Penetuan luasan kawasan tersebut dibantu dengan menggunakan software Arc View GIS 3.2 terhadap citra landsat Kabupaten Brebes tahun 2008.
Berdasarkan Gambar 20, peningkatan luasan mangrove akan diikuti oleh peningkatan produksi ikan nonbudidaya. Sementara peningkatan kegiatan
budidaya untuk meningkatkan produksi dapat menyebabkan terjadinya tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga luas mangrove akan berkurang. Gambar
tersebut mencoba memberikan ilustrasi mengenai luas mangrove yang optimum bagi kegiatan perikanan pesisir baik budidaya maupun nonbudidaya. Terlihat
bahwa luas mangrove sekitar kurang lebih 4 hektar merupakan kondisi mangrove yang baik untuk menghasilkan produksi ikan secara optimum.
Gambar 20. Hubungan keberadaan mangrove terhadap produksi ikan
4.3 Pembahasan
4.3.1 Kondisi mangrove dan perikanan
Kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Desa Grinting sebagian besar didominasi oleh vegetasi mangrove jenis Rhizophora
mucronata Lamk dari suku Rhizophoraceae. Selain itu terdapat juga vegetasi mangrove jenis Avicennia marina Forsk dari suku Avicenniaceae dan Acanthus
ilicifolius Lamk dari suku Acanthaceae namun dalam jumlah yang relatif sedikit. Data vegetasi mangrove yang dikumpulkan adalah jenis mangrove yang
mendominasi di daerah tersebut, yaitu dari jenis Rhizophora mucronata. Berdasarkan uji statistik F yang dilakukan, diperoleh nilai F
hitung
sebesar 13 dan
F
tabel
sebesar 5,14 F
hitung
F
tabel
. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa jumlah tegakan mangrove memiliki perbedaan yang nyata di tiap Kanal Lampiran 10.
Berdasarkan Gambar 14, vegetasi mangrove pada tingkat pohon, anakan dan semai tertinggi terdapat pada Kanal II. Sementara mangrove tingkat pohon
terendah dijumpai pada Kanal III, sedangkan mangrove tingkat anakan dan semai terendah dijumpai pada Kanal I. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi
terhadap perbedaan luasan mangrove pada Kanal tersebut. Berdasarkan Tabel 2, kondisi pada Kanal II memiliki luas mangrove tertinggi sebesar 4,566 hektar.
Sedangkan Kanal III memiliki luas mangrove terendah sebesar 3,329 hektar. Luasan mangrove tersebut diperoleh dari analisis Arc View terhadap citra landsat
mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008, yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes.
Kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh vegetasi jenis R. mucronata. Secara umum ekosistem mangrove memperlihatkan adanya
pola zonasi yang berkaitan erat dengan tipe tanah, keterbukaan, salinitas serta pengaruh pasang surut. Tipe tanah dengan substrat berlumpur sangat baik untuk
tegakan R. mucronata dan diduga tekstur tanah di lokasi penelitian merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembanagan tegakan R. mucronata.
Selain itu R. mucronata mampu tumbuh pada salinitas yang tinggi hingga 55‰
Noor, et al., 1999. Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah
Suryawan, 2007. Gunawan dan Anwar 2005 menambahkan, perbedaan kondisi hutan
mangrove pada tiap lokasi dapat disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman, gangguan ternak, gangguan manusia, tingkat kesuburan serta kesesuaian tempat
tumbuh. Akan tetapi keberadaan mangrove di Desa Grinting diduga lebih didominasi oleh pengaruh gangguan manusia. Tidak bisa dihindrai bahwa tiap
kalangan masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda terhadap ekosistem mangrove. Hal ini diindikasikan akibat adanya faktor pemahaman yang rendah
dari masyarakat terhadap peran dan manfaat keberadaan mangrove. Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh Fakur 2008 yang juga dilakukan di Desa
Grinting, faktor tingkat pendidikan dan pemberian bantuan sarana insentif sangat
mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi dan keberadaan hutan mangrove di Desa Grinting.
