Ruang Lingkup Dakwah TINJAUAN TEORITIS
23
kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari pekerjaan yang munkar supaya mereka memperoleh kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
14
Dalam hal ini, pengertian yang diberikan oleh Quraish Shihab tentang dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha
mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.
15
Dari beberapa pendapat tokoh di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dakwah adalah penyampaian ajaran agama Islam yang bertujuan
agar orang lain melaksanakan ajaran agama dengan sepenuh hati. Dakwah Islam dapat dipandang sebagai proses dan peristiwa. Dakwah dikatakan
sebagai proses, karena dakwah merupakan usaha untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lebih baik dan sempurna menurut tolok
ukur Islam. Sedangkan dakwah sebagai peristiwa adalah aktualisasi iman manusia yang dimanifestasikan ke dalam suatu kegiatan dalam bidang
kemasyarakatan sebagai usaha mewujudkan ajaran Islam pada semua segi kehidupan manusia.
2. Unsur-unsur Dakwah Dakwah memiliki beberapa unsur yang saling terkait satu sama lain.
Unsur-unsur tersebut akan selalu ada disetiap kegiatan dakwah. Adapun unsur-
unsur dakwah meliputi: subjek dakwah da’i, objek dakwah mad’u, materi dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah.
14
KHA. Syamsuri Siddiq, Dakwah dan Teknik Berkhutbah, h.8
15
Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999, Cet. Ke-19, h. 191
24
a. Subjek Dakwah da’i
Orang yang melakukan dakwah disebut subjek dakwah. Istilah yang sering digunakan untuk orang yang melakukan dakwah subjek
dakwah adalah da’i. Da’i isim fail artinya orang yang menyeru. Tetapi karena proses memanggil atau menyeru tersebut juga
merupakan suatu proses penyampaian tabligh atas pesan-pesan tertentu maka pelakunya dikenal juga dengan istilah muballigh.
16
Di Indonesia orang yang berdakwah sela
in dipanggil dengan istilah da’i dan muballigh, juga digunakan istilah ustadz, ustadzah, kiyai, dan lain-
lain. Da’i sebagai subjek dakwah dapat dibedakan menjadi dua bagian,
pertama da’i dalam kriteria umum dan yang kedua da’i dalam kriteria khusus.Dalam pengertian umum, maka tiap-tiap pribadi muslim
menjadi da’i bagi dakwah islamiyah. Hal ini dapat dilihat
kesesuaiannya dengan Surat At-Taubah ayat 71:
16
Dra. Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer Yogyakarta: Mitra Pusaka, 2000, Cet. Ke-1 h. 2
25
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, pria dan wanita, bergotong
royong satu sam lain, menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang munkar, mendirikan shalat, membayar zakat, dan taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Kepada mereka itu Allah akan member rahmat, sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Dalam arti khusus, dakwah juga harus dilakukan oleh tenaga khusus yang memiliki spesifikasi dan profesional di bidangnya.
Sebagaimana dapat dipahami dari makna Surat Al Imran yang artinya: “Hendaklah ada dari kalanganmu sekelompok umat yang bertugas
dalam bidang dakwah, meyeru ke jalan kebaikan, menyuruh yang makruf, melarang yang munkar.”
17
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa da’i mengandung dua
pengertian: 1 Secara umum adalah setiap muslim yang berdakwah sebagai
kewajiban yang melekat tak terpisahkan dari missinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah “Ballighu anni walau
aya h” yang artinya sampaikanlah walau satu ayat.
2 Secara khusus adalah yang mereka yang mengambil keahlian khusus muthakassis dalam bidang dakwah Islam, dengan
kesungguhan luar biasa dan niat baik.
17
Ibid., h. 25
26
Dalam berdakwah seorang da’i harus memiliki akhlaqul karimah sebagaimana yang terkandung di dalam Al-
Qur’an dan Al- Sunnah, seperti jujur, ikhlas, sabar, rendah hati dan sebagainya
sebagaimana diwariskan oleh Rasulullah. Syekh al-Is
lam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ada tiga sifat yang diperlukan seorang da’i, pertama berilmu mengetahui
sebelum memerintah dan melarang, kedua besikap lembut dan ketiga sabar.
