langsung mau pun tidak langsung dan berpengaruh terhadap pendapatan sebagian masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Nilai eksternalitas positif secara
langsung dari penyerapan tenaga kerja memberikan nilai yang lebih rendah dari nilai tidak langsung. Hal ini disebabkan nilai dari komoditas udang bintik dan
udang windu yang tidak ditebar mempunyai nilai jual yang cukup tinggi.
6.5.2. Eksternalitas Negatif
Nilai eksternalitas negatif ini dibatasi pada manfaat langsung dan tidak langsung dari ekosistem mangrove yang diidentifikasi sebagai manfaat yang
hilang akibat pengembangan lahan tambak.
1. Nilai Manfaat Langsung
Nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di lokasi penelitian, diidentifikasi terdapat beberapa macam aktivitas yang dilakukan masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan masyarakat merupakan kegiatan yang dapat memberikan nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove tersebut. Berdasarkan hasil
survei ditemukan bahwa pemanfaatan langsung yang ada terdiri atas pemanfaatan kayu bakar, penangkapan benur dan kepiting.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di kawasan ini, diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir mereka umumnya merasakan adanya
penurunan hasil yang diperoleh dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun tidak banyak yang menyadari bahwa penurunan hasil tersebut terkait
langsung dengan kerusakan ekosistem mangrove. Masyarakat hanya mengetahui bahwa kini terdapat gangguan yang berpengaruh terhadap produktivitas usaha
yang mereka lakukan, daya tahan udang menurun mudah mati, berkurangnya bibit udang benur secara alami dan kepiting.
Ada pun hasil analisis ekosistem mangrove berdasarkan Surplus Konsumen pada tahun 2006 yang diidentifikasi sebagai nilai manfaat yang hilang
akibat pengembangan tambak dapat dilihat pada Tabel 14 dan perbandingannya seperti tersaji pada Gambar 13.
Tabel 14. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Surplus Konsumen pada Tahun 2006
Jenis Pemanfaatan Luas
Ha Nilai Ekonomi
Rphatahun Total Nilai Ekonomi
Rptahun
Kayu Bakar 10.790
2.813.580 30.358.528.200
Benur 10.790
1.541.029 16.627.702.910
Kepiting 10.790
11.193.318 120.775.901.220
Total Nilai Manfaat langsung yang hilang per tahun 167.762.132.330
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
- 20,000,000,000
40,000,000,000 60,000,000,000
80,000,000,000 100,000,000,000
120,000,000,000 140,000,000,000
Kayu Bakar Benur
Kepiting R
p T
h
Gambar 13. Perbandingan Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Surplus Konsumen pada Tahun 2006
Tabel 14 dan Gambar 13 menunjukkan nilai ekonomi yang hilang akibat pengembangan mangrove mencapai Rp167.762.132.330,00 terdiri atas nilai
pemanfaatan kepiting sebesar Rp120.775.901.220,00 kemudian pemanfaatan kayu bakar Rp30.358.528.200,00 dan benur Rp16.627.702.910,00.
Selama ini masyarakat tidak menyadari bahwa nilai ekonomi dari pemanfaatan kayu bakar paling tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan
sumberdaya mangrove yang lain. Masyarakat beranggapan bahwa sisa-sisa kayu mangrove yang terbuang hanya merupakan sampah yang perlu dimusnahkan atau
dibakar begitu saja, sehingga tidak heran hanya sebagian kecil masyarakat pesisir yang memanfaatkan potensi ini sebagai penganti minyak tanah untuk keperluan di
tambak. Manfaat langsung ekosistem mangrove secara aktual diidentifikasi
berdasarkan hasil olahan data primer yang diperoleh dari wawancara dan
pengisian kuisioner oleh rumah tangga perikanan. Ada pun hasil analisis ekosistem mangrove berdasarkan pemanfaatan aktual pada Tahun 2006 yang
diidentifikasi sebagai nilai manfaat yang hilang akibat pengembangan tambak dapat di lihat pada Tabel 15 dan perbandingannya seperti tersaji pada Gambar 14.
Tabel 15. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Pemanfaatan Aktual pada Tahun 2006.
Jenis Pemanfaatan Luas
Ha Nilai Ekonomi
RphaTh Total Nilai Ekonomi
RpTh
Kayu Bakar 10.790
511.208 5.515.934.320
Bibit Alam Benur 10.790
1.979.114 21.354.640.060
Kepiting 10.790 1.505.068
16.239.683.720
Total nilai manfaat aktual yang hilang 43.110.258.100
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
- 5,000,000,000
10,000,000,000 15,000,000,000
20,000,000,000 25,000,000,000
Kayu bakar Benur
Kepiting
Rp T
h
Gambar 14. Perbandingan Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Kondisi Aktual Tahun 2006
Tabel 14 dan Gambar 14 menunjukkan bahwa dengan adanya aktivitas pengembangan tambak pada ekosistem mangrove di Muara Badak, nilai aktual
yang di anggap sebagai biaya eksternal atau manfaat yang hilang mencapai Rp43.110.258.100,00 per tahun.
