Peningkatan kualitas air baku menggunakan teknologi fixed bed reactor dengan media batu apung

(1)

PENINGKATAN KUALITAS AIR BAKU MENGGUNAKAN

TEKNOLOGI

FIXED BED REACTOR

DENGAN

MEDIA BATU APUNG

SKRIPSI

NURHIDAYANTI

F34070048

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PENINGKATAN KUALITAS AIR BAKU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI

FIXED BED REACTOR

DENGAN MEDIA BATU APUNG

Nurhidayanti

Departement of Agroindustry Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 62 251 8624622, e-mail: anthi_88@yahoo.com

ABSTRACT

The quality of raw water in Indonesia has been in generall decreasing due to incresed environmental pollution. It is becoming a serious problem in processing the raw water into clean water that can later be used as drinking water. Therefore, pre-treatment is in some cases needed to facilitate the production of clean water. An alternative for pre-treatment of the raw water is the fixed bed reactor system, in which organic substances can be removed biologically. This research work is aimed to evaluate the possibilities to pre-treat the raw water using a fixed bed system filled by pumice. The system is equipped with circulator and aerator to support the microorganism growth on the media surface as biofilms. Pumice stone is choosed as the growth media of microorganisms due to its high porosity, availability and stability. The presence of organic and inorganic material in raw water, will be held in the media layer of pumice that formed biofilms.The experimnts were conducted at various contact times. Results show that organic matter and TSS (Total Suspended Solids) can be removed by approximately 33 % and 69%, respectivey. This may result in decreasing chemical consumption in coagulation/flocculation of the raw water.


(3)

NURHIDAYANTI. F34070048. Peningkatan Kualitas Air Baku Menggunakan Teknologi Fixed

Bed Reactor Dengan Media Batu Apung.Di bawah bimbingan Suprihatin dan Muhammad Romli.

2011

RINGKASAN

Air baku merupakan sumber air bersih yang dapat berasal dari air permukaan seperti air sungai. Air baku tidak lagi ditemukan dengan kondisi jernih, atau dapat dikatakan kualitas air baku semakin menurun. Oleh karena itu, saat ini air baku seperti air sungai harus diolah terlebih dahulu sebelum dijadikan air bersih. Pengolahan air baku tersebut dikenal dengan Water Treatment Plan (WTP). Pada penelitian ini air baku yang diteliti bersumber dari aliran air sungai Cihideung, dimana selama ini air sungai tersebut diolah oleh WTP milik IPB untuk dijadikan air bersih yang digunakan oleh civitas IPB.

Penelitian ini berfungsi untuk meningkatkan kualitas air baku sebelum diolah oleh WTP ( pra-treatment). Karakteristik fisik air baku seperti kekeruhan, padatan tersuspensi (TSS), dan warna sering kali berubah seiring dengan perubahan cuaca. Bila hujan kekeruhan dapat meningkat tajam dibandingkan saat cerah. Hal ini dapat berakibat buruk dalam pengolahan air tahap selanjutnya. Bila kekeruhan air baku >50 NTU maka dosis PAC yang digunakan untuk flokulasi-koagulasi akan semakin meningkat dan untuk alat UF (Unit Filtrasi) dengan menggunakan teknologi membran pada tingkat kekeruhan air baku >50 NTU tidak dapat digunakan karena dapat merusak alat tersebut.

Teknologi yang digunakan dalam peningkatan kualitas air baku yaitu fixed bed reaktor dengan media batu apung. Disebut teknologi fixed bed reaktor karena dalam reaktor ini terjadi reaksi antara dua zat yaitu zat cair dan gas (udara) yang diperoleh dari proses aerasi. Fixed bed reaktor ini dioperasikan secara up-flow, yaitu aliran air mengalir dari bawah ke atas dengan penambahan komponen sirkulator untuk memperlama waktu kontak air dan pengadukan di dalam fixed bed reaktor. Media batu apung di dalam fixed bed reaktor ini berfungsi sebagai katalisator dan tempat tumbuh lekatnya mikroorganisme yang nantinya akan mendegradasi senyawa organik dan anorganik pada air baku.

Sebelum dilakukan analisa sampel, di dalam fixed bed reaktor dilakukan proses aklimatisasi yaitu proses adaptasi mikroorganisme baik yang tersuspensi di dalam air maupun yang tumbuh melekat di media pengisi (batu apung). Proses aklimatisasi ini dilakukan selama tiga minggu dengan waktu kontak 4 jam, tiga hari dengan waktu kontak 2 jam, dan lima hari dengan waktu kontak 1 jam. Hasil dari proses aklimatisasi ini dianalisa kandungan senyawa organik dan anorganik. Hasil dari analisa tersebut menunjukkan bahwa adanya penurunan konsentrasi senyawa organik, ammonium, dan phosphat, serta peningkatan senyawa nitrat yang menandakan adanya proses degradasi atau nitrifikasi di dalam fixed bed reaktor. Selain paremeter terukur tersebut, parameter kontrol juga diamati seperti DO (Dissolve Oxigen), mikroorganisme pendegradasi polutan di dalam air akan tumbuh bila DO dalam air > 1mg/l dan pH (mikroorganime pendegradasi tumbuh baik pada pH 7-7.5), DO dan pH air dalam fixed bed reactor yang digunakan selama masa aklimatisasi telah memenuhi kriteria tersebut.

Setelah proses aklimatisasi dilakukan, kemudian sampel (air baku) dianalisa setiap jam hingga jam ke-7 dan dua hari setelahnya. Parameter-parameter yang diuji meliputi kekeruhan, TSS, warna, senyawa organik, senyawa anorganik (NH4+, NO3-, PO43-), serta pH dan DO sebagai variabel kontrol

pada air baku. Berdasarkan hasil analisa sampel di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas air baku terus meningkat yang ditandai dengan menurunnya tingkat kekeruhan hingga 21% diawalnya


(4)

dan kemudian terus menurun dengan efisiensi penysihan sebesar 68%, begitu juga dengan warna dan TSS pada air baku yang terus mengalami penurunan konsentrasinya. Senyawa organik juga mengalami penurunan sebesar 30% pada waktu kontak jam ke tiga dan jam selanjutnya penurunan tersebut terlihat lebih landai. Pada penelitian ini penurunan amonium tidak terlihat konsentrasi amonium di dalam air baku terlihat konstan, sedangkan konsentrasi nitrat terus mengalami peningkatan sebesar 33%.

Bila dikaitkan dengan pengunaan koagulan seperti PAC (Poly Aluminium Chloride) yang digunakan selama ini oleh WTP IPB, maka pemakaian PAC dapat berkurang dan biaya produksipun akan ikut berkurang. Penghematan biaya produksi setelah dilakukan pra-treatment dengan menggunakan fixed bed reaktor bermedia batu apung dapat mencapai Rp 3.110.400,00/ bulan per unit.


(5)

PENINGKATAN KUALITAS AIR BAKU MENGGUNAKAN

TEKNOLOGI

FIXED BED REACTOR

DENGAN

MEDIA BATU APUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

NURHIDAYANTI

F34070048

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

JUDUL SKRIPSI : Peningkatan Kualitas Air Baku Menggunakan Teknologi Fixed Bed

Reactor Dengan Media Batu Apung

NAMA : Nurhidayanti

NRP : F34070048

Menyetujui,

Mengetahui,

Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti

NIP. 19621009 198903 2 001

Tanggal lulus : Juli 2011

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr.-Ing.Ir. Suprihatin

NIP. 19631221 1999003 1 002

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc, St

NIP. 19601205 198609 1 001


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Peningkatan Kualitas Air Baku Menggunakan Teknologi Fixed Bed Reactor Dengan Media Batu Apung

adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Yang membuat pernyataan

Nurhidayanti F34070048


(8)

©Hak cipta milik Nurhidayanti, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,

sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan


(9)

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Nurhidayanti. Lahir di Jakarta, 8 November 1988 dari ayah Muhamad Yunas dan Ibu Hasinizal, sebagai putri ketiga dari empat bersaudara. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Islam Al-Ikhlas Jakarta Selatan dan melanjutkan ke SMPN 68 Jakarta Selatan hingga tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 97 Jakarta Selatan.

Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2007. Penulis memilih program studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi maupun kepanitian. Organisasi yang pernah dijalani yaitu staff Public Reation HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada tahun 2009, dan kemudian menjabat sebagai ketua Departemen Public Relation HIMALOGIN pada tahun 2010. Selain di HIMALOGIN penulis juga menjadi staff hubungan eksternal di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Karate IPB pada tahun 2009. Selain aktif mengurus organisasi, penulis juga aktif diberbagai kepanitian seperti seminar, workshop, maupun penerimaan mahasiswa baru. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Bioproses pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama penulis juga menjadi asisten praktikum Bioindustri.

Pada tahun 2010 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di Balai Teknologi Lingkungan BPPT Serpong dengan topik Proses Biodegradasi Pada Paket Penyerap Minyak Organik Dalam Rangka Penanganan Oil Spill. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan penelitian dengan judul skripsi Peningkatan Kualitas Air Baku Menggunakan Teknologi Fixed Bed Reactor Dengan Media Batu Apung.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesakan, penelitian dengan judul Peningkatan Kualitas Air Baku Menggunakan Teknologi Fixed Bed Reactor dengan Media Batu Apung dilaksanakan di laboratorium Teknik Manajemen Lingkungan dan Water Treatment Plane Cihideung sejak bulan Februari sampai April 2011.

Penulis menyadari bahwa dalam tahap penelitian dan proses pembuatan skripsi ini tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebenar-benarnya kepada:

1. Prof. Dr.-Ing. Ir. Suprihatin, sebagai dosen pembimbing I yang senantiasa memberi bimbingan dan saran kepada penuis.

2. Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc, St, sebagai dosen pembimbing II yang senantiasa memberi saran kepada penulis.

3. Laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu dan mengajari penulis saat penelitian berlangsung.

4. Bapak Nana, Bapak Slamet, Bapak Eno, dan seluruh teknisi di Water Treatment IPB yang membantu memperlancar penelitian yang dilaksanakan oleh penulis

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, oleh karena itu diharapkan ada kritik dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi ini. Semoga karya ilmiah berupa skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di masa depan.

Bogor, Juni 2011


(11)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada orang yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Kedua orang tua dan kakak perempuan saya yang telah memberi dukungan materil serta moral kepada saya untuk menyelesaikan penelitian ini.

2. Ibu Egawati yang senantiasa membantu saat penelitian, pak Sugiyardi yang telah membantu membuat alat fixed bed reactor, pak Gunawan, pak Yogi, Pak diki, dan Ibu Sri.

3. Kepada para staff administrasi Departemen Teknologi Industri Pertanian yang membantu mengurusi syarat administratif penelitian dan skripsi penulis.

