sebanyak 2.783 orang atau sebesar 16 yang tidak tamat SD. Sedangkan tingkat pendidikan tertinggi yang paling banyak dimiliki penduduk Desa Grinting adalah
lulusan SD yaitu 6.504 orang atau sebesar 38. Selain itu, dilihat dari jenis mata pencahariannya penduduk Desa Ginting didominasi oleh buruh tani sebanyak
4.339 orang atau sebesar 40 serta petani dan peternak sebanyak 2.883 orang atau sebesar 27 Gambar 9 dan 10.
Gambar 9. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 10. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan mata pencaharian
4.1.3 Perekonomian
Kegiatan perekonomian yang ada di Desa Grinting adalah industri sedang 12 buah, industri kecil 6 buah dan industri rumah tangga 14 buah. Selain itu
terdapat kegiatan perekonomian lainnya yang berupa pertanian, perikanan tambak, peternakan, perdagangan dan lain-lain.
Berdasarkan data di atas, jumlah penduduk Desa Grinting didominasi oleh buruh tani dan petani atau peternak. Maka kegiatan usaha tani sebagian besar
adalah lahan pertanian dengan berbagai jenis tanaman. Tanaman yang terdapat di Desa Grinting dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tanaman primer dan
sekunder. Tanaman primer sebagian besar berupa bawang merah dengan luas tanaman sebesar 13,105 hektar. Sayuran dengan luas tanaman 1,050 hektar, buah-
buahan 0,75 hektar, ketela pohon 0,420 hektar dan jagung 0,370 hekar. Sedangkan tanaman sekunder hanya berupa tanaman kelapa, dengan jumlah 772 pohon dan
jumlah produksinya sebanyak 10.057 buah kelapa. Sementara kegiatan pertambakan merupakan usaha tani utama di daerah tersebut, mengingat luas
lahan pertambakan merupakan yang terbesar yaitu mencapai 40,59 dari luas total wilayah desa.
4.1.4 Status Pengelolaan Tambak dan Mangrove di Desa Grinting
Pada awalnya produksi perikanan budidaya masyarakat Desa Grinting didominasi oleh komoditas ikan bandeng, dengan pencapaian produksi rata-rata
sekitar 3-5 kuwintal per hektar. Kemudian sekitar tahun 1984-1986 masyarakat Desa Grinting diperkenalkan dengan jenis komoditas udang windu. Saat itu terjadi
pencapaian produksi budidaya udang windu yang sangat pesat, baik melalui pola semi intensif maupun tradisional. Sehingga pada masa itu pencapaian produksi
udang windu sangat mengesankan dan mengalami blooming dengan produksi rata- rata sebesar 1 ton per hektar melalui pola semi intensif pada tahun pertama.
Kemudian seiring berjalannya waktu produksi udang windu mengalami penurunan, yaitu pada tahun 1988 didapat hasil rata-rata sebesar 7,5 kuwintal per
hektar dan pada tahun 1989 hanya didapat produksi rata-rata sebesar 3 kuwintal per hektar. Hingga akhirnya pada tahun 1990 produksi budidaya udang windu
mengalami gagal panen. Menurut masyarakat sekitar hal ini disinyalir oleh adanya pencemaran
yang disebabkan oleh pemaikaian obat-obatan dan juga kegiatan budidaya yang melupakan kaidah-kaidah daya dukung lingkungan sehingga mengakibatkan
penurunan kualitas tanah pertambakan. Hal ini membuat para petani tambak resah dan beralih kembali pada komoditas ikan bandeng, namun hasil yang diperoleh
ternyata ikan bandeng yang dibudiayakan tidak dapat mencapai ukuran yang diinginkan. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk menangani kendala
tersebut, agar kondisi lingkungan di sekitar menjadi subur kembali. Pada tahun 1992, masyarakat melakukan kerja sama dengan Pemerintah
Daerah melakukan berbagai kegiatan guna menanggulangi berbagai kendala tersebut. Kegiatan yang dilakukan adalah rehabilitasi lingkungan dengan
penghijauan. Ada dua sasaran utama kegiatan, yaitu rehabilitasi lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat dan rahabilitasi kawasan tambak
menjadi tambak wanamina atau tumpangsari. Pola tambak tumpangsari merupakan kombinasi antara tambak dengan kegiatan konservasi hutan mangrove.