Selain itu gambaran umum lokasi penelitian merupakan kawasan pertambakan yang berasal dari tanah timbul, yang kemudian dilakukan kegiatan
penghijauan dengan menanam pohon mangrove, meskipun tanah timbul yang terdapat di pesisir pantai sebenarnya merupakan habitat bagi tumbuh kembang
vegetasi mangrove. Akan tetapi, ternyata tidak semua pemilik tambak di kawasan tersebut terlibat terhadap kegiatan tersebut. Sebagian para pemilik tambak
menolak keberadaan mangrove di areal atau pelataran tambak mereka, karena dirasa akan mengganggu kegiatan budidaya. Sehingga upaya yang dapat
dilakukan adalah rehabilitasi beberapa areal tambak untuk kegiatan wanamina dan lahan-lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat. Hal tersebutlah
yang diduga mengakibatkan adanya perbedaan kondisi mangrove pada lokasi penelitian.
Padahal tidak bisa dipungkuri bahwa ekosistem mangrove memberikan manfaat dan potensi yang besar bagi kegiatan perikanan pesisir. Beberapa
penelitian lain telah dilakukan terkait fungsi atau manfaat keberadaan mangrove yang penting bagi sumberdaya ikan pesisir, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Keberadaan mangrove disinyalir dapat meningkatkan produktifitas lingkungan sekitarnya, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap
peningkatan produksi ikan pesisir. Perikanan pesisir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perikanan budidaya dan perikanan nonbudidaya. Terkait
dengan perikanan budidaya, dalam perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk kegiatan perikanan budidaya yaitu pembukaan lahan mangrove
untuk dijadikan areal pertambakan. Kegiatan budidaya tambak di Desa Grinting pada awalnya berasal dari
tanah timbul di pesisir pantai, yang kemudian dilakukan kegiatan pemetakan dan pembuatan tambak. Sebagian besar tambak didominasi oleh komoditi bandeng
dan pada tiap Kanal kondisi tambak memiliki pola pengelolaan yang berbeda- beda, yaitu ada tambak yang dikelola secara tradisional dan ada tambak yang
dikelola secara semi intensif. Berdasarkan data hasil penelitian produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi berada kawasan tambak di Kanal III sebesar 232,67
kghamusim, sedangkan yang terendah berada pada kawasan tambak di Kanal II sebesar 183,33 kghamusim. Namun berdasarkan uji statistik F yang dilakukan,
diperoleh nilai F
hitung
sebesar 0,52 sedangkan F
tabel
sebesar 5,14 F
hitung
F
tabel
, yang berarti bahwa hasil produksi ikan budidaya tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata pada tiap Kanal Lampiran 11. Selain produksi budidaya, dalam kawasan mangrove di Desa Grinting
diperoleh juga produksi ikan nonbudidaya tangkapan. Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan pada pintu air tambak dengan dipasang bubu atau
langsung ditangkap oleh nelayan disekitar Kanal dengan menggunakan jaring. Berbeda halnya dengan produksi ikan budidaya, hasil uji statistik F yang
dilakukan memberikan nilai F
hitung
sebesar 9,61 sedangkan F
tabel
sebesar 4,26 F
hitung
F
tabel
, yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap produksi tangkapan pada tiap Kanal Lampiran 11. Produksi tangkapan terbesar
terdapat pada Kanal II dengan rata-rata produksi sebesar 3,99 kghari dan produksi terendah terdapat pada Kanal III dengan rata-rata produksi sebesar 1,94
kghari. Namun ada satu faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pasang surut air laut. Karena sumberdaya ikan yang berada di daerah mangrove
merupakan ikan yang terbawa oleh arus saat pasang dan kembali ke laut saat air surut.
