014. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program tersebut adalah pemahaman program, ketepatan sasaran, ketepatan waktu, tercapainya tujuan, dan perubahan nyata. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunaka Skala Likert.


(17)

0,71. Ketepatan sasaran sebanyak 0,66. Ketepatan waktu sebanyak 0,63. Tercapainya tujuan sebanyak 0,38. Perubahan nyata dilihat dari kondisi kondisi rumah responden yang menjadi layak huni.


(18)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : Nonivili Julianti Gulo NIM : 110902015

ABSTRACT

The Effectiveness of Poor People Empowerment Through Social Rehabilitation Program Houses Not Livable By Social Services and Labor Nias Barat Regency

Programs of community development made by the government based on the needs of the ultimate or primary needs of the community itself. The house is a primary need and have a multidimensional function. The feasibility of a home will determine how individual run social functions every day. Under these conditions, the government organized a Social Rehabilitation Program Houses Not Livable which aims to provide a service of decent housing for poor families. This study aims to determine the effectiveness of Poor People Empowerment Through Social Rehabilitation Program Houses Not Livable By Social Services and Labor Nias Barat Regency.

This research is classified as descriptive type that aims to illustrate the effectiveness of the implementation of the Social Rehabilitation program Houses Not Livable Nias Barat Regency. Total population in this study as many as 50 persons were assisted by the Social Rehabilitation Houses Not Livable West Nias in 2014. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics. Indicators used to measure the effectiveness of the program is the understanding of the program, targeting accuracy, timeliness, achievement of goals, and real change. To determine the level of effectiveness of the program, the measurement data is done to make use Likert Scale.

The research concluded, the effectiveness of the implementation of the Social Rehabilitation program Houses Not Livable in Nias Barat is effective with Likert Scale score of 0.59. Indicators of understanding of the program as much as 0.71. Targeting accuracy as much as 0.66. Timeliness as much as 0.63. Achievement of objectives as much as 0.38. Real change was apparent from the respondents that the condition of the house becomes livable.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu permasalahan sosial yang sangat kompleks di Indonesia adalah kemiskinan. Dari tahun ke tahun kemiskinan menjadi topik yang hangat untuk dibahas karena tidak hanya menyangkut kehidupan seseorang, tetapi akan mengarah kepada keluarga, kelompok, dan masyarakat yang sangat luas. Karena begitu besarnya dampak dari kemiskinan ini maka solusi untuk mengentaskannya terus menerus diperbincangkan oleh para elit politik maupun masyarakat yang jika dilihat hingga saat ini belum terlihat perubahan secara signifikan yang menunjukkan terselesaikannya masalah kemiskinan di Indonesia.

Masalah ini masih menjadi sorotan pemerintah karena kemiskinan merupakan masalah yang sangat berat dalam pembangunan yang melanda setiap bangsa, bahkan bangsa maju sekalipun masih memiliki kantong-kantong kemiskinan. Pemerintah suatu negara akan berjuang untuk menyelesaikan masalah kemiskinan karena keberhasilan mengurangi angka kemiskinan selalu menjadi indikator penilaian baik atau buruknya suatu masa pemerintahan. Kondisi ini disebabkan karena sangat tingginya angka kemiskinan bahkan yang dalam suatu periode tertentu menunjukkan peningkatan akan menghambat laju pembangunan suatu bangsa.


(20)

multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Melihat kondisi masyarakat dewasa ini, masih sangat banyak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu apalagi mengembangkan hidup yang terhormat dan bermatabat.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 10.356.690 jiwa atau dalam persentase yaitu 10,96% dan untuk Provinsi Sumatera Utara sendiri jumlah penduduk miskin 1.360.000 atau 9,85% (Badan Pusat Statistik, 2014). Jika dibandingkan dengan data statistik tahun 2013 persentase kemiskinannya memang lebih tinggi yaitu 11,37% untuk seluruh Indonesia dan untuk Sumatera Utara 10,06%. Persentase kenaikan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan dari Maret 2013 hingga Sepetember 2014 yaitu 1,4% dan 0,5 % menurut Suryamin sebagai Kepala BPS hal menunjukkan tingkat kemiskinan yang semakin parah (detik.com, 2014).

Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah juga kerap kali menjadi salah satu faktor lain meningkatnya kemiskinan di negara ini. Seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selalu menjadi kontroversi bagi masyarakat, yang mana kondisi ini akan sangat mempengaruhi harga kebutuhan pokok sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat dan akan berdampak pula pada kemiskinan. Memang bukan tanpa alasan pemerintah menetapkan kebijakan tersebut, tetapi seharusnya disertai dengan strategi-strategi yang bisa meminimalkan dampak dari kebijakan tersebut.


(21)

Pemerintah juga tidak tinggal dalam menanggapi kemiskinan yang semakin memprihatinkan ini. Dalam usaha untuk mengurangi angka kemiskinan, tim nasional percepatan dan pengentasan kemiskinan Indonesia telah melakukan berbagai macam strategi pengentasan kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan sejak tahun 1998 hingga saat ini. Secara umum, program yang telah dilakukan mampu menurunkan angka kemiskinan Indonesia yang berjumlah 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 30,02 juta pada tahun 2011. Adapun empat strategi dasar yang ditetapkan sebagai dasar pembuatan program pengentasan kemisikinan yaitu menyempurnakan program perlindungan sosial, peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan yang insklusif (Kompasiana.com, 2013).

Program-program pengentasan kemiskinan yang dirancang pemerintah tidak hanya bersifat sementara. Dalam setiap program tersebut masyarakat miskin harus diberdayakan sehingga pada akhirnya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Program-program yang berbasis pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. Beberapa program yang telah dijalankan pemerintah berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat yaitu:

• Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di daerah perdesaan dan perkotaan

• Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah • Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus


(22)

• Penyempurnaan dan pemantapan program pembangunan berbasis masyarakat.

Program-program pengentasan kemiskinan ini dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling utama atau kebutuhan primernya. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka pemerintah saat ini juga sudah memulai Progam bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni.