Sistem tambak tumpangsari pada prinsipnya bertujuan untuk perlindungan terhadap vegetasi mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan.
Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan bersama masyarakat melakukan kegiatan penanaman vegetasi
mangrove. Target awal penanaman vegetasi mangrove yaitu berada pada pesisir pantai, sungai, saluran air dan pelataran tambak. Namun hingga saat ini masih
terdapat pro dan kontra mengenai keberadaan mangrove dipelataran tambak. Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman terkait dengan
ekosistem mangrove. Sedangkan penanaman vegetasi mangrove di pesisir pantai hingga saat ini masih belum berhasil dan mangalami kendala.
Pada dasarnya bentuk sistem tumpangsari akan bervariasi menurut keadaan lokasi yang direhabilitasi. Dalam hal ini vegetasi mangrove ditanam di
bagian tepi tambak atau tanggul. Pada mulanya posisi penanaman pohon mangrove dilakukan di tepi tambak dan di tengah, namun seiring berjalannya
waktu keberadaan pohon mangrove yang berada di tengah tambak sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan adanya keluhan dari para pemilik tambak yang
mengalami kendala ketika panen. Sehingga kondisi vegetasi mangrove yang ada saat ini terdapat pada tepian tambak atau tanggul, di sepanjang sungai dan saluran
air. Berikut merupakan bentuk dan gambaran ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba,
Kabupaten Brebes Gambar 11 dan 12.
Gambar 11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting
Gambar 12. Kondisi vegetasi mengrove di areal pertambakan
Untuk menjaga keberadaan ekosistem mangrove agar tetap terjaga maka diperlukan suatu pengelolaan. Pemerintah daerah beserta instansi terkait dan
masyarakat setempat harus terlibat dalam upaya tersebut agar keberhasilan dapat dicapai. Karena keberhasilan atau kegagalan dari suatu kegiatan sangat
dipengaruhi oleh keterlibatan dari seluruh stakeholder yang ada khususnya masyarakat setempat. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan adalah
dengan dibentuknya kelompok Tani Hutan KTH, yang terbentuk pada tahun
2007 dibawah binaan Dinas Kehutanan dengan nama Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan SPKP Desa Grinting.
Kelompok Tani Hutan ini sebagian besar beranggotakan para pemilik tambak. Tujuan utama dibentuknya Kelompok Tani Hutan ini adalah untuk
melestarikan ekosistem hutan mangrove di kawasan pertambakan. Selain itu juga dengan dibentuknya kelompok tersebut diharapkan dapat menciptakan penyuluh-
penyuluh swadaya mengenai ekosistem mangrove dan dapat mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menghijaukannya. Kegiatan yang
dilakukan oleh kelompok tersebut hingga kini diantaranya adalah penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh lapang dari Dinas Kehutanan, pengawasan terhadap
ekosistem mangrove dari penebang liar, pembuatan papan larangan yang berkaitan terhadap ekosistem mangrove dan lain sebagainya Lampiran 7.
Kemudian seiring berjalannya waktu kelompok tersebut bersama Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Lembaga Hukum Polsek
mengeluarkan suatu peraturan desa yang berkaitan dengan kelestarian ekosistem mangrove, yaitu Peraturan Desa Perdes No.III012007. Perdes tersebut
mengacu pada Undang-Undang UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sehingga dalam pelaksanaannya
hingga kini diharapkan kelompok tersebut mampu memperlihatkan kemajuan dan keberhasilan dalam upaya pelestarian lingkungan khususnya terhadap keberadaan
ekosistem mangrove. Skema struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan KTH SPKP Desa Grinting dapat dilihat pada Gambar 13.
Ketua BPD Kepala Desa
Penyuluh kehutanan Ketua
LPMD Wakil Ketua
Sekertaris Bendahara
Bidang Bidang
Bidang Bidang
Bidang Penyuluhan
Kerjasama Bina usaha Keamanan Pariwisata
Gambar 13. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan KTH Desa Grinting
4.2 Hasil