Melihat perbedaan antara produksi ikan budidaya dan nonbudidaya tiap Kanal yang memiliki kondisi mangrove yang berbeda mengindikasikan bahwa
terdapat suatu hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan baik budidaya maupun nonbudidaya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada lokasi yang
terdapat mangrove dengan kondisi yang berbeda, mengindikasikan adanya perbedaan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap produktifitas
lingkungan sekitar. Produktifitas kawasan pesisir tersebut khususnya lingkungan perairan, tentunya akan memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya
ikan di lingkungan tersebut. Berdasarkan Gambar 19 dan hasil uji statistik, produksi ikan nonbudidaya
memperlihatkan kondisi yang berbeda nyata pada tiap Kanal dan memiliki korelasi positif terhadap keberadaan mangrove. Produksi ikan nonbudidaya
tertinggi berada pada Kanal II dengan luasan mangrove tertinggi dan produksi
terendah berada pada Kanal III yang memiliki luasan mangrove terendah. Hal ini menggambarkan hubungan berbanding lurus, dimana produksi meningkat seiring
peningkatan ukuran dari mangrove. Melihat kondisi tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan di tiap Kanal
memiliki tingkat kesuburan yang berbeda. Berdasarkan beberapa studi pustaka yang dilakukan, perairan yang ditumbuhi pohon mangrove memiliki kesuburan
yang tinggi karena banyaknya bahan organik yang dihasilkan. Bahan organik berasal dari serasah pohon mangrove yang jatuh ke perairan dan mengalami
perombakan. Substansi organik tersebut merupakan sumber unsur hara nutrien yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Sementara
kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton Nontji, 1984 in Zuna,
1998, yang kemudian menjadi landasan penting bagi produksi perikanan di sekitarnya.
Produksi ikan nonbudidaya dalam hal ini adalah jenis udang api-api Metapenaeus spp memiliki kelimpahan yang tinggi di lokasi yang subur dengan
ukuran mangrove yang tinggi yaitu pada Kanal II. Diduga daerah perairan yang memiliki mangrove yang baik menyediakan tempat bernaung serta menyedikan
bahan makanan yang melimpah bagi larva ikan maupun udang. Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi
udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove.
Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan
produksi udang tersebut Martosubroto Naamin, 1977. Hal ini dapat dijelaskan pula oleh kandungan klorofil-a dan oksigen
terlarut DO yang tinggi pada lokasi tersebut Kanal II. Kandungan klorofil-a dapat menggambarkan besarnya biomasa fioplankton dan hanya fitoplankton yang
memiliki klorofi-a, sementara fitoplankton merupakan mata rantai pertama dalam rantai makanan. Sehingga keberadaan fitoplankton sangat berpengaruh terhadap
kelimpahan populasi hewan yang ada di perairan sekitarnya Nur, 2002 dan
semakin tinggi biomasa fitoplankton akan semakin tinggi kandungan oksigen terlarut DO dalam perairan karena proses fotosintesis yang dilakukannya.
Menurut Soeroyo 1987, keberadaan udang di daerah mangrove disebabkan banyaknya ketersediaan pakan. Keberadaan udang tersebut tidak
terlepas kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton. Karena dalam siklus hidupnya udang memiliki hubungan terhadap keberadaan fitoplankton yang juga melimpah
di Kanal II yaitu sebagai pakan alami. Menurut Suyanto dan Mujiman 2003, bahwa Diatomae dan Dinoflagellatae merupakan makanan bagi udang pada saat
stadium zoea, kemudian pada stadium mysis udang memakan plankton dari jenis Protozoa, Rotifera, Balanus dan Copepoda. Dan fitoplankton dari jenis
Cyanophyceae merupakan makanan yang baik bagi larva udang. Rathod dan Kusuma 2006 menambahkan, Dinoflagellata dan diatom
merupakan makanan yang penting bagi udang khususnya dari jenis Metapenaeus sp. Kemudian Primavera dan Lebata 1995 juga menambahkan bahwa
lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang. Kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak, hal ini
memberikan kenyamanan bagi udang terkait kebiasaan dan cara makannya. Karena beberapa jenis udang seperti Metapenaeus spp memiliki kebiasaan
menggali burrowing, sehingga substrat di mangrove sangat cocok bagi kebiasaan udang tersebut.