Aktivitas pemanfaatan kayu bakar ini pada awalnya dilakukan hanya untuk membersihkan tambak dari ranting-ranting pohon yang jatuh, sebagian besar
masyarakat tidak memanfaatkan rating ini untuk kayu bakar tetapi hanya dibuang begitu saja. Pemanfaatan cabang dan ranting mangrove untuk kayu bakar sebagai
salah satu sumber energi hanya di lakukan oleh sebagian kecil masyarakat di kawasan pesisir di Kecamatan Muara Badak. Hasil wawancara dengan
6 responden menunjukkan bahwa 100 responden mengambil kayu bakar untuk keperluannya sendiri dan tidak untuk dijual.
Pengambilan kayu bakar dilakukan rata-rata 2 kali setiap minggu dengan produksi setiap tahun sebanyak 596 ikat per hektar atau 99,16 ikat per orang per
hektar dengan rata-rata harga per ikat sebesar Rp7.200,00 dengan asumsi 1 ikat setara dengan 2 liter minyak tanah dengan harga Rp3.600,00 per liter. Dengan
demikian didapatkan nilai dari pemanfaatan langsung hutan mangrove untuk ranting kayu sebagai kayu bakar yaitu sebesar Rp511.208,00 per hektar per tahun
Lampiran 1. Dalam melakukan aktivitasnya, alat bantu yang digunakan responden untuk mendapatkan ranting kayu adalah kampak dan parang, sehingga
biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan ini relatif sedikit. Selain pemanfaatan kayu bakar, aktivitas pemanfaatan langsung lainnya
dari pemanfaatan ekosistem mangrove di kawasan ini adalah menangkap benur udang. Tidak ada catatan pasti sejak kapan kegiatan penangkapan benur ini mulai
dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa kegiatan penangkapan benur mulai intensif dilakukan sejak awal dekade 1990-an, seiring dengan
semakin berkembangnya pembukaan lahan tambak udang di kawasan ini. Sejak saat itu, aktivitas ini mulai dilakukan penduduk setempat baik sebagai pekerjaan
pokok mau pun sumber pendapatan sampingan. Hasil wawancara dengan 13 responden menunjukkan bahwa 10 orang atau
77 responden menangkap benur untuk dibudidayakan sendiri, sedangkan 23 atau sebanyak 3 orang melakukan penangkapan untuk di jual. Dari hasil
wawancara ini juga diketahui bahwa hasil tangkapan bibit untuk saat sekarang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 8 tahun sebelumnya.
Terdapat dua perbedaan musim penangkapan benur berdasarkan pada musim angin. Musim benur terjadi selama kurun waktu dua bulan dalam satu
tahun, yaitu pada bulan Agustus dan September. Pada musim ini biasanya masyarakat penangkap benur melakukan penangkapan benur hingga dua kali
dalam sehari ketika konda surut. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pada musim benur, intensitas penangkapan rata-rata mencapai 20 kali proses
penangkapan dalam sebulan. Sedangkan bukan musim benur terjadi sepanjang tahun selain dua bulan diatas. Pada musim ini rata-rata masyarakat penangkap
benur melakukan aktivitas penangkapan benur rata-rata mencapai 15 kali.
Berdasarkan nilai ini dapat diketahui bahwa rata-rata dalam setahun setiap masyarakat penangkap benur bisa melakukan penangkapan sampai 190 kali,
terdiri atas 40 kali pada saat musim benur dan 150 kali pada saat bukan musim benur.
Frekuensi penangkapan pada musim benur lebih sedikit dari pada bukan musim benur karena musim benur terjadi hanya dua bulan dalam setahun. Untuk
melihat perubahan produksi dan pendapatan mansyarakat penangkap benur, maka analisis ini dilakukan dalam masa 8 tahun kebelakang. Hasil analisis ini diperoleh
nilai keuntungan secara aktual dari pemanfaatan bibit alam benur pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp946.337,00 per ha, sedangkan hasil analisis tahun 1998,
diperoleh nilai keuntungan sebesar Rp2.532.336,00 per ha, sehingga dapat di ketahui terjadinya penurunan pendapatan sebesar Rp198.250,00 per ha per tahun.