4. Kepada teman-teman satu bimbingan (Agung Utomo dan Nova Afriyanti)

5. Kepada teman-teman yang membantu secara langsung (kak Mega, Yana Taryana, dan Yumiyati)

6. Kepada mahasiswa dan mahasiswi TIN angkatan 44 yang selau memberi semangat.

7. Kepada teman Murniers (Veteriani Nova M, Fathia A, Yayu Siti N, dan Nelly Nailufar) yang merupakan teman-teman seperjuang yang selalu saling mendukung.

8. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya selama ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

1.3 RUANG LINGKUP ... 2

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA.... ... 4

2.1 AIR BAKU ... 4

2.2 TEKNOLOGI FIXED BED REACTOR ... 7

2.3 MEDIA BATU APUNG ... 8

2.4 BIODEGRADASI ... 11

2.5 PEMAKAIAN BAHAN KOAGULAN ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 16

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 16

3.1 ALAT DAN BAHAN ... 16

3.2 METODE PENELITIAN ... 17

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1 AIR BAKU ALIRAN SUNGAI CIHIDEUNG ... 24

4.2 PROSES AKLIMATISASI ... 24

4.3 PENGARUH WAKTU KONTAK TERHADAP PENURUNAN BAHAN ORGANIK, AMONIAK, TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN KEKERUHAN ... 28


(13)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 KESIMPULAN... 39

5.2 SARAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Dua eksperimen dengan dua jenis koagulan ... 14

Tabel 2. Nilai minimun koagulan yang diizinkan dalam identifikasi kondisi optimum ... 14

Tabel 3. Kondisi fisik air sungai Cihideung pada cuaca berbeda ... 23

Tabel 4. Berbagai bentuk senyawa phospor ... 33

Tabel 5. Konsentrasi PAC optimum pada tingkat kekeruhan berbeda ... 37


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Aerated fixed bed reactor terendam... 7

Gambar 2. Batu Apung ... 8

Gambar 3. Batu apung secara mikroskopis ... 8

Gambar 4. Model biofilm ... 10

Gambar 5. Skema dari biofilm heterogen ... 10

Gambar 6. Mekanisme metabolisme di dalam biofilm ... 11

Gambar 7. Lokasi WTP IPB Sungai Cihideung ... 15

Gambar 8. Skema fixed bed reactor ... 16

Gambar 9. Up flow fixed bed reactor ... 17

Gambar 10. Skema tahap proses Aklimatisasi ... 18

Gambar 11. Tahap pengolahan air baku dan analisa sampel ... 19

Gambar 11. Tahap pengolahan air baku dan analisa sampel ... 19

Gambar 12. Skema tahapan proses penelitian dalam Jar Test ... 22

Gambar 13. Grafik konsentrasi NH4+ pada masa aklimatisasi ... 24

Gambar 14. Grafik konsentrasi NO3 - pada masa aklimatisasi ... 25

Gambar 15. Grafik penurunan TSS pada masa aklimatisasi ... 26

Gambar 16. Grafik tingkat kekeruhan pada masa aklimatisasi ... 26

Gambar 17. Grafik warna pada masa aklimatisasi ... 27

Gambar 18. Tingkat kekeruhan setiap jam pada fixed bed reactor ... 28

Gambar 19. Penurunan TSS setiap jam pada fixed bed reactor ... 28

Gambar 20. Penurunan kepekatan warna setiap jam pada fixed bed reactor ... 29

Gambar 21. Konsentrasi bahan organik (KMnO4) setiap jam pada fixed bed reactor .... 30

Gambar 22. konsentrasi NH4+ setiap jam pada fixed bed reactor ... 31

Gambar 23. konsentrasi NO3- setiap jam pada fixed bed reactor ... 31


(16)

Gambar 25. Pengendapan padatan dengan koagulan (PAC) ... 34 Gambar 26. Grafik pengaruh konsentrasi PAC terhadap tingkat

kekeruhan ... 35 Gambar 27. Grafik pengaruh konsentrasi PAC terhadap TSS ... 35 Gambar 28. Grafik pengaruh konsentrasi PAC terhadap warna

air baku ... 36 Gambar 29. Dosis optimum PAC pada air dengan tingkat kekeruhan


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Standar baku mutu air ... 45

Lampiran 2. Gambar alat-alat penelitian ... 50

Lampiran 3. Kurva standar nitrat dan phosphat ... 51

Lampiran 4. Contoh penghitungan analisa nitrat (NO3-) ... 52

Lampiran 5. Contoh penghitungan analisa phosphat (PO43-) ... 53

Lampiran 6. Hasil analisa proses aklimatisasi ... 54

Lampiran 7. Hasil pengujian sampel pada berbagai waktu kontak ... 56

Lampiran 8. Penghitungan efisiensi penurunan ... 60

Lampiran 9. Spesifikasi PAC (Poly Aluminium Chloride) ... 61

Lampiran 10. Data hasil uji jar tes ... 62


(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Air merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan, tanpa air manusia tidak dapat bertahan hidup. Suatu industri dan pertanian akan berjalan dengan baik apabila tersedia air bersih untuk memperoleh hasil yang baik sehingga mendapat keuntungan optimal. Air memiiki dimensi yang luas yaitu air adalah bagian yang sangat dibutuhkan oleh lingkungan sebagai pengendali daur energi, iklim, dan cuaca. Air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah air bersih yang biasa didapat dari air permukaan atau air baku. Air baku atau raw water merupakan awal dari suatu proses dalam penyediaan dan pengolahan air bersih.

Saat ini telah terjadi fenomena krisis air bersih, ketersediaan air bersih berbanding terbalik dengan peningkatan pertumbuhan manusia. Semakin lama, pertumbuhan manusia semakin meningkat dan manusia membutuhkan air bersih dalam hidupnya. Diketahui bahwa, volume atau jumlah air dimuka bumi tidak akan berkurang dan bertambah, karena air memiliki siklus yang teratur pada awalnya. Namun, saat ini volume air yang berkurang adalah kualitasnya atau volume air bersih yang benar-benar dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi kehidupannya. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Suryono (2010), berbagai penyebab berkurangnya ketersedian air baku antara lain yaitu penggundulan hutan yang merupakan daerah resapan air, tingkat pencemaran yang semakin meningkat pada daerah sumber air baku akibat pertumbuhan penduduk dan industri, semakin menyempitnya daerah aliran sungai, pendangkalan sumber air baku baik oleh sampah atau oleh lumpur sedimen, tingkat kebocoran air di daerah air sungai, dan kurangnya pengawasan dari pihak-pihak terkait untuk menjaga kualitas dan jumlah air baku.

Air baku merupakan sumber air bersih yang dapat berasal dari air hujan, air danau, air tanah, dan air sungai. Air sungai di Indonesia khususnya di kota besar sudah tak layak pakai lagi seperti halnya air di Sungai Cihideung. Air Cihideung merupakan air baku yang dijadikan air bersih oleh IPB (Institut Pertanian Bogor). Kerap kali pihak pengolahan air baku atau WTP (Water Treatment Plan) IPB mengalami kesulitan dalam pengolahan air baku yang berasal dari sungai Cihideung. Tingkat kekeruhan air dan bahan organik terlarut sulit dikendalikan akibat perubahan cuaca yang sering terjadi di daerah Bogor. Apabila kondisi hujan terjadi tingkat kekeruhan air sungai dapat meningkat hingga 50 FTU bahkan lebih, hal ini dapat berdampak pada pengolahan air baku yaitu penambahan dosis koagulan atau PAC (Poly Aluminium Chloride) dan pada sistem UF (Unit Filtrasi) sistem ini tidak dapat dioperasikan karena alat dapat rusak apabila air baku yang diolah memiliki tingkat kekeruhan >50 FTU.

Salah satu cara meningkatkan kualitas air baku adalah dengan cara biologis. Cara biologis merupakan suatu teknologi pengolahan air yang menggunakan peranan mikroorganisme didalamnya. Teknologi pengolahan air secara biologis dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. Cara anaerob biasa digunakan untuk mengolah limbah cair yang memilik kandungan organik yang sangat tinggi seperti limbah cair di industi tahu, sedangkan cara aerob dapat digunakan untuk mengolah air dengan konsentrasi bahan organik rendah dan cara ini lebih praktis dibandingkan cara anaerob. Pengolah air baku yang berasal dari sungai dapat dilakukan dengan cara aerob dengan menyuplai udara dalam suatu bioreaktor yang


(19)

berisi media/ katalis padat. Salah satu jenis bioreaktor yang biasa digunakan dalam pengolahan air disebut fixed bed reactor. Fixed bed reactor dapat didefinisikan sebagai suatu

tube silindrikal yang dapat diisi dengan partikel-partikel katalis padat (seperti batu apung) tempat tumbuh lekatnya mikroorganisme. Selama operasi, gas atau liquid atau keduanya akan melewati partikel-partikel katalis, sehingga akan terjadi reaksi seperti reaksi biologis (Elma, 2010).

Katalis adalah suatu bahan pembantu mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi. Salah satu katalis padat yang dapat digunakan dalam fixed bed reactor adalah batu apung, karena sifatnya batu apung dapt dijadikan sebagai media tanam sehingga dapat dijadikan media tempat tumbuh/ melekatnya mikroorganisme. Metode ini merupakan sebuah cara penanganan limbah dengan bantuan bahan pengendali biologis yang sangat efektif dan tidak membahayakan perairan maupun mencemari perairan. Adapun pemanfaatan penanganan secara biologis ini seringkali digunakan untuk mengurangi kadar organik dalam perairan dan bahan-bahan anorganik lainnya seperti ammonium, nitrat, phosphat, serta Total Suspended Solid (TSS), kekeruhan, dan warna. Apabila konsentrasi bahan organik terlalu tinggi dalam perairan maka dampaknya akan menimbulkan pencemar bagi ekosistem di perairan tersebut dan dampak tidak langsung bagi manusia oleh karena itu dibutuhkan pengendalian terlebih dahulu.

Waktu tinggal dalam fixed bed reactor ini memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas air baku. Waktu tinggal atau waktu kontak perlu diketahui untuk mendapatkan efluent yang optimum dan bisa mengestimasi biaya yang akan dibutuhkan dan keuntungan yang diperoleh setelah mengolah air dalam fixed bedreactor.

1.2

Tujuan

Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh waktu kontak pada sistem teknologi fixed bed reactor dalam rangka mengurangi kandungan bahan organik, anorganik, serta sifat fisik dalam air baku dalam rangka meningkatan kualitas air baku dari air sungai Cihideung.

1.3

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini yaitu melakukan pre-treatment air baku yang bersumber dari air sungai Cihideung menggunakan up flow fixed bedreactor dengan media batu apung.