Akan tetapi berbeda halnya dengan kondisi di atas, berdasarkan Gambar 18 dan hasil uji menggambarkan bahwa produksi budidaya tambak tidak memiliki
perbedaan yang nyata di tiap Kanal dan memiliki hubungan atau korelasi yang negatif terhadap keberadaan mangrove. Produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi
terdapat pada tambak di Kanal III yang memiliki ukuran mangrove terkecil dan produksi terendah terdapat pada tambak di Kanal II dengan ukuran mangrove
terbesar. Sehingga kondisi tersebut memberikan penjelasan bahwa peningkatan kegiatan budidaya tambak baik secara intensif maupun semi intensif dalam rangka
pencapaian peningkatan produksi, akan mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove. Sebab peningkatan produksi budidaya dapat dilakukan
dengan pembuatan tambak yang lebih besar dan peningkatan padat penebaran benih dengan cara membuka areal mangrove, sehingga luasan mangrove menjadi
lebih sempit. Sehingga keberadaan mangrove sebagian besar dapat dijumpai hanya pada daerah di sepanjang sungai atau saluran air Kanal.
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Natharani 2007, yang menjelaskan bahwa keberadaan mangrove tidak
selamanya berpengaruh terhadap produksi ikan budidaya. Pada dasarnya terdapat beberapa faktor lain yang sangat menentukan terhadap keberhasilan kegiatan
budidaya tambak. Diantaranya adalah padat penebaran dan kualitas benih, sumberdaya manusia SDM dan sarana serta prasaran yang menunjang kegiatan
budidaya tambak. Tidak lupa pula pengelolaan tambak yang ada sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan produksi budidaya.
Berdasarkan Gambar 18, produksi ikan budidaya memiliki hubungan atau korelasi positif dengan kandungan klorofil-a dalam perairan. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa kandungan klorofil-a dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam perairan. Sementara keberadaan fitoplankton dalam tambak
dibutuhkan sebagai pakan alami dari ikan budidaya Vannucci, 1998. Berdasarkan data, tambak yang berada pada Kanal III memiliki produksi ikan
yang tinggi, hal ini dikarenakan di dalam tambak tersebut terdapat adanya klekap yang melimpah sebagai pakan alami dari komoditi budidaya yaitu ikan bandeng.
Sementara klekap merupakan campuran berbagai jasad renik yang tumbuh di dasar tambak dan penyusun utama dari klekap tersebut adalah Diatom dan
Cyanophyceae yang merupakan jenis dari fitoplankton Soeseno, 1983. Namun keberadaan klekap tidak serta merta disebabkan oleh keberadaan
mangrove. Menurut penuturan salah seorang pemilik, tambak untuk menumbuhkan klekap di dalam tambak memerlukan suatu upaya, yaitu dengan
pemberian pupuk dan pengeringan dasar tambak yang memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Sementara keberadaan mangrove di pelataran tambak dapat
menjadi penghalang bagi penyinaran matahari ke dalam tambak. Dengan demikian pengelolaan tambak yang baik juga berperan dalam keberadaan klekap
di dalam tambak. Pada saat penelitian, dalam kegiatan budidaya tambak memperlihatkan
adanya suatu fenomena yaitu salinitas dalam tambak yang relatif sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh para pemilik tambak yang jarang melakukan pergantian
air tambak dan karena adanya proses penguapan yang mengakibatkan salinitas menjadi sangat tinggi. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan nilai
salinitas di dalam tambak berkisar antara 42,33 - 50,44 ‰. Pada kisaran nilai
salinitas tersebut kondisi di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam perairan hypersaline Effendi, 2003.