Dengan luas 10.790 lahan yang rusak, maka nilai penurunan pendapatan mencapai Rp2.139.116.151,00 per tahun. Lebih rinci hasil analisis dan perbandingannya
dapat dilihat dalam Tabel 16 dan Gambar 15. Tabel 16. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove untuk Bibit Alam Benur pada
Tahun 1998 dan Tahun 2006 pada Kondisi Aktual
Nilai Manfaat
Biaya Keuntunga
n Luas
Tahun Rpha Rpha Rpha ha
Nilai Manfaat Rp
Biaya Rp
Keuntungan Rp
1998 2.887.692 355.356
2.532.336 10.790
31.158.196.680 3.834.291.240 27.323.905.440
2006 1.979.114 1.032.777 946.337
10.790 21.354.640.060 11.143.663.830 10.210.976.230
Penurunan Pendapatan Selama 8 tahun 17.112.929.210
Penurunan pendapatan per tahun 2.139.116.151
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
RpTh
- 5,000,000,000
10,000,000,000 15,000,000,000
20,000,000,000 25,000,000,000
30,000,000,000
1998 2006
Gambar 15. Perbandingan Nilai Ekonomi Bibit Alam Benur Berdasarkan Kondisi Aktual Tahun 1998 dan 2006
Manfaat langsung lainnya, berdasarkan hasil survey lapang diketahui bahwa responden juga melakukan penangkapan kepiting setiap hari pada saat
pasang air, kondisi pasang ini terjadi 2 kali atau 14 hari dalam satu bulan. Informasi yang diperoleh dari 18 responden bahwa rata-rata dalam 1 tahun,
penangkapan kepiting dilakukan sebanyak 135 hari penangkapan dengan hasil tangkapan rata-rata 5,89 kg per hari. Jumlah total hasil tangkapan kepiting yang
dilakukan oleh 18 responden dalam 1 tahun mencapai 14.274 kg per tahun, dengan harga rata-rata Rp9.313,00 per Kg. Dari hasil analisis diperoleh
keuntungan aktual dari penangkapan kepiting tahun 2006 pada kawasan ekosistem mangrove dengan luas 10.790 ha yang diidentifikasi sebagai manfaat yang hilang
mencapai Rp9.344.140.000,00. Sementara hasil analisis pada tahun 1998, diperoleh nilai keuntungan sebesar Rp21.155.159.611,00 sehingga dapat di
ketahui bahwa dalam kegiatan ini juga mengalami penurunan pendapatan sebesar Rp11.811.019.611,00 atau Rp1.476.377.451,00 per tahunnya. Secara rinci hasil
analisis dan perbandingannya dapat dilihat Tabel 17 dan Gambar 16. Tabel 17. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove pada Pemanfaatan Kepiting pada
Tahun 1998 dan Tahun 2006 pada Kondisi Aktual
Nilai Manfaat
Biaya Keuntunga
n Luas
Tahun Rpha Rpha Rpha ha
Nilai Manfaat Rp
Biaya Rp
Keuntungan Rp
1998 2.267.028 306.402
1.960.626 10.790
24.461.237.191 3.306.077.580 21.155.159.611 2006 1.505.068
639.068 866.000 10.790
16.239.683.720 6.895.543.720 9.344.140.000
Penurunan Pendapatan Selama 8 tahun 11.811.019.611
Penurunan pendapatan per tahun 1.476.377.451
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
RpTh
8,800,000,000 9,000,000,000
9,200,000,000 9,400,000,000
9,600,000,000 9,800,000,000
10,000,000,000 10,200,000,000
10,400,000,000
1998 2006
Gambar 16. Perbandingan Nilai Ekonomi Kepiting Berdasarkan Kondisi Aktual Tahun 1998 dan 2006
Hasil analisis di atas, secara aktual saja dengan adanya tambak ini, diperoleh nilai penurunan pendapatan dari sumberdaya kepiting dan benur
mencapai Rp3.615.493.603,00 per tahun. Nilai kerugian ini juga akan semakin besar apabila dilakukan perhitungan terhadap manfaat langsung ekosistem
mangrove lainnya. Dengan memperhatikan keterkaitan ekonomi dan ekologi, maka setiap kegiatan baik pada tingkat proyek mau pun kebijakan harus selalu
mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul pada salah satu sisi sebagai akibat dari kegiatan pada sisi yang lain. Dengan demikian semua tindakan yang
diambil yang berkaitan dengan kedua sisi tersebut harus dilaksanakan seoptimal mungkin, dimana dampak negatif yang timbul diusahakan seminimal mungkin.
2. Nilai Manfaat Tidak Langsung