Sebagaimana diketahui bahwa rumah merupakan kebutuhan primer setiap orang dan merupakan tempat yang memiliki fungsi yang multidimensional. Kelayakan suatu rumah akan sangat menentukan bagaimana seorang individu menjalankan kehidupan sosialnya setiap hari. Namun untuk mewujudkan suatu rumah yang sesuai dengan standar kelayakan bukanlah suatu proses yang mudah bagi masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Ketidakberdayaan mereka memenuhi kebutuhan rumah yang layak huni berbanding lurus dengan pendapatan dan pengetahuan tentang fungsi rumah itu sendiri.

Sebagai penanda tangan kesepakatan global tentang pencapaian tujuan-tujuan pembangunan milenium (MDGs), Indonesia memiliki waktu sekitar enam tahun untuk membuktikan komitmennya. Dalam target ke-7 MDGs, tertera tujuan mencapai perbaikan berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada 2020.Saat ini, menurut data resmi, jumlah kebutuhan perumahan di Indonesia telah mencapai 7-8 juta unit dan akan bertambah sekitar 1,4 juta unit/tahun, sebuah angka yang sangat besar, meskipun sebenarnya belum sepenuhnya menggambarkan kondisi yang ada. Hal ini dikarenakan tidak adanya pertimbangan sekian juta keluarga yang walaupun sudah tercatat memiliki tempat


(23)

diduga mayoritas yang membutuhkan tempat tinggal tersebut ialah mereka yang berpenghasilan pas-pasan dan karena itu pemenuhan kebutuhannya memerlukan uluran tangan pemerintah (Lampost.com, 2014).

Sebuah fenomena yang patut dicermati di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir ialah kenyataan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta-merta membawa perbaikan pada sistem penyediaan perumahan bagi mayoritas masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya. Di kota-kota yang ekonominya berkembang pesat, seperti Jakarta dan Surabaya, kondisi perumahan bagi mayoritas masyarakat makin memburuk. Harga rumah bagi mereka yang berpenghasilan tetap sekalipun makin tidak terjangkau. Semua itu merupakan indikasi terjadinya krisis perumahan yang melanda Indonesia, khususnya di daerah perkotaan, sejak beberapa dekade terakhir.Ragam tawaran solusi sebenarnya konstitusi negeri ini dengan tegas menyatakan negara berkewajiban membantu mengadakan rumah yang layak bagi rakyat Indonesia (UUD 1945, Pasal 48 H). Begitu pula UU No. 25/2000 tentang Propenas dan UU Bangunan Gedung 2003 (Pasal 43 Ayat [4]) yang mewajibkan pemerintah daerah memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses pada rumah. Semua arahan konstitusional tersebut bertujuan memberikan aksesibilitas rumah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi kelompok lemah ekonomi (Lampost.com, 2014).

Menteri Sosial RI ke-25 periode kerja 2009-2014, Salim Segaf Al Jufri menyatakan bahwa Kementerian Sosial sedang melakukan rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) sebanyak 2,3 juta di 33 provinsi. Rehabilitasi RTLH


(24)

Rp 10 juta per RTLH. Hal tersebut dilakukan guna memutus mata rantai kemiskinan di Indonesia karena rumah layak huni adalah kebutuhan penting bagi warga miskin yang mengalami keterbatasan ekonomi. Selanjutnya, Menteri Sosial menambahkan bahwa selama ini Kemensos berupaya memenuhi kebutuhan rumah bagi warga miskin dengan menjalankan program rehabilitasi rumah tidak layak huni yang tentunya prosesnya melibatkan peran aktif masyarakat secara gotong royong dan semangat kesetiakawanan sosial (Pancanaka, 2013 ).

Salah satu Kabupaten yang melaksanakan program ini adalah Kabupaten Nias Barat. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Nias berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 46 Tahun 2009. Jumlah penduduk Nias Barat yakni 91.701 jiwa yang terdiri dari 18.815 kepala keluarga dan jumlah penduduk miskin yang tersebar di beberapa desa di Kabupaten ini yakni 69.651 jiwa. Jumlah ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk daerah ini masih berada di bawah garis kemiskinan.

Kondisi ini menjadi tolak ukur dilaksanakannya program pengentasan kemiskinan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Nias Barat. Dari data yang diambil dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat terdapat 10.515 unit rumah tidak layak huni di kabupaten ini yang tersebar di 8 kecamatan. Berdasarkan Peraturan Bupati Nias Barat tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Nomor 21 Tahun 2014 dijelaskan bahwa nomenklatur program ini adalah Pemberian Bantuan Sosial Rehabilatasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH).


(25)

dilaksanakan rehabilitasi rumah sebanyak 50 unit yang terdapat di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Lahomi 12 unit, Mandrehe 27 unit, dan Lolofitu Moi 11 unit. Pemilihan daerah penerima bantuan RS-RTLH berdasarkan peninjauan terlebih dahulu oleh pengelola program ini.

Pada dasarnya ke delapan kecamatan yang berada di Kabupaten Nias Barat merupakan sasaran program bantuan sosial ini. Namun untuk tahun 2014 karena keterbatasan dana maka hanya tiga kecamatan yang ditetapkan sebagai penerima bantuan sosial. Ketiga kecamatan terpilih ini karena melintasi jalan provinsi dan kabupaten menuju ibu kota Kabupaten Nias Barat.

Dalam pelaksanaan program bantuan sosial di bidang perumahan ini, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat menetapkan konsultan perencana untuk melakukan survey di lapangan dan membuat desain serta rencana anggaran biaya (RAB) setiap unit sebagai pedoman yang tertuang dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan dijabarkan pada kontrak pekerjaan. Desain gambar ini akan diberikan kepada kelompok sasaran yang mana disetiap desa dikelola oleh dua kelompok dan setiap kelompok memiliki ketua dan bendahara.

Pada proses pencairan dana bantuan sosial ini dari kas daerah Kabupaten Nias Barat kemudian diberikan kepada pengelola program yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat dan diteruskan kepada pengurus kelompok penerima bantuan yang diwajibkan membuka rekening di Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU) cabang Lahomi. Pada kontrak pekerjaan telah ditetapkan untuk penarikan dana tahap pertama 50% ( uang muka) dan tahap kedua sebesar 50% dibayarkan setelah pekerjaan selesai 100%.