Nilai salinitas yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan organisme air yang di dalamnya, yaitu dapat memperlambat laju
pertumbuhannya. Karena sebagian besar energinya banyak digunakan untuk proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh
dengan lingkungannya Poernomo, 1978 in Gunarto et al, 2003. Hasilnya berdasarkan penuturan sebagian para pemilik tambak, produksi budidaya yang
diperoleh untuk jenis bandeng memiliki ukuran yang kerdil pada saat panen, sekitar kurang lebih 6 -7 bulan masa pemeliharaan.
Melihat adanya perbedaan hubungan antara produksi ikan budidaya dan nobudidaya terhadap keberadaan mangrove, tentunya dibutuhkan suatu pemikiran
mengenai bagaimana mengelola ekosistem mangrove agar menunjang kedua kegiatan perikanan tersebut. Keberadaan mangrove perlu dilestarikan agar dapat
dimanfaatkan secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis keberadaan mangrove dapat meningkatkan produktifitas perairan yang memberikan
kenyamanan bagi sumberdaya ikan. Hal ini akan diikuti pula oleh meningkatnya produksi sumberdaya ikan tersebut, sehingga akan mendatangkan keuntungan
bagi manusia sebagai konsumen dari segi ekonomis. Berdasarkan data yang diperoleh, luasan mangrove pada tiap Kanal hanya
berkisar sebesar 3,329 – 4,566 hektar dengan panjang Kanal rata-rata sebesar
879,81 meter dan lebar rata-rata mangrove ke arah kanan kiri Kanal hanya sebesar kurang dari 20 meter. Hal ini membuat kondisi mangrove kurang ideal dan
optimal secara ekologi. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penentuan
kerusakan mangrove, terdapat penentuan sebesar 50 meter bagi sempadan sungai mangrove ke arah kanan kiri dari garis pasang tertinggi air sungai yang masih
dipengaruhi pasang air laut. Sehingga kondisi saat ini di sepanjang Kanal hanya memberikan kondisi penutupan mangrove sebesar 47,76 Kanal I, 51,78
Kanal II dan 36,11 Kanal III dari kriteria baku. Sehingga terlihat hanya Kanal II yang memiliki kriteria dengan kondisi mangrove yang baik.
Gambar 20 memperlihatkan kondisi gabungan antara keberadaan mangrove terhadap produksi ikan budidaya dan nonbudidaya. Pada Gambar
tersebut terlihat adanya perpotongan dari kedua kurva. Perpotongan tersebut merupakan titik keseimbangan equilibrium dimana diperoleh kondisi mangrove
untuk menghasilkan produksi ikan budidaya dan nonbudidaya secara optimum. Keadaan optimum merupakan keadaan yang baik bagi faktor lingkungan untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Sehingga pada gambar tersebut diperoleh suatu ilustrasi mengenai optimasi rasio antara lahan
mangrove dengan lahan pesisir. Berdasarkan Gambar 20, luasan mangrove tiap Kanal kurang lebih sekitar 4 hektar merupakan kondisi dengan produksi ikan yang
optimum, baik dari segi budidaya maupun nonbudidaya. Namun kondisi tersebut tidak bisa untuk dijadikan suatu pedoman atau
dasar dalam penentuan luas mangrove optimum. Mengingat ukuran atau kawasan yang menjadi objek penelitian serta kajian yang dilakukan relatif sempit. Karena
masih terdapat suatu kajian yang berperan penting dalam penentuan luas optimum mangrove, yaitu dilihat dari aspek ekonomi. Sehingga penilitian ini hanya
berusaha mengilustrasikan mengenai optimasi kondisi mangrove yang harus dipertahankan atau ditambahkan agar didapat keuntungan dari keberadaan
mangrove baik secara ekonomis maupun ekologis. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 tahun 2004, kriteria baku kondisi
penutupan mangrove yang baik bagi sempadan sungai mangrove yaitu 50 meter ke arah kiri kanan dari garis pasang tertinggi air sungai, dengan penutupan sebesar
≥ 50 dan jumlah tegakan ≥ 1000 pohonhektar.
4.3.2 Implikasi penelitian bagi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan