Sejarah Ka’bah dan Menghadap Kiblat

23 lokasi sumur zam-zam maupun baitullah itu ditunjukkan oleh Malaikat Jibril atas perintah Allah. 31 Setelah Nabi Ismail as wafa t, pemeliharaan Ka’bah dipegang oleh keturunannya, lalu Bani Jurhum, dan Bani Khuza’ah yang memperkenalkan penyembahan berhala. Selanjutnya pemeliharaan Ka’bah dipegang oleh kabilah -kabilah Quraisy yang merupakan generasi penerus garis keturunan Nabi Ismai l as. Menjelang kedatangan Islam, Ka’bah dipelihara oleh Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad Saw. Ia menghiasi pintunya dengan emas yang ditemukan ketika menggali sumur zam -zam. 32 Dikala kaum muslimin mengerjakan shalat fardhu atau sunnah, dimana saja mereka berada semua menghadap ke arah yang satu, inilah yang dinamakan kiblat. 33 Semula umat Islam shalat dengan Baitulmakdis di Palestina sebagai kiblat, namun setelah datang perintah Allah untuk mengalihkan kiblat ke Baitullah di Mekah, maka berpindahlah kiblat umat Islam sejak turunnya ayat untuk berkiblat ke Ka’bah . 34 Pada masa masih di Mekkah atau sebelum hijrah ke Madinah Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin dalam shalatnya menghadap ke Baitullah. Setelah hijrah ke Madinah kiblat dipindahkan ke arah Baitulma kdis di Yerussalem. Perpindahan arah kiblat ini dengan tujuan agar kaum Yahudi Bani Israil bisa tertarik kepada ajaran 31 Agus Mustofa, Pusaran Energi Ka’bah, h. 94 32 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, h. 137 33 H. Fachruddin Hs., Ensiklopedia Al Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, h. 608 -609 34 “Kiblat”, dalam Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia , Jakarta: Djambatan, 1992, h. 563 24 Nabi Muhammad SAW, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini mereka manfaatkan untuk melecehkan risalah beliau dengan berkata, “Muhammad menginginkan tempat kelahirannya, dan tak berapa lama lagi dia akan kembali menganut agama kaumnya”. 35 Ibnu Katsir w.774 H1373 M; mufasir di dalam kitabnya, Tafsir Al Qur’an al - Azim Tafsri Al-Qur’an yang Agung menceritakan bahwa setelah hijra h ke Madinah, Nabi SAW bersama kaum muslimin diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkiblat ke sebuah batu cadas sakhrah di Baitulmakdis, Yerusalem. Hal itu membuat orang Yahudi yang merupakan mayoritas penduduk Madinah merasa bangga karena di dalam beribadah mereka berkiblat ke sana. Sementara itu, Nabi SAW sangat ingin berkiblat ke Ka’bah, masjidilharam, sehingga sering berdo’a kepada Allah SWT agar mengabulkan keinginannya itu. Pada tahun ke-2 H, setelah Nabi SAW berkiblat ke Baitulmakdis selama lebih k urang enam belas bulan, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi SAW untuk berkiblat ke Masjidilharam dengan firman -Nya dalam surat Al Baqarah ayat 144, seperti yang dikemukankan di atas. Perintah itu turun ketika Nabi SAW bersama sebagian kaum muslimin baru saja melaksanakan dua rakaat dari shalat dzuhur di Masjid Bani Salamah. Pada dua rakaat pertama Nabi SAW berkiblat ke Baitulmakdis, kemudian 35 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah-Al-An’am, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000 cet 1, h. 29 25 pada rakaat kedua berkiblat ke Masjidilharam, sehingga Masjid Bani Salamah disebut dengan Masjid Qiblatain Masjid Du a Kiblat. 36

