Presepsi Masyarakat Lokal terhadap Ekosistem Mangrove

melakukan penanaman bibit mangrove pada areal tambak, karena responden menyadari manfaat dari ekosistem mangrove yang hilang akibat konversi lahan. Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat eksploitasi masyarakat secara umum sangat tinggi dan tidak memikirkan dampak yang terjadi apabila eksploitasi atau konversi dengan tidak terkendali. Pada kondisi di lapangan lebar green belt jauh di bawah standar minimum yang ditetapkan pemerintah dalam Kepres No. 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, bahwa lebar minimum green belt adalah 130 kali perbedaan pasang pasang surut tertinggi dan terendah yang diukur dari garis pantai terendah. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kaltim 2006, diketahui bahwa jalur hijau atau green belt yang ada di kawasan ini mempunyai lebar 10 m – 50 m. Kerusakan jalur hijau mangrove dan ekosistem mangrove yang terjadi disebabkan karena tingkat abrasi pantai yang cukup tinggi serta adanya konversi lahan menjadi areal tambak. Kondisi ini berdampak pada terganggunya ekosistem wilayah perairan dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir, yaitu menurunnya produksi tangkap nelayan yang mencari pendapatan dari hasil menangkap ikan, kepiting serta bibit udang benur.

6.2. Presepsi Masyarakat Lokal terhadap Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove mempunyai peran penting dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung mau pun tidak langsung, namum tidak semua masyarakat menyadarinya. Hal ini terutama disebabkan dampak eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali dan baru dirasakan dikemudian hari setelah kerusakan semakin parah. Berbagai kebutuhan ekonomi seringkali mendorong masyarakat untuk memanfaatkan ekosistem mangrove secara berlebihan, tanpa berfikir terhadap dampak yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu faktor yang mendorong masyarakat memanfaatkan ekosistem mangrove secara berlebihan adalah rendahnya pengetahuan akan berbagai fungsi, manfaat serta pengelolaan ekosistem mangrove. Ada pun persentase tingkat pengetahun responden terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan ini tersaji pada Gambar 9. 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 persentase J um la h R e s ponde n tidak tahu ada aturan tidak peduli dgn aturan tahu aturan dan melaksanakannya open access bukan open access Gambar 9. Pengetahuan Masyarakat Lokal terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Gambar 9, menunjukkan bahwa sebagian besar pemahaman masyarakat lokal menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan kawasan ”open access” . Hal ini terlihat dari survei yang menunjukkan 83,7 atau 77 responden menyatakan dapat memanfaatkan ekosistem mangrove secara bebas. 16,3 atau 15 responden menyatakan bahwa ekosistem mangrove tidak dapat dikelola secara bebas, namun ada pihak-pihak tertentu yang lebih berhak memanfaatkan mangrove seperti pihak swasta dan pemerintah. Indikasi keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove semakin terlihat dengan besarnya persentase responden yang menyatakan tidak tahu adanya aturan pengelolaan mangrove yaitu sebanyak 68 responden atau sekitar 73,9, sedangkan yang tidak peduli akan keberadaan aturan pengelolaan ekosistem mangrove sebanyak 17 responden atau sekitar 18,5. Dalam kenyataannya terlihat bahwa banyak orang dapat menguasai lahan sebanyak-banyaknya, tanpa ada teguran atau sanksi yang tegas, meskipun dianggap melanggar peraturanketetapan pemerintah. Tidak mengherankan pengetahuan penduduk yang tahu akan adanya aturan pengelolaan mangrove cukup rendah yaitu sebesar 7,6 atau 7 responden. Berbagai aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan ekosistem mangrove pada kawasan ini sudah lama berlangsung, sehingga kondisi dan perubahannya dapat diketahui baik melalui pengamatan mau pun survei seperti tersaji pada Gambar 10. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 Lebih Buruk Tidak Ada Perubahan Tidak Tahu P er sen tase Gambar 10. Presepsi Masyarakat Lokal terhadap Kondisi dan Tingkat Perubahan Ekosistem Mangrove Gambar 10, menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga sekitar 78,26 atau 72 responden menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove saat ini Penelitian berlangsung ”lebih buruk” dibandingkan dengan kondisi 10 tahun sebelumnya sekitar Tahun 1997. 15 responden atau sekitar 16,30 menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove ”tidak mengalami perubahan”. Selebihnya sebanyak 5 responden atau sekitar 5,43 menyatakan ”tidak tahu”. Faktor utama yang menyebabkan perubahan ekosistem mangrove berkaitan erat dengan eksploitasi hutan untuk kegiatan ekonomi dan sistem pengelolaan Delta Mahakam termasuk dalam kawasan ini adalah yang pertama berhubungan dengan aktivitas ekonomi seperti pengembangan lahan tambak dan pembangunan jalur pipa oleh perusahaan minyak, dan faktor yang kedua berkaitan dengan kebijakan, program dan peraturan yang relevan dengan pengelolaan Delta Mahakam termasuk dalam kawasan ini. Sampai penelitian ini dilakukan, kebijakan, program dan peraturan yang sangat diperlukan tersebut belum tersedia, masih dalam pembahasan di tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara. Berdasarkan pengetahuan masyarakat sekitar kawasan ini tentang penyebab adanya perubahan kondisi ekosistem mangrove di kawasan ini, sebagian besar responden atau sekitar 63,04 menyatakan ”akibat pembukaan lahan tambak”, 29 responden atau sekitar 31,52 menyatakan ” akibat pembangunan jalur pipa oleh perusahaan minyak, dan hanya sekitar 5,43 atau 5 responden menyatakan ”akibat lahan pemukiman”, sebagaimana tersaji pada Gambar 11. 10 20 30 40 50 60 70 Pembukaan Tambak Pembangunan Jalur Pip a Lahan Pemukiman Pe r se n ta se Gambar 11. Presepsi Masyarakat Lokal terhadap Penyebab Perubahan Kondisi Ekosistem Mangrove di Kecamatan Muara Badak Hasil survei di ketahui bahwa kerusakan ekosistem mangrove secara besar-besaran di kawasan ini terjadi pada saat krisis ekonomi Tahun 1997. Hal ini dipicu oleh meningkatnya harga udang di pasaran dunia. Fluktuasi dolar yang sangat tajam pada masa krisis moneter makin mendorong pembukaan tambak udang lebih luas, dengan harapan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar.

6.3. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Muara Badak