(26)

Dana yang telah diterima oleh kelompok sasaran ini digunakan untuk mengadakan material bahan bangunan yang akan digunakan untuk merehabilitasi rumah penerima bantuan sosial ini. Dalam ketentuan Bupati Nias Barat, pembangunan dikerjakan selama 100 hari setelah pencairan dana pertama dan diberikan dispensasi kepada rumah tangga yang melakukan rehabilitasi lebih dari ketentuan yang ditetapkan dengan menggunakan dana sendiri untuk menambah kekurangan biaya pembangunan.

Pada tahun 2014 program ini sudah selesai dilaksanakan namun pelaksanaan monitoring dan evaluasi sedang dalam proses. Sebagai salah satu program pengentasan kemiskinan maka sangat diharapkan dengan dilaksanakannya program ini angka kemiskinan di Kabupaten Nias Barat bisa menurun. Penurunan angka kemiskinan adalah salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah.

Kabupaten Nias Barat sebagai daerah otonomi baru harus mampu menunjukkan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan daerah melalui program-program yang tepat sasaran sehingga berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah ini. Sebagai program yang masih berjalan selama satu tahun di Kabupaten Nias Barat, bantuan sosial RS-RTLH sangat perlu diamati keefektivitasannya dalam pemberdayaan masyarakat miskin di kabupaten ini sehingga bisa dilanjutkan pelaksanaannya untuk tahun-tahun berikutnya.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana “ Efektivitas


(27)

Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang yang telah diutarakan maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Efektivitas Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Nias Barat.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka:

1. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat miskin melalui bantuan RS-RTLH.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program bantuan RS-RTLH.


(28)

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini diajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasioanal. BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, teknik pengumpulan data, serta analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisiskan sejarah singkat gambaran umum lokasi penelitian dan data-data laian yang turut memperkaya karya ilmiah ini.


(29)

Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil, berhasil guna, serta dapat pula berarti mulai berlaku. Seorang praktisi ahli mendefenisikan efektivitas sebagai pencapaian sasaran yang telah disepakati secara bersama serta tingkat pencapaian sasaran itu menunjukkan tingkat efektivitas ( Tampubolon, 2008:175).

Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Sondang P. Siagian juga menjelaskan bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya


(31)

Menurut Abdurahman efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Menurut kamus administrasi efektif adalah berhasil guna/tepat guna. Efektif adalah pencapaian sasaran mengenai suasana dagang dan kemungkinan membuat laba/keuntungan. Efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Pekerjaan yang efesien adalah hasil yang dicapai dengan penghamburan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda.

Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu efektivitas dilihat berdasarkan pencapaian hasil atau pencapaian dari suatu tujuan. Efektivitas berfokus kepada outcome (hasil) dari suatu program atau kegiatan, yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.

Pada dasarnya, dikemukakan bahwa cara yang terbaik untuk meneliti efektivitas ialah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling berhubungan, diantaranya adalah paham mengenai optimal tujuan, prespektif sistematika, tekanan pada segi tingkah laku manusia dalam susunan organisasi. Efektivitas dijabarkan berdasarkan kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga secara sepandai mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan operasionalnya.


(32)

dicapai.Efesiensi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar.Dalam hal ini efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan yang telah disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik maupun tidak.

Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara komprehensif. Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam mengukur efektivitas suatu program atau kegiatan perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu:

1. Pemahaman program 2. Ketetapan sasaran 3. Tepat waktu 4. Tercapainya tujuan

5. Perubahan nyata (Sutrisno, 2007:125-126)

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektivitas

Pendekatan terhadap efektivitas dilakukan dengan bagian yang berbeda, dimana perusahaan mendapatkan input berupa berbagai macam sumber darilingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam perusahaan mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan


(33)

Pendekatanterhadap efektifitas terdiri dari: 1.Pendekatan Sasaran

Pendekatan ini mencoba mengatur sejauh mana suatu perusahaan berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Sasaran yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektifitas ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan. Dan memusatkan perhatian terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output. Pendekatan sasaran dapat direalisasikan apabila organisasimampu melakukan pendekatan kepad awarga binaaan sosial dalam mengarahkan kepada tujuan yang ingin dicapaiyaitu semua warga binaan sosial dapat berfungsi sosial.

2.Pendekatan Sumber

Pendekatan sumber mengukur efektivitasmelalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkan. Suatu organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu organisasi terhadap lingkungannya, karena perusahaan mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga dilemparkannya pada lingkungannya.


(34)

langka dan bernilai tinggi. Pendekatan sumber dalam organisasi dapat di ukur dari seberapa jauh hubungan antara warga binaan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

3.Pendekatan Proses

Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai defenisi dan kondisi kesehatan dari suatu organisasi. Pada organisasi yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap berbagai sumber yang dimiliki organisasi, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan organisasi. Tujuan dari pada pendekatan proses yang dilakukan organisasi adalah bagaimana organisasi mampu menggunakan semua program secara terkoordinir dengan baik kepada warga binaan (Cunningham, 1978:635,dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013).

2.1.3 Masalah dalam Pengukuran Efektivitas

Kesulitan menilai efektivitas disebabkan oleh beberapa masalah yang tak terpisahkan dari model yang sekarang ada mengenai keberhasilan organisasi.

Masalah-masalah pengukuran ini sangat beraneka ragam baik dalam sifat maupun titik asal mereka. Adapun masalah-masalah dalam pengukuran efektivitas yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:


(35)

Maksud susunan disini adalah suatu hipotesis yang abstrak (sebagai lawan dariyang kongkrit) mengenai hubungan antara beberapa variabel yang saling berhubungan. Ia mengungkapkan keyakinan bahwa variabel-variabel tersebut bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh.

2.Masalah stabilitas kriteria

Artinya bahwa banyak kriteria evaluasi yang digunakan ternyata relatif tidak stabil setelah beberapa waktu. Yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur efektivitas pada suatu waktu mungkin tidak tepat lagi atau menyesatkan pada waktu berikutnya. Kriteria tersebut berubah-ubah tergantung pada permintaan,kepentingan dan tekanan-tekanan ekstern.

3.Masalah perspektif waktu.

Masalah yang ada hubungannya dengan hal diatas adalah perspektif waktu yang dipakai orang pada waktu menilai efektivitas. Masalah bagi mereka yang mempelajari manajemen adalah cara yang terbaik menciptakan keseimbanganantara kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang, dalam usaha mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan dalam perjalanan waktu.

4.Masalah kriteria ganda.

Seperti ditunjukkan sebelumnya, keuntungan utama dari ancangan multivariasi dalam evaluasi efektivitas adalah sifatnya yang komprehensif,memadukan beberapa faktor kedalam suatu kerangka yang kompak. Hal yang terpenting


(36)

menurut defenisinya tidak dapat menjadi efektif, mereka tidak dapat memaksimalkan kedua dimensi tersebut secara serempak.

5.Masalah ketelitian pengukuran.

Pengukuran terdiri dari peraturan atau prosedur untuk menentukan beberapa nilai atribut dalam rangka agar atribut-atribut ini dapat dinyatakan secara kuantitatif. Jadi, berbicar amengenai pengukuran efektivitas organisasi,dianggap ada kemungkinan menentukan kuantitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap. Tetapi penentuan kuantitas atau pengukuran demikian sering sulit karena konsep yang diteliti rumit dan luas. Dihadapkan dengan masalah tersebut, orang harus berusaha mengenali kriteria yang dapatdiukurdengan kesalahan minimum atau berusaha mengendalikan pengaruh yang menyesatkan dalam proses analisis. 6.Masalah kemungkinan generalisasi

Apabila berbagai masalah pengukuran diatas dapat dipecahkan, masih akan timbul persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan kriteria evaluasi yang dihasilkannya dapat berlaku juga pada organisasi lainnya. Jadi, pada waktu memilih kriteria orang harus memperhatikan tingkat konsistensi kriteria tersebut dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari. 7.Masalah relevansi teoritis

Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori-teori dan model-model yang secara tepat mencerminkan sifat subyek yang dipelajari. Jadi, dari sudut pandang teoritis harus diajukan pertanyaan yang logis sehubungan dengan relevansi model-model tersebut. Jika model tersebut tidak membantu kita dalam memahami proses, struktur dan tingkah laku organisasi, maka mereka kurang


(37)

8.Masalah tingkat analisis

Kebanyakan model efektivitas hanya menggarap tingkat makro saja, membahas gejala keseluruhan organisasi dalam hubungannya dengan efektivitas tetap imengabaikan hubungan yang kritis antara tingkah laku individu dengan persoalan yang lebih besar yaitu keberhasilan organisasi. Jadi, hanya ada sedikit integrasi antar model makro dengan apayang dapat kita sebut model mikro dari karya dan efektivitas (Steers, 1980: 61-64 dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013).

2.2 Pengertian Program

Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di dalam setiap program dijelaskan mengenai:

1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.

2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.

3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. 4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

5. Strategi pelaksanaan.

Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebihmudah untuk diopersionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian program yangdiuraikan.

“A programme is collection of interrelated project designed to harmonize and integrated various action an activities for achieving averral policy abjectives”


(38)

dirancang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan secara integraft untuk mencapai sasaran kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan.

Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program.

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.

3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik (Jones, 1996:295 dalam jurnal Benni Susanto Kembara, 2010).

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang


(39)

kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. (Siagian,2012:165)

Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pengupayaan masyarakat yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang martabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan.(Bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152)

Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah mengembangkan kemampuan, kemandirian dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat dapat membangun diri dan lingkungannya secara mandiri dengan menciptakan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pembangunan. Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kewenangan secara proporsional kepada masyarakat untuk mengambil keputusan secara mandiri tentang program – program yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian pemerintah berperan sebagai fasilitator melalui pemberian bantuan, pembinaan/arahan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan ( 2015 pukul 22.50 WIB).

Dalam pemberdayaan, peran serta masyarakat diharapkan dapat terwujud bukan hanya dalam bentuk kerja bakti dan donasi, tetapi masyarakat juga harus diberi kesempatan untuk ikut serta dalam menemukan masalah-masalah serta


(40)

program yang disusun lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. pemberdayaan masyarakat dewasa ini bangkit menggeliat menuntut haknya yaitu hak berdaulat, hak berkuasa, hak berencana, hak melaksanakan, hak mengawasi dan menikmati hasil pembangunan.(Sulaeman, 2012:8)

Pembangunan masyarakat dengan pemberdayaan dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: (1) masyarakat yang produktif adalah masyarakat yang sehat, (2) proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa, (3) proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa bodoh, (4) proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis dan mandiri. (Sulaeman, 2012:7)

Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari iktiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas,dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan yang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasarkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153)

Pemikiran Smith tersebut secara keseluruhan sesuai dengan asas-asas kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial,


(41)

pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu saja program dari pihak lain atau pihak luar, tetapi dilibatkan dalam proses supaya mereka berubah. Meminjam prinsip pekerjaan sosial, dalam program pemberdayaan masyarakat, maka masyarakat sebagai kelompk sasar tidak diberi ikan, tetapi diberi pancing.

Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisian peluang dan masyarakat bersikap tanggap. Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk menacapi keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi ditanggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154).

2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial 2.4.1 Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti goverment yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula govermance yang menyeluruh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.

Banyak defenisi mengenai kebijakan publik. Sebagian ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan


(42)

dampak bagi kehidupan warganya. Kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever goverment choose to do or not to do.” Artinya kebijakan publik adalah “apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.” (Brigdman dan Davis, dalam Suharto, 2008:3)

Tidak berarti bahwa dalam kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.

Kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut (Hogwood dan Gunn, dalam Suharto, 2008:5):

1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.

2. Proposal tentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.

3. Kewenanangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. 4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan

sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.

5. Keluaran, yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah sebagai produk dari kegiatan tertentu.

6. Teori yang menjelaskan bahwa jika melakukan X maka diikuti oleh Y. 7. Proses yang panjang dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.