Pre-treatment ini dilakukan dengan fokus terhadap pengaruh waktu kontak air dalam fixed bed reaktor. Hasil atau efluent dari fixed bed reactor ini dianalisa kandungan organik (KMnO4), anorganik (ammonium), dan sifat fisiknya (Total Suspended Solid/ TSS,

kekeruhan, dan warna).

Hasil dari analisa efluent yang dihasilkan dari fixed bed reactor ini dibandingkan dengan penggunaan PAC (Poly Aluminium Chloride) dengan cara melakukan uji Jar test. Hasil tersebut akan dikaitkan dengan efisiensi biaya yang digunakan untuk mengolah air sungai daerah Cihideung.


(20)

1.4

Manfaat Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan kualitas air baku dari sungai Cihideung yang akan diolah oleh WTP IPB dapat meningkat, sehingga dapat mengurangi pengguaan PAC yang biasa digunakan untuk pengolahan air sungai (flokulasi). Biaya yang dikeluarkan oleh pihak Water Treatment Plan (WTP) diharapkan dapat berkurang.


(21)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Air Baku

Pengertian air bersih menurut Permenkes RI No 416/Menkes/PER/IX/1990 adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan dapat diminum setelah dimasak. Air baku adalah air yang digunakan sebagai sumber/bahan baku dalam penyediaan air bersih. Sumber air baku yang dapat digunakan untuk penyediaan air bersih yaitu air hujan, air permukaan (air sungai, air danau/rawa), air tanah (air tanah dangkal, air tanah dalam, mata air) (Sutrisno, 2002).

Standar kualitas air bersih yang ada di Indonesia saat ini menggunakan Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat–Syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sedangkan standar kualitas air baku diatur dalam PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990, air dibagi menjadi empat golongan yaitu:

Golongan A : Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu;

Golongan B : Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum;

Golongan C : Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan; Golongan D : Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat

dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990, juga terdapat standar baku muku dari setiap golongan. Standar baku mutu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Salah satu sumber air baku yaitu air permukaan, air permukaan seperti air sungai, air rawa, air danau, air irigasi, air laut dan sebagainya adalah merupakan sumber air yang dapat dipakai sebagai bahan air bersih dan air minum tetapi perlu pengolahan. Air permukaan sifatnya sangat mudah terkotori dan tercemar oleh bahan pengotor dan pencemar yang mengapung, melayang, mengendap dan melarut di air permukaan. Karena sifatnya yang demikian maka sebelum digunakan sebagai air bersih, air permukaan perlu diolah terlebih dahulu sampai benar-benar aman dan memenuhi syarat sebagai air bersih.

Hal-hal yang mempengaruhi kualitas air bersih ataupun air baku adalah pencemaran air baik pencemar berupa padatan maupun komponen organik yang dapat menimbukan penampakan fisik, bau, dan reaksi kimia yang tidak diinginkan. Definisi pencemaran air menurut surat keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP-02/ MENKLH/I/1988 tentang penetapan baku mutu lingkungan adalah : masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air bersih menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (pasal 1).

Limbah rumah tangga cair merupakan salah satu sumber pencemaran air. Dari limbah rumah tangga cair dapat dijumpai berbagai bahan organik (misal sisa sayur, ikan, nasi, minyak, air buangan manusia) yang terbawa air got/parit, kemudian ikut aliran sungai. Adapula bahan-bahan anorganik seperti plastik, alumunium, dan botol yang hanyut terbawa arus air. Sampah bertimbun, menyumbat saluran air, dan mengakibatkan banjir. Bahan


(22)

pencemar lain dari limbah rumah tangga adalah pencemar biologis berupa bibit penyakit, bakteri, dan jamur. Bahan organik yang larut dalam air akan mengalami penguraian dan pembusukan. Akibatnya kadar oksigen dalam air turun dratis sehingga biota air akan mati. Jika pencemaran bahan organik meningkat, maka di dalam air tersebut dapat ditemui cacing

Tubifex berwarna kemerahan bergerombol. Cacing ini merupakan petunjuk biologis (bioindikator) parahnya pencemaran oleh bahan organik dari limbah pemukiman. Dikota-kota, air got berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau yang menyengat. Di dalam air got yang demikian tidak ada organisme hidup kecuali bakteri dan jamur. Dibandingkan dengan limbah industri, limbah rumah tangga di daerah perkotaan di Indonesia mencapai 60% dari seluruh limbah yang ada.

Sebagian industri membuang limbahnya ke aliran air. Jenis polutan yang dihasilkan tergantung pada jenis industri. Mungkin berupa polutan organik (berbau busuk), polutan anorganik (berbuih, berwarna), atau mungkin berupa polutan yang mengandung asam belerang (berbau busuk), atau berupa suhu (air menjadi panas). Pemerintah menetapkan tata aturan untuk mengendalikan pencemaran air oleh limbah industri. Misalnya, limbah industri harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai agar tidak terjadi pencemaran.

Sebagian penduduk dan nelayan ada yang menggunakan tuba (racun dari tumbuhan atau potas (racun) untuk menangkap ikan tangkapan, melainkan juga semua biota air. Racun tersebut tidak hanya hewan-hewan dewasa, tetapi juga hewan-hewan yang masih kecil. Dengan demikian racun yang disebarkan akan memusnahkan jenis makluk hidup yang ada didalamnya. Kegiatan penangkapan ikan dengan cara tersebut mengakibatkan pencemaran di lingkungan perairan dan menurunkan sumber daya perairan. Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air antara lain :

1. Terganggunya kehidupan organisme air karena berkurangnya kandungan oksigen. 2. Terjadinya ledakan populasi ganggang dan tumbuhan air (eutrofikasi)

3. Pendangkalan Dasar perairan.

4. Punahnya biota air, misalnya ikan, yuyu, udang, dan serangga air. 5. Munculnya banjir akibat got tersumbat sampah.

6. Menjalarnya wabah muntaber.

Limbah cair memiliki tiga karakteristik yaitu karakteristik fisik, kimia, dan biologi. Adapaun karakter fisiknya antara lain :

1. Karakteristik fisik

Karakteristik fisik ini terdiri dari beberapa parameter, diantaranya : a. Total Suspended Solid (TSS)

Merupakan jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang ada didalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto, 1987).

b. Warna

Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, tetapi seiring dengan waktu dan menigkatnya kondisi anaerob, warna limbah berubah dari yang abu–abu menjadi kehitaman.

c. Kekeruhan

Kekeruhan disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun anorganik.


(23)

Merupakan parameter yang sangat penting dikarenakan efeknya terhadap reaksi kimia, laju reaksi, kehidupan organisme air dan penggunaan air untuk berbagai aktivitas sehari-hari.

e. Bau

Disebabkan oleh udara yang dihasilkan pada proses dekomposisi materi atau penambahan substansi pada limbah.

2. Karateristik Kimia

a. Biological Oxygen Demand (BOD)

Menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan–bahan buangan di dalam air b. Chemical Oxygen Demand (COD)

Merupakan jumlah kebutuhan oksigen dalam air untuk proses reaksi secara kimia guna menguraikan unsur pencemar yang ada. COD dinyatakan dalam ppm (part per milion) atau mL O2/ liter (Alaerts, 1984).

c. Dissolved Oxygen (DO)

Adalah kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk respirasi aerob mikroorganisme. DO di dalam air sangat tergantung pada temperatur dan salinitas.

d. Ammonia (NH3)

Ammonia adalah penyebab iritasi dan korosi, meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan mengganggu proses desinfeksi dengan chlor (Soemirat, 1994). Ammonia terdapat dalam larutan dan dapat berupa senyawa ion ammonium atau ammonia. tergantung pada pH larutan.

e. Derajat keasaman (pH)

pH dapat mempengaruhi kehidupan biologi dalam air. Bila terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mematikan kehidupan mikroorganisme, pH normal untuk kehidupan air adalah 6-8.

f. Logam Berat

Logam berat bila konsentrasinya berlebih dapat bersifat toksik sehingga diperlukan pengukuran dan pengolahan limbah yang mengandung logam berat. 3. Karateristik Biologi

Karakteristik biologi digunakan untuk mengukur kualitas air terutama air yang dikonsumsi sebagai air minum dan air bersih. Parameter yang biasa digunakan adalah banyaknya mikroorganisme yang terkandung dalam air limbah.

Pada umumnya pengolahan air bersih menggunakan cara koagulasi-flokulasi dengan menggunakan tawas atau PAC (Poly Aluminium Chloride). Saat ini PAC lebih sering digunakan sebagai bahan koagulan dibandingkan tawas karena harganya lebih murah dan tingkat koagulasi (hasil endapan) lebih baik. Penggunaan koagulan ini sangat efektif dalam peningkatan kualitas air bila dilihat dari karakteristik fisiknya.

Zat organik dalam air dapat disisihkan secara biologi, dengan beberapa variable yang berpengaruh antara lain jumlah oksigen terlarut, waktu kontak, senyawa pengganggu (inhibitora), jenis dan jumlah mikroorganisme pengurai (Bitton, 1994). Bahan-bahan organik akan dirubah menjadi produk-produk akhir yang relatif lebih stabil dan sifatnya akan disintesis menjadi mikroba baru. Mekanisme penguraian senyawa organik pada kondisi aerob secara umum dapat dilihat dari persamaan berikut:


(24)

Oksidasi biologis biasa terjadi di dalam limbah organik pada saluran air atau limbah industri, dan limbah cair lainnya, bahan organik merupakan komponen yang dibutuhkan untuk konsumsi mikroorganisme heterotropik, sebagian besar berupa bakteri atau fungi. Bagian yang terkandung dalam limbah cair ini dapat digunakan seperti bahan bakar pada proses respirasi (metabolisme) dan kemudian dipecah menjadi gas CO2, air dan hasil

pengolahan lainnya. Kumpulan mikroorganisme ini harus dihilangkan dari air sebelum air keluar ke aliran air seperti sungai (Gomes, 2009).

2.2

TEKNOLOGI

FIXED BED

REAKTOR

Dalam proses pengolahan air yang mengandung polutan senyawa organik, teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik polutan tersebut (Miwa, 1991). Fixed bed reactor didefinisikan sebagai suatu tube silindrikal yang dapat diisi dengan partikel-partikel katalis. Selama operasi, gas atau liquid atau keduanya akan melewati tube dan partikel-partikel katalis, sehingga akan terjadi reaksi, baik reksi kimia maupun raksi biologis (Elma, 2010). Katalisator disini digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Cara penanganan limbah dengan bantuan bahan pengendali biologis sangat efektif dan tidak membahayakan perairan maupun mencemari perairan.

Fixed bed reactor biasanya terdiri dari katalis partikel padat (stationary solid catalyst particle) yang bereaksi dengan aliran fluida. Aliran fluida bisa berupa gas atau liquid (atau campuran keduanya) (Elma, 2010). Keuntungan penggunaan reaktor fixed bed, antara lain relatif stabil terhadap perubahan kualitas influent dan keberadaan senyawa toksik, konsentrasi biomassa yang tinggi dan waktu retensi solid yang panjang dapat dicapai, mudah dalam proses aklimatisasi dan mampu mengatasi influen limbah yang bervariasi tanpa kesalahan proses (Umana et al., 2008).

Biofilm heterogen biasa tumbuh di dalam media yang digunakan bioreaktor. Biofilm tersebut dapat menyebabkan korosif bila berada di air permukaan, namun pada bioreaktor-bioereaktor tertentu biofim ini menjadi sesuatu yang menguntungkan seperti pada bioreaktor

trickling filters, submerged, aerated fixed bed reactors, dan rotating disc reactors

(Wiesmann et al., 2007).

Fixed bedreactor beroperasi secara aerobik dimana pada area bawah reaktor terdapat aerator, fixed bedreactor ini memproduksi aliran dua fase pada sistem tiga fase dengan aliran naik ke atas (up flow). Biomassa yang terdapat dalam bioreaktor ini dapat melekat pada permukaan media dan juga tersuspensi didalam air seperti flok. Hal yang tidak mudah untuk menghindari hambatan pada daerah biofilm yang memiliki ketebalan yang besar dan dengan laju alir yang rendah. Sehingga fixed bed reactor harus dibersihkan sewaktu-waktu dengan meningkatkan laju alir air (Schulz dan Menningmann 1999). Gambaran umum dari model

fixed bed reactor terendam dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: Bitton, 1994

Bahan organik + O2 CO2 + H2O + Energi

Mikroorganisme


(25)

Gambar 1. Aerated Fixed Bed Reactor Terendam (Sumber: Schulz dan Menningmann 1999).

Dalam rangka meningkatkan efisiensi penyisihan bahan organik dan kotoran yang berada dalam air (influent) dibutuhkan laju bioreaksi yang rendah dalam reaktor yang memiliki biofilm di dalamnya sehingga dibutuhkan juga laju substrat yang rendah. Tujuan lainnya yaitu untuk mengontrol kestabilan biofilm karena adanya aliran air ke dalam biofilm tersebut (Martinov et al., 2010). Menurut Blackwell (2010), energi yang digunakan pada bioreaktor dengan sistem aerasi (sehingga terbentuk gas dalam CO2) dalam pengolahan

limbah cair memiliki empat fungsi utama, yaitu untuk menghilangkan karbon (senyawa organik), proses nitrifikasi, menghillangkan phosphor, pencuci hama, menghilangkan kotoran berupa mikroorganisme.

2.3

Media Batu Apung

Batu apung (pumice) adalah jenis batuan yang berwarna terang, mengandung buih yang terbuat dari gelembung berdinding gelas, dan biasanya disebut juga sebagai batuan gelas volkanik silikat. Batuan ini terbentuk dari magma asam oleh aksi letusan gunung api yang mengeluarkan materialnya ke udara, kemudian mengalami transportasi secara horizontal dan terakumulasi sebagai batuan piroklastik. Batu apung mempunyai sifat vesicular yang tinggi, mengandung jumlah sel yang banyak (berstruktur selular) akibat ekspansi buih gas alam yang terkandung di dalamnya, dan pada umumnya terdapat sebagai bahan lepas atau fragmen-fragmen dalam breksi gunung api (Fauzi, 2010). Menurut dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara (2009) komposisi kimia dari batu apung adalah sebagai berikut : CaO = 2,86 %, MgO = 2,57 %, Al2O3 = 17,59 %, SiO2 = 60,56 %,


(26)

Gambar 2. Batu apung

Secara mikroskopis batu apung dapat terlihat seperti pada Gambar 3 di bawah ini:

Gambar 3. Batu Apung Secara Mikroskopis (sumber: Kitis et al., 2005)

Batu apung (pumice) berwarna putih abu-abu, kekuningan sampai merah, tekstur vesikuler dengan ukuran lubang yang bervariasi baik berhubungan satu sama lain atau tidak struktur skorious dengan lubang yang terorientasi. Kadang-kadang lubang tersebut terisi oleh zeolit atau kalsit. Batuan ini tahan terhadap pembekuan embun (frost), tidak begitu higroskopis (mengisap air). Mempunyai sifat pengantar panas yang rendah dan bersifat


(27)

hidrolisis. Kekuatan tekan antara 30-20 kg/cm2. Komposisi utama mineral silikat amorf (http://www.senyawa.com)

Batu apung juga bersifat ringan, porositas tinggi (volume pori-pori mencapai 85%) dan merupakan batu volkanik. Partikel batu apung hampir serupa dengan spons, yang terdiri dari suatu jaringan yang tidak beraturan dan berpori-pori didalamnya, beberapa pori-pori diantaranya tidak saling berhubungan dan langsung terbuka ke permukaan batu apung, dan pori-pori lainnya terisolasi di dalam partikel tersebut (Wesley, 2001).

Kegunaan utama batu apung biasanya dijadikan bahan bangunan. Aplikasi terbesar lainnya dari batu apung yaitu dijadikan bahan abrasif, penyerap, campuran pembuatan beton dengan berat ringan, penyaring (filter), di bidang pertanian (landscape), dan dapat juga digunakan sebagai alat pembersih pakaian (Bolen, 2003). Batu apung yang dihancurkan dan kemudian disaring juga digunakan sebagai bahan perekat dinding seperti semen, industri plastik, menyemir batu-batu perak, kosmetik, krim muka, bahan tambahan sabun, dan lain-lain.

Tingginya porositas pada batu apung dan kaya akan kandungan silika, aluminium, dan zeolit alami mengakibatkan batu apung dapat dijadikan bahan katalis pada reaksi yang membutuhkan aktivitas terpusat atau sebagai katalisator logam dalam reaksi isomerisasi dan hidrogenasi (Brito et al., 2004). Oleh karena itu, batu apung dapat digunakan sebagai bahan pendukung katalisator logam (seperti nickel, palladium, copper–palladium, silver, platinum, and rhodium), yang digunakan dalam reaksi hidrogenasi pada berbagai senyawa seperti CO, alkadienes and alkynes, phenylacetylene, but-1-ene, hidrokarbon tak jenuh, nitrat, nitrit, dan untuk hidroisomerisasi pada n-pentana (Deganello et al., 1994)

Batu apung sebagian besar juga dijadikan bahan penyerap, media filtrasi, dan media tempat terbentuknya biofilm. Batu apung dapat digunakan dengan baik untuk filtrasi perlahan sebagai media menyisihkan zat patogen dari air irigasi dan dengan biaya yang rendah bagi bidang pertanian. (Wohanka et al., 1999). Batu apung juga potensial digunakan sebagai alat penyaring dan menurunkan tingkat kekeruhan dengan kondisi filtrasi cepat (Farizoglu et al., 2003).

Batu apung merupakan material yang sangat baik digunakan dalam bioreaktor dan membutuhkan lebih sedikit energi dibandingkan material pasir (Balaguer et al., 1997). Fixed bed reactor dapat dioperasikan dengan menggunakan mikroorganisme heterotropik yang diimobilisasi dalam batu apung sebagai bahan pengisi (Karagozoglu et al., 2002). Batu apung juga dapat digunakan sebagai penyerap minyak dan lemak dan phosphor (Njau et al., 2003).

Biofilm merupakan ekosistem kecil biasanya terdiri dari tiga lapisan dengan ketebalan yang berbeda-beda, perubahan ketebalan tersebut dipengaruhi lokasi dan lama waktu. Material seperti substrat dan oksigen diubah menjadi biofilm melalui proses difusi dan konveksi, produk dari proses tersebut diubah menjadi biofilm. Oksigen lebih banyak terdapat dibagian atau lapisan terluar biofilm, sehingga dilapisan tersebut ditumbuhi mikroorganisme aerobik seperti bakteri nitrifikasi dan protozoa. Nitrat dan nitrit dihasilkan di lapisan aerobik ini dan akan berkurang pada lapisan anoksik yaitu lapisan tengah, sehingga dilapisan bagian dalam terbentuk zona anaerobik, dimana pada lapisan ini asam asetat dan sulfat menjadi berkurang atau terdegradasi (Marshall dan Blainey, 1991), skema umum biofilm dapat dilihat pada Gambar 4.


(28)

Gambar 4. Model biofilm (sumber: Marshall dan Blainey, 1991)

Bentuk dari struktur biofilm telah beralih dari masa lalu. Pada awalnya biofilm dikira mempunyai satu struktur yang homogen yang diselimuti substrat seperti lapisan film (Gambar 5). Gambar ini didapat dengan mikroskop beresolusi cahaya rendah dan scanning electron microscopy (SEM). Gambar dengan struktur biofilm homogen merupakan model biofilm dengan pendekatan rangkaian.

Gambar 5. Skema Dari Biofilm Heterogen (pendekatan rangkaian)

Pada pendekatan rangkaian ini diasumsikan bahwa biomass terdistribusi rata pada biofilm. Sehingga dasar model biofilm merupakan pendekatan dari sekumpulan rangkaian yang membentuk satu dimensi (Dumont et al., 2009).

Biofilm ditransformasikan dari sekumpulan air/ cairan menjadi suatu permukaan yang berbentuk padatan (lendir) lebih cepat dibandingkan pertumbuhan mikroorganismenya. Sering kali mikroorganisme tidak membentuk lapisan tertutup pada ketebalan seragam, mereka hampir membentuk koloni kecil, yang mungkin menyebar pada perkembangan selanjutnya. Biasanya, sel ini berbekalkan substrat dan oksigen sehingga mampu untuk tumbuh dengan laju maksimum yang dimiliki mikroorganisme tersebut. Selama proses ini, mereka menghasilkan molekul organik, melalui proses difusi pada dinding sel dan kemudian menjadi extracellular polymeric substances (EPS) oleh katalis berupa eksoenzim (Wiesmann


(29)

2.4

Biodegradasi (Penurunan senyawa organik dan Proses Nitrifikasi)

Salah satu penjelasan mengenai peningkatan aktivitas biodegradasi yaitu dimulai dengan peningkatan jumlah dari konsentrasi biomassa dalam pertumbuhan sistem. Aktivitas yang tinggi ini juga dilengkapi untuk meningkatkan konsentrasi dari nutrien yang melekat di dalam biofilm. (Madigan et al., 1997). Pengolahan limbah secara biologis terutama dimaksudkan untuk menyisihkan zat-zat organik yang terlarut dan yang koloid tetapi zat organik yang tersuspensi juga dapat tersisihkan dalam proses ini. Bahan organik tersebut dikonversi menjadi massa mikroorganisme (biomassa) dan karena sifatnya biomassa ini mengalami bioflokulasi yang dapat dipisahkan dengan pengendapan ( Liao et al., 2001).