” b. Objek Dakwah
Dalam dakwah selain terdapat subjek dakwah ada juga yang dinamakan objek dakwah. Objek dakwah adalah orang yang menjadi
sasaran dalam berdakwah mad’u. Dalam menyampaikan dakwahnya
seorang da’i harus memperhatikan mad’u-nya agar pesan dakwah mudah diterima oleh
mad’u yang kemudian dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mad’u merupakan peserta dakwah, baik laki-laki atau perempuan, baik anak-anak atau orang dewasa, perorangan atau kolektif.
Mad’u bersifat heterogen, baik dari sudut ideologi, status sosial, kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain.
18
c. Materi dakwah Salah satu hal yang terpenting dalam dakwah adalah materi pesan
dakwah itu sendiri. Materi dakwah adalah isi dakwah yang akan
18
Ibid., h. 32
27
disampaikan oleh da’i kepada mad’u mengenai berbagai ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, sejarah Islam, dan lain sebagainya yang
bersumber kepada Al- Qur’an dan As-Sunnah agar mereka mengetahui,
memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari- hari.
d. Metode Dakwah Dari segi bahasa
metode berasal dari kata “meta” melalui dan “hodos” jalan, cara.
19
Jadi metode dakwah adalah suatu cara untuk mencapai tujuan dakwah yang efektif dan efisien.
Bentuk-bentuk metode dakwah terdapat di Al- Qur’an yang ada
dalam surat an-Nahl ayat 125:
Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguh-Nya Tuhanmu adalah yang Maha Mengetahui terhadap
orang-orang yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia mengetahui orang-
19
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, Cet. Ke-1, h. 61
28
orang yang diberi petunjuk.” Berdasarkan kandungan ayat di atas, terdapat tiga metode yang
dapat digunakan dalam berdakwah yaitu: bi al hikmah, mau’idzoh
hasanah, dan mujadalah. 1 Bi al hikmah
Kata bi al-hikmah mempunyai banyak pengertian dan lebih sering kali diterjemahkan dalam pengertian bijaksana, yaitu suatu
pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan, atas kemauan sendiri, tidak
merasa adanya paksaan, konflik maupun rasa tertekan.
20
Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasafi: bi al-hikmah ialah dakwah dengan menggunakan perkataan yang
benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan.
Dakwah bi al-hikmah yng berarti dakwah bijak, mempunyai makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi
mad’u. Hal ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis
sebagaimana tantangan
dan kebutuhan,
dengan selalu
memperhatikan tingkat kemampuan pemikiran dan intelektual, suasana psikologis dan sosial kultural
mad’u.
21
Dengan demikian dakwah bi al-hikmah yang merupakan metode dakwah bijak, akan selalu memperhatikan kondisi
mad’u
20
Siti Muriah, “Metodologi Dakwah Kontemporer”, Yogyakarta: Mitra Pusaka, 2000, Cet. Ke-1, h. 29
21
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Presfektif Al- Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h. 164
29
dalam hal: a Keadaan psikologis
mad’u yang menjadi objek dakwah b Kadar pemikiran, tingkat pendidikan, dan intelektualitas
mad’u c Suasana dan situasi sosial kultural
mad’u. 2 Mauidzah al Hasanah nasehat yang baik
Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa mauidzah al hasanah adalah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik diamana ia
dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkan, atau argumen- argumen yang memuaskan sehingga pihak
mad’u dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh
da’i.”
22
Siti Muri’ah berpendapat bahwa mau’idzah al hasanah adalah tutur kata, pendidikan dan nasehat yang baik. Nasehat yang baik
maksudnya adalah memberikan nasehat kepada orang lain dengan cara baik, berupa petunjuk-petunjuk kearah kebaikan dengan
bahasa yang baik, yang dapat mengubah hati, agar nasehat tersebut dapat diterima oleh
mad’u.
23
Penyampaian mau’idzah hasanah dapat dilakukan melalui
berbagai bentuk, antara lain: a Dalam bentuk menuturkan tentang kisah-kisah keadaan umat
masa lalu, baik yang taat menjalankan perintah Allah SWT, seperti Rasul, para sahabat Nabi, orang-orang shaleh, dan lain-
lainnya.
22
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, h. 121
23
Siti Muriah, “Metodologi Dakwah Kontemporer”, Yogyakarta: Mitra Pusaka, 2000, Cet. Ke-1, h. 43
30
b Dalam bentuk memberi peringatan atau mengabarkan berita gembira ancaman atau janji.
c Dalam bentuk melukiskan keadaan surga dan penghuninya serta keadaan neraka dan penghuninya.
d Dalam bentuk mengungkapkan perumpamaan-perumpamaan, mencari kesamaan-kesamaan. Misalnya, untuk meyakinkan
bahwa bumi, langit, dan isinya merupakan ciptaan Allah SWT, sebab tidaklah mungkin ada suatu ciptaan tanpa ada yang
menciptakannya.
24
Menurut Asep Muhiddin, dakwah mau’idzah hasanah perlu
memperhatikan faktor-faktor berikut: a Tutur kata yang lembut.
b Menghindari sikap sinis dan kasar. c Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap menghakimi
orang yang diajak bicara. Dari beberapa pernyataan di atas, dapat dimengerti bahwa
dakwah mau’idzah hasanah adalah yang paling mudah dilakukan dengan memberi nasehat-nasehat yang baik dengan penyampaian
menggunakan tutur kata yang lembut sehingga lebih mudah dipahami oleh
mad’u. 3 Mujadalah berdiskusi dengan cara yang baik
Metode dakwah yang ketiga ini juga disebutkan dalam Al-
24
Mansyur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997, Cet. Ke-1, h. 26-29
31
Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yakni wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan. Metode ini merupakan upaya dakwah melalui jalan
bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang baik, sopan santun, saling menghargai dan tidak arogan.
25
Mujadalah berarti berdiskusi dengan cara yang paling baik dari cara-cara berdiskusi yang ada. Cara ini biasanya dilakukan untuk
manghadapi mad’u yang bersifat kaku dan keras, sehingga ia
mungkin mendebat, membantah dan lain sebagainya. Mujadalah adalah cara terakhir yang digunakan dalam berdakwah, manakala
dua cara sebelumnya tidak mampu. Biasanya cara ini digunakan untuk orang-orang yng taraf berpikirnya maju dan kritis.
26
Dakwah dengan cara mujadalah ini hendaklah dilakukan dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang
berdiskusi, kemudian dibahas masalah-masalah perbedaan dari kedua belah pihak. Dengan demikian, kedua belah pihak akan lebih
saling menghargai. Dan juga tidak saling menjelek-jelekkan atau merendahkan pihak lawan karena tujuan berdiskusi hanya untuk
mencari kebenaran sesuai dengan ajaran Allah SWT. e. Media Dakwah
Media berarti perantara yang berasal dari bahasa Yunani “media” jamaknya “median”. Adapun menurut istilah adalah segala sesuatu
25
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Presfektif Al- Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h. 167
26
Siti Muriah, “Metodologi Dakwah Kontemporer”, Yogyakarta: Mitra Pusaka, 2000,
Cet. Ke-1, h. 48-49
32
yang dapat dijadikan alat atau perantara untuk mencapai tujuan tertentu.
27
Hamzah Ya ’qub mengartian media sebagai alat objektif yang
menjadi saluran yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah.
Antara metode dengan media dakwah sangatlah berkaitan erat, karena apapun metode yang dilakukan pastilah di dalamnya
membutuhkan media sebagai alat perantara. Media dakwah menjadi lima golongan besar, yaitu:
1 Lisan, seperti khutbah, pidato, ceramah, diskusi, dan lain-lain. 2 Tulisan, seperti buku, majalah, koran, dan lain-lain.
3 Lukisan, seperti gambar hasil seni lukis, foto, dan lain-lain. 4 Audio visual, seperti televisi, wayang, dan lain-lain.
5 Perilaku atau suri tauladan, berbuat baik, menjenguk orang yang sakit, menolong sesama, dan lain-lain.
28
f. Tujuan Dakwah Tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang ingin
dicapai atau diperoleh keseluruhan tindakan dakwah. Untuk tercapainya tujuan utama inilah, penyusunan semua rencana dan
tindakan dakwah harus ditujukan dan diarahkan. Tujuan utama dakwah sebagaimana telah dirumuskan ketika
memberikan pengertian tentang dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang
27
Asmuni Syukri, Dasar-Dasar Strategi Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, h. 163
28
Hamzah Ya’qub, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung: Diponegoro, 1981, h. 47
33
diridhai Allah SWT.
29
Jadi, dengan tercapainya tujuan dakwah kita mempunyai kepribadian muslim yang kuat sehingga kita bisa mendapatkan
kehidupan bahagia yang diridhai Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat.
29
Abdul Rosyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h. 21- 27
34