(43)

Brigdman dan Davis menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang salung bertautan, yakni:

1. Kebijakan publik sebagai tujuan

Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.

2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal

Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya. Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah dan legal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik.

3. Kebijakan publik sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan selalu memuat disinsetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu.

2.4.2 Kebijakan Sosial


(44)

bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Watts, Dalton dan Smith secara singkat kebijakan sosial menunjukkan pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (Suharto, 2008:10).

Kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori yakni:

1. Peraturan perundang-undangan yakni pemerintah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.

2. Program pelayanan sosial yakni sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial.

3. Sistem perpajakan yakni dikenal sebagai kebijakan fiskal, selaian sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupaka instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju bantuan publik dan asuransi sosial adalah dua bentuk jaminan sosial yang dananya sebagian berasal dari pajak. (Suharto, 2008:11)

Kebijakan sosial dan kebijakan publik yang penting dinegara-negara maju atau modern dan demokratis, semakin maju dan modern suatu negara maka semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial.


(45)

mendapat perhatian. Kebijakan sosial pada hakekatnya merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Dengan demikian makna dari kebijakan sosial adalah kebijakan publik, sedangkan pada makna sosial adalah menunjuk pada bidang-bidang atau sektor yang menjadi garapannya yaitu bidang kesejahteraan sosial.

Ada dua pendekatan dalam mendefenisikan kebijakan sosial sebagai sebuah kebijakan publik yaitu pendekatan pertama mendefenisikan kebijakan sosial sebagai seperangkat kebijakan negara yang dikembangkan untuk mengatasi masalah sosial melalui pemberian pelayanan sosial, dan jaminan sosial.

Pendekatan kedua mendefenisikan kebijakan sosial sebagai disiplin studi yang mempelajari kebijakan-kebijakan kesejateraan, perumusan dan konsekuensinya. Meskipun kedua pendekatan ini memiliki orientasi yang berbeda baik sebagai ketetapan pemerintah maupun sebagai bidang studi keduanya memiliki atau menekankan bahwa kebijakan sosial adalah salah satu kebijakan publik yang menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial (Spicker, Bregman dan Davis dalam Suharto, 2008:11-12).

2.5 Kemiskinan

Ditinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi atas masalah kemiskinan, dapat dikemukakan bahwa kemiskikan merupakan masalah pribadi, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. PBB sendiri memiliki agenda khusus sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan. Dalam Millenium Development Goals, institusi sejagat tersebut memiliki target tertentu


(46)

Demikian halnya dengan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui berbagai kementrian, dinas maupun badan memiliki berbagai program penanggulangan masalah kemiskinan.

Kemiskinan identik dengan suatu penyakit .Oleh karena itu, langkah pertama penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu masalah. Cara berpikir seperti ini mengikuti alur berpikir dalam manajemen perencanaan strategik. Secara manajemen, memahami suatu masalah berarti menapaki 50% jalan penyelesaian masalah tersebut. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskian sebagai suatu proses.

Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara, sebagai suatu proses kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok oarang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Secara umum istilah miskin atau kemiskinan dapat dengan mudah kita artikan sebagai suatu kondisi yang kurang atau minim. Dalam hal ini konsep kurang maupun minim dilihat secara komparatif antara kondisi nyata kehidupan pribadi atau sekelompok orang di satu pihak dengan kebutuhan pribadi atau sekelompok orang di lain pihak. Pengertian minim di sini bersifat relatif, dapat


(47)

berbeda dengan rentang waktu yang berbeda. Dapat pula berbeda dengan lingkungan yang berbeda. (Siagian, 2012:15).

Kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal dengan sumber daya manusia serta kelembagaan (Pearce, dalam Siagian 2012:7). Analisis kemiskinan seperti ini didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Dalam hal ini kemiskina itu merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang diantara berbagai elemen yang ada dalam ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Interaksi diantara berbagai elemen yang telah dikemukakan sesungguhnya menentukan kondisi kehidupan manusia dan masyarakat, karena interaksi tersebut menentukan corak, bagaimana daya dukung suatu wilayah bagi kehidupan manusai atau masyarakat yang hidup di sekitarmya.

Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan secara ketegoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu (Siagian, 2012:114-116):

1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi:

a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.


(48)

d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.

e. Sosial psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.

g. Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar

b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai aset dan alat memenuhi kebutuhan hidup.

c. Terbatasnya lapangan perkerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal.

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat.

g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural adjusment program)


(49)

i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana. j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin

2.6 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

2.6.1 Tujuan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

1) Tersedianya pelayanan perumahan yang layak huni bagi keluarga fakir miskin

2) Meningkatnya kemampuan keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsi keluarga untuk memberikan perlindungan, bimbingan, dan pendidikan keluarga.

3) Meningkatnya kualitas kesehatan lingkungan pemukiman keluarga miskin

4) Meningkatnya kualitas hidup masyarakat

5) Berkembangnya kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial 6) Meningkatnya kondisi perekonomian keluarga fakir miskin 7) Terentaskannya masalah kemiskinan

2.6.2 Kriteria Kepala Keluarga Penerima Bantuan RS-RTLH

Adapun kriteria yang harus dimiliki kepala keluarga penerima bantuan RS-RTLH adalah sebagai berikut:


(50)

2. Kepala keluarga /anggota keluarga tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiian;

3. Kehidupan sehari-hari masih memerlukan bantuan pangan untuk penduduk miskin seperti zakat dan raskin;

4. Tidak memiliki asset lain apabila dijual tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup anggota keluarga selama 3 bulan kecuali tanah dan rumah yang ditempati;

5. Memiliki rumah di atas tanah milik sendiri yang dibuktikan dengan sertifikat atau girik atau ada surat keterangan kepemilikan dari kelurahan /desa atas status tanah.

6. Rumah yang dimiliki dan ditempati adalah rumah tidak layak huni yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial, dengan kondisi sebagai berikut :

a. Tidak permanen dan / atau rusak;

b. Dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk, seperti : papan, ilalang, bamboo yang dianyam/gedeg, dsb;

c. Dinding dan atap sudah rusak sehingga membahayakan, mengganggu keselamatan penghuninya;

d. Lantai tanah/semen dalam kondisi rusak;

e. Diutamakan rumah tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci dan kakus.


(51)

a. Terletak pada lokasi RS-RTLH;

b. Merupakan fasilitas umum yang mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat terutama warga miskin;

c. Menjadi kebutuhan dan diusulkan oleh masyarakat; d. Legal dan tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial;

e. Masyarakat setempat bersedia untuk mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki seperti : lahan, tenaga dan material. 2.6.4 Kelompok Penerima Bantuan

Kepala Keluarga penerima bantuan dengan difasilitasi oleh Dinas Sosial Kab/Kota membentuk kelompok dengan anggota berjumlah 5 sampai dengan 10 KK. Tugas kelompok adalah :

a. Membentuk pengurus kelompok terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara;

b. Membuka rekening di Bank Pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara;

c. Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi; d. Menetapkan toko bangunan yang akan menjamin penyediaan

barang;

e. Mengusulkan pelaksana yang ahli dalam bidang bangunan (tukang);

f. Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp. 10.000.000,- setiap rumah untuk disetujui oleh Dinas SosialKab/Kota;


(52)

g. Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani

tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan

kegiatan RS-RTLH kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi dengan malampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan telah diselesaikannya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.5 Tim Pembangunan Sarling ( Sarana Prasana Lingkungan)

Dalam pelaksanaan pembangunan Sarling di RS-RTLH tim pembangunan sarling mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Menyusun pengurus Tim Sarling yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota;

b. Membuka rekening di bank pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara;

c. Menentukan jenis Sarling yang akan dibangun sesuai kebutuhan masyarakat;


(53)

f. Menunjuk tenaga ahli (tukang);

g. Melaksanakan pembangunan Sarling secara bergotong-royong; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani

tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan

kegiatan Sarling kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi, dengan melampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan selesainya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.6 Prosedur Pengusulan Kegiatan

Prosedur pengusulan penerima bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungfan adalah sebagai berikut :

a. Dinas Sosial Kab/Kota bersama TKSK/PSM/Karang Taruna/Orsos/Aparat desa/Kelurahan melakukan pendataan KK calon penerima RTLH;

b. Berdasarkan hasil pendataan tersebut, Dinas Sosial/Instansi Kab/Kota mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni ke Kementerian Sosial dengan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi dengan melampirkan data


(54)

lokasi, data calon penerima (by name by address) dan foto rumah;

c. Ditjen Pemberdayaan Sosial cq Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi lapangan;

d. Berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan lapangan Ditjen Pemberdayaan Sosial mengeluarkan SK Penerapan KK penerima bantuan RS-RTLH dan alokasi Sarling;

e. Nama penerima bantuan yang sudah ditetapkan dalam SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tidak dapat diganti.

2.6.7 Pelaksanaan Kegiatan 2.6.7.1Prinsip Pelaksanaan

Prinsip pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan sarling adalah:

a. Swakelola; Baik secara individu maupun kelompok sesuai pasal 39 dan lampiran I Bab III Keppres No.80 tahun 2003.

b. Kesetiakawanan; Dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang.

c. Keadilan; Menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan seimbang antara hak dan kewajiban.

d. Kemanfaatan; Dilaksanakan dengan memperhatikan kegunaan atau fungsi dari barang/ruang/kondisi yang diperbaiki atau diganti.


(55)

f. Kemitraan; Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan fakir miskin dan masyarakat pada umumnya dibutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak.

g. Keterbukaan; Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini berhak mendapatkan informasi yang benar dan bersedia menerima masukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan RS-RTLH.

h. Akuntabilitas; Berbagai sumber daya digunakan dengan penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif.

i. Partisipasi; Pelaksaan RS-RTLH dan Sarling dilaksanakan dengan melibatkan unsur masyarakat termasuk dunia usaha dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya.

j. Profesional; Dilaksanakan dengan menggunakan manajemen yang baik dan pendekatan /konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

k. Keberlanjutan; Dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

2.6.7.2 Tahapan Pelaksanaan Bantuan

a. Verifikasi proposal RS-RTLH dan Sarling;


(56)

calon penerima bantuan dan faktor lainnya yang akan mendukung keberhasilan kegiatan;

c. Sosialisasi

Sosialisasi dilaksanakan dalam rangka memperoleh kesamaan pemahaman dan gerak langkah setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan SarlingSasaran kegiatan sosialisasi mencakup :

1) Dinas/Instansi Sosial Provinsi;

2) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota; 3) Unsur Masyarakat;

4) Pendamping (TKSK).

d. Membangun dan mengembangkan komitmen untuk menyepakati berbagai sumber daya yang dapat dan akan dialokasikan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan program;

e. Penentuan lokasi dan calon penerima; f. Verifikasi Calon Penerima Bantuan;

g. Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling :

1) Melakukan penilaian dan menentukan bagian rumah yang akan diperbaiki;

2) Menetapkan prioritas bagian rumah yang akan diperbaiki berdasarkan pada fungsi dan ketersediaan dana dan sumber lainnya;


(57)

3) Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta besarnya biaya;

4) Melaksanakan pembelian bahan bangunan;

5) Melaksanakan kegiatan perbaikan rumah dan pembangunan Sarling;

6) Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling telah selesai selambat-lambatnya 100 hari setelah dana masuk ke rekening kelompok.

2.6.7.3Pelaporan

Pelaporan hasil pelaksanaan kegiatan oleh Dinas Sosial Kab/Kota kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, mencakup :

a. Laporan pertanggungjawaban keuangan dana operasional dan Sarling masing-masing Kab/Kota selambat-lambatnya akhir tahun anggaran;

b. Laporan pertanggungjawaban keuangan bantuan RS-RTLH masing-masing kelompok dan Sarling setelah selesai pelaksanaan pekerjaan;

c. Laporan hasil pelaksanaan kegiatan dengan melampirkan foto rumah dan Sarling dalam kondisi sebelum, proses dan hasil akhir kegiatan dengan disertakan surat pernyataan penyelesaian pekerjaan untuk kelompok, disampaikan selambat-lambatnya 14 hari setelah pekerjaan selesai.


