ForceMajeure Pencantuman Klausul Eksonerasi

46 c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut. d. Bentuknya tertulis. e. Dipersipakan terlebih dahulu secara massal atau individual. 105 Dari pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku dengan klausula eksonerasi pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen, karena klausulanya tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan.

3.1.6.2 ForceMajeure

Keadaan memaksa force majeureovermacht merupakan suatu ketentuan yang tidak begitu banyak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.Jika ditemukan atau diatur, seringkali hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan peraturan tersebut, misalnya ditempatkan pada bagian ayat atau sub-ayat dari suatu pasal.Dalam KUH Perdata hanya dua pasal yang mengatur tentang force majeure, yaitu Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa forece majeure adalah suatu keadaan dimana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal- 105 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 115. 47 hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tersebut. 106 Menurut Soebekti untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” force majeureovermacht bila keadaan itu: 1 diluar kekuasaannya; 2 memaksa; 3 tidak dapat diketahui sebelumnya. 107 Klausula-klausula force majeure dalam KUH Perdata terdiri dari sebagai berikut: a. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga. Dalam hal ini, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga sebelumnya oleh para pihak yang menyebabkan terjadinya kegagalan melaksanakan kontrak, maka hal tersebut tidak tergolong kepada wanprestasi, akan tetapi termasuk ke dalam katagori force majeure. Terhadap kejadian seperti ini debitur tidak dimintai pertanggung jawaban. Beban pembuktian terhadap terjadinya sebab-sebab tak terduga ini ada pada debitur. Jika debitur dapat dibuktikan dalam keadaan beritikad buruk, maka meskipun dalam keadaan 106 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010, hal. 72. 107 Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Jakarta: Prenada Media Group, 2005, cet. Ke-6, hal. 52. 48 force majeure, si debitur tetap harus bertanggung jawab atas kegagalannya memenuhi prestasi. b. Force majeure karena keadaan memaksa. Sebab lain mengapa seorang kreditur dianggap dalam keadaan force majeureadalah jika tidak terpenuhinya kontrak karena terjadinya keadaan memaksa yang tidak dapat dihindari oleh debitur, misalnya bencana alam, perang, kerusuhan, dan lain-lain yang menyebabkan debitur menjadi terhalang prestasi. c. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang. Apabila ternyata prestasi yang harus dilakukan oleh debitur di kemudian hari ternyata diketahui sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.Hal mungkin terjadi karena perubahan kebijakan pemerintah atau perubahan ketentuan perundang-undangan.Akibat hukum force majeure adalah bahwa terhadap debitur tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk membayar penggantian biaya, ganti rugi, atau bunga akibat tidak terpenuhinya prestasi debitur karena terjadinya keadaan force majeure. 108 108 Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis Di ASEAN Pengaruh Sistem Hukum Common Law dan Civil Law, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 68. 49

3.2 Perlindungan Konsumen