C. Ketepatan Menghadap Kiblat dalam Shalat

Shalat adalah pekerjaan hamba yang beriman dalam situasi menghadapkan wajah dan sukmanya kepada Zat Yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinu, menjadi alat pendidikan r ohani manusia yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran bukan dengan paksaan dan tekanan apa pun, berarti sebanyak itu rohani dan jasmani dilatih berhadapan denga n Zat Yang Maha Suci. 37 Namun dalam menjalankan perintah shalat tersebut harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan syari’, yang diantaranya adalah menghadap kiblat. Tidak ada perbedaan dikalangan ulama bahwa keharusan menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. 38 Semua ulama mazhab sepakat bahwa Ka’bah itu adalah kiblat bagi orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya. Hanafi, Hambali, dan s ebagian 36 Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azim. “Kiblat”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol.1 Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 946 37 Nazaruddin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1973, h. 233 38 Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1998, h. 25 26 kelompok dari Imanmiyah berpedapat bahwa kiblatnya orang yang jauh adalah arah di mana letaknya Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri. Sedangkan Syafi’i dan sebagian kelompok dari Imamiyah berpendapat wajib menghadap Ka’bah itu sendiri, baik bagi orang yang dekat maupun bagi orang yang jauh. Kalau dapat mengetahui arah Ka’bah itu sendiri secara pasti tepat, maka ia harus menghadap ke arah tersebut. Tapi bila tidak, maka cukup dengan perkiraan saja. 39 Menurut madzhab Hanafi orang yang shalat tida k lepas dari dua keadaan; a mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat atau b melakukan shalat tetapi tidak mampu untuk menghadap kiblat. Jika ia mampu melakukannya, maka ia wajib shalat dengan menghadap kiblat. Jika ia termasuk orang yang da pat melihat Ka’bah, maka kiblatnya adalah bangunan Ka’bah ‘ain al-ka’bah tersebut, yaitu dari arah mana saja ia melihatnya. Sehingga, seandainya ia melenceng dari bangunan Ka’bah, tanpa menghadap pada salah satu bagian banguann Ka’bah, maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:        .. ةﺮﻘﺒﻟا 2 : 150 “...Dan dimana saja kamu sekalian berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Ka’bah…” Q.S Al Baqarah2 : 150 Jika ia tidak melihat Ka’bah, maka ia wajib menghadap ke arahnya jihat al- ka’bah, yakni kepada dinding -dinding mihrab tempat shalatnya yang dibangun dengan tanda-tanda yang menunjuk pada arah Ka’bah, bukan menghadap kepada 39 Muhammad Jawad Mughniyah , Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: Lentera, 1999, h. 77 27 bangunan Ka’bah. Dengan demikian, kiblatnya ada lah arah Ka’bah bukan bangunan Ka’bah. 40 Dalam madzhab Syafi’i terdapat dua pendapat tentang masalah ini pertama, menghadap ke bangunan Ka’bah ‘ain al-ka’bah, dan kedua, menghadap ke arah Ka’bah jihat al-ka’bah. Sebagian madzhab Syafi’i berpendapat ba hwa orang yang dekat ataupun jauh dari Ka’bah diwajibkan menghadap ‘ain Ka’bah bangunan Ka’bah atau udaranya yang bersambung lurus dengannya. Akan tetapi bagi yang dekat diwajibkan untuk menghadap ‘ain Ka’bah atau udaranya itu dengan yakin, misalnya de ngan cara melihat atau menyentuhnya dan lain sebagainya yang dapat memberikan suatu keyakinan. Sedangkan yang jauh dari Ka’bah maka hendaknya ia menghadap ‘ain Ka’bah secara dzan dugaan kuat, bukan hanya sekedar menghadap ke arahnya, berdasarkan pendapat yang mu’tamad kuat. 41 Adapun dalil menurut Al Qur’an yaitu zhahirnya firman Allah :       ... ةﺮﻘﺒﻟا 2 : 144 “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram..” Q.S Al Baqarah2 : 144 Sedang bentuk pengambil an dalil istidlal mereka itu adalah bahwa yang dimaksud “syathr” yaitu arah yang tepat bagi orang yang sedang shalat dan mengena 40 Ali Mustafa Yaqub, Kiblat Antara Bangunan dan Arah Ka’bah, Jakarta: Pustaka Darus - Sunnah, 2010, h. 18-19 41 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, tt: Daarul Ulum Press, 1996, h. 42