(58)

• Kementrian Sosial • Dinas Sosial Provinsi • Jajaran Pemkot/Pemkab • Dinas Sosial Kota/Kabupaten • Dinas/Instansi/Lembaga terkait 2) Unsur Masyarakat

• Penerima Bantuan

• Tokoh Masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat • TKSK, PSM, Karang Taruna, Tagana

• WKSBM, FCU

• Organisasi Sosial / LSM 3) Dunia Usaha

2.6.7.5 Peran Pihak-Pihak Terkait 1. Kementrian Sosial

• Menyusun pedoman pelaksanaan Bedah Kampung • Menyiapkan anggaran Bedah kampung

• Melakssanakan penjajakan dan verifikasi ke lokasi calon penerima kegiatan

• Melaksanakn Koordinasi dengan pihak-pihak terkait • Menetapkan lokasi Bedah kampung berdasarkan usulan

daerah

• Menyalurkan bantuan Bedah Kampung


(59)

2. Provinsi

• Menerima usulan dari kab/kota data calon penerima bantuan RS-RLTH, Sarling, dan UEP KUBE serta memberikan rekomendasi

• Mengusulkan lokasi yang menjadi prioritas kegiatan • Menggali potensi dan sumber untuk mengoptimalkan

pelaksanaan bedah kampung

• Bersama dengan kementrian sosial RI melakukan penjajakan, pematuhan evaluasi

3. Kabupaten

• Melakukan pendataan/ menyiapkan mengajukan data lokasi bedah kampung dan data by name by addres calon kepala keluarga penerima kegiatan bantuan RS-RLTH, Sarling, dan UEP KUBE kepada kementrian sosial melalui dinas sosial provinsi

• Melibatkan TKSK untuk menggerakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Melakssakan sosial kegiatan bedah kampung kepada penerima bantuan pihak-pihak terkait wilayah kerjanya • Melaksanakan verifikasi calon penerima RS-RLTH,

Sarling, UEP KUBE dalam rangka bedah kampung • Membentuk kelompok penerima bantuan UEP KUBE


(60)

• Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Membuat/ menginformasikan rekening kelompok penerima bantuan dan menyiapkan rrekening untuk bantuan dana operasional untuk bantuan yang bersumber dari dana APBN

• Mengalokasikan dana untuk optimalisasi pelaksanaan bedah kampung

• Menggerakkan potensi sumber kesejahteraan sosial • Melaksanakan monitoring serta evaluasi

• Bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bedah kampung kepada kementrian sosial.

4. Pendamping (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan)

• Membantu membuat rencana usulan kebetuhan perbaikan rumah dan sarling dalam rangka bedah kampung

• Membantu monitoring pelaksanaan kegiatan bedah kampung

• Melaksanakan pendampingan terhadap KUBE

• Membantu memobilisasi massa dalam pelaksanaan bedah kampung


(61)

• Memberikan motivasi kepada masyarakat penerima bantuan

5. Penerima bantuan RS-RLTH

• Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi

• Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp 10.000.000 untuk disetujui dinas sosial Kab/kota

• Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok

6. Masyarakat

• Mengalokasikan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk keberhasilan kegiatan

• Melaksanakan penanggulangan dana dan sumber lainnya yang dibutuhkan

• Bersama kelompok dan tim pembangunan sarling melaksanakan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungan

• Melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan hasil kegiatan bedan kampung


(62)

2.6.8.1Penyaluran

a. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas penanggung jawab pengelola anggaran (nama dan alamat kantor, penanggung jawab program, nama bendahara pengeluaran, nomor rekening bank dan nomor pokok wajib pajak) ke Dit. PFM untuk dana operasional (tembusan disampaikan kepada Dinas/Instansi Sosial Provinsi);

b. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas dan nomor rekening Dinas Sosial yang sudah ada, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening Tim Sarling;

c. Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin mengajukan SPP-LS ke bagian keuangan Direktorat bJenderal Pemberdayaan Sosial dengan melampirkan SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tentang penetapan penerima bantuan serta nomor rekening Dinas Sosial Kb/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening tim Sarling untuk dibuatkan SPM-LS;

d. Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPM-LS ke KPPN dilampiri SK Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial tentang penerima bantuan RS-RTLH dan Sarling, serta dana operasional;

e. KPPN menerbitkan SP2D dan menyalurkan ke rekening Dinas Sosial Kab/Kota, rekening kelompok penerima bantuan


(63)

RS-f. Pencairan dana kegiatan RS-RTLH dari rekening kelompok

dapat dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi/persetujuan dari Dinas Sosial Kab/Kota.

2.6.8.2 Penggunaan Dana

a. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit rumah; Rp. 10.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.1

Rincian Penggunaan Dana Bantuan RS-RTLH

Uraian % Jumlah (Rp)

Pembelian bahan bangunan dan konsumsi 90 9.000.000,-

Biaya tukang 10 1.000.000,-

J u m l a h 100 10.000.000,-

b. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit Sarling;

Rp. 45.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.2

Rincian penggunaan Dana Bantuan sarling

Uraian % Jumlah (Rp)


(64)

Biaya tukang 10 4.500.000,-

J u m l a h 100 45.000.000,-

c. Jumlah dana untuk operasional kegiatan sebesar Rp. 12.500.000,- yang digunakan untuk:

• Sosialisasi

• Monitoring dan Evaluasi • Pelaporan

d. Apabila sampai dengan akhir tahun anggaran masih terdapat sisa dana operasional, maka Dinas Sosial kab/Kota harus segera menyetor ke kas Negara dengan blanko Surat Setoran Pengembalian Belanja, belanja barang non operasional lainnya dengan kode 521218 an. Direktorat PFM kode Satker 440207. e. Seluruh pajak dan penerima Negara bukan pajak dalam

pelaksanaan kegiatan dana operasional disetorkan ke kas Negara oleh pihak Dinas Sosial Kab/Kota sesuai peraturan perpajakan yang berlaku dengan menyampaikan bukti setoran pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin.