Sehubungan dengan bentuknya yang berlumpur, biofilm tersebut menjerab zat partikulat dari pengolahan air, jadi konsentrasi nutrien dalam biofilm biasanya lebih tinggi dibandingkan air yang bebas dari kandungan organik. Tingginya konsentrasi nutrien dapat menyebabkan tinggi pula laju pertumbuhan mikroorganisme dan mempertinggi aktivitas degradasi. Penjelasan mengenai peningkatan aktivitas biodegradasi lainnya dapat dilihat dari perbedaan fisik antara lekatan dan suspensi mikroorganisme. Perbedaan ini dapat menunjukkan kecepatan laju pertumbuhan, aktivitas metabolik yang meningkat, dan hambatan besar atau keracunan (Cohen, 2000).

Menurut Bitton (1994), mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Mekanisme metabolisme di dalam biofilm

Gambar 6 menunjukkan suatu sistem metabolisme yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada pada medium, lapisan air yang diolah dan

N2

CO2

H2O

H2S


(30)

lapisan udara yang terletak di luar. Senyawa polutan yang ada di dalam air seperti amonium, nitrat, phospor, dan senyawa organik lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi biomassa. Suplai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC yakni melalui kontak dengan udara luar, pada sistem trickling filter dengan aliran balik udara, sedangkan pada sistem fixed bed reactor

tercelup dengan mengunakan blower udara dan dibantu dengan pompa sirkulasi.

Di dalam proses biologis ini apabila lapisan biofilm cukup tenang maka pada bagian luar lapisan biofilm akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H2S,dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar maka gas H2S yang

terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh baktri sulfat yang ada di dalam

biofilm. Pada zona aerobik, nitrogen-amonium akan diubah menjadi nitrit dan nitrat kemudian pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Dalam proses biologis terjadi kondisi aerobik dan anaerobik pada saar bersamaan, oleh karena itu dengan sistem biofilm ini proses penyisihan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah (Bitton, 1994).

Menurut Metcalf dan Eddy (2003) proses metabolisme pada mikroorganisme adalah sebagai berikut:

Oksidasi

COHNS + O2 + bakteri CO2 + NH3 + produk + energy akhir

(Materi organik) Sintesa

COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2

(Materi organik) Respirasi

C5H7NO2 + 5 O2 5 CO2 + NH3 + 2H2O + energi

Pelczar dan Chan (1996) mengatakan bahwa pengolahan biologi efektif dalam menyisihkan bahan-bahan organik. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi proses pengolahan antara lain:

1. Suhu (temperatur) air

Suhu optimal antara 20oC-30oC dan efisiensi pengolahan akan berkurang pada temperature yang lebih rendah atau lebih tinggi.

2. Nilai pH

Nilai pH optimal antara 7-7,5 3. Oksigen terlarut

Oksidasi dan penguraian dari zat-zat organik, nitrifikasi amoniak dengan mikroorganisme membutuhkan oksigen (DO >1 mg/L), sehingga apabila menginginkan efisiensi lebih tinggi perlu ditambahkan aerasi atau suplai udara.

4. Penghambat

Kehadiran dari beberapa pencemar seperti logam berat, minyak, zat organik berbahaya, tanah dan pasir halus yang tersuspensi menutup lapisan biofilm dapat menghambat aktivitas biologis. Sehingga efisiensi pengolahan berkurang.


(31)

Frekuensi kontak dapat diartikan sebagai kapasitas pengolahan per unit luas permukaan biofilm. Frekuensi kontak antara air yang akan diolah dengan biofilm semakin tinggi maka efisiensi penyisihan akan meningkat.

Pengolahan air secara aerob dalam mengurangi kandungan bahan organiknya secara umum dapat berjalan dengan baik bila kondisi sekitar memiliki pH antara 6.5 sampai 9.0 dan dengan temperatur antara 3-4oC hingga 60- 70°C (bakteri mesophilic digantikanoleh bakteri thermophilic pada temperatur berkisar 35°C) (Technical Learning Collage, 2003). Secara luas bahan organik lebih mudah diurai secara oksidasi aerobik dibandingkan cara penguraian lainnya. Faktanya, cara oksidasi aerobik ini mebutuhkan energi yang sangat rendah, sehingga produk akhirnya lebih stabil dan baik (seperti menyisihkan bahan organik tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan atau suatu gangguan kondisi), dapat dicapai pada sistem oksidasi lainnya. Karena sebagian besar energi dihabiskan dalam proses oksidasi aerobik, hampir semua organisme aerobik mampu tumbuh dengan cepat. Akibatnya, ada produksi sel baru yang lebih luas dibandingkan dengan sistem oksidasi lainnya. Hal ini dapat diartikan banyak sel biologis yang dihasilkan. (Davis, 2010)

Penyisihan substrat secara cepat terjadi pada proses kontak karena adanya penyimpanan, baik dalam bentuk partikel flok (ketika substrat dalam bentuk koloid atau partikulat) maupun ketika substrat dalam bentuk terlarut, padatan biologis aktif mengsorbsi zat organik tersuspensi dan zat- zat organik terlarut, dan padatan biologis aktif kemudian dipisahkan dari air limbah yang sudah diolah. Ketika lumpur direaerasi dalam proses stabilisasi, produk simpanan akan dimetabolisme dan replikasi sel terjadi yang akan digunakan kemudian untuk penyimpanan lebih banyak substrat pada tangki kontak (Hadiwidodo dan Junaidi, 2007)

Parameter pH dan TSS (total suspended solids), juga berperanan penting dalam baku mutu limbah, yang lebih lanjut juga berarti berperan penting dalam penentuan tingkat pencemaran perairan. Dari nilai pH akan dapat diketahui apakah telah terjadi perubahan sifat asam-basa perairan dari nilai pH alaminya, bila nilainya lebih tinggi lebih dari satu unit di atas normal berarti perairan menjadi terlalu basa, sebaliknya bila terjadi penurunan maka perairan menjadi terlalu asam. Bila ini terjadi, selain mengganggu biota atau ekosistem perairan, juga akan mengurangi nilai guna air. Demikian juga TSS, bila nilainya meningkat cukup signifikan, perairan akan tampak keruh dan terkesan kotor sehingga tentu saja mengurangi daya guna airnya. (Hariyadi, 2004)

Sungai dan muara dapat meningkatkan konsentrasi nitrat karena masukkan anthropogenic di dasar air (Boynton dan Kemp, 2008). Sejauh ini, nilai nitrat tertinggi biasa ditemukan di daerah perkotaan dan daerah pertanian yang dipengaruhi sungai sekitarnya, dimana konsentrasinya dapat meningkat hingga 21.000 μg N/L. Nitrat secara relatif ditemukan dalam konsentrasi rendah karena nitrat merupakan suatu senyawa perantara dalam proses kation nitirifikasi dan kation denitrifikasi (Mc Graw, 2010)

Hasil dari penyisihan fenol membentuk trend yang sama dengan penyisihan COD atau bahan organik lainnya seperti KMnO4 pada limbah cair. Laju penyisihan phenol

meningkat secara signifikan setelah asetat habis terdegradasi. Dengan demikian, phenol pada limbah cair akan dihilangkan secara efektif dengan menggunakan biomassa yang telah beradaptasi pada bioreaktor koninyu (Bajaj et al., 2008).


(32)

2.5

Pemakaian Bahan Koagulan

PAC (Poly Aluminium Chloride) merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk mengikat padatan baik yang tersuspensi maupun terlarut dan kemudian membentuk flok, sehingga bobot padatan tersebut bertambah dan akhirnya turun bersama koagulan tersebut, proses ini biasa disebut dengan proses koagulasi. PAC menghasilkan proses koagulasi-flokulasi yang sangat baik bila dibandingkan dengan Al2(SO4)3 atau sering disebut tawas

dalam beberapa kasus pengilahan sungai yang berwarna kuning atau cukup keruh. PAC secara efektif dapat menurunkan konsentrasi monomer AL terlarut (Yang et al., 2010). Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini menunjukkan perbandingan antara pemakai PAC dan alum atau tawas.

Tabel 1. Dua eksperimen dengan dua jenis koagulan (Sumber: Ghafari et al., 2009)

Tabel 2. Nilai minimun koagulan yang diizinkan dalam identifikasi kondisi optimum (Sumber: Ghafari et al., 2009)

Coagulant Minimum removal

COD (%) Turbidity (%) Color (%) TSS (%)

PAC 42 90 90 90

Alum 62 85 85 90

Poly Aluminum Chloride (PAC) merupakan salah satu koagulan yang digunakan untuk pengolahan air dan juga air limbah. Standar nasional China dalam penggunaan PAC, dimana konsentrasi yang terkandung pada larutan besi dan logam berat dari PAC harus dikontrol dengan ketat, kemudian diteliti jumlah PAC yang dibutuhkan untuk pemurnian. Pada lembar standar penggunaan PAC di China untuk mendapatkan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu mengandung aluminum oxide (>10%), high basicity (>90%), dan zat kimia terlarut (<0.04%), besi (<300mg/L) dan logam berat. (Li et al., 2010)

A: dosage* (code) B: pH (code) COD Turbidity Color TSS A: dosage* (code) B: pH (code) COD Turbidity Color TSS 1 1.00[-1] 6.50:-1) 26.7 47 46.8 44.8 9.00[-1] 6.0[-1] 42.7 72.3 56.1 80.2 2 0.00[+1] 6.50:-1) 28.5 50.4 42.3 48.2 10.00[+1] 6.0[-1] 63.5 92.8 87.8 90.3 3 1.00[-1] 6.50:+1) 17.8 53.8 49.2 65.1 9.00[-1] 8.0[+1] 57.8 76 70.8 88.6 4 0.00[+1] 6.50:+1) 19.6 64.2 32 56.1 10.00[+1] 8.0[+1] 40.3 79.3 69.2 81.2 5 1.50[0.3] 7.50:0) 34.8 81.5 80 77.3 9.25[0.5] 7.0[0] 55.7 85.3 70 87.5 6 2.50[+0.5] 7.50:0) 32.9 85.1 87.6 82.3 9.75[+0.5] 7.0[0] 56.7 85.3 86 86 7 2.00[0] 7.00:-0.5) 37.2 82.3 80 79.7 9.50[0] 6.5[-0.5] 65.3 85.9 82.2 94.1 8 2.00[0] 8.00:0.5) 32.6 80.7 78.6 80.7 9.50[0] 7.5[0.5] 42.3 78.6 67.5 82.5 9 2.00[0] 7.50:0) 43.4 96.3 91.6 90.6 9.50[0] 7.0[0] 63.3 88.3 86.9 88 10 2.00[0] 7.50:0) 42.1 93 87.2 96.3 9.50[0] 7.0[0] 31.2 65.8 54.3 79.3 11 2.00[0] 7.50:0) 46.7 98.4 94 95.6 9.50[0] 7.0[0] 65.8 64.7 62.6 64.5 12 2.00[0] 7.50:0) 48.3 97.2 95.2 89.3 9.50[0] 7.0[0] 69.4 89.6 88.1 89.9 13 2.00[0] 7.50:0) 51.5 95 94.6 94.9 9.50[0] 7.0[0] 52 75.7 72.9 86.3 * Unit dosage: g/L

PAC Alum


(33)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Water Treatment Plan (WTP) sungai Cihideung milik Institut Pertanian Bogor (IPB) kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian dimulai pada bulan Februari 2011 hingga Mei 2011. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Lokasi WTP IPB Sungai Cihideung

Oksigen terlarut atau Dissolve Oxigen (DO) dan suhu diukur di lokasi penelitian, sedangkan pengukuran senyawa organik, ammonium, nitrat, phosphat, TSS, kekeruhan, warna, dan pH diukur di Laboratorium TML (Teknologi Manajemen Lingkungan) Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB.

3.2

Alat dan Bahan

3.2.1

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah fixed bedreactor dengan media batu apung serta perlengkapan lainnya. Kemudian alat-alat untuk membantu analisis antara lain yaitu spektrofotometer, timbangan, pH meter, hot plate, buret, dan Kjeldahl. Dalam mengambil sample juga dibutuhkan alat berupa drum pengangkut. Untuk menguji hubungan antara hasil (efluent dari fixed bed reactor) pada setiap perlakuan dengan penggunaan PAC optimum digunakan jar test dengan enam baker glass dalam sekali

runing. Gambar alat-alat pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.2.2

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi bahan-bahan dalam fixed bed reactor, jar test dan bahan untuk analisa sampel. Dalam fixed bed reactor dibutuhkan media yang sebagai tempat melekatnya atau tumbuhnya


(34)

mikroorganisme yaitu batu apung. Selain media batu apung dibutuhkan juga bahan utama lain yaitu sampel berupa air sungai, air sungai yang digunakan dalam penelitian ini yaitu air dari aliran sungai Cihideung. Dalam jar test dibutuhkan air sungai yang memiliki tingkat kekeruhan berbeda-beda serta PAC (Poly Alumunium Chloride). Kemudian bahan yang diperlukan untuk analisis antara lain yaitu ammonium molybdate, SnCl2, Asam borat, H2SO4 0.02 N, NaOH 6 N, NaCl, H2SO4 pekat, KMnO4 0.01 N,

asam oksalat 0.01 N, H2SO4 8 N, dan aquades.

3.3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dibagi menjadi 4 bagian, yaitu persiapan bahan dan alat, proses pembiakan mikroorganisme (seeding), tahapan analisis, dan rancangan penelitian. Bagian-bagian tersebut secara detail dapat dijabarkan sebagai berikut.

3.3.1

Persiapan alat dan bahan

Sebelum dilaksanakan penelitian ini, alat dan bahan harus disiapkan terlebih dahulu. Alat yang perlu dipersiapkan yaitu fixed bed reactor yang terbuat dari drum plastik bervolume (air dan batu apung) 24 liter, dengan perbandingan batu apung dan volume total adalah 1:4. Drum tersebut dirancang dengan pipa yang menghubungkan ke air sungai. Skema fixed bed reactor dapat dilihat pada Gambar 8 dan gambar fixed bed reactor yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8. Skema fixed bed reactor

Keterangan: a. Stop kran b. Pompa sirkulator c. Pipa efluent d. Air baku e. Batu apung

f. Pipa aerator

Fixed Bed

Reactor I

Fixed Bed

Reactor II

a

b

c

d

e

f


(35)

Gambar 9. Up flow Fixed bed reactor

Fixed bedreactor ini beroperasi secara upflow yaitu aliran mengalir dari bawah ke atas. Selain alat diatas, dibutuhkan beberapa alat lainnya untuk mendukung kegiatan distribusi dan alat-alat untuk analisa.

Bahan-bahan yang akan digunakan dipersiapakan terlebih dahulu yaitu pereaksi pereaksi yang akan digunakan dalam melakukan analisa senyawa yang terkandung dalam sampel air sungai (air baku). Dalam uji senyawa organik (KMnO4) maupun

anorganik.

3.3.2

Proses Aklimatisasi

Proses Aklimatisasi (Adaptasi) mikroorganisme dilakukan selama 4 minggu dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) dalam fixed bed reactor 4 jam (selama 3 minggu), WTH 2 jam (selama 3 hari), dan WTH 1 jam (selama 3 hari), secara skematik dapat dilihat pada Gambar 9.

3.3.3

Tahap Pengolahan Air baku sungai Cihideung

Setelah proses aklimatisasi selesai dilakukan, tahap selanjutnya yaitu air baku diolah di dalam fixed bed reactor dengan perbedaan waktu kontak (Gambar 10). Kondisi kontak sampel di dalam fixed bed reactor dilakukan secara batch atau tanpa aliran masuk dan aliran keluar.

Stop kran (kran inlet)

Up flow Fixed

bed reactor

Pipa outlet

Bak penampung

air sungai


(36)

Gambar 10. Skema tahap proses Aklimatisasi

Analisa

pengurangan

senyawa organik

dan parameter

terukur lainnya

Parameter

terukur :

-nitrat

-ammonium

-Phosphat

-Bahan organik

(KMnO

4

)

-Uji Jar Test

-kekeruhan

-TSS

-Warna

- DO

-pH

Desain

bioreaktor

skala lab

Persiapan

Alat

dan bahan untuk

analisa:

-nitrat

-ammonium

-Phosphat

-Bahan

organik

(KMnO

4

)

-Uji Jar Test

-kekeruhan

-TSS

-Warna

Ide studi

Mulai

Persiapan alat dan bahan

Aklimatisasi

Penambahan

batu apung

25 % dari

volume total

Penelitian tahap

selanjutnya


(37)

Gambar 11. Tahap pengolahan air baku dan analisa sampel

Pengolahan data

analisa

Kesimpulan dan saran

selesai

Sampling dan analisa

parameter terukur

Penelitian tahap

selanjutnya

Variasi Waktu kontak di

fixed bed reactor

waktu kontak:

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

5 jam

6 jam

7 jam

24 jam

27 jam

30 jam


(38)

3.3.4

Tahap analisa sampel

Sampel diambil langsung dari hasil fixed bed reactor setiap satu jam dari hasil pengolahan air baku sungai Cihideung. Parameter-parameter yang diukur pada penelitian ini adalah konsentrasi senyawa organik yaitu KMnO4, senyawa anorganik (amonium,

phosphat, nitrat), selain itu dianalisis pula sifat fisik air seperti TSS (Total Suspended Solid), tingkat kekeruhan, warna dan pH. Prosedur analisa laboratorium secara lengkap dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Amonium (NH4+), APHA, 2005

Pemeriksaan amonium dilakukan dengan metode Kjeldahl yang biasa digunakan dalam uji TKN (Total Kjeldahl Nitrogen), yaitu dengan menambahkan NaOH 6N dan asam borat yang telah diberi indikator mensel ke dalam alat distilator. Perbandingan antara pemakaian sampel dan pereaksi (NaOH dan asam borat) adalah 1:1. Perubahan warna yang terbentuk (dari ungu menjadi hijau) dititrasi dengan H2SO4 0.02N hingga berwarna ungu. Kemudian konsentrasi NH4 dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:

NH4 (mg/L) =

Keterangan : V= Volume b) Nitrat (NO3-), SNI-06-2480-1991

Analisa nitrat dilakukan dengan menggunakan metode yang terdapat di dalam SNI 06-2480-1991. Metode tersebut merupakan metode pengujian kadar nitrat dengan alat spektrofotometer secara brusin sulfat. Sampel dengan volume 10 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer bervolume 50 ml. Setelah itu ke dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan pereaksi NaCl sebanyak 2 ml dan H2SO4 pekat

sebanyak 10 ml, diaduk perlahan dan biarkan dingin. Setelah dingin ke dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan brushin sebanyak 0.5 ml. Setelah semua pereaksi tercampur, erlenmeyer tersebut dipanaskan pada suhu 90oC selama 20 menit dan kemudian didingankan. Setelah dingin sampel siap dibaca dalam alat spektrofotometer tipe DR-2500 dengan panjang gelombang 410 nm. Hasil yang terbaca dalam spektrofotometer diplotkan dalam kurva standar yang telah disiapkan sebelumnya, kurva standar nitrat dapat dilihat pada Lampiran 3. Contoh penghitungan nitrat dapat dilihat pada Lampiran 4.

c) Phosphat (PO4

3-), APHA, 2005

Pemeriksaan phosphat dilakukan dengan acuan APHA edisi ke 21 yaitu 50 ml sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml kemudian ditambahkan 4 ml ammonium molybdate, 0.5 ml SnCl2. Setelah ditetesi SnCl2 sampel didiamkan

selama 10 menit dan kemudian sampel dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 690 nm. Hasil yang terbaca dalam spektrofotometer tipe DR-2500 diplotkan dalam kurva standar (Lampiran 3) yang telah disiapkan sebelumnya. Contoh penghitungan phosphat dapat dilihat pada Lampiran 5.


(39)

d) Analisis Zat Organik (KMnO4)

Analisis zat organik dalam penelitian ini beracuan dari SK SNI M-72-1990-03. Sebanyak 100 ml sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan dimasukkan batu didih. Pereaksi KMnO4 (beberapa tetes hingga terbentuk wwarna merah muda)

dan 5 ml H2SO4 8N dimasukkan juga ke dalam erlenmeyer tersebur dan kemudian

sampel dipanaskan dengan menggunakan pemanas (hot palte) hingga mendidih. Setelah mendidih diamkan selama 1 menit dan kemudian sebanyak 10 ml KMnO4

0.01 N (yang telah distandarisasi) dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dipanaskan kembali. Setelah mendidih sampel didiamkan kembali selama 1 menit lalu ditambah dengan 10 ml asam oksalat 0.01 N. Sampel tersebut kemudian siap dititrasi menggunakan KMnO4 yang telah distandarisasi. Kadar KMnO4 dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar KMnO4 (mg/L)=((10ml + ml titrasi x standar KMnO4)-0.1) x 316 x P

Keterangan: P= faktor pengenceran e) TSS (Total Suspended Solid)

Dalam analisa TSS kali ini menggunakan metode absorbansi cahaya dengan menggunakan alat spektrofotmeter tipe DR/2000 menggunakan metode yang disediakan yaitu method 630 (mg/L) yang membutuhkan panjang gelombang senilai 810 nm.

f) Kekeruhan

Pemeriksaan kekeruhan dilakukan dengan cara yang sama dengan metode pada TSS, hanya saja pada uji kekeruhan ini menggunakan method 750 (FTU turbidity) kemudian panjang gelombang disetting hingga 450 nm.

g) Warna

Pemeriksaan warna dilakukan dengan spektrofotometer DR/2000. nilai warna (PtCo) dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang antara 450. h.) pH

pengujian pH menggunakan pH meter

3.3.5

Uji Jar Test

Uji jar test dilakukan untuk menentukan jumlah koagulan PAC (Poly Aluminium Choride) optimum pada air baku dengan tingkat kekeruhan dan TSS yang berbeda. Sampel berupa air sungai sebanyak 500 ml dimasukkan ke dalam enam baker glass. Satu baker glass dijadikan kontrol, dan lima baker glass lainnya ditambahkan PAC dengan volume yang berbeda-beda (Gambar 11). Uji jar test dilakukan selama 30 menit dan diaduk dengan kecepatan 45 rpm, setelah diaduk sampel yang diberi perlakuan tersebut didiamkan selama 30 menit. Hasil uji jar test ini dibandingkan dengan hasil pengolahan air baku di fixed bed reactor.