(65)

Sanksi hukum akan dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila :

a. Dinas Sosial selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana operasional tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya;

b. Kelompok penerima bantuan stimulan RS-RTLH selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana bantuan tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya;

c. Tim Sarling selaku pengelola dan penanggung jawab dana Sarling tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya. 2.6.10 Landasan Hukum

a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 (ayat 2), 28 Huruf H ayat 3, 33, 34 ayat 1dan 2

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tenteng Kesejahteraan Sosial

c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan fakir Miskin

d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan kesejahtraan sosial Bagi masyarakat Miskin

e. PP 33Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas pemerintahan antara pemerintah daerah, provinsi, dan pemerintah Kab/Kota.


(66)

Kesejahteran berasal dari kata “sejahtera”. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahasa Sansekreta “Catera” yang berarti Payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti “cartera” (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin. Sedangkan sosial berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan, teman, dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial adalah orang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungannya secara baik (Fahrudin,2012:8-9).

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat ( Friedlander dalam Fahrudin, 2012:9).

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kesejahteraan sosial merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosialnya.


(67)

Undang-undang No.06 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial ialah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan sosial, materiil ataupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tingi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Terdapat perbedaan yang signifikan pengertian kesejahteraan sosial dalam UU Nomor 6 Tahun 1974 dan UU Nomor 11 Tahun 2009. Perbedaan yang menyolok terletak pada cara pemenuhan kesejahteraan sosial di mana dalam UU Nomor 6 Tahun 1974 sangat tegas dinyatakan dengan tetap menunjang hak-hak asasi dan Pancasila, namun dalam UU No. 11 Tahun 2009 tidak dijelaskan dalam pengertian kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan sosial mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang harmonis dengan


(68)

2. Untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya, misalnya dengan menggali sumber-sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.

Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan terjadinya perubahan-perubahan sosio-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif akibat pembangunan serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat (Friedlander dan Apte dalam Fahrudin, 2012:12).

Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial tersebut antara lain: 1. Fungsi Pencegahan ( Preventive)

Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga, dan masyarakat supaya terhindar dari masalah-masalah sosial baru. Dalam masyarakat transisi, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu menciptakan pola-pola baru dalam hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru.

2. Fungsi Penyembuhan (Curative)

Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi ketidakmampuan fisik, emosional, dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungi kembali secara wajar dalam masyarakat. dalam fungsi ini tercakup juga fungsi pemulihan


(69)

3. Fungsi Pengembangan (Development)

Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung atau tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan tatanan dan sumber-sumber daya sosial dalam masyarakat.

2.7.1 Usaha Kesejahteraan Sosial

Usaha kesejahteraan sosial atau social welfare service pada umumnya hanya disebut sebagai pelayanan sosial atau social service. Cassidy seperti dikutip oleh Friedlander (1980) mengatakan “sebagai kegiatan-kegiatan terorganisasi yang terutama dan secara langsung berhubungan dengan pemeliharaan, perlindungan, dan penyempurnaan sumer-sumber manusia, dan kegiatan ini meliputi usaha-usaha asistensi sosial, asuransi sosial, kesejahteraan anak, pencegahan kriminalitas, kesehatan mental, kesehatan masyarakat, pendidikan, rekreasi, perlindungan buruh dan perumahan.

Dalam UU No. 06 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa “ Usaha Kesejahtraan sosial adalah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial. Sementara UU No. 11 Tahun 2009 dinyatakan usaha kesejahteraan sosial itu merupakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yaitu yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk


(70)

meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Dalam usaha kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial memegang peranan sentral yaitu sebagai “metha-institution” (Siporin dalam Fahrudin, 2012:16). Hal ini berarti bahwa dalam usaha kesejahteraan sosial, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat,baik langsung maupun tidak langsung, maka profesi pekerjaan sosial merupakan profesi utama di dalamnya.

Dalam pekerjaan sosial, pemberdayaan dirumuskan sebagai proses yang melibatkan pekerja sosial dalam sejumlah kegiatan dengan dengan klien atau sistem klien yang bertujuan untuk mengurangi ketidakberdayaan yang timbul karena penilaian negatif yang didasarkan atas keanggotaan dalam suatu kelompok yang dicap jelek (Barbara Solomon dalam Robbins et al., 1998). Pemberdayaan meliputi identifikasi atas hambatan-hambatan atau kekuatan yang menyebabkan ketidakberdayaan ataupun pengembangan dan implementasi strategi-strategi khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan ini.

Pemberdayaan mempunyai dimensi objektif dan subjektif. Aspek subjektif dari pemberdayaan adalah self-efficacy yang menunjukkan keyakinan bahwa seseorang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dan untuk mengatur peristiwa-peristiwa dalam kehidupan ( Bandura dalam Robbins et al., 1998). Self-efficacy harus dihubungkan dengan pengembangan kesadaran yang kritis yang membantu mengidentifikasi


(71)

kekuatan yang menekankan dan menghasilkan tindakan yang ditujukan untuk mengubah kondisi-kondisi sosial yang menekan atau menyebabkan ketidakberdayaaan.

Program Pemberdayaan Masyarakat merupakan salah satu usaha kesejahteraan sosial. Pemberdayaan masyarakat dengan berbagai aktivitas yang mengikutinya tidak menempatkan masyarakat sebagai penerima program dan bantuan, lalu dicemooh dan disindir karena dikatakan mempunyai mental subsidi dan terlalu bergantung kepada belas kasihan pihak yang berkuasa. Sebaliknya, konsep pemberdayaan masyarakat justru menempatkan secara sentral, dan kepentingan masyarakat senantiasa menjadi variabel utama dalam proses penyusunan unit-unit aktivitas yang akan dilaksanakan.

Beberapa program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan pemerintah antara lain yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri), Program Bantuan Langsung Tunai, Pemberdayaan Masyarakat melalui Progran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan juga Progam Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni.

Progam Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak merupakan salah satu program Kementrian Sosial yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan perumahan yang layak huni bagi keluarga fakir miskin dan


(1)

(2)

(3)

(4)

177


(5)

(6)