(40)

Gambar 12. Skema tahapan proses penelitian dalam Jar Test

Uji Jar test dengan enam konsentrasi PAC berbeda-beda

Air Sungai

0 mL/L

0,005 mL/L

0,01 mL/L

0,015 mL/L

0,02 mL/L

(tanpa pengenceran)

Pengenceran

(1:1)

Pengenceran (1:3)

Pengenceran (1:4)

Analisis hubungan antara kekeruhan, warna, dan TSS

Data

0 mL/L

0,05 mL/L

0,01 mL/L

0,06 mL/L

0,07 mL/L

0,08 mL/L

0,02 mL/L

0,03 mL/L

0,04 mL/L


(41)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Air Baku Aliran Sungai Cihideung

Air baku merupakan sumber air bersih yang dapat berasal dari air hujan, air tanah, air danau, dan air sungai. Air sungai merupakan salah satu jenis air permukaan yang menjadi sumber air baku dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup. Air sungai dari aliran sungai Cihideung merupakan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Institut Pertanian Bogor. Suplai air baku untuk Institut Pertanian Bogor berasal dari dua aliran sungai yaitu sungai Cihideung dan sungai Ciapus, kedua sumber air baku tersebut diolah terlebih dahulu di Water Treatment Plan milik IPB. Pada penelitian ini sampel air baku yang digunakan berasal dari air sungai Cihideung.

Air Sungai Cihideung yang telah diolah di WTP IPB disuplai ke Fakultas Kehutanan dan Peternakan. Kemudian dari Fakultas Kehutanan IPB di salurkan lagi ke daerah/ gedung sekitarnya termasuk FATETA, begitu pula dengan air baku yang disuplai ke Fakuktas Peternakan. Laju alir produksi air bersih di setiap WTP Cihideung perharinya mencapai 7.5 L/ detik, namun bila tingkat kekeruhan air baku meningkat terlalu tinggi maka laju alir produksi dapat terganggu.

Tabel 3 menunjukkan hasil analisa sifat fisik air baku sungai Cihdeung. Berdasarkan hasil analisa di Laboratorium tingkat kekeruhan dan TSS sungai Cihideung berbeda-beda ketika hujan dan panas terik. Tingkat kekeruhan dan TSS pada saat hujan lebih tinggi dibandingkansaat cerah.

Tabel 3. Kondisi fisik air sungai Cihideung pada cuaca berbeda Kondisi TSS (mg/L) Kekeruhan

(FTU)

Warna (PtCo) Ph

Hujan 148 160 550 4.5

Cerah 39 60 283 6.9

Kondisi ini diakibatkan karena pada hujan endapan di dasar air berlonjak keatas dan kotororan-kotoran disekitar sungai ikut terbawa arus sehingga tingkat kekeruhan sangat tinggi begitu pula dengan TSS dan warna pada air baku. Oleh karena itu, pada saat hujan, kebutuhan koagulan untuk mengendapkan atau menyisihan padatan terlarut dan tidak terlarut semakin meningkat.

4.2

Proses Aklimatisasi

Sebelum dilakukan pengamatan kualitas air baku terhadap pengaruh waktu kontak pada penggunaan fixed bed reactor dengan menggunakan media batu apung, batu apung perlu mengalami proses aklimatisasi. Proses aklimatisasi yaitu menumbuhkan mikroorganisme pada batu apung yang nantinya akan mendegradasi bahan-bahan organik dan anorganik. Proses aklimatisasi dibutuhkan untuk adaptasi mikroba, sehingga pada saat pengujian pengaruh kualitas air baku terhadap perbedaan waktu kontak, batu apung yang digunakan dalam fixed bed reactor


(42)

telah ditumbuhi mikroorganisme yang akan mendegradasi polutan. Mikroorganisme dapat tumbuh atau melekat pada batu apung hingga membentuk lapisan berupa biofilm, karena di dalam air sungai terkandung unsur-unsur/ substrat yang dibutuhkan untuk hidup dan tumbuh kembangnya mikroorganisme, seperti N dari ammonium dan P dari senyawa phosphat.

Ammoniak akan berubah menjadi ammonium didalam air sesuai dengan persamaa reaksi NH3 + H2O  NH4 + O2. Pada proses nitrifikasi dengan bantuan mikroorganisme ammoium

akan berubah menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrat, berikut ini adalah tahapan dari nitirfikasi yang dapat dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu:

1. Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion ammonium (NH4+) menjadi ion nitrit

(NO2-) oleh bakteri Nitrosomonas, melalui reaksi berikut ini:

NH4+ + 1 ½ O2  NO2- + H2O + 2,75 KJ

Nitrosomonas

2. Tahap nitrasi merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO3

-) oleh bakteri Nitrobacter dengan melalui reaksi berikut ini:

NO2- + 1 ½ O2  NO3- + 75 KJ

Nitrobacter

Secara keseluruhan proses nitrifikasi adalah sebagai berikut: NH4+ + 2O2 NO3- +2 H- + H2O

Jadi konsentrasi ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) akan berbanding terbalik selama proses

nitrifikasi dalam fixed bed reactor.

Pada penelitian ini proses aklimatisasi dilakukan selama tiga minggu dengan waktu tinggal 4 jam (laju alir sebesar 4.5 L/jam), tiga hari dengan waktu tinggal 2 jam (laju alir sebesar 9 L/jam), dan lima hari dengan waktu tinggal 1 jam (laju alir sebesar 18 L/jam). Perubahan waktu tinggal pada saat proses aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan data pengaruh peningkatan laju alir terhadap penurunan bahan organik atau peningkatan kualitas air baku. Selama proses aklimatisasi setiap minggu output/ efluent air dari bioreaktor dianalisa kandungan bahan organik, anorganik, dan sifat fisik air baku. Hasil dari efluent diamati penurunan atau perubahannya, perubahan tersebut kemudian dikaitkan dengan proses tumbuh lekatnya mikroorganisme di media batu apung. Gambar 13 berikut ini adalah hasil pengujian ammoinum selama proses aklimatisasi.

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

0 10 20 30 40

Ko n se n tr as i N H4 +(m g/ L) Waktu (hari) influent efluent


(43)

Gambar 13. Grafik konsentrasi NH4+ pada masa aklimatisasi

Berdasarkan Gambar 13, konsentrasi ammonium semakin lama semakin menurunkan hingga hampir mencapai konsentrasi 0 mg/L, sedangkan konsentrasi NO3- terus meningkat

hingga waktu tinggal hidrolik diturunkan menjadi 2 jam (Lampiran 6), hal ini disebabkan karena beban hidrolik yang masuk meningkat. Grafik peningkatan konsentrasi NO3

-

dapat dilihat pada Gambar 14. hal ini menunjukkan bahwa media dalam fixed bed reactor yaitu batu apung telah ditumbuhi oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter (terbentuk biofilm) yang berfungsi untuk mengubah ammonium menjadi nitrat setelah melalui proses nitrifikasi.

Gambar 14. Grafik konsentrasi NO3- pada masa aklimatisasi

Peningkatan NO3- mengalami perubahan pada saat waktu tinggal diturunkan menjadi 2

jam dan 1 jam begitu juga dengan penurunan NH4+. Hal ini diakibatkan karena beban yang

masuk ke dalam bioreaktor meningkat sehingga mikroorganisme yang terdapat dalam biofilm di batu apung mengalami tekanan dan perlu beradaptasi lagi.

Salah satu variabel kontrol agar terjadi degradasi senyawa organik adalah oksigen terlarut (DO/ Dissolve Oxigen). Proses degradasi akan berjalan dengan baik apabila DO air di dalam

fixed bed reactor >1 mg/L (Widayat et al., 2010). Pada akhir proses aklimatisasi atau sehari sebelum pengujian konsentrasi DO pada fixed bed reactor beraerasi ini mencapai 6.30 mg/L. Hal ini menandakan bahwa proses degradasi terjadi di dalam fixed bed reactor dengan media batu apung.

Selain penurunan amoniak dan hubungannya dengan peningkatan konsentrasi NO3

dan konsentrasi DO, pada tahap aklimatisasi ini juga diamati peningkatan kualitas air baku. Peningkatan kualitas air baku dapat dilihat dari penurunan TSS, kekeruhan, dan warna pada effluen. Penurunan TSS, tingkat kekeruhan, dan warna dapat dilihat pada Gambar 15, 16, dan 17. pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa TSS air baku setelah melewati fixed bed reactor terus menurun hingga hari ke 24 sedangkan setelah itu konsentrasi TSS meningkat begitu juga pada tingkat kekeruhan dan warna. Hal ini terjadi karena laju alir/ debit air ditingkatkan sehingga waktu tinggal air dalam fixed bed reactor menjadi 1 jam. Pada perubahan waktu kontak dari 4 jam menjadi 2 jam peningkatan laju beban tidak terlalu berbeda nyata, bila dibandingkan dengan

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 10 20 30 40

K o n sen tr asi N O3 -(m g /L) Waktu (hari) influent efluent


(44)

peningkatan beban dengan waktu kontak sebesar 1 jam. Maka semakin tinggi laju alir yang masuk mengakibatkan laju beban yang masuk juga meningkat sehingga effiensi penurunan bahan organik menurun.

Gambar 15. Grafik penurunan TSS pada masa aklimatisasi

Gambar 16. Grafik tingkat kekeruhan pada masa aklimatisasi 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 10 20 30 40

TS S ( m g /L) Waktu (hari) influent efluent 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 10 20 30 40

K e ke ru h an (FTU ) Waktu (hari) influent effluent

T= 4 jam

T=2 jam T= 1 jam


(45)

Gambar 17. Grafik warna pada masa aklimatisasi

4.3

Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Penurunan Bahan Organik,

Amoniak, Total Suspended Solid (TSS) dan Kekeruhan

Setelah terbentuk biofilm pada media batu apung atau bakteri yang berperan dalam proses nitrifikasi ini diduga tumbuh, tahap selanjutnya dilakukan pengamatan kualitas air baku terhadap pengaruh waktu tinggal air sungai dalam fixed bed reactor dengan media batu apung. Pengamatan atau analisa sampel dilakukan setiap 1 jam hingga jam ke 7, kemudian jam ke-24, jam ke 27, jam ke 30, dan jam ke 48. Pengamatan dilakukan hingga jam ke 48 dilakukan untuk melihat apakah pada jam ke 48 kualitas air akan semakin meningkat dengan bantuan batu apung. Peningkatan kualitas air baku ini dapat dilihat secara fisik maupun penyisihan senyawa organik seperti KMnO4 dan senyawa anorganik seperti amoniak dan

phosphat.

4.3.1

Pengaruh Waktu Kontak Pada Peningkatan Sifat Fisik Air Baku

Kualitas fisik dari air sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Karakter fisik air meliputi kekeruhan, total padatan tersupensi (TSS), dan warna. Sifat fisik air ini lebih berpengaruh kepada estetika yang ditampilkan. Bila warna air pekat, tingkat kekeruhan dan TSS tinggi maka orang-orang enggan untuk menggunakan air tersebut bahkan sudah tidak layak untuk dilihat.

Kekeruhan, TSS, dan warna memiliki kaitan yang sangat erat. Sehingga penurunan tingkat kekeruhan diikuti dengan penurunan TSS dan warna. Kekeruhan air dapat ditimbulkan karena adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung di dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh buangan industri ataupun domestik. Zat tersuspensi yang berada di dalam air juga terdiri dari berbagai macam zat sama halnya dengan penyebab kekeruhan, hanya saja TSS berfungsi untuk mengukur jumlah atau konsentrasi padatan yang tersuspensi di dalam air, sedangkan kekeruhan mengamati padatan secara umum yang tidak terlihat oleh mata. Warna air juga dapat

0 100 200 300 400 500 600

0 10 20 30 40

War

n

a

(PtCo

)

Waktu (jam)

influent efluent


(46)

ditimbulkan oleh kehadiran organisme atau bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik dan juga tumbuh-tumbuhan.

Tingginya tingkat kekeruhhan dan TSS juga mengindikasi terdapatnya padatan tersuspensi seperti sel mikroorganisme dan senyawa organik yang larut dalam air. Sehingga sifat fisik ini perlu ditingkatkan kualitasnya, salah satu caranya yaitu dengan menggunakan fixed bed reactor bermedia batu apung. Data yang diperoleh dari pengujian air baku dalam fixed bed reactor bila diihat dari karakteristik fisik air pada berbagai waktu kontak dapat dilihat pada Gambar 18, 19, dan 20.

Gambar 18. Tingkat kekeruhan pada berbagai waktu kontak

Gambar 19. Penurunan TSS pada berbagai waktu kontak 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 10 20 30 40 50 60 70

0 10 20 30 40 50 60

K e ke ru h an (FTU ) Waktu (jam)

efluent efisiensi (%)

e

fi

si

e

n

si

(

%)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

0 10 20 30 40 50 60

TS S ( m g /L) Waktu (jam)

efluent efisiensi (%)

e

fi

si

e

n

si

(

%)


(47)

Gambar 20. Penurunan kepekatan warna pada berbagai waktu kontak

Berdasarkan data yang didapat kekeruhan, TSS, dan warna terus menurun. Semakin lama waktu kontak air maka semakin tinggi tingkat kualitas air bakunya. Namun selang satu hari yaitu setelah 24 jam kekeruhan, TSS, dan warna mengalami penurunan efisiensi penyisihan kekeruhan dari 62 % menjadi 59%, efisiensi penyisihan TSS dari 65% menjadi 54%, dan efisiensi penyisihan warna 59% ke 57%. Namun, di menit berikutnya efisiensi penyisihan dari ketiganya meningkat kembali. Hal ini dapat disebabkan dengan perubahan suhu yang terjadi disekitarnya. Secara umum penyisihan kekeruhan, TSS, dan warna turun secara tajam hingga jam ke 7 dan pada hari berikutnya efisiensi penyisihan dianggap lebih landai. Hasil dari pengolah fixed bed reactor ini belum memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh PP No.20 Tahun 1990 sebagai air bersih , oleh karena itu butuh pengolahan lanjutan seperti Water Treatment Plan.

4.3.2

Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Penyisihan Senyawa Organik

Zat organik dapat disisihkan secara biologi, yang dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu oksigen terlarut (DO), waktu kontak, jenis dan jumlah mikroorganisme pengurai (Bitton, 1994). Bakteri heterotrof memanfaatkan senyawa atau zat organik untuk dijadikan sumber energinya.

Pada penelitian ini senyawa yang mewakili adanya kandungan bahan organik di air adalah kalium permanganat (KMnO4). Grafik di bawah ini menunjukkan penurunan

senyawa organik, penurunan senyawa organik menurun secara tajam hingga waktu kontak jam ke 3 dan kemudian terus menurun tapi tidak secara drastis atau lebih ke arah stabil. Penurunan senyawa organik dengan waktu kontak 3 jam mencapai efisiensi penurunan sebesar 30%. Selama 2 hari efisiensi penurunan bahan organik hanya meningkat 3 %.

0 10 20 30 40 50 60 70 0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 10 20 30 40 50 60

War n a (PtCo ) Waktu (jam)

efluent efisiensi (%)

e

fis

ie

n

si

(%)


(1)

Lampiran 8. Penghitungan Efisiensi Penurunan

- Efisiensi proses penyisihan

Keterangan : A in = Air baku awal (influent/ pada waktu kontak ke-0) A out = Air Baku setelah pengolahan (efluent)


(2)

Lampiran 9. Spesifikasi Pac (Poly Aluminium Chloride)

Produsen : PT. PACINESIA CHEMICAL INDUSTRY Produk : Poly Alumunium Chloride

Tipe : PAC 250 A

Tanggal produksi : 27 September 2004

Tampilan fisik : Pale amber clear liquid (cairan encer berwarna kuning pucat) Specific Gravity (SG) : 1,196 & 1,195

Temperatur : 27,5oC

Alumunium Oxide : 10,30% & 10,32% Basicity : 48,21%

pH : 2,2

Produsen : PT. PACINESIA CHEMICAL INDUSTRY Produk : Poly Alumunium Chloride

Tipe : PAC 250 A

Tanggal produksi : 30 November 2004

Tampilan fisik : Pale amber clear liquid (cairan encer berwarna kuning pucat) Specific Gravity (SG) : 1,199

Temperatur : 27,5oC Alumunium Oxide : 10,37% Basicity : 52,57%


(3)

Lampiran 10. Data Hasil Uji Jar Tes

Keterangan: PAC yang digunakan dalam uji Jar tes ini menggunakan PAC dari PT PACINESIA CHEMICAL INDUSTRY tipe PAC 250 A yang telah diencerkan 100 kali

 Sampel: (air sungai:aquades= 1:0) 5000 ml air sungai+ 0 ml aqudes

Konsentrasi PAC (ml/ 0.5 L)

PAC

(ml/L)*P Kekeruhan Warna TSS pH

0 0 37 202 25 6.5

0.5 100 2 11 1 6.6

1 200 1 4 1 6.5

1.5 300 1 3 1 6.4

2 400 1 3 0 6.4

2.5 500 0 3 0 6.4

3 600 1 3 1 6.4

3.5 700 1 0 1 6.4

4.5 900 1 0 2 6.5

P= faktor pengenceran

 Sampel air sungai yang diencerkan (air sungai:aquades= 1:1)

Konsentrasi PAC (ml/ 0.5 L) PAC (ml/L)*P Kekeruhan Warna TSS

0 0 14 90 12

0.5 100 0 4 1

1 200 1 4 1

1.5 300 7 46 5

2 400 11 63 7

 Sampel air sungai yang diencerkan (air sungai:aquades= 1:3)

Konsentrasi PAC (ml/ 0.5 L) PAC (ml/L)*P Kekeruhan Warna TSS

0 0 10 50 8

0.25 50 1 3 1

0.5 100 6 30 4

0.75 150 7 38 4


(4)

 Sampel air sungai yang diencerkan (air sungai:aquades= 1:4)

Konsentrasi PAC (ml/ 0.5 L) PAC (ml/L)*P Kekeruhan Warna TSS

0 0 5 24 3

0.25 50 0 2 0

0.5 100 4 20 1

0.75 150 5 26 2


(5)

Lampiran 11. Penghitungan biaya pemakaian PAC

Dari data yang diperoleh, siketahui bahwa:

 Harga PAC = Rp 4.025,-/kg ~ Rp 4.025,-/ l (asumsi densitas PAC ฀ 1 kg/l)

 Penurunan absolut tingkat kekeruhan setelah proses pengolahan (pada waktu kontak : 4 jam) = 23 FTU

 Penurunan pemakaian PAC optimum pada penurunan tingkat kekeruhan absolut sebesar 23 FTU = (0.05-0.01) mg/L = 0.04 mg/L

 Penurunan absolut konsentrasi TSS setelah proses pengolahan (pada waktu kontak : 4 jam) = 14.5 mg/L

 Penurunan pemakaian PAC optimum pada penurunan konsentrasi TSS secara absolut sebesar 14.5 mg/L = (0.04-0.01) mg/L= 0.03 mg/L

 Penurunan biaya pemakaian PAC dilihat dari penurunan tingkat kekeruhan:

= Rp 0.16/ L.air  Penurunan biaya pemakaian PAC dilihat dari penurunan TSS:

= Rp 0.12/ L.air

Berdasarkan data yang diperoleh dari WTP Cihideung, debit produksi air bersih/ hari = 7.5 L/ detik dalam 1 unit (didalam pengolahan air bersih IPB terdapat 4 unit WTP). Maka bila dihitung total air yang diproduksi/ diolah per harinya adalah sebagai berikut:

Volume air yang diolah/ hari = 2.592.000 L air/ hari

Maka, penghematan biaya pemakain PAC per hari

 Berdasarkan perubahan kekeruhan = Rp 0,16/ 1 L.air x 2.592.000 L.air/hari = Rp 414.720/ hari

 Berdasarkan perubahan TSS = Rp 0.12/ 1 L.air x 2.592.000 L.air/hari = Rp 311.040/ hari


(6)

Bila dikonversi, penghematan biaya pembelian PAC per bulan

 Berdasarkan perubahan kekeruhan = Rp 414.720/ hari x 30 hari/ bulan = Rp12.441.600,-/ bulan

 Berdasarkan perubahan TSS = Rp311.040 / hari x 30 hari/ bulan = Rp 9.331.200